Monday, November 23, 2009

Fly

















Aku belajar terbang, lagi.
Hmm...melayang...terbang...seperti anak-anak... bersama anak-anak...

Wednesday, November 18, 2009

Tolol

Aku adalah orang tolol. Yang tersenyum pada tembok yang berjalan ke arahku, siap untuk aku tabrak. Sungguh telah aku tabrak dan aku belum sadar juga bahwa tembok itu penuh dengan paku, melukaiku. Aku tidak sadar bahwa tubuhku sudah berdarah saat aku menyentuk tembok itu bukan hanya saat sekarang ini ketika aku terjepit di antaranya. Yah, tolol sungguh aku yang mengira bahwa aku memegang cermin dengan bayangan di belakang saja. Tidak, aku sungguh-sungguh dihancurkan oleh tembok berpaku yang saat ini menjepitku.
Aduh, betapa tololnya aku. Dan lebih lagi ketololan itu ketika aku tidak juga beringsut mencari jalan keluar, malah menancapkan paku-paku semakin dalam ke kulitku. Aku membiarkan diriku jadi tolol.

Tuesday, November 17, 2009

Umbrella

Aku punya payung yang dengan sangat terpaksa aku kembangkan. Ini karena hujan yang bertubi. Ah, ya teman, betul katamu, aku adalah penyuka hujan. Ah bahkan lebih dari itu, aku cinta hujan. Tapi ternyata aku butuh payung jika hujan-hujan mulai menyakitiku. Yah, aku perlu payung yang mengembang. Melindungi dari sakit karena hujan yang bertubi.

Thursday, November 12, 2009

Apa mauku?

Setelah ribut sibuk menyebutkan sekalian keinginan yang berhamburan di pikiranku aku terdiam oleh pertanyaan :"Lalu, apa maumu?"
Apa mauku? Terdiam panjang... lalu aku putuskan dengan gelengan kepala. Aku tidak tahu.

(Tak satu katapun bisa menjawab pertanyaan semacam itu. Sekali ini aku menyesal telah menjadi perempuan yang biasa mengandalkan rasa, yang ternyata pun jadi pengkianat utamaku.)

Friday, November 06, 2009

Kehujanan

Semalam aku kehujanan. Aku menggigil di depan anugerah besar. Menangkupkan tangan erat-erat di badanku, mencoba mencari kehangatan dari tanganku sendiri. Beberapa tetes di pipiku sebagian masuk ke bibirku. Mengingatkanku bahwa aku sangat haus. Aku ingat ada botol air minum di tasku, tapi ternyata tak ada lagi isinya.
Apa yang mesti kupikir? Bagaimana aku bisa pulang? Aku menatap beberapa sudut ke atas. Di kamar mana ada kehangatan yang masih boleh aku rasa? Aku menampar daguku keras-keras mengingatkan diri bahwa tak ada lagi lembaran-lembaran merah atau biru untuk menukar kehangatan itu.
"Dan itu bukan rumahmu!!"
"Iya, itu bukan rumahku. Tapi aku belum bisa pulang dalam hujan seperti ini."
"Duduk saja di sini."
Dia yang tak terlihat wajahnya, menarik dari jongkokku untuk duduk di jok Mioku. Dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan membenamkan tubuhnya dalam memoriku. Aku menari-menari dalam khayali bersamanya, tak hirau lagi hujan menderu di sekitar. Hanyut dalam waktu sambil menunggu hujan reda.
Dia yang tak terlihat wajahnya, menyentuhku dengan seluruh rasa yang mungkin pernah ditawarkan waktu padaku dulu. Dia menemaniku menikmati dingin dan hujan. Hanyut dalam waktu sampai hujan reda.
"Hei, jangan pergi. Ehm...paling tidak katakan siapa namamu sebelum kau pergi."
Aku menahannya ketika waktu sudah mengusirku dari kubangan hujannya. Dia yang tak terlihat wajahnya menoleh padaku, dengan senyumnya yang merekah dan menyebut namanya halus.
"Rindu."

Thursday, October 29, 2009

Ketinggalan Jaman


Kemarin saat pulang dari menjemput Albert, sudah remang menjelang magrib, di belokan jalan masuk perumahan, seorang bapak mengangguk, tersenyum dan membunyikan klakson. Aku membalas sapaan itu. Kemudian Albert bertanya.
"Ibu tahu itu tadi siapa?"
"Yang mana?"
"Yang baru saja ngebel itu."
"Nggak. Memang siapa, Bert? Albert kenal?"
"Itu kan Bapaknya Putu. Yang rumahnya samping Robi. Masa ibu gak tahu sih?"
"Oh, itu... Kok ibu gak pernah lihat?"
"Ibu sih tidak pernah keluar rumah."
"Masa sih Bert. Ibu kan keluar rumah terus."
"Iya, tapi ibu gak pernah main dengan ibu-ibu itu. Ibunya Afif, Pandu, Robi dan lain-lain kan sering main bareng di luar rumah."
"Memang ibu-ibu main apaan?"
"Bukan, bu. Ibu ini gak ngerti lo. Duduk-duduk bareng, ngobrol,...jadi gak ketinggalan jaman. Masa bapaknya Putu aja gak kenal."
"Lah ibu kapan bisa begitu. Kalau sore pulang jemput Albert gini pasti udah capek, dan ibu gak lihat ada ibu-ibu di luar rumah."
"Ya gak sore-sore. Siang atau pagi."
"Memang para ibu suka ngomong apa, Bert?"
"Macem-macem, bu. Tentang...alat makan, alat minum atau apa gitu. Albert sering denger kalau lagi main di dekat-dekat mereka. Ah, ibu ini ketinggalan jaman deh."
Aku gak tahu harus mikir apa. Tapi percakapan dengan Albert ini cukup mengusikku. Dia sendiri anak yang sangat memasyarakat. Sampai radius berapa kilometer, masih ada juga yang menyapa dan meneriakkan namanya. Aku sampai heran juga bagaimana mungkin Albert dikenal oleh orang-orang di luar perumahan, di blok lain dan sebagainya.
"Aku pernah dibantu cari kepiting sama mereka." Astaga, tentu saja aku melotot mendengar jawaban itu saat aku tanya kok gerombolan remaja usia SMA bisa meneriakkan nama Albert saat dia aku boncengin di blok E. Jarak yang lumayan jauh dari rumah. Keberanian Albert sering menguatirkanku. Tapi aku juga tidak ingin mengekangnya.
Alhasil, kalau mencariku di kompleks perumahan tempat aku tinggal, tidak mungkin dikenal jika sebut namaku. Sebut saja : Mama Albert atau Ibu Albert. Mereka akan paham dimana rumah yang harus didatangi.

Thursday, October 22, 2009

Ibu


Ini bukan foto baru. Diambil saat hari-hari pertama si kecil masuk sekolah, entah hari yang ke berapa. Aku mesti membantunya mengenakan baju, kaos kaki, sepatu, menyiapkan bekalnya dan kemudian mengantarnya ke sekolah. Menunggunya di gerbang hingga menghilang di deretan bangungan sekolah, setelah mencium pipi, bibir dan kening, tak lupa berkat di dahi. Ah juga setelah tepuk khusus yang hanya kami yang tahu. (Tos, jempol, kelingking, dan adu bogem. Hehehe...jika mau praktek, datanglah. Dan kemudian salaman kencang yang ditutup jabat erat gaya pejuang. "Selamat berjuang, jadi anak baik ya." Kadang,"Selamat berjuang jadi anak pintar!" Atau kata lain,"Selamat berjuang...")

Hal yang sama aku lakukan untuk si besar hingga kelas 2. Saat kelas 3 dia sudah mandiri karena sekolahnya siang, dan aku tidak bisa antar. Gantian, pulangnya yang bareng aku.

Tiap pagi, itulah upacara ibadatku. Sampai sekarang.

Ada hari-hari tertentu dimana aku tidak bisa melakukan hal itu. Jika aku tidak ada di rumah. Mereka bisa melakukan sendiri beberapa hal, atau dibantu Wawak.

Melakukannya, membuatku jadi ibu. Bukan hanya rahimku, tapi juga tanganku, mataku, mulutku, kakiku, tubuhku, hatiku...

Ya, aku seorang ibu. Aku tidak akan melupakannya. Walau mungkin aku juga menjadi seseorang yang lain saat bertemu dengan orang lain.

Ibu. Aku seorang ibu. Aku akan terus mengingatnya.

Friday, October 16, 2009

Never

Menahan diri pada 'never'. Tidak mungkin. Karena memang aku pernah merasakan gelitiknya di ujung-ujung rambutku. Dan aku menyukainya. Tidak mungkin.

Tapi aku akan bertahan pada 'never'. Untuk masa mendatang.

Thursday, September 17, 2009

Pelukan Abadi

Aku sedang mempertahankan sebuah pelukan menjadi abadi. Erat aku cengkeram lengan-lengannya supaya jangan longgar dari jiwaku. Kukempiskan tubuhku sehingga tetap dalam rangkumannya. Aku menangis dalam pertahanan ini karena cengkeraman tanganku melukai dadaku. Mengempiskan tubuh sendiri sama juga menyakiti hati sendiri.

Pelukan abadi, itu mauku. Tanpa kata, hanya menunggu sebuah perjumpaan dimana aku bisa mencium nyata baunya dan memberikan senyumku sembari melemparkan pesan,"Aku baik-baik saja."

Wednesday, August 26, 2009

Mati

Pipit biasanya berwarna coklat kekuningan agak hitam. Yang satu ini, pernah hidup di belakang rumah di bawah rentengan anggur, punya warna hijau. Bukan karena lahir unik, tapi karena diwarnai, dipaksa berwarna hijau. Pagi tadi pipit tidak alami itu mati. Terjerembab di sangkarnya, dikerubuti semut merah. Mati, teronggok begitu saja. Mati.

(Tidak seorang pun berniat menguburnya. Cukup undang semut merah lebih banyak biar menggerogotinya lebih cepat tanpa sempat berbau.)

Thursday, July 30, 2009

Kamboja

Aku mencium kamboja di ketinggian. Tan tidak mau menyebutnya kematian.
"Keindahan nostalgia itu abadi. Tidak mungkin dikubur begitu saja. Maka, saya akan ke Lampung kembali. Untuk melihat apakah ada yang masih bisa disegarkan dari sana."
Aku mengangguk. Lalu kami berjalan menyusuri pemakaman itu. Mengorek beberapa nisan yang baru ditancapkan. Rumput yang tumbuh di sekitarnya memberi kesejukan dangkal yang segera dilengkapi dengan rimbun pinus. Beribu pinus.
"Aku tahu selalu ada kegelisahan. Sebelum, saat dan sesudah perjumpaan. Toh, tidak ada yang perlu dikuatirkan bukan?"
Aku setuju pendapatnya. Tan menghadiahi aku kamboja, untuk aku bawa pulang. Kamboja yang bisa setiap saat aku cium kapanpun aku ingin.

Wednesday, July 01, 2009

Rindu Pada Aku

Aku rindu pada embun
rindu pada hujan
rindu pada pelangi
rindu pada matahari

Aku rindu pada cemara
aku rindu pada malam
aku rindu pada pagi
aku rindu pada laki-laki

Aku rindu pada perempuan
rindu pada aku

(Aku sedang rindu, ingin bercinta denganmu, siapa saja yang pernah mesra denganku.
Berjuta kekasihku, kembangkan sayap-sayapmu, dan kembali padaku.
Penuhi aku yang sedang rindu pada aku.)

Cerpen Pertama Tahun Ini

"Selamat! Cerpennya di suara karya 27 juni. Aku bru liat. Mantaapp.."
Gitu SMS Arman AZ semalam (22.23 wib). Nah, aku sendiri belum lihat.

Itu cerpen pertama yang dimuat media pada tahun ini. Jauh dari target dan sungguh tidak produktif. (Jika tahun lalu ada dua cerpen dimuat di harian nasional, satu cerpen mini jadi nominator DKL, tahun ini mesti tiga paling tidak yang bisa dibaca umum. Dan ini sudah tinggal 6 bulan, belum apa-apa.)

Sebelum Pulang, dimuat Suara Karya, Sabtu 27 Juni 2009! Ini cerpen yang lahir dari proses yang panjang. Aku kira telur dan spermanya sudah ada sangat lama dalam tabung masing-masing. Nah, penetrasinya terjadi saat ikut bengkel cerpen Dewan Kesenian Lampung bersama Yanusa Nugroho pada Desember 2007. Sepercik sperma, berhasil membuahi hingga jadi janin mini sehalaman. Penghidupan pesat pada Januari 2008, dalam rahim hingga sakit, mabuk, membunting besar, dan pakai operasi caesar yang rumit, hingga kemudian lahir jadi orok tua yang tidak langsung menangis. Nunggu setahun setengah baru cenger.

Jika mau tilik, lihat saja di Suara Karya Online, atau silakan browsing, pasti anak cucunya sudah ada.

Wednesday, June 17, 2009

Malam Menyata

Pernah malam mewujud menjadi gumpalan benda padat yang bisa dipegang, disentuh, dicium, diraba, dipeluk. Tentu saja aku memanfaatkan kesempatan itu untuk memenuhi keegoisan yang sudah mengaumkan hasrat. Aku menikamnya hingga tidak lagi berjalan, dan memaksanya berbaring telanjang. Angin masuk lewat pori-porinya hingga badannya membengkak. Aku memakainya menjadi tilam mimpi dan menindih memaksanya tetap diam. Jangan berlalu.

Tapi tidak berdaya.

Malam punya kekuatannya sendiri yang justru pada maya. Tidak bisa dipaksa kekal karena seberkas cahaya pun membuatnya mencair dan kemudian menyublim lenyap tak lagi bisa dipegang, disentuh, dicium, diraba, dipeluk. Justru karena tidak nyata, maka aku menyebutnya malam. Justru karena kemayaannya maka malam dapat memelihara dunia.

Semoga tetap menjadi malam, yang maya.

Malam menyata, cukup.

Friday, June 12, 2009

Jatuh Cinta Lagi Pada Letto


Sampai nanti sampai mati

kalau kau pernah takut mati, sama
kalau kau pernah patah hati, aku juga iya
dan seringkali sial datang dan pergi
tanpa permisi kepadamu
suasana hati tak perduli

kalau kau kejar mimpimu, kau slalu
kalau kau ingin berhenti ingat dimulai lagi
tetap semangat dan teguhkan hati di setiap hari
sampai nanti sampai mati

kadang memang cinta yang terbagi
kadang memang
seringkali mimpi tak terpenuhi
seringkali

tetap semangat dan teguhkan hati di setiap hari
sampai nanti
tetap melangkah dan keraskan hati di setiap hari
sampai nanti sampai mati

sampai mati

Tuesday, June 09, 2009

Brown and Browny

Tanggal 8 Juni 2001, delapan tahun yang lalu aku melahirkan Albert. Pengalaman pertama yang excited bagi ibu muda seperti aku. Dia lahir dalam suasana sangat sibuk karena aku sedang dalam proyek pembuatan buku. Di puncak klimaks kesibukan. Aku ingat dengan perut membuncit masih memelototi komputer 6 - 7 jam tiap hari. Mengkoreksi setumpuk naskah, pontang-panting pinjem printer berwarna dan menggarap foto-foto. Untungnya aku 'ngebo', tidak pake ngidam, mabuk, muntah dll. Pokoke tak terasa susah. Cuma mungkin kurang gizi, kebanyakan pikiran, dalam masa kehamilan itu dua kali aku pingsan, hah memalukan pokoknya. Perut sangat besar dan digotong entah siapa dan berapa orang.
Saat proses melahirkan sangat mendebarkan, menyeramkan. Dan laammmaaaa...lebih dari yang dijadwalkan. Selain umur janin sudah lebih dari waktunya (sudah diancam Dr. Idris kalau seminggu lagi gak keluar akan dioperasi) juga saat melahirkannya, bayinya nyantol, hehehe...tidak mau keluar. Aku kurang tenaga, kurang energi.
"Ngantuk, suster. Aku mau tidur." Gitu aku bilang beberapa di sela-sela proses melahirkan. Rasanya capek, ngantuk, malas, hanya ingin tidur. Hasilnya aku digebukin eh ditamparin dicubitin para suster, dibikinin teh dan diinfus. Diteriakin beramai-ramai gak boleh tidur. "Kalau kamu tidur tadi pasti gak bangun lagi," gitu kata suster Irma. "Kamu ini pasti gak pernah kerja pas hamil." Tentu saja aku protes, la kemarin aja aku masih ngantor. "Maksudnya bergerak, tidak kerja duduk saja." Ooo, ya memang.
Albert adalah bayi paling cantik sedunia. Kulitnya bersih putih, berat 3,35 kg dan panjang 49 cim. Kepalanya panjang akibat aku berhenti mengejan, tapi pulih setelah 24 jam tanpa diangkat. Aku tertawa berlinangan air mata saat badannya yang mungil ditaruh diatas dadaku sembari dipotong tali pusarnya. Segala sakit hilang blas.
Nah, bayi cantik itu sekarang sudah 8 tahun.
"Aku 9 tahun, ibu. Tidak mungkin sebesar aku masih 8 tahun. Teman-temanku saja yang kecil sudah 9 tahun." Sepanjang hari kami berdebat soal itu sampai akhirnya aku menyerah. Ya sudah, selamat ulang tahun ke 9. Tapi buktikan kalau memang sudah sebesar itu. Gak papa umur 9 tahun berlaku untuk 2 tahun.
Brown dan Browny? Ohya, hampir lupa. Mereka berdua adalah kado ultah untuk Albert. Sepasang burung merpati. Anakku ini memang...entahlah, yang diminta selalu yang aneh-aneh. Tahun lalu minta ayam,"Gak usah dirayain, bu. Uangnya untuk beli ayam saja, dipelihara." Tahun ini dia minta sepasang merpati yang bisa di'klepek'. Sesorean aku dan dia keliling Bandarlampung mencari merpati. Dapat di pojok Pasar Bawah dengan harga 85 ribu sepasang, berwarna coklat, kehitaman. Dia beri nama Brown dan Browny.

Thursday, June 04, 2009

Panggung Pertunjukan

Aku ingat dari kecil aku suka melihat pertunjukan. Di lapangan dekat rumah Kediri, setiap ada ludruk atau ketoprak pasti aku akan merengek minta nonton. Apalagi kalau yang main Wijayakusuma, Siswobudoyo, Kartolo dll. Harus minimal satu atau dua kali nonton. Tidak bisa tiap hari, karena harus belajar, jatah duit terbatas, gak ada yang bisa menemani dan berbagai alasan dari bapak ibu. Maka bapak dan ibu akan memilihkan kira-kira hari apa bisa menonton bersama. Judul yang mana yang akan main seperti Jaka Tarub, Anglingdarma, Sam Pek - Ing Tay, Lutung Kasarung, Tuyul dan Mbak Yul eh bukan ya...
Nah intinya aku akan terpesona berat memandang panggung pertunjukan. Aku suka yang terang gemerlap bercahaya. Jadi ingat kalau bapak ibu sering cerita kalau aku suka melihat pelaminan kalau diajak kondangan pernikahan. Ada fotoku usia 2 atau 3 tahun digendong bapak yang membuktikan cerita itu. Dalam gendongan bapak, dengan mata sembabku habis nangis karena kata ibu sebenarnya mereka malu mengantar aku dekat pelaminan yang didatangi ratusan tamu apalagi tamu terhormat, namun berbinar melihat yang gemerlap. Karena aku maksa nangis gak berhenti-henti maka bapak menggendong aku untuk maju dekat pelaminan melihat janur, bunga, lampu dll, dan seorang teman bapak mengabadikan peristiwa itu.
Hingga remaja saat aku yang introvert pendiam, pun bisa terpana berjam-jam melihat panggung gemerlap. Ludruk dan ketoprak sudah semakin jarang, tapi ada panggung-panggung lain. Semakin banyak jenisnya dengan bertambahnya usia dan pengalamanku.
Saat ini pun aku masih suka melihat panggung pertunjukan. Tempat yang lampunya kelap-kelip kadang menyala kadang gelap dengan frekwensi dan jeda yang tidak tentu. Dengan benda-benda penghias di situ dan juga orang-orang yang bergerak kesana kemari dengan irama dan suara yang sudah ditata. Sesekali terwakili pada film-film, drama, teater, konser dsb.

Ada satu panggung yang sekarang ini sedang aku lihat. Panggung kelabu tak ketahuan warnanya karena cahaya sedang diredupkan. Beberapa benda mati kaku gagu di beberapa sudut. Dan tokoh yang di tengah panggung adalah...diriku sendiri. Hilir mudik memenuhi panggung dengan segala suara. Dan satu-satunya penonton adalah...diriku sendiri. Duduk terpaku diam menahan kecewa karena sangat buruknya pertunjukan.

Friday, May 15, 2009

Kelabu

Banyak kali aku merasakan kelabu, karena aku memang manusia kelabu. Tapi setiap kali sedang mengalaminya aku benar-benar...kelabu. Tanpa tangis di pelupuk terlihat tapi perih di dada, tepat di inti hatiku. Kelabu.

Conspiracy (5)

(Kisah sebelumnya.)
Aku adalah seorang putri. Seorang lady. Seorang ratu. Yang berkuasa atas tanah-tanah mimpi, pulau-pulau puisi, dan samudera seni. Aku berkuasa atas kaki langit dan puncak gunung. Dalam gaun perak aku bisa bergerak ke segala arah dengan kereta tujuh kuda. Kuda-kuda yang bersayap. Yang berwarna-warni.
Istanaku adalah segala manik perhiasan pecahan bintang yang diambil dari kantong-kantong bidadari. Hangat tanpa punya musim dingin beku. Bahkan hujan adalah keindahan.
Aku mempunyai laskar berlaksa berjuta yang mengabdi penuh dengan kepala tunduk hanya padaku. Mengurut jemariku mencipta nyanyian asmaradana, membimbing bibirku berteriak kegairahan, dan menyiram rambutku dengan minyak rindu.
Akulah penguasa seluruh alam dengan bala tentara air, tanah, api dan udara. Aku penguasa segala itu. Dan kini permintaanku cuma satu : Aku mau Dew!
...
Entah berapa kali Brain memimpin rapat-rapat itu. Aku sengaja menyisih di pojok tamanku, tidak mau bergabung dengan mereka. Laporan Brain aku tanggapi dengan kemarahan tidak sabar. Senyuman Heart aku masukkan ke keranjang sampah. Aku tidak butuh segala remahan itu. Aku mau kaki yang melangkah dan tangan yang bekerja.
"Putri, mereka berkianat..." Suara bisikan seperti siul di telinga. Itu angin, yang jutaan anak-anaknya diberi makan dan tidur di istanaku.
"Putri, mereka berkianat..." Siulan yang sama. Aku mengibaskan tanganku menyuruh mereka pergi. Mereka tidak punya telinga, tidak mungkin aku ajak bicara. Dan darimana bisa menuduh para panglimaku berkianat kalau mereka tidak punya telinga.
"Putri, mereka berkianat..." .... (Bersambung)

Wednesday, May 13, 2009

Gunung tanpa puisi

Gunung tanpa puisi? Itu tidak mungkin. Kaki-kaki gunung pun berpijak pada jutaan puisi, apalagi lereng dan puncaknya. Gunung selalu penuh puisi. Pasti!

Tuesday, May 12, 2009

Gunung Tanggamus


Kerinduan akan gunung terobati pada Gunung Tanggamus. Gunung setinggi 2.400-an m dpl ini terletak di Kabupaten Tanggamus, sekitar 80 km dari Kota Bandarlampung. Sebelum berangkat sudah ada beberapa cerita dari gunung ini. Selain merupakan gunung tertinggi kedua di Lampung, juga menjadi peternakan 'pacet', hiii...
Tapi okey saja, siap untuk jalan. Naik bis dari Jl. Pramuka, siap berdesak-desakan dalam bis ekonomi. Pilihan ini (dibandingkan naik bis ac yang nyaman) tetap merupakan pilihan yang asyik untuk sebuah rombongan. Sekitar 2 jam, turun di Pasar Gisting. Jalan ke pos dadakan pertama, yaitu rumah Pak Yakup, bapak dari seorang rekan. Pak Yakup terbengong sekilas melihat rombongan tanpa kabar ini tapi kemudian menyuguhkan tahu goreng dan teh hangat. Uah, tepat nian untuk perut yang lapar.
Istirahat sebentar lalu lanjut. Rencana akan berkemah di base camp Sonokeling, sekitar 1 jam perjalanan dari ujung jalan aspal. Jalan langsung mendaki, kanan kiri kebun sayur, kol, kopi, ketela, dan juga suara sapi atau kambing. Beberapa menit sempat terpaku karena suara gemuruh disertai segala bunyi binatang dari segala penjuru. Ada apa? Petani yang melintas mengatakan ada angin puyuh yang sedang lewat. "Mboten udan, kok. Namung angin niku." (Tidak hujan kok. Hanya angin itu.) Tapi ya serem.
Base camp merupakan lereng yang keren, dekat mata air pula. Di ketinggian 700 m dpl ini, pemandangan cantik nian. Terasa nyaman. Dingin sih, tapi rasanya aku akan betah di tempat ini hingga beberapa minggu, atau bulan... Dan, ada gubuh Mbah Di di dekat situ. Mbah Di ini merupakan bapak dan mbah para pendaki Tanggamus. Setiap pendaki pasti mampir. (Tuh, fotoku di atas itu saat ngelesot di sofa lincak depan rumah mbah Di yang semilir usai pendakian. Yang samping ini seluruh rombongan ditambah yang motret usai sarapan di base camp.)
Sebagian barang dititip pada mbah Di yang memberi pesan,"Berapa orang yang ndaki? Dua belas? Agamamu apa? Agama apapun doa dulu sebelum dan selama perjalanan. Nanti jika sedang jalan ada yang merasa dipanggil cek jumlah rombongan, jika lengkap jangan menjawab. Sering ada kejadian orang kesasar kalau menjawab panggilan seperti itu. Ya, hati-hati."
Hemm, harus diikuti. Terimakasih, mbah.
Jalanan menanjak dengan kemiringan antara 20 - 45 derajat (beberapa tempat bahkan bisa 70 derajat), membuat nafas cepat tersengal. Hutan rimbun, tapi alamak...betul, peternakan pacet. Habis kaki diserap binatang pengisap darah ini. Geli, jijik, ilang dah... karena gak ada pilihan. Sekitar 3 jam perjalanan tiba di shelter, sekitar 1.900 m dpl. Agak landai dengan dua jalur air yang sejuk sedikit berlumut. Ah, ya sekitar situ memang biasa disebut hutan lumut, yang lembab dan berlumut tebal di pohon dan tanah. Bisa beristirahat, makan, ngisi cadangan air dan mesti siap-siap pada jalur sesudahnya yang semakin miring terjal. Diperkirakan sekitar 30-45 menit lagi sampai puncak.
Ah, mendadak cuaca sangat buruk hujan angin gelap, waduh. Jalan semakin merambat, dan akhirnya menyerah pada satu titik (Kata Titis tinggal 10 - 15 menit lagi puncaknya. Tapi dalam cuaca seperti itu sangat berbahaya jika pun berada di puncak. Tidak mungkin juga berkemah di situ.). Maka menahan kecewa, kami pun turun dengan sangat hati-hati karena licin dan sesekali membungkuk melepas pacet yang menempel di kaki, hingga berdarah-darah. Apalagi kalau tidak sengaja mencari pegangan pada rotan-rotan yang berderet sepanjang jalan, salah-salah kena durinya.
Tapi sungguh, gunung ini sangat keren. Suatu saat pasti datang lagi kesana. "Demi puncak!!!" Gitu kata Albert. Oh ya aku mendaki dengan Den Hendro dan anak-anak. Albert dan Bernard, menjadi kesayangan seluruh tim dan pemacu semangat mereka. Ya, mereka yang 6 dan 8 tahun itu bisa berjalan dengan riang gembira, bertanya ini itu, bernyanyi tanpa capek, sedang yang tua-tua sudah tersengal bahkan Wati turun lagi setelah satu tanjakan. Andi yang sudah pucat pun turun di tengah jalan didampingi Sinto. "Anak-anakmu jan potensial pendaki, mbak." Gitu Keling berkomentar. Titis dan Tri pun yang biasa mendaki gunung memberi aplus pada dua anak ini karena bisa mengikuti gerak langkah dengan kecepatan yang sama dengan mereka tanpa mengeluh. "Bernard ae bisa. Jadi aku pasti bisa," tandas Matea dalam jatuh bangun. Dan Bernard di depan terus berteriak,"Ayo terus, usaha. Tetap semangat." Dan mereka melaju terus sambil tengok kanan kirim kagum melihat alam, serta menikmati kebebasan semesta. Ya iya, boleh kotor, boleh teriak, boleh hujan-hujanan,...
Pasti, suatu saat kami akan merencanakan lagi pendakian seperti ini. Mungkin ke Gunung Tanggamus lagi, ke puncaknya. Atau Gunung Pesagi, Betung, Rajabasa,... ah masih banyak gunung di Lampung yang harus didaki. Pasti...

Friday, May 08, 2009

Menjelma Bidadari

Aku bisa menjelma menjadi bidadari. Sungguh. Seseorang telah memasangkan sepasang sayap kecil yang selalu berkilauan ketika digerakkan. Sayap yang sangat kecil, dan indah. Desisnya ketika aku kepakkan adalah nyanyian penyejuk. Dan sangat kuat! Heran juga ya, bagaimana sayap sekecil itu bisa mengangkat tubuh setengah kuintalku hingga melayang. Membawaku pada petualangan rasa. Aduhai... Dan membuatku melihat sisi-sisi keajaiban mimpi. Astaga...

Hari Menyenangkan

"Dua hari ini Albert senang sekali, bu."
"Oh, kenapa?" Aku melihat dia sekilas.
"Tidak tahu. Kenapa ya?"
"Lha kok malah tanya."
"Ya, pokoknya senang."
Aku memang lihat mood dia sangat bagus. Seolah-olah aku sudah mempunyai anak yang dewasa. Dia bertindak dengan sabar, sok mengerti dan itu tadi, dewasa.
Aku bisa menduga sikap ini muncul sejak hari Rabu kemarin, ketika aku mendapat surat panggilan untuk menghadap guru wali kelasnya. Tentu aku sangat kaget, apa yang sudah dibuat Albert sehingga aku mesti datang ke sekolahnya di ruang BP. Malam itu juga aku, bapake dan Albert duduk melingkar, serius. Surat itu aku pegang dan aku tanya ke dia, kira-kira kenapa aku harus datang ke sekolah. Dia mengatakan beberapa alasan yaitu satu karena tulisannya jelek. Dua, karena menulisnya lambat. Tiga, karena beberapa kali tidak mengumpulkan tugas. Empat,...
"Mungkin...karena nilai Albert yang terakhir jelek."
Aku berkerut mendengar itu. Lalu kami bertiga membahas bersama hal itu. Albert mengemukakan beberapa alasan dan kemudian juga menawarkan solusi sendiri. Itu yang sekarang ini kami kerjakan.
Albert anak cerdas, aku tahu itu. Bu Ety, gurunya pun mengakui. Nilainya bagus. Soal tulisan aku cukup maklum deh, dia memang minatnya berlari, main bola, naik sepeda...ketimbang duduk di meja belajar. Tapi dia punya jawaban yang cerdas dan juga alasan yang orisiinil...asli, kadang lebih dewasa ketimbang aku.
Besoknya aku bertemu Bu Ety, dan syukurlah kami bisa ngobrol secara santai. Beberapa hal yang kemukakan Albert itu sebagian betul, dan Bu Ety bersedia membantu. Dia juga menjanjikan untuk bicara serius juga dengan Albert empat mata.
Aku kira ketika anak diperlakukan secara dewasa, dia juga akan berbuat secara dewasa. Dan itu membuatnya senang.

Jadi Cover Majalah


Apa yang harus dirasa kalau wajah 'menceng' kayak gitu dimuat untuk sampul sebuah majalah? Seorang sahabat mengirim softcopy ini setelah majalahnya sendiri sudah aku simpan di satu pojok sejak beberapa bulan yang lalu. Kiriman ini mengingatkan aku kalau pernah jadi 'covergirl' dadakan. Ini salah satu dari koleksi topengku. Mau apa...

Saturday, May 02, 2009

Ibu Palsu

Hari buruh.
Setelah berhari-hari berbusa-busa menjadi provakator di banyak tempat banyak orang, hari ini aku tafakur, tunduk terdiam mengabadikan simbol.
Hari Buruh Internasional hanyalah moment menyematkan simbol.
Perjuangan buruh bukan pada hari ini.
Hari ini hanyalah lengkingan sekarat : mayday, mayday, mayday...
Semakin sayup, namun sempat aku abadikan : dalam doa jumatku dalam tulisanku dalam kameraku dalam ragaku dalam hatiku.

Rambutku aku babat cepak. Aku katakan pada semua orang,"Sebagai simbol penggundulan hak buruh!!" Pemanfaatan moment.
Di rumah anak-anakku protes.
"Ibu aneh deh." Kata Albert. Dia menatapku sambil melotot.
"Ini pasti ibu palsu." Kata Bernard sambil mengamat-amati wajahku. "Coba buka mulut, Bu. Coba bilang : aaaa... Nah, kan, beda. Ini ibu palsu, Mas!!! Pasti dia menyembunyikan ibu kita yang asli. Ayo kita lawan, Mas!!!" Dikeroyok dua cowok ini mana tahan.
Ampun deh.
Malam sebelum tidur, Bernard berkomentar lagi : "Bagus sih, Bu, tapi tidak cantik." Sambil mengelus-elus rambutku. Lalu lelap tak mau melihat cemberutku.
Pagi bangun tidur dia komentar lagi :"Cantik sih, Bu, tapi tidak bagus." Aduh...
Setelah aku suapi, dan aku bantu membereskan tasnya, aku laporkan komentar itu ke bapaknya buru-buru dia beri tanggapan baru. "Nggak, ah. Ibu salah dengar. Cantik, bagus." Terpaksa aku harus membenamkan bibirku ke seluruh wajahnya.
Aku tahu mereka sayang aku apapun bentuk rambutku. Tapi memang aku harus berusaha untuk menjadi 'ibu asli' bagi mereka berdua.

Wednesday, April 29, 2009

Conspiracy (4)

(Kisah sebelumnya.)
...
Aku berada di dalam hutan hujan. Sangat lebat dengan jarum-jarum air, yang sejuk persis mengenai permukaan kulit. Sungguh menyenangkan berada di tempat seperti ini. Semuanya terlihat basah, segar.
Sayang, rupanya tirai dari langit ini sering kali menutup pandangan mata sehingga tampak semua berselimutkan keabuan. Warna aslinya tertutup oleh garis-garis air yang kelewat lebat.
Sesekali aku berjalan meneduh. Di gubuk-gubuk buatanku sendiri ini tetap saja ada percik air, tapi dalam jarak pandangku menipis, hanya di sekitar dekat saja terlihat jelas. Kejauhan menjadid kegelapan yang tak ketahuan sedikitpun detailnya.
Aku tertawa lepas ketika aku mengenali sesosok rupawan di situ. Rupanya ada Dew di salah satu gubuk. Aku segera menghambur ke sana, ke dalam pelukannya yang kokoh. Hilang sudah basah kuyupku, berganti dengan cemerlang embun malam. Aku merasakan manis ketika lidahku menjilat seluruh tubuhnya. Membawaku pada sayap-sayap raksasa yang menerbangkanku pada nikmat candu yang luar biasa.
Kelegaan ini...tidak lama. Tiba-tiba sepasang tangan gelap menyergap Dew, membawanya pergi menembus langit gelap. Tak kelihatan apa-apa. Aku panik menjerit dan mencoba menggapainya. Tak ada Dew, yang ada hanya hujan, hutan hujan. Dan kegelapan!
...
Aku terbangun dengan badan basah kuyup berkeringat. Para dayang di sekitarku tertidur pulas. Di sekitar kaki mereka berserakan gelembung-gelembung mimpi yang masih mentah. Dan di seputar matanya bertebaran peri-peri tidur yang pekat. Sangat pulas. Hehm...kenapa para peri itu tidak melingkupi aku? Hehmm...
Mimpi yang barusan aku makan dari talam para dayang itu hasil ramuan tanganku sendiri. Persis seperti bagaimana otakku bekerja. Aku tidak suka situasi ini. Bagaimana aku tidak boleh mengeluh pada situasi seperti ini? Tidak satupun yang terjadi sesuai dengan yang aku inginkan. Tak ada satupun yang terjadi sesuai dengan harapanku. Aku tidak bisa memaksakan satu senyumpun ke udara.
Tak berniat bangun, namun aku berjingkat melewati para dayang itu. Silakan mereka bercinta dengan para peri tidur. Satu hal yang bisa aku lakukan adalah menyendiri. Dan pojok taman itu menjadi tempat yang tepat.
Memang tempat yang tepat... (bersambung)

Friday, April 24, 2009

Conspiracy (3)

(Kisah sebelumnya.)
"Para Gopi adalah sahabat kita. Mereka teman-teman terbaik yang kita punyai, Lady. Bagaimana bunga-bunga bisa mekar ketika mereka datang, Lady ingat? Bagaimana kupu-kupu menari di mata putri ketika mereka berdendang, Lady ingat? Bagaimana air menjadi sejuk dengan sentuhan tangan mereka, Lady ingat?"
Suara Princes of Heart seperti lagu sayup-sayup di telingaku. Aku merosot lemah.
"Hei, hei. Tegakkan badan Lady." Bisiknya kembali. Aku melirik pada Brain yang juga tengah melotot padaku. Aku tahu dia paling tidak suka jika aku hilang kendali, tapi memang betul, sekarang aku sedang hilang kendali. Aku mau Dew, aku mau dia. Aku menutup mata. Ketika aku membuka mata, Brain sudah ada di depanku, berlutut dengan mata yang tajam persis pada mataku.
"Hei, putri. Dengarlah. Terus terang, bagi kami tidak penting Dew atau apapun yang lain. Bagi kami yang penting adalah dirimu. Kamulah yang harus kami jaga supaya tetap hidup dalam keseimbangan, karena ketika kamu hidup kami juga akan hidup. Jadi mulailah kembali sebagai putri dengan akal sehat."
Hah, aku sangat marah. Bagaimana mungkin dia bicara begitu padaku? Jika aku yang dia anggap penting itu sangat memandang penting pada sesuatu, maka sesuatu itu juga harus penting baginya. Bagaimana mungkin dia bisa bicara begitu?
Aku tidak sudi melihat wajah Brain yang kaku di depanku. Princes of Heart membisikkan sesuatu ke Brain, lalu memandangku dengan senyumnya yang lembut.
"Istirahatlah, Lady. Biarkan kami membahas ini untukmu. Kali ini, percayalah penuh pada kami. Tidurlah..."
Bagaimana mungkin aku tidur? Brain ternyata tidak bisa dipercaya untuk tugas ini. Dan tidak ada yang bisa menghiburku, satupun.
"Sudahlah, Lady. Tidurlah. Aku akan minta para dayang menyiapkan mimpi-mimpi dalam talam. Mimpi yang digoreng renyah, dengan taburan segala rasa di atasnya, seperti kesukaanmu. Ketika kamu bangun nanti, semua akan baik-baik saja. Ayolah..." Tangannya membimbingku meninggalkan rapat dengan para panglima itu. Brain terlihat menahan diri, tapi satu sikunya mencoba menopangku supaya aku cepat berdiri. Namun aku tidak mau menoleh padanya. Sikapnya yang tidak bersahabat itu sulit aku terima.
"Kau akan menemani ku?" Bisikku.
"Iya, jangan kuatir. Tapi begitu kau terlelap dalam mimpi, biarlah aku digantikan para dayang itu. Mereka lebih pintar meramu mimpi. Lady tinggal menggumamkan aku saja lewat tidur, pasti mereka sudah paham apa yang harus mereka hidangkan padamu."
"Tapi mereka kadang usil."
"Itu karena Lady sendiri usil menggumam yang aneh-aneh."
Princes of Heart menemaniku hingga tempat tidur, mengipas badanku dengan tubuhnya yang subur hangat, dan mengusap-ngusap mataku hingga terlelap. Aku siap bermimpi... (bersambung)

Thursday, April 23, 2009

Conspiracy (2)

(Kisah sebelumnya.)
Nafas panjang membawaku pada kenangan beberapa lingkaran purnama yang pernah menghiasi mahkotaku. Sungguh, aku rindu Dew. Dia memiliki cawan-cawan yang ranum, ditawarkan padaku, untuk ku hirup. Menjadi penyegar bagi dahaga sepanjang pagi, siang dan malam. Dia memiliki wajah rupawan yang rela hati dipajang di pigura malamku.
"Hanya malam?" Pernah dia bertanya begitu. Aku tahu bahwa dia tahu persis tak akan mungkin hidup di siang istana dan taman sariku. Dia hanya bisa bertahan pada malam. Aku terjingkat mengingat hal itu. Apakah dia mungkin sakit hati karena tidak pernah aku junjung pada siang atau aku sapa pada pagi hari? Karena itu dia pergi?
Aku ingat pada suaranya, yang merayu mendayu minta dipuja. Dan aku memujanya.
"Tapi tak akan membasahimu, hem?" Dia merajuk. Ya, tentu. Hanya setetes kerling, tapi keindahannya mematri seluruh tubuhku. Ah, dia tidak percaya. Apa mungkin dia sudah bosan tidak percaya sehingga dia pergi?
Aku kibaskan dua pemikiran itu. Aku lebih suka membayangkan dia diculik. Iya! Pada satu malam yang lalai, ia telah diculik oleh rombongan Gopi, yang memang sering mampir di istanaku. Iya! Kenapa aku tidak berpikir itu dari tadi.
"Ini pekerjaan para Gopi!" Aku berteriak nyata di tengah lamunan. Brain dan para panglima yang sedang rapat itu menoleh cepat padaku.
"Ini pekerjaan para Gopi!" Aku berteriak lagi. Brain tidak menggeleng dan tidak mengangguk. Menoleh pada panglimaku yang paling lembut, Princes of Heart, yang langsung meludahkan senyum dan berjalan padaku.
"Betul! Ayolah, kalian harus percaya! Para Gopi yang telah menculik Dew. Kasihan dia!" Princes of Heart memegang kedua mataku, hingga mengalir gerimis di ujung-ujungnya.
"Kasihan dia. Kalian harus selamatkan dia. Selamatkan dari para Gopi..." Kini aku benar-benar menangis.
"Lady, tenanglah..." Katanya yang lembut malah membuatku semakin kencang menangis. Aku merasakan penderitaan yang teramat dalam. Dew, kau tidak apa-apa kan? Aku tidak tahan membayangkan Dew tidak selamat di tangan para Gopi.
"Lady, tenanglah..." Kali ini aku sudah dalam pelukan Princes of Heart, menekanku hingga aku tidak bisa lagi bicara. Aku tahu, saat seperti ini biasanya memberikan kelegaan yang rumit, ah, mungkin bukan lega, karena aku juga merasakan sakit... sangat sakit.
Tapi, baiklah, aku pasrah pada rangkulan ini. Tangan Heart menggerus, meremas seluruh wajahku, melumatkanku dalam air mata... (bersambung)

Thursday, April 16, 2009

Conspiracy (1)

Rapat akbar kali ini aku tidak sabar menunggu para panglimaku mengumpulkan pasukannya masing-masing. Aku sangat heran pada kelambanan mereka.
"Maafkan, putri. Kami justru lebih cepat dari biasanya datang menghadapmu." Bisik Princes of Eyes, di pelipisku. Aku cemberut melotot padanya. Dia mundur dalam kedipan kelopakku.
Butuh beberapa menit hingga aku bisa menata nafas dan mereka menata barisannya dengan sadar. Protokol Brain melangkah pelan, rapi seperti biasanya, tepat di depan pandangan mataku. Membuka manuskrip hasil coretanku semalam. Aku meyakinkan diri bahwa semua sudah aku ungkap padanya, dan aku berharap dia merapikannya seperti biasa dengan bahasa yang mampu dipahami oleh semua pasukan dari panglima dan kroconya, yang aku maklumi ketika sering salah.
"Kali ini aku tidak mau salah!" Teriakku tanpa komando. Brain menatapku tidak senang. Memandang belatinya aku berupaya sekuat tenaga untuk tenang. Bagi Brain, walau aku seorang putri, justru aku seorang putri, aku harus menjaga sikap, apalagi di depan para pasukan ini. Aku mengeraskan tapak kakiku dan menarik tafas panjang, menahan diri.
Brain mendehem sedikit, batuk tanpa sakit yang sudah aku kenal sedari aku bayi. Deheman yang mengajar aku mulai dari dini.
"Putri mengucapkan terimakasih karena kehadiran semua. Selamat datang dalam kelengkapan rapat akbar ini." Kali ini aku benci basa basi ini. Cepatlah, Brain, langsung saja.
Sekilas Brain menatap cemberutku. Saat itu manuskrip sudah terbuka sempurna.
"Ada satu rencana yang harus kita bagi dalam tugas-tugas. Masing-masing panglima akan mendapat detailnya usai saya jabarkan rencana ini." Ini sangat serius Brain, jangan terlalu lama!
"Mengambil kembali Knight of Night Dew." Huh, aku menarik nafas membuang rasa sebalku. Bagaimana aku bisa dikelilingi makluk-makluk seperti ini. Aku tidak sabar.
Terompet berbunyi dengan kode khusus dari Brain yang sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya. Sekejab lima panglima berjalan tegap ke hadapan Brain, dan satu panglima lagi berjalan dengan kelembutannya. Ah, untuk yang satu ini aku hanya bisa tersenyum. Selalu tersenyum padanya. Tapi, oh, mau tidak mau aku harus percaya pada lima eh enam panglima ini.
Brain memimpin rapat kecil itu, dengan bisik yang bahkan aku tidak mendengarnya. Aku tidak punya energi lebih untuk berjalan ke arah mereka, jadi aku mempercayakannya saja pada mereka bertujuh. Sudah banyak yang mereka lakukan untukku, kali juga akan begitu. Aku menarik nafas panjang kembali... (Bersambung)

Salah Satu Saja

Hari Kamis seperti biasa adalah hari yang sibuk. Makanan empat sehat lima sempurna mesti siap untuk bekal anak-anak ke sekolah. Dan setiap hari selalu seperti biasa, bangun pagi pukul 5.30 atau 6.00 sudah menjadi prestasi bagiku. Masak bobor pakis, goreng tahu. Rencana bikin dadar jagung dibatalkan. Gak keburu, jadi Mas Hendro pun turun tangan bikin telur dadar (telur dadar bikinan Den Hendro ni paten, tiada bandingnya). Masih ada sisa rawon kemarin sedikit, cukup untuk sarapan, plus kerupuk. Nah udah buru-buru begitu, si Bernard bikin perkara.
"Tidak mau makan kalau tidak pake mi!"
"Nard, ibu sudah masak. Nanti siapa yang makan?"
"Ibu saja yang makan!"
Wah, tandukku langsung keluar.
"Ya sudah kalau kalau gak mau makan. Mas Albert saja yang ibu suapi."
Dengan manis si abang duduk di depanku, dan manut makan dengan suapan besar. Sepiring penuh. Bapaknya berangkat duluan, dan aku masih mesti membereskan anak-anak ini. Urusan mandi pun mesti 'diskusi' dulu beberapa lama. Padahal, aduh anak-anakku, lihatlah jam itu. Sudah mepet.
Udah beres semua, mau berangkat, malah si Bernard nyletuk,"Kan aku belum makan, bu. Makan dulu." Nah, terpaksa aku jitak (tidak keras, tenang aja) dulu anak ini. Tapi kali ini dia manut, makan sepiring pake rawon dan telur. "Kan kalau terlalu sering makan mi bisa keriting kan, bu?" Hehm...aku tak mau menjawab. Albert yang menjawab,"Keriting otaknya, dik. Jadi gak pinter. Iya kan, bu?" Hehmm...aku tak mau menjawab juga.
"Ibu ini kok hehm, hehm terus. Ngomong dong bu."
"Hehmm..."
Mereka berdua pun sekongkol menggoyang kepalaku dan membuka mulutku.
"Sampe ngomong dik, goyang terus."
"Hehmmm..."
"Cium aja, mas. Lehernya. Biar geli."
Dan mereka berdua mengeroyok leherku hingga aku teriak-teriak kegelian. Ah, mereka ini...
Pura-pura marah aku berkacak pinggang.
"Cepat matiin tivi, ambil tas, dan keluar!" Berebut mereka baris dekat motor dengan wajah secerah bintang kejora. Tanpa dosa. Bertiga kami bikin tanda salib, dan ngebut...

Wednesday, April 15, 2009

Melayat

Ketika pagi datang dengan sebuah kabar duka, aku menanggapinya biasa saja.
"Pak Supri meninggal."
Guru SD yang tidak aku kenal itu meninggal. Imbasnya adalah anak-anak libur sekolah karena pasti semua guru di sekolah itu melayat. Maka satu tugasku untuk mengantar anak-anak ke sekolah akan terlewatkan.
Tiba di kantor tepat ketika Radio Suara Wajar menyiarkan berita duka itu. Aku ditanya oleh Pak Jaka hanya menjawab :"Gak kenal, Pak. Tapi dia guru di SD tempat anak-anak."
Dan aku nyelonong ke ruangan, membuka komputer. Berita duka itu muncul lagi di email dengan catatan lebih detail. "Telah meninggal Pak Agustinus Supriyanto, suami dari Bu Erni WKRI." Aku menyambar telepon kantor, menelepon Putri untuk memastikan dan ternyata memang benar. Pak Supri tidak sakit sama sekali, bahkan kemarin pun masih main badminton sebelum meninggal. Misteri kematian.
Ya, tentu saja aku kenal Bu Erni, ketua WKRI Daerah Lampung. Berapa kali aku pernah merepotkannya. Berapa kali pula aku pernah mengobrol dengannya. Dan banyak kali aku bersentuhan dengannya.
Maka aku geret Bejo untuk mengantar melayat, dan ikut berdesak-desakan dengan ratusan orang di rumah duka itu. Berdoa untuk Pak Supri, memeluk dan mencium Bu Erni.
"Aku turut dalam doa, Ibu." Bisikku pada wajah sembab itu dan kemudian langsung kembali ke kantor.
Ini berita duka yang kedua dalam minggu ini. Yang pertama Sr. Stefani, FSGM yang meninggal Jumat lalu. Lalu kedua Pak Supri hari Selasa malam. Mereka berada di yayasan yang sama. Kata seseorang kalau orang meninggal pada hari Jumat atau Selasa, mereka pasti akan ajak orang lain. Aku tidak percaya, dan sekarang ini, mungkinkah kebetulan?

Kasihan!

Marahku membukit pagi ini. Bagaimana mungkin seorang dirimu, yang perutnya sudah membuncit dan kacamata menebal, melempar seorang anak kecil dengan nasi basi? Aku sudah menaruh benteng itu ketika memutuskan untuk menapak jalan, tepat di sampingmu. Aku tahu dari mula kalau aku tidak akan dapat merubahmu menjadi kelinci atau kupu-kupu, dan aku tidak pernah berniat untuk itu.

Hari ini seorang anak menangis karena pedasnya katamu. Kemarin seorang bapak marah karena kakunya hatimu. Dulu seorang ibu mati karena tanpa ada senyummu. Bagaimana seorang dirimu bisa memperlakukan orang lain dengan kejahatan yang seperti itu? Apakah kamu tahu bahwa engkau sudah membunuh banyak jiwa?

Marahku membukit pagi ini. Aku bertahan menyebutmu teman. Uh, sangat manis rupanya diriku dengan senyumku pada tiap bulan padamu. Baik sekali aku dengan segala pembelaanku untukmu. Beriman sungguh aku membayangkan suatu saat aku melihatmu bisa menggandeng tanganku, tangannya, tangan mereka. Uh!

Dua hari ini sudah keterlaluan. Jika aku mau, aku sudah menamparmu beberapa masa yang lalu. Aku sanggup membunuhmu seperti mereka semua bisa menguburmu. Siapa kau dengan kepongahan seperti itu? Apa isi otak dan hatimu itu yang membuatmu hidup? Tidak, teman! Kasihan sungguh dirimu tidak tahu bahwa engkau hidup dariku, darinya, dari mereka. Yang sudah kau bunuh setiap kali.

Kasihan sekali dirimu!

Monday, April 13, 2009

Puisiku

puisiku adalah benang kata yang tersulam sebentuk jaring
rentetan bulir lem berlendir menggantung di setiap simpulnya
ada seruling penghias dengan nada-nada rayuan
mengajakku untuk membujukmu
memintaku untuk menggodamu
"wahai teman, marilah jatuh cinta"

maka deretan kerling mulai berantakan barisnya
berpendar tidak lagi pada aturan logika

ah, jangan salah teman!
aku pun hanya memompa kelenjar-kelenjar
sedang lendir-lendir itu,
yang kemudian menjadi benang kata
yang lalu lahir menjadi puisiku
bukan lagi urusanku
bahkan ketika mangsa-mangsa gemuk bergelantungan
bukan pula masalahku

"mari jatuh cinta"
itulah bahasa puisiku

Pacar

Ada banyak hal menarik jika bicara tentang Bernard. Entahlah bagaimana dia bisa menangkap kata-kata yang aneh bahkan di usianya yang masih sangat dini, belum juga 6 tahun.
"Aku tidak mau lagi dekat dengan orang yang huruf pertamanya Y!"
Teriaknya keras-keras kemarin. Gara-garanya dia memang sedang bosen, di rumah tanpa teman main. Albert tidur di tempat Billy, sehingga tidak ada yang meladeninya bermain atau berantem. Bapaknya pergi melayat. Aku dipaksanya memanggilkan bapaknya, tapi kan gak bisa. Maka jadilah yang gak logis kalau sudah begitu.
"Huruf Y yang mana, Nard?"
"Huruf Y yang belakangnya I!"
Lalu dia keluar kamar, aku dikuncinya. Wawak yang mencoba membukanya untukku malah kena semprot pula. Jadi sudahlah, aku diam-diam di kamar menunggu kemarahannya reda. Biasanya dia akan mepet-mepet kalau sudah capek marah. Nyaris tertidur ketika kemudian aku merasa ada yang basah di pipiku.
"Bangun, bu. Ada tamu." Aku langsung meloncat. Eeeh...tuyul itu malah tertawa-tawa. "Kena deh!"
Aduh, aku mangkel berat, dan aku gelitiki perutnya.
Habis itu dia sok dewasa menyuruhku duduk.
"Duduk deh, Bu. Bernard mau tanya."
Aku menurut saja. Mumpung saja marahnya sudah hilang. Dia duduk juga di depanku sambil memegang kedua pipiku. Matanya serius menatap mataku. (Dia sering bilang kalau di mataku ada dia. Hanya dia, kalau sedang duduk seperti itu.)
"Siapa pacar ibu?!" Gedubrak!!! Aku nyaris kejedut tembok.
"Ehmm,...siapa ya...Nard. Bapak kali?" Hehehe...aku jadi berdebar-debar. Jangan-jangan Bernard ini utusan surga yang tahu kalau aku punya sejuta kekasih, dan dengan dua tanganku aku selalu berusaha merangkul mereka semua dengan kecintaan yang bolong-bolong. Dan malaikat kecil ini sedang mengujiku. Aduh!
"Hanya bapak? Satu saja?"
Aku menelengkan kepala sedikit sambil menekan bibirku. Maunya apa sih bocah ini?
"Ibu tahu Emon?"
"Emon yang jual bakso?" Apa sih yang dipikirnya?
"Iya! Dia punya pacar lima."
"Ah, masa sih Nard. Kok tahu?"
"Dia bilang kemarin. Aku belum punya pacar. Tapi aku akan punya pacar yang buanyakkkk. Kayak Emon." Gedubrak!!!! Kali ini aku benar-benar kejedut tembok.

Sunday, April 12, 2009

Sinyal Tanpa Telepon

Suatu hari pernah menjadi hari yang ramai dengan sinyal-sinyal. Semrawut ke segala arah. Sinyal-sinyal itu mula-mula lahir dari pejumpaan-perjumpaan. Seperti pertemuan sperma dan sel telur sepasang monster, lalu lahirlah ribuan anak pinak. Dengan berbagai bentuk. Ketika sedang dalam perkembangan, sinyal itu menjulur mengulur mengkerut mengkerinyut, hingga satu titik menjadi dewasa dengan bentuk yang nyaris tetap. Tapi tetap dengan tubuh elastisnya memberi sentuhan pada tujuan-tujuan yang entahlah, kenapa selalu egois untuk kedalaman diri. Lalu sesekali mereka akan menampakkan wajah aslinya sebagai anak-anak monster. Menerkam tengkuk para terjerat, mengunyahnya dengan gigi-gigi taring dan merobek dadanya. Berhamburan hati para terjerat ini sehingga tak lagi bisa dikembalikan ke wujud semula. Karena robekan gigi sinyal pasti akan meninggalkan lubang-lubang, yang hanya dapat diisi kembali oleh keindahan kenangan. Dan keindahan harapan.
Pun sinyal seperti ini tetap hidup walaupun tanpa telepon. Pun begitu, telepon akan membantunya berkembang biak lebih cepat untuk menjadi monster yang ganas memabukkan. Dan meneruskan generasi-generasi berikutnya.

Friday, April 10, 2009

Pagi Mewah

Ada satu hal yang saya nikmati (aku merindukannya setiap kali) bahkan hingga kini. Bangun siang, gak perlu langsung bangun, dan meraba-raba sekitar bantal kalau-kalau ada buku yang tertinggal di sana. Jika ada buku di situ, berarti ada bacaan yang belum selesai aku baca. Lalu melanjutkan membaca tanpa peduli waktu akan mengalir ke jam berapa, tidak usah buru-buru. Biasanya sampai perut terasa lapar, lalu beranjak enggan untuk mencari sesuatu yang bisa dikunyah.
Ah, teman, kenikmatan seperti itu sangat langka di duniaku sekarang ini. (Dulu nyaris setiap pagi aku nikmati ketika aku kerja di Malang Post, hidup sendiri di kostan damai Mulyorejo. Gangguan hanya dari Pimredku, lewat pager.) Dunia pagiku sekarang adalah berisik terburu-buru. Dipenuhi rengekan atau teriakan atau tarikan. Bahkan kebisingan itu tidak akan selesai hingga kembali malam.
Sesekali aku bisa menikmati kemewahan pagi kembali ketika hari libur dan semua orang di rumah belum bangun. (Aku mesti membuat mereka semua tidur larut malam dengan segala cara supaya mereka bisa bangun lebih siang. Tapi sulit kan?) Atau saat aku tidak tidur di rumah karena suatu acara. (Tapi juga susah karena dalam kepergian semacam itu pasti ada agenda yang jelas dengan waktu yang jelas.)
Pagi ini aku mendapatkan pagi mewah itu lagi. Tapi tidak ada satu buku pun di sekitar bantalku. Tidak ada bacaan yang belum selesai. Semua buku sudah tertutup dan pembatasnya menempel pada sampul belakang.
Oh, please teman, kirimi aku buku. Yang tebal, yang tak kan selesai sampai tahun-tahun berlalu. Kisah apapun sodorkanlah padaku, supaya bisa aku baca ketika pagi yang mewah seperti itu aku dapatkan lagi.

Wednesday, April 08, 2009

Rainbow

Seseorang datang membawa pelangi dalam keranjang piknik. Dia menarik tangan dan mengajakku duduk bersama.

"Aku ingin..."

Aku terpana pada isi keranjangnya, tak mendengar apa yang dia bicarakan. Juga tak bisa bicara untuk menjawabnya karena aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Aku hanya memandang pelangi itu. Indah segala warna. Terbias bahkan ke relung dalam tubuhku.

"Kau boleh mencicipinya."

Aku memandang wajah penuh senyum itu tidak percaya. Bagaimana dia dengan rela hati menawarkan pelangi itu untuk dinikmati bersama? Tidakkah itu akan mengurangi bagiannya? Bukankah pelanginya sama sekali bukan hakku?

Pun aku ikut tersenyum. Tetap duduk di sampingnya sambil sesekali memegang tangannya. Dan kami sama-sama terkagum-kagum memandang pelangi di keranjang pikniknya. Tidak mencuilnya sedikitpun.

Monday, April 06, 2009

Palinten

Palinten menangis di pinggir jalan sepagi ini. Memerah kelabu pipinya yang tirus. Tangannya sibuk mengusap seluruh matanya yang tak henti membanjir.

"Jangan sedih, Palinten." Aku duduk di sampingnya. Mencoba meraih tubuhnya yang meliuk lemas, seolah harapan hanya ada di ruang rindu, jauh tak terjangkau.

Tanpa satu suara pun Palinten menyusut air yang sudah tumpah di rongga hidungnya. Menjadi nafas yang sesak.

"Jangan menangis, Palinten." Aku tahu aku tak kan bisa menghiburnya. Belasan tahun dia sudah hidup di jalan kota ini. Bersanding dengan segala debu dan kelabu.

Tanpa suara, Palinten menarik nafas panjang. Aku tersedot dalam kenangannya, belasan silam di pinggir sawah. Saat aku mencium bau lumpur langu di seluruh wajahnya yang segar penuh tawa. Dimana wajah yang itu, Palinten?

"Jangan... eh, Palinten." Aku terdiam. Tetap di sampingnya, menahan hidungku dari bau knalpot yang terus menguar, mencemari wajah Palinten. Aku tak kan sanggup menciumnya. Maafkan aku, Palinten.

Saturday, April 04, 2009

Handphone

HPku hilang ketika aku pulang dari Bogor tiga minggu yang lalu. Aku cukup sedih karena ada beberapa data di sana. Dan itu HP yang baru aku pakai 1 bulan.

Tiga minggu tanpa HP rupanya cukup nikmat. Aku bisa mengoptimalkan perjumpaan dengan orang-orang yang ada di sekitarku. Tidak ada lagi yang menyela berdering-dering ketika aku ngobrol dengan seseorang. Tidak ada yang mengganggu konsentrasi ketika aku mengedit tulisan-tulisan di depan komputer. Tidak ada yang memanggil-manggil ketika aku sedang berjalan-jalan. Pokoke santai blas.

Tapi juga cukup merepotkan tanpa HP. Beberapa kali aku langsung sendu karena tidak sadar mencari-cari benda itu karena sangat perlu penting menghubungi seseorang. Beberapa kali juga aku dimarah-marah oleh orang-orang yang perlu penting menghubungiku tapi hanya dapat suara : "Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif...bla, bla...."
Tenang saudara-saudari, nomor HPku aktif, tetap seperti dulu, sudah aku urus, bahkan akan aktif sampai 2010 nanti. Tapi HPnya memang belum aktif karena memang belum ada. Jadi sabarlah.

Aku hanya sedang menikmati masa tanpa HP ini seoptimal mungkin. Pasti suatu saat nanti akan bisa kembali dihubungi lewat HP, tapi aku memang tidak bisa menjanjikan kapan saat itu akan datang. Tunggu saja.

Friday, April 03, 2009

Silver Moon

Bulan perak di pagi hari. Aku lurus menghadap Timur dengan percakapan berderai-derai dalam hening yang ramai.

"Kapan kita bertemu lagi?" Aku bertanya.

"Untuk mengambil malam?"
Jawabnya, balik bertanya.

"Boleh. Bisa?" Masih dalam tanya aku menahan harapan.

"Usai purnama saja."


Aku tahu saat-saat purnama akan menyamakan semua perjumpaan. Tak bisa dibedakan apakah maya atau marca, jadi sama dalam sinar purnama.

"Itu masih sangat lama." Aku kecewa tapi juga pasrah karena itulah senyatanya jarak.

"Ya. Tapi sementara menunggu, lihatlah ke atas. Entah engkau dimana, pun aku dimana, kita bisa melihat bulan perak yang sama. Bahkan pantulan senyummu ku lihat di sana."


Aku melontarkan tawaku sekencang mungkin, ke arah bulan, yang akan memantulkannya ke arahmu. Engkau benar! Aku berharap engkau juga tertawa dalam lingkaran bulan perak pagi ini. Berbahagialah!

Tuesday, March 31, 2009

Taksi

Aku sedang rindu naik taksi. Aneh ya. Aku juga merasa agak aneh. Aku ingin duduk diam-diam di jok belakang taksi, entah kemanapun. Tidak usahlah berjam-jam cukup berapa menit saja, cukup dengan tagihan tigapuluh atau empatpuluh ribu.
Jok belakang taksi, aku ingat bisa menjadi ruang privat sebanding dengan sebuah kamar tidur, toilet atau ruang pengakuan. Tentu dengan gaya yang beda dengan ketiganya.
Tapi ada beberapa hal yang sama dalam empat tempat itu, maksudku ehm...jok belakang taksi, kamar tidur, toilet dan ruang pengakuan bisa menjadi tempat perjumpaan dengan sesuatu atau seseorang yang sama. Ah ya sepertinya sekarang ini sangat nikmat jika bisa berada di jok belakang taksi (Aku sedang tidak ingin di kamar tidur, toilet atau kamar pengakuan).

Monday, March 30, 2009

Via Dolorosa

Via dolorosa adalah jalan sengsara. Benarkah? Aku sedang mempertanyakannya. Tidak mungkin hanya diartikan seperti itu jika jalan ini menjadi jalan yang dipilih secara bebas oleh sebagian orang.

Seorang gembong gerombolan pejalan, anak tukang kayu, si gondrong yang aku puja setengah mati, yang awalnya memilih melalui jalan ini. Dia mengajakku berdansa dalam jalan penderitaan. Memintaku tertawa sukacita dalam sengsara. "Seperti itulah orang-orang yang berbahagia." Katanya lembut suatu ketika di bukit. Menderita, miskin dan sengsara jadi kriteria bahagia. Astaga, apapula ini.

Biasanya dia hanya ngakak kalau aku mempertanyakan kepadanya. "Cari dan temukan sendiri." Centil dia menggodaku sambil menunjukkan rekaman-rekaman jejak hidupnya dalam setumpuk file karya para muridnya, kalau-kalau aku mau menirunya.

"Aduh, berat. Mana mungkin aku bisa, sedang seluruh hidupku seringkali terpaksa?" Aih, aih, dia hanya memeluk cium lalu menegakkan punggungku (seringkali membongkok tanpa kusadar) dan menadahkan wajahku hingga lurus pada wajahnya. "Jangan takut." Bisiknya dalam bau pinus sejuk.

Lalu, biasanya dia mengajakku berjalan-jalan memperlihatkan dimana saja wajahnya bisa dilihat sewaktu-waktu, kapanpun aku rindu atau aku mau. Lorong-lorong yang tak mungkin kulupa, di jalan-jalan kota, di pematang pedesaan, di dekat hutan, di dekat sungai, di dekat laut, di pelosok jauh, di tumpukan sampah, di dalam pabrik, di penjara, rumah sakit, panti jompo, panti asuhan, rumah keluarga-keluarga, ...
Genggaman tangannya yang tak lepas membuatku tersenyum dalam basah air mata, terlebih ketika mendengar rayuannya. "Aku mengasihimu."
Aku sedang berusaha memahaminya, sabarlah.

Saturday, March 28, 2009

Cara Conteng Pemilu Legislatif 2009


Intinya, conteng satu kali pada satu partai atau pada satu nama. And kalau tahu yang paling benar gak usah deh memakai yang aneh-aneh apalagi digambar and dicoret. Gitu saudara-saudari. Mari pake hak kita dalam Pemilu dengan damai.

Friday, March 27, 2009

Bunga

"Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) sering kali berisi bunga. Di sejumlah negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun, seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan, baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia." Oleh Gede Prama, Kompas, Rabu, 25 Maret 2009

Aku ingat pada masa beliaku, satu cita-cita aku tusukkan di ubun-ubunku dengan bantuan sepasang tangan tua yang aku panggil Bapak. Yaitu bahwa dalam satu saat aku akan menjadi bunga matahari mekar. Bunga dengan kelopak-kelopak kuning mengitari calon-calon benih di wajahnya. Memelihara ratusan biji hidup itu hingga bunting bernas. Menjadi bunga matahari mekar yang seluruh geraknya adalah gerak matahari dari pagi hingga sore. Tunduk pada kehangatan matahari semata, tidak yang lain. Hingga suatu ketika, saat benih itu siap tertebar, kelopaknya boleh melayu. Tak lagi indah tapi kaya dengan butir-butir kehidupan yang siap hidup ke segala arah, melanjutkan keabadian.

(Sekarang? Walah, teman, wajahku senantiasa bopeng bertopeng. Tapi aku tahu bahwa aku akan selalu mengusahakan langkahku menuju saat itu. Saat aku menjadi bunga matahari mekar.)

Wednesday, March 25, 2009

Dunia Bulat Berlubang Milikku

Duniaku bulat utuh kekar. Dengan berkat selangit dari tumpangan tangan banyak orang. Di sekujur permukaannya adalah pori-pori terlihat atau tidak terlihat mata. Seperti lubang-lubang luka besar kecil. Sebagian ditutupi oleh orang-orang terdekat, setengah dekat dan tidak dekat. Sebagian lain masih menganga.

Tangan-tangan liarku sering menari di atas permukaan luka-luka itu. Perih, geli, penuh sensasi. Seorang sahabat mengingatkan,"Hati-hati, Yuli. Menari di permukaan luka mungkin menyenangkan. Tapi ketika sampai pada kedalaman luka, dapatkah kau menahan air mata?"

Duniaku bulat utuh kekar. Di sekujurnya penuh berlubang menghadap semua sisi yang gampang sekali kau temui, kapanpun.

Saturday, February 14, 2009

Cinta

Cinta sering menyamar menjadi apapun sesuka hatinya, betapa aku gemas melihatnya. Bayangkan, kemarin dia menjelma menjadi malam. Dengan jubah-jubahnya yang temaram dia menempelkan tubuhnya ke tubuhku. Bibirnya merayu mengajakku berdansa. Bagaimana aku bisa menolak? Aku mengikuti gerak tubuhnya, 22.00, 23.00, 24.00, dan seterusnya hingga dini hari aku menari bersamanya. Melekat pada liuk tubuh basahnya bermandi renjana.

Pagi ini cinta menjelma menjadi cawan. Dia menawarkan mawar dan coklat. "Ambillah nanti dari bibirku," janjinya. Aku meregang dalam asa,"Andai sekarang. Tidak bisakah?" Bisikku pelan-pelan takut mengganggu keheningannya. Aku haus minum dari bibirnya. Dia menegak mengokohkan dirinya dalam siku-siku yang tak terjangkau. Dan sejurus kemudian dia memelukku, kembali dalam rayuan,"Aku ingin. Aku berharap."

Cinta melenggang pergi ketika siang berlalu. Aku tersenyum menatap genggamanku sendiri yang terisi janjinya, bahwa dalam waktu dekat akan datang lagi. Jangan menghitung tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik. Aku hanya perlu tersenyum, karena aku pasti mengenalinya dalam penyamaran apapun yang dia kenakan.

(Aku ingin menyakinkan diriku : apapun adalah rahmat.)

Thursday, February 12, 2009

Hujan deras

Hujan deras mengguyur ladangku. Baunya menyengat kental menyertai genangan-genangan yang cepat terbentuk di sana-sini. Kecipak air akan segera terbentuk jika aku melangkahkan kaki di sana. Ah, teman, aku sangat menyukai ini. Air yang menciprat dari tumitku sangat indah. Jernih seperti taburan berlian berhamburan dalam setiap gerak. Dan cobalah ikuti tarianku! Air akan memercik dari seluruh sudut benturan air. Mencipta bentuk-bentuk segala warna segala rasa.

Memang aku kadang menjatuhkan diri di salah satu sudut. Tak bisa menahan diri jika pendarahanku tak juga berhenti. Rahim yang telah menebal selalu luruh dalam gumpalan-gumpalan asa. Sakit.

Basah kuyup aku dalam hujan deras yang mengguyur ladangku. Aku menangis dan tersenyum. Aku tersenyum dan menangis. Bagaimana harus kupindai ceceran embun malam? Bagaimana aku dapat merengkuhnya puas dan menyematkannya di dada?

Dalam hujan deras ini, aku rindu embun malamku.

Malaikat tanpa sayap

Ada malaikat-malaikat di sekitarku. Mereka membantuku jika aku memerlukannya. Kapanpun aku mau!

Aku bisa menarik tangan mereka, memintanya duduk di sebelahku dan menemaniku bekerja dengan segala dongeng dari bibir mereka yang terus tersenyum.

Aku bisa mengajak mereka dalam perjalananku ke berbagai tempat, ikut mengangkat beberapa barang yang aku perlukan bahkan menggendongku kalau aku menginginkannya.

Aku bisa melihat mereka menari dan bernyanyi, khusus untukku dengan gerakan tubuh mereka yang indah, yang sesekali menempelkannya hangat pada tubuhku.

Malaikat-malaikat itu membuatku bisa tersenyum apapun yang sedang terjadi padaku. Tangis dan tawa jadi hal yang biasa dalam rangkulan para malaikat itu.

Para malaikatku ini tidak bersayap. Hadir kasat mata lewat dirimu, dirinya dan siapapun, yang aku anggap sahabat atau yang menganggapku sahabat. Mungkin aku juga bisa menjadi malaikat bagimu, baginya dan siapapun.

Wednesday, February 11, 2009

Menanti Purnama

aku sedang merajut cadar
yang akan aku pakai saat purnama nanti
pesta bagi jiwa dan hatiku

yang rahasia biarlah tetap rahasia
tak kan kubiarkan mataku membukanya

aku sedang merajut cadar
untuk menutup mataku
yang pancarannya pun bukan kendaliku

yang rahasia biarlah tetap rahasia
pesta bagi jiwa dan hatiku
saat purnama nanti

Bakpia Pathok dan Segebok Cinta

Apakah ada hubungannya antara bakpia pathok Jogjakarta dan cinta? Tidak ada hubungannya, tapi jika diucapkan bersama-sama jadi lumer di mulut dan enak gurih jadi satu. Jika mau detailnya, tanya saja pada suamiku, Hendro tercinta. Karena dia yang melontarkan ide itu kemarin.

"Terimakasih Den Hendro atas segala pengertiannya. Semoga engkau tidak menyesal mempunyai istri sepertiku. Pasti akan aku bawakan bakpia pathok dan segebok cinta. Jangan kuatir."

Dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku ini istri yang baik. Aku tidak tahu dan tidak yakin akan hal itu. Yang pasti, aku tahu dan yakin bagaimana seorang perempuan harusnya berdiri dan bertindak.

Saturday, February 07, 2009

Duduk

Betapa inginnya aku duduk di sebelahmu. Sebentar saja... Untuk menyakinkan bahwa memang ada sesuatu antara aku dan kamu. Bahwa memang aku bisa sejajar setara denganmu. Bahwa memang aku bisa dekat denganmu.

Betapa inginnya aku duduk di sebelahmu. Sebentar saja...

Tapi setiap kali, aku hanya menelan ludah. Kamu selalu duduk di bagianmu sendiri. Kursi yang tak kan mungkin kusanding. Bahkan aku tidak mungkin duduk sederet denganmu. Deretan tempatku duduk jauh dari tempatmu.

Aku hanya bisa memandang tengkukmu dari belakang. Karena tak mungkin aku duduk di kursi sebelahmu. Deretanku bukan pada deretan kursimu. Aku tak mungkin sejajar setara denganmu karena aku tak mungkin bisa duduk di kursi sebelahmu.

Oh, teman. Betapa inginnya aku duduk di sebelahmu. Sebentar saja...

Itu hanya mungkin jika kau menggeser tempat dudukmu. Karena aku tidak mungkin duduk di deretan tempat duduk bagianmu. Tak ada bagianku di sana.

Itu hanya mungkin jika kau mau berdiri dan berpindah duduk di sebelahku. Karena deret tempat dudukku bisa untuk siapapun, terlebih dirimu. Ada bagianmu juga di situ.

Atau kau bisa memindahkan kursimu ke deretan kursiku.

Oh, teman. Betapa inginnya aku duduk di sebelahmu. Sebentar saja...

(Dan aku bisa memandang matamu sejajar dengan mataku. Dan meletakkan bibirku pada bibirmu pada garis lurus. Dan menyatukan kembali otaku dan otakmu yang tercerai berai. Dan kita bisa saling memeluk, walau sebentar saja...)

Friday, February 06, 2009

Topeng

Aku punya sebuah ruang koleksi yang spesial. Sewaktu-waktu aku akan datang kesana, dengan kunci perak yang aku punya. Mau tahu apa yang aku koleksi? TOPENG! Ya, ada banyak tak terhitung topeng yang aku koleksi di ruang itu. Semuanya tersimpan dalam rak-rak yang sangat mudah dijangkau. Aku atur topeng-topeng itu berderet sesuai karakter-karakternya. Misalnya di deret sebelah kiri dekat pintu ini, rak paling atas adalah topeng para putri dari berbagai kerajaan. Beberapa diantaranya terselip juga beberapa topeng raja. Beberapa topeng raja itu pernah aku pakai. Malah beberapa waktu yang lalu sering banget aku pakai. Memang enak menjadi raja. Deretan di bawahnya adalah topeng-topeng dengan wajah melankolis. Nah, sebagian diantaranya bahkan lengkap dengan titik-titik cerlang air mata. Wow, hebat pembuatnya memang. Sangat mirip dengan airmata asli. Bening dan berkilauan. Deret paling bawah adalah topeng-topeng badut. Lucu dengan beraneka bentuk wajah. Rak paling ujung saja juga penuh dengan topeng-topeng.
Ah, okeylah, aku tidak bisa bercerita tentang semua topeng yang beraneka ragam itu. (Ssst, bahkan ada topeng Power Ranger juga yang aku punya, atau yang spesial ada topeng Mdr. Theresa, atau bahkan ada topeng Madonna,...apa saja ada deh.) Aku cuma mau tunjukkan bahwa aku mengoleksi banyak topeng. Beberapa sering aku pakai dan sangat mudah diganti-ganti karena ruang koleksi topengku ini hanya di belakang punggungku. Tinggal berbalik, buka pintunya, raih topengnya, sudah bisa langsung di pasang di wajahku. Nah, silakan saja tebak sekarang topeng apa yang sedang aku pakai. Atau, bisa gak membedakan mana wajah asli dan mana topengku?

Wednesday, February 04, 2009

Meremas Jarak

jarak aku remas dalam genggaman
mengkerut dia di sela-sela jariku
sejauh apa rasa bisa dipisahkan oleh jarak?
tidak sejengkalpun,
karena jarak ada di sela-sela jariku

indera tidak lagi berguna dalam lautan hening ini
dia hanya pantulan wajah rasa, yang mengambang
sedang rasa, adalah kedalaman
sangat dalam di pori-pori hati
menutup lubang-lubang yang perlu diisi
hingga bulat penuh
hanya, rasa

jarak?
biarlah dia takluk dalam remasan jari-jari tanganku

Pijat

Semalam nenek tukang pijat dekat rumah akhirnya datang.
"Maaf. Lha nenek harus kemana-mana dinasnya. Itu pak Nur yang depan rumah saja belum kena tangan nenek juga." Karena ada tanda-tanda bahwa si nenek (sebenere belum terlalu tua, tapi memang sudah punya cucu.) akan pergi lagi, cepat-cepat aku tarik dia ke kamar. Kalau tidak nanti malah ditangkap orang lain.
Selanjutnya, wah nikmat sekali. Bayangin sendiri. Lepas baju semua, (baju dalam juga, hanya tinggal cd doang hehehe...pose pantai), dibaluri minyak sekujur tubuh oleh tangan trampil si nenek yang lembut tapi juga kuat. Mulai dari kaki hingga ke jari-jari, lalu sekujur punggung pundak leher, tangan...pokoke tak terkecuali semua kena sentuh si nenek.
Tahu nggak bonusnya? Si nenek tidak habis-habisnya bercerita tentang orang-orang yang aku kenal dan tidak aku kenal. Dengan cerita yang tidak aneh maupun yang aneh. Ngerumpi habis. Sesekali aku hanya nanggapi,"Masak sih, nek." Atau hanya berdehem dikit. Sesekali berteriak karena ngurutnya kadang terlalu keras. Gak usah mikir apa-apa, oh nikmatnya. 1,5 jam! Hebat si nenek. Hingga titik akhirpun dia masih semangat.
Usai itu badan rasanya sangat enak, lentur, siap tidur. Kapan-kapan mau lagi ya, nenek. Lain kali aku pesan cerita dongeng saja, tentang pangeran, putri, cinta, hidup bahagia selamanya,... atau tentang kancil, harimau, buaya...

Tuesday, February 03, 2009

Soneta Manggar Sutra

Rajutan awan sudah terburai sejak pagi itu
saat kakiku dan kakimu melangkah mengitari api suci
beberapa kali, dengan renteng bunga menyatu
tanpa satu bahasapun berniat mengingkari

Manggar sutra terentang antara mataku dan matamu
mengalungi kelopak-kelopak kita penuh daya
menjadi ikatan menghubungkan hasratku dan hasratmu
tiada samaran tepat untuk mengerudunginya

Melenggang lenggok kita berdansa di atas titian
yang bahkan tidak pada satu aliran sungai sama
memaksa tirai-tirai nyata berpadu dengan impian
seolah kita pemilik sah dari seluruh gerak semesta

Tertinggal di antara kaki kita, ceceran-ceceran tanya
yang semakin melangkah, semakin kehilangan tandanya

Saturday, January 31, 2009

Kesalahan Tanggal

Tolongg!!!
Aku baru sadar ada yang salah pada tanggal di blogku. Waktunya sedikit menyeleweng entah berapa jam sehingga seperti tulisanku terakhir itu bisa terpasang tanggal 30 Januari. Adakah yang bisa membantu? Aku sungguh katrok dalam hal ini. Dimana kesalahan yang sudah aku buat? Sebagai standar saja saat aku kirim postingan ini : Sabtu, 31 Januari 2009 pukul 13.15.

Janda

tiga jam baru lewat setelah suaminya berpulang
air mata tiada henti menjadi cuci bagi muka berduka
saat kudekap tubuh perempuan janda itu, tiada jiwa dalam raganya
air matanya berpindah ke pipiku
mengalir asin di ujung bibirku,"Aku ikut berduka."
hanya bisik tanpa arti bagi perempuan janda berduka
dia berjalan lengang mengiring jenasah
tiga jam baru lewat setelah suaminya berpulang

(Selamat jalan, Alkad. Aku mengenangmu yang sangat muda bersemangat. Sejak lahir di Bengkulu Selatan 1 September 1976 dulu, hingga mati 31 Januari 2009 pukul 10.00 tadi, jiwamu adalah jiwa tenang pelayanan. Aku ingat betapa sedihmu ketika nasib teman-teman berada di luar kendalimu yang sudah berjuang sekuat asa. Betapa senangmu ketika kesempatan hadir untuk melatih dan mendidikmu. Bagimu itulah ibadahmu. Selamat jalan.)

Thursday, January 29, 2009

El Crimen Del Padre Amaro

"Apa pendapatmu tentang cinta?"
"Cintalah yang menggerakkan dunia."
"Aku tidak tanya tentang itu. Tapi tentang kita."
"Hemh...aku, ehm... bagaimana ..., aku..."
"Tentang kita...?"
"Itu adalah rahmat, bagi kita berdua."
Tersenyum. Maka keduanya mencari tempat tersembunyi di balik kerudung mereka masing-masing. Untuk saling mencinta dan bercinta.

"Aku hamil."
"Tidak mungkin. Aku tidak mungkin... Kita tidak mungkin..."
"Aku hamil!"
"Aku akan mengantarmu ke tempat itu, tunggu hingga lahir dan kemudian ada yang mengadopsinya."
"Kamu menginginkan begitu?"
"Aku tidak yakin."
Menangis. Maka keduanya pergi ke tempat tersembunyi di balik kerudungnya masing-masing. Berdarah-darah...hingga mati dan penuh air mata.

(Ini kisah drama manusia. Mungkin juga ada di hadapanmu atau di sampingmu. Bahkan mungkin di belakangmu. Manusia... )

Tuesday, January 27, 2009

Mengejar Satu Nada

begitu susahnya menangkap satu nada
dengan telinga yang dipenuhi
cemburu

...

(Aku kira inilah untungnya atau ruginya, bahwa aku tidak bisa menuntut apa-apa dan aku juga tidak bisa dituntut apa-apa. Kapan-kapan aku akan mengejarnya lagi, dan aku berjanji akan dapat kutangkap satu nada, untukku pribadi.)

Mendayung Kenangan

(Tangan-tangan angin Bandung mengkristal dalam kenangan)

tidak ada yang penting selain cawan perjumpaan
aku dan kamu, selesai, tanpa menggunakan titik
seperti para pujangga pun koma adalah sebuah nada
yang membuat ragu dan takut hanyalah lubang tertinggal
tidak mengapa!

kini ada dua selendang di bahuku, yang satu pelangi
satunya lagi adalah matahari
keduanya kurenda dengan tangan-tangan angin
mengkristal dalam cangkir-cangkir kopi
mari bersulang!

Wednesday, January 21, 2009

Rindu

Aku...bolehkah rindu... pada satu ruang di sebuah kota asing yang pernah aku datangi sekali dulu. Saat itu aku datang dengan geliat rasa, meloncat begitu saja masuk dalam ruang itu. Ruang yang memelukku dalam kabut tebal.
Mataku tak melihat apapun kecuali hasrat. Sebuah sentuhan menyuruhku berbaring saja, menikmati ciuman-ciuman halimun yang semakin lama semakin menggugah rasa. Mendorongku untuk menggerakkan jari-jari menelusuri keinginan. Hanya menikmati saja.

Aku...bolehkah rindu... pada satu ruang di sebuah kota asing yang pernah aku datangi sekali dulu. Aku ingin merasakan lagi, buncahan rasa yang kemudian tertebar dalam seluruh inspirasi, dan meruap dalam seluruh bahasa.
Aku ingin mengulang lagi, cengkerama bersama pagi berkabut di ruang itu. Bersetubuh dengannya hingga bunting dan melahirkan deretan anak-anak kata. Yang bisa aku atur berjajar, bergerombol. Mungkin juga yang tak bisa aku atur, terserah saja.

Aku...bolehkah rindu... pada satu ruang di sebuah kota asing yang pernah aku datangi sekali dulu. Bolehkah?

Tuesday, January 20, 2009

Tukang Sayur

Semenjak Pasar Pasirgintung direnovasi, aku sangat jarang ke pasar. Kalau tidak perlu sekali atau lagi stress, aku tidak ke pasar. Dalam tahun ini sama sekali tidak pernah. Ah, ya, memang dulu-dulu juga kalau ke pasar tujuan utamaku bukan belanja. Soalnya, aku tidak pintar menawar. Seringkali kalau aku beli sesuatu di pasar harganya jauh lebih mahal daripada orang lain. Aku sering jadi olok-olokan tetangga gara-gara ini.
"Itu harganya cuma 5000, Tante. Kok gak ditawar sih..."
Perasaan sih aku sudah menawar. Nah, kalau harga suatu barang ditawarkan 20.000, lalu aku menawar 15.000 langsung diberikan, bagiku kan sudah sangat murah. Ternyata, trik kalau belanja di pasar sini ini, tawar harga 30 %nya. Waduh, mana tega. Maka, biasanya aku ke pasar jika ingin melihat-lihat, jalan-jalan, atau keperluan lain yang tidak terlalu penting. Untuk belanja harian lebih baik ke tukang sayur.
Terkait tukang sayur langganan, yang tiap jam 7 pagi berhenti di depan rumah, banyak hal yang unik asyik. Jika datang, orang pasti sudah tahu dari bunyi motornya yang berisik dan teriakannya,"Ibu-ibu, sahur-sahur, eh sayur...!!!"
Para ibu pun menggerombol dan dia akan kegeeran karena dikerubuti para ibu muda yang seksi bahenol berdaster, n sebagian pasti belum mandi. Dia dengan santai menyapa para ibu ini dengan panggilan khas,"Tidak boleh, yang. Dari pasar harganya sudah sebelas, lha kalo aku kasih sepuluh nanti yang di rumah makan apa. Ikan itu aja, sayang, lebih murah." Kebiasaannya memanggil para ibu dengan sebutan,"Sayang." , ini diteruskan juga olehnya walau sudah berapa kali kena masalah karenanya. Khususnya orang-orang baru, masalah dengan tukang sayur ini bisa muncul gara-gara panggilan sapaan ini. Pasalnya banyak suami-suami yang cemburu. Lah...gitu.
Enaknya belanja di tukang sayur ini adalah karena dia murah hati. Kalau ada timun tinggal sebiji ya sudah, dengan iklas diberikan. Beli lombok bisa dapat setumpuk dengannya. Bonus-bonus kecil gitu kan disukai para ibu, walaupun kadang dikibuli juga sama dia karena para ibu kuper gak tahu harga pasar. Enaknya lagi, dia bawa HP standby terus. Jadi kita bisa pesan bahan-bahan tertentu jika ragu-ragu saat tiba di depan rumah sudah habis. Jika mau ada resep khusus pun gak perlu repot. Tinggal SMS saja malam harinya. Dia pasti mau membelikan bahan-bahan yang di luar kebiasaan. Bahkan kalau jumlahnya banyak dia akan secara khusus mengantarnya karena gak muat di gerobaknya.
Pokoknya tiada hari ceria tanpa tukang sayur ini. La wong dia mau saja jadi tempat curhat para ibu. Biasa terjadi saat rame orang belanja, tiba-tiba ada panggilan lewat HPnya. Bermenit-menit dia ngobrol dengan seseorang. Dan mamang, eh, abang, eh, om, atau apa saja namanya (aku tidak tahu namanya. ya ampun. besok aku tanya deh siapa dia punya nama.) ini dengan santai akan meneruskan obrolannya padahal diledeki oleh para ibu sekompleks. "Biasa, fans..." Gitu kalau ditanya siapa.
Ah, perhatiannya bukan sebatas itu. Jika ada satu warga yang sakit, meninggal, dsb., dia pasti menyempatkan untuk menengok pada sore harinya, di luar jam kerja dan tentu saja dengan penampilan rapi jali harum wangi. Jika diledek dia pintar menjawab. "Iya, ini mau syuting, mampir dulu. Denger-denger kena demam berdarah, besok nitip jambu biji nggak?"
Nah, begitulah tukang sayur sabahat para ibu Perumahan Polri ini yang selalu dinanti, tiap pagi. Jika mau pesan belanjaan, kirim email saja ke aku, nanti aku SMS dia. Kalau aku pasang no HPnya di sini, bisa besar kepala dia karena mengira fansnya sudah melebar hingga seluruh dunia. Nah, gitu...

Monday, January 19, 2009

Promosi

Salah satu makanan kesukaan anak-anakku adalah sate ayam. Dan tempat favoritnya adalah sate Madura di dekat Bundaran Raden Intan. Sekali waktu, saya mengajak untuk makan di Way Halim, sate Madura juga, tapi mereka berdua tidak mau makan di situ.
"Kenapa sih Bert, Nard. Rasanya enak di sini. Ibu pernah makan di sini. Lebih enak dibanding yang dekat rumah."
"Nggak, aku maunya di sana saja."
"Aku juga." Yang kecil pun ikutan ngambek.
Okey, balik kucing, akhirnya kembali ke Bundaran. Sebenarnya tempatnya memang lebih dekat dengan rumah, ketimbang yang di Way Halim. Mereka berdua senyum-senyum saja setelah tiba di warung sate. Sambil menunggu sate dibakar, penjualnya ngobrol dengan Mas Hendro, pake bahasa Madura. (Gak aku mengerti sama sekali kecuali : "Tojuk dinak." (Duduk di sini.) Hehehe...) Istri penjualnya lalu menghampiri Albert dan Bernard. Mengulurkan dua tusuk sate. "Ini, dimakan, sambil nunggu." Mereka berdua duduk dan mengucapkan terimakasih lirih dengan manis, dan menikmati dua tusuk mereka. Ooo, ini rupanya.
"Jadi kalian suka disini karena dapat bonus ya?"
"Di tempat lain, kalau nunggu ya nunggu aja. Tidak ada yang ngasih sate. Disini selalu dikasih, ibu."
Aha, cara promosi yang tepat.
"Tapi ibu tidak dapat juga. Padahal ibu yang bayar." Aku pura-pura merengut di depan mereka.
"Ibu kan udah gedhe." Kali ini yang kecil yang menjawab sambil menjilat kecap di bibirnya.
"Apa hubungannya, Nard?" Mereka berdua terlalu asyik dengan dua tusuk sate, tidak mau pikir lebih panjang pertanyaanku. Dan dalam hati aku memuji penjual sate ini. Promosi yang bagus dan konkret mengena.

Sunday, January 18, 2009

Sariawan

Bangun pagi (sebetulnya tidak terlalu pagi, sudah jam 7 lewat) karena Bernad menyuruk diantara aku dan bapaknya. Tangannya dingin basah memegang pipi dan tanganku. Pasti dia sudah kena air.
"Dari mana?" Bisikku setengah malas membuka mata.
"Dari pipis. Aku juara satu bangun." Suaranya agak aneh, dengan bibir yang tidak terbuka saat bicara. Albert masih tidur. Hari minggu yang sungguh malas.
"Memang kenapa mulut Enad?" Aku pegang pipinya.
"Nanti belikan obat ya, bu. Sariawan." Oh, pantes. Lalu aku minta dia membuka mulut bau liur belum mandi itu. Ada bintik putih di dekat gusinya. "Sakit."
Aku tidak terlalu kuatir. Obat bagi sariawan adalah 'perut yang enak'. Maka aku meloncat bangun untuk masak nasi, goreng ikan tongkol, bikin sayur asem, sambel terong (ini untuk yang dewasa). Setengah jam kemudian menyuapi Bernard. Nah, dia bisa membuka mulut lebar-lebar. Sepiring penuh habis. Ini beruntungnya punya anak-anak seperti Albert dan Bernard. Walau sakit, selera makan mereka masih ok, sehingga jarang sakit dalam waktu lama. Pokoke masih mau makan, urusan penyakit masih tidak terlalu mengkuatirkan.
Usai minum, mandi, Bernard sudah lari main dengan Roby dan Afif. Dia sudah lupa pada sariawannya... Tapi aku janji abis kerja lembur di hari Minggu ini akan membawakannya 'obat sariawan'. Yang bisa membuat perutnya enak, tentu saja...

Saturday, January 17, 2009

Rayuan

Semalam aku tidak mau menggaruk punggung Albert. (Ini kebiasaan anak-anakku sebelum tidur, yaitu digaruk atau digosok punggungnya sampai mereka terlelap.) Dia protes berat awalnya, tapi aku menjelaskan dengan penekanan soal hak dan kewajiban.
"Kalau Mas Albert tidak mau menjalankan kewajiban, maka tidak akan mendapatkan hak." Matanya melotot padaku tidak terima. Tapi dia menghentikan protesnya karena memang dia tidak mau membereskan mainannya sejam yang lalu, malah berantem dengan adiknya soal siapa yang seharusnya membereskan mainan-mainan itu. Dan dia sudah terlanjur janji dengan pongah tidak akan minta apapun pada aku, ibunya, yang sudah membereskan mainannya (sambil mengoceh).
Beberapa menit kemudian dia merapat padaku yang sedang berbaring, berSMS dengan seorang teman. Tubuhnya dilengketkan padaku.
"Ibu tidak mau dekat-dekat dengan Mas Albert. Sana tidur saja."
Dia pura-pura tidak mendengar, tapi malah melingkarkan tangannya pada pinggangku.
"Kalau ibu bergeser, Albert akan tetep lengket."
Dan itu memang dibuktikannya. Dia ikut kemanapun aku pergi. Memegang bagian manapun dari tubuhku yang bisa dipegangnya. Aku berdiri dia pun berdiri, kalau aku duduk dia duduk. Aku berbaring dia ikut merapat di punggungku.
"Sudahlah, Bert. Tidurlah. Ibu tidak mau menggaruk punggungmu."
"Mas Albert tidak mau tidur kok. Cuma mau dekat-dekat ibu."
Matanya yang memerah tentu lebih jujur. Dan adiknya sudah lelap dari awal ke alam mimpi.
Kemudian dia bercerita tentang mimpinya semalam. Lalu tentang rumah temannya si Yogi. Dia bercerita juga tentang kalender, tentang Uti, tentang surat dari sekolahnya...
"Tahu gak ibu kalau..."
"Kenapa sih bu..."
"Siapa bu..."
Celotehnya tidak berhenti mencoba mengambil hati. Aku pura-pura jual mahal.
"Ibu lagi pengin sendiri, Bert. Jangan ganggu."
Dia pun cerita lebih semangat. Dia bertanya tentang segala macam, bahkan yang aneh-aneh. Mau tidak mau aku melunak. Aku berbaring dekat bantalnya. Dia mengikuti dan kemudian dengan wajah manis tanpa dosa, berdoa, entah apa. (Dulu aku pernah tanya dia berdoa apa kalau malam sebelum tidur. Dia bilang,"Itu rahasia. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.")
Begitu dia berbaring, aku menyusupkan jariku ke dalam bajunya, menggerakkan tanganku ke punggungnya, dan tidak sampai pada garukan ke 10, tidak ada lagi suara dari mulutnya. Yang ada adalah desisan pulas, dan puas, karena dia sudah mendapat apa yang dia maui.
Aku mencium pipinya yang bau buah pepaya. (Pasti dia tidak cuci muka tadi setelah makan pepaya hasil kebun.) Menutup pintu kamar pelan, lalu ngelesot depan TV, nonton Godbless di MetroTV.
Ah, selamat malam anak-anakku. Mimpilah kalian dalam lelap. Malam-malam ibu masih panjang.

Friday, January 16, 2009

Apa embun bisa membasahimu?

"Apa embun bisa membasahimu?"

Duduk sebentar, teman. Mari duduklah jika bertanya hal itu padaku. Lihatlah padaku sekarang ini dengan mata dan seluruh pancainderamu. Engkau lihat permukaan tubuhku, yang luas seluas seluas angkasa. Engkau lihat kedalaman tubuhku, yang dalam sedalam cakrawala.

Duduklah dulu, teman. Mari lihatlah pada embun di ujung daun penciumanku. Cair seluruhnya tubuh telanjangnya itu. Cemerlang berkilauan karena pantulan cahaya sekitarnya. Setitik beratnya menggayut kesejukan.

"Apa embun bisa membasahimu?"

Sabarlah, teman. Tetaplah duduk. Lihatlah! Aku dengan seluruh tubuhku punya hujan-hujan beraneka ragam yang membuatku basah hingga kuyup. Bisa setiap saat. Hujan-hujanku punya telinga yang peka pada panggilanku.

Sabar sebentar, teman. Lihatlah! Embun hanya membasahi satu satu titik dalam tubuhku, persis di tubuh rawanku. Dia datang tanpa aku panggil. Dan akan pergi tanpa aku suruh. Aku tak melihat apakah dia punya telinga atau tidak untuk menangkap panggilanku.

"Apa embun bisa membasahimu?"

Baiklah. Aku sudah basah karena hujan-hujanku. Menurutmu, apakah aku bisa lebih basah lagi oleh setetes embun? Bisakah aku membandingkan hujan dan embun? Maukah engkau merasakan apa bedanya hujan dan embun?

Baiklah. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi aku menawarkan padamu untuk datang melihat sendiri embun di tamanku, musim apapun. Bahkan bunga belum mekar pun akan lebih indah karena setetes embun. Percayalah!

Thursday, January 15, 2009

Bukan Superwoman

Seorang bapak datang. "Sungguh, ini diperlukan kerja keras. Tidak mungkin saya bisa melakukannya sendirian. Harus banyak orang dan diperlukan perempuan-perempuan yang sangat kuat untuk peran-peran tertentu. Dik Yuli bisa melakukannya."

Seorang ibu datang dengan anak bayinya. Bangga memeluknya. "Aku hampir saja kehilangan dia. Bu Hendro yang mati-matian minta supaya aku pertahankan. Untung aku bisa sadar. Lihat, dia cantik kan?"

Sepasang muda datang. Bergandengan tangan tapi dengan muka yang rusuh pekat. "Kami tidak direstui, Mbak. Bagaimana kami harus menghadapi keluarga kami?"

Albert merajuk. Dia duduk di meja belajarnya tapi tidak mengerjakan apa-apa. "Aku tidak mau belajar jika tidak ditemani ibu!"

Seorang suster mengirim pesan lewat HP. "Datang sebelum jam 12 ya. Ada sesuatu yang mesti kita bicarakan dulu sebelum acara."

Seorang aktifis menuntut. Dengan wajah tidak terima dia berkata dengan keras. "Harusnya Mbak Yuli datang lebih awal. Tidak ada keputusan apa-apa tadi dalam rapat."

Bernard teriak. Seperti pagi-pagi kalau dia bangun tidur. "Aku mau dibikinin nasi goreng. Pokoknya ibu, tidak mau yang dibikinin Wawak!"

Seorang pastor tandas dalam persiapan suatu kegiatan. "Sudah, Yuli saja. Itu sudah cukup."

Seorang remaja menulis dalam kertas. "Komunikator idolaku : Mbak Yuli."

Oohhh, jangan percaya itu semua. Itu bohong.
Aku bukan perempuan kuat seperti yang dibayangkan bisa mengatasi masalah-masalah. Aku tidak punya kekuatan seperti itu. Sama sekali tidak! Lihatlah aku ini jiwa dan raga!
Begitu ringkihnya aku, bahkan sungguh takluk tak berdaya pada setetes embun. Bayangkan! Setetes embun yang cair tak berbentuk pun bisa mengalahkan aku. Bisa membuatku berjam-jam beku dalam keheningannya. Bisa membuatku berteriak lewat segala bahasa dalam ocehan bersamanya. Bisa membuatku hanya mencumbunya, dalam segala-gala waktu segala-gala raga segala-gala rasa.
Jadi, jangan lagi percaya jika ada yang mengatakan aku perempuan kuat hebat. Aku sudah terkalahkan, oleh setetes embun yang cair tak berbentuk.

Wednesday, January 14, 2009

Mencacah Bilangan Ganjil

Aku dan embunku, duduk berdua di meja yang sama. Kami berdua mencoba mencacah bilangan-bilangan ganjil yang ada di hadapan kami. Menariknya dengan jari jemari kami yang terkait dan memaksanya dalam susunan-susunan bilangan genap. Teori-teori logaritma, aljabar, geometri ...berkeringat. Hasilnya adalah acakan bilangan-bilangan, bahkan kemudian terpecah dalam desimal-desimal tak beraturan. Tak pernah menjadi genap.

Tuesday, January 13, 2009

Membatu

"Biar untuk orang lain saja senyummu itu."

Aku pura-pura tidak mendengar dan memintanya untuk mengulang. "Iya???"

Namun tidak ada suara apapun. Sedang aku terperangkap pada senyumku sendiri yang sudah mengembang lebar untuknya. Terlalu lebar untuk kutelan kembali, sehingga senyum itu mengambang di udara dengan sayap-sayapnya yang bertahan, mengitari tubuhku yang membatu.
"Benarkah kau tidak akan menerima senyumku?" Aku mempertanyakan ini dan menjadi jengkel sendiri karena biasanya aku tidak pernah perduli akan pergi kemana senyumku dengan kaki-kaki belalangnya. Mau meloncat kemana saja, terbang ke segala arah, ... aku tak pernah tentukan.
Aku berharap dia tidak serius dengan perkataan itu. Lebih lagi aku berharap dia mau bergerak dan mulai mengambil kembali kantongnya. Memunguti senyumku bahkan yang perca, menyimpannya, dan memeliharanya dalam pelukan mimpi-igauan. Minimal untuk sekarang ini, saat musim dan angin masih menjadi sahabat lamunan.

(Tubuhku membatu, menunggu gerak bibir atau tubuhnya. Sebagai isyarat bagiku.)

Memasak VS Makan

Orang yang tidak mengenalku dalam rumah, biasanya akan memvonis aku sebagai orang yang tidak bisa masak. Tapi aku sudah biasa memasak dari kelas III SD, dan hingga kini walau aku tidak wajib memasak, aku suka memasak dan memang akan memasak tiap hari. Mungkin ini karena sebenarnya aku suka makan.
Aku suka bereksperimen pada makanan. Perpaduan rasa dan warna pada makanan membuatku bersemangat. Tapi memang aku tidak terlalu suka memasak terlalu lama. Jadi jadwal memasakku, setiap pagi paling lama hanya 1 jam. Ini waktu yang sangat pas untuk berbagai masakan. Kemarin aku cuma setengah jam di dapur, dan makanan yang dibutuhkan oleh sekeluarga kecilku terpenuhi. Tumis tahu buncis, dengan cabe rawit utuh. Ayam goreng. Tempe goreng. Sambel kecap dan tidak boleh lupa, kerupuk. Malam, ketika ayam dan tempe sudah habis, tinggal ceplok telur. Itu hanya butuh waktu setengah jam. Jam 6 hingga setengah 7.
Hari ini aku masak rawon. Nah, daging sedang mahal, jadi beli seperempat daging tetelan seharga 10 ribu, campur dengan tahu yang diiris kecil dan digoreng kering. Jadilah 'daging' juga, gurih sedikit alot. Hehehe...
Nah biasanya jika sedang iseng aku akan memasak lauk tambahan pada sore hari. Aku suka peyek, maka aku bisa membuatnya pada sore hari. Kalau yang ini memang perlu waktu berjam-jam. Setengah kilo tepung akan membutuhkan satu jam lebih saat penggorengan peyek, dan hasilnya...ah beberapa menit juga ludes oleh empat mulut yang ada di rumah. Semua suka. Atau jika mau membuat kue-kue, aku punya resep asal yang pasti jadi. Biasanya aku bisa melibatkan anak-anak untuk ikut membantu. Dan mereka pasti akan menghabiskan. Ludes.

Hujan dan Banjir

Hujan sedikit saja, sebentar saja, genangan air ada di mana-mana. Pulang kantor aku pasti melewati beberapa titik genangan itu. Pertama di Jalan Kartini. Ini jalan utama di Tanjungkarang, pusat pertokoan. Beberapa kali ada perbaikan jalan dan gorong-gorong, tapi tetap banjir. Lalu di daerah Pasirgintung. Depan pasar pas perempatan, biasanya memang ada sedikit air entah hujan atau tidak, rembesan dari pasar dan PAM bocor aku kira. Tapi sekarang, baru sedikit gerimis, air meluap memenuhi seluruh badan jalan. Depan RSU Abdul Muluk, memang ada sungai di situ. Sangat dalam, tapi air tidak semua bisa masuk ke situ. Tidak ada aliran sehingga jalan jadi sungai yang baru. Lalu dekat simpang Way Halim, ini sangat parah. Jalan turun. Gedungmeneng ada beberapa titik genangan yang segera meninggi begitu hujan deras. Dan yang sepanjang masa selalu menggenang ada di depan kantor kehutanan, dekat bunderan Raden Intan. Jika naik Mio aku akan mengangkat kakiku tinggi-tinggi, tapi akan selalu basah. Aku tidak heran ketika Desember lalu banjir sangat hebat terjadi, dan pasti akan terjadi lagi nanti, tepat di pusat kota Bandarlampung. Kalau pemerintah dan masyarakat tidak segera ambil tindakan, peduli pada kota ini.

Monday, January 12, 2009

Anggur dan Anggrek

Sepulang dari mudik, tanggal 2 Januari pagi. Aku bangun pertama dan membuka pintu belakang rumah langsung diloncati kekagetan kekaguman. Lihat, dua tanaman yang persis lurus pintu dapur, anggur dan anggrek dipenuhi puluhan bunga.
Anggur kuning (atau anggur hijau?) itu didapat dua tahun yang lalu dari Dinas Pertanian Kediri. Beberapa bulan yang lalu sudah berbuah untuk yang pertama kalinya, hanya ada dua dompol. Dan sekarang, ada puluhan. Ada gelembung-gelembung hijau kecil yang setiap hari semakin membesar, bening, segar. Puluhan dompol, luar biasa. Beberapa bulan lagi pasti panen hebat. Aku ingat ketika anggur yang di depan rumah berbuah tahun lalu, serupa dengan ini. Tapi sepertinya pohon yang ini lebih banyak lagi buahnya.
Anggrek didapat Juli tiga tahun lalu saat aku ultah dan ngeluyur di rumah Urip, nongkrong n makan siang di tempatnya. (Dia tidak tahu kalau aku lagi ultah, tapi simboknya menjamuku makan yang sangat lezat.) Seharian, dan pulangnya aku bawa potongan-potongan batang anggrek kuning belang-belang, seperti kalajengking itu. Biasa bunganya memang selalu ada sejak setahun yang lalu. Tapi tidak pernah lebih dari 10 tangkai. Dan sekarang aku hitung ada 42 batang, belum termasuk yang masih kuncup kecil, dan yang tak terlihat. Mekar puluhan anggrek. Astaga indahnya.

(Terimakasih Sang Pencipta! Ingatlah! Ini berkat kerja keras Hendroku yang rajin merawat tanaman-tanaman dan juga Abah Supardi yang rajin merapikan dan membersihkan halaman. Aku hanya penikmat saja dari dulu dan nanti. Sesekali 'icak-icak' mencabut satu dua batang rumput tapi tak pernah lebih dari itu. Kecuali duduk di bangku, memandang melamun di antara tanaman berbunga di halaman belakang 'gubuk' kami. Juga memetik pepaya tak kenal musim, mangga, buah nona atau jambu biji sekitar rumah. Ssst...jangan bayangkan kami punya halaman luas sehingga banyak pohon buah dan bunga. Hanya sekapling tanah, 175 m2 tapi sungguh bisa bermanfaat kalau dimanfaatkan. Bahkan aku tidak perlu beli jika hanya perlu daun kangkung atau daun singkong atau daun pepaya untuk sayur. Juga beberapa bumbu dapur, silahkan ambil dari kebun kami jika perlu. Sereh, laos, jahe, daun jeruk purut, daun salam, binahong, kunyit, dll. Mari, ambillah...)