Tuesday, May 23, 2017

Sebuah Pengakuan untuk Salah Satu Cabang Cemara

Sembari menunggu Hera Sani memiliki blog atau web sendiri, tulisannya ini kupasang di sini. Silakan menganggapnya sebagai kelengkapan dari catatanku sebelumnya (Klik sini). Aku tidak mengeditnya, persis seperti yang ditulis Heralah yang ada di ini. Check it out  :

SEBUAH PENGAKUAN;
Untuk SALAH SATU CABANG CEMARA (SSCC)
Cerpen YULI Yuli Nugrahani
(harusnya saya tulis ini di blog juga)



1. Aku dan Awal Jatuh Cinta Pada SSCC
Terlepas dari segala teori sastra, apapun itu, sementara ini akan saya kesampingkan; karena selain seorang otodidak (dan cenderung ngawur) saya juga seorang yang agak susah untuk duduk diam mempelajari teori secara sistematis, runtut, urut, atau apalah yang disebut baku secara akademis ataupun yang disebut “Benar”, “Berdasar” atau apalah-apalah itu yang disebut “Pakem Sastra”. Saya buta. Karena saya juga bukan seorang yang tumbuh dari lingkungan akademis, kuliah saya tidak pernah selesai, walau pernah menclok di universitas lalu galau-malau tidak karuan. Saya lebih senang bekerja karena memang tuntutan takdir, saya bukan anak dari orang tua yang mampu. 
Baiklah. Suatu hari saya pernah mengatakan pada Mbak Yuli, (begitu saya biasa memanggilnya);
“SSCC akan saya bacakan, mbak”
Dan celakanya ketika saya terlanjur mengatakannya, saya malah belum baca cerpennya! Karena saya begitu optimis dengan judul buku kumpulan cerpen itu. Pastilah ada sesuatu pada judul itu. Tidak mungkin tidak. Kalau tidak, kenapa dijadikan judul buku itu? Toh, bisa saja “Mencari Kubur Ahmad”, “Daun Sirih, “Pisah” atau yang lainlah diantara 16 cerpen lain di dalam buku itu, yang penting bukan “SALAH SATU CABANG CEMARA”. Mana mungkin seorang penulis seperti YULI NUGRAHANI sembrono memilih judul atau mentang-mentang judul itu lebih puitis dari pada judul-judul yang lain. (Saya bayangkan kalau “Semangkuk Mie” yang jadi judul, bagaimana covernya, ya? Akankah Kiki Rahmatika tidak sedang menari di cover itu, melainkan sedang makan mie?)
Sangking percayanya saya dengan isi buku “DAUN-DAUN HITAM” buku sebelumnya yang ditulis oleh YULI NUGRAHANI yang berisi potret-potret sosial (Saya sangat suka dengan tema-tema sosial) dan beberapa cerpen yang saya baca terlebih dahulu di buku SSCC, saya berani mengatakan “SSCC!” Ya, SSCC.
Awalnya SSCC saya bayangkan seperti “DAUN-DAUN HITAM”. Daun hitam yang entah kenapa disimpan oleh Si Bapak. ini juga mungkin Cabang Cemara yang digergaji atau berkaitan dengan penebangan hutan (Bukankah Yuli Nugrahani ini juga seorang pecinta alam dan tergabung dengan banyak komunitas yang berkaitan dengan itu).
Dengan ekspresi biasa dan setelah mandi sore, baju santai, di akhir Desember 2016, saya baca buku itu, tepat dan khusus pada “SALAH SATU CABANG CEMARA”.
….
Oh, setelah saya baca, harum wangi sabun mandi di tubuh saya mendadak jadi berbau aneh. “Kecut… kecut piye … ngono”. Waduh ….
Akhirnya saya termenung. Bingung. Mau diapakan. Tak ada pilihan. Saya terus baca berulang dan saya punya tanggung jawab setelah saya katakan “SSCC akan saya bacakan.” Kalaupun tidak mungkin, saya harus cari cerpen lain yang memungkinkan untuk dibacakan di atas panggung. Saya baca lagi berulang-ulang ke 16 cerpen yang lain. Kafe, Daun Sirih … Nah! Sip! Ya, Daun Sirih. Ini dia… ada Lampung-Lampungnya-lah. Saya baca juga cerpen itu berulang.
….
“Tapi kok belum dapet sesuatu”. Tidak mau menyerah, terus saya baca yang lain, “Yang Tersimpan”, ya pokoknya 16 cerpen yang lainlah. (Sambil menginsafi kalau sebetulnya sayalah yang sembrono).
Setelah 2 hari kebingungan saya berfikir ulang… entah kenapa kok SSCC-lah yang melintas-lintas di kepala Saya. Hati saya bilang sesuatu tentang keyakinan saya terhadap penulisnya. “Tidak mungkin tidak ada sesuatu disana, di cerpen itu. SSCC”, batin saya.
Hmh… kalau begitu, saya dramatisasi saja cerpen ini. Bagaimana caranya cerpen ini bisa berjalan bersama-sama dengan tema yang sudah saya tetapkan. Mengalah dulu dengan keinginan ideal demi bisa dinikmatinya cerpen ini oleh siapa saja. Dan target saya, minimal yang menikmati pembacaan cerpen ini bisa menginsyafi dan terkenang negerinya, Indonesia. Terlepas “apanya” yang dikenang tentang Indonesia, yah minimal “eling-lah”. Dan (mungkin) selama ini lagu wajib nasional sudah jarang didengar khalayak yang tidak lagi duduk di bangku sekolah.
Jadi bisa saya simpulkan, pada pembacaan cerpen 20 April 2017 di Dawiels Kafe kemarin, saya benar-benar berusaha tidak bergelut terlalu dalam ke dalam SSCC, karena akan panjang urusannya. Dan saya tipikal orang yang tidak mau berhenti berfikir, dan kalau sudah berfikir, pikiran saya bisa beranak pinak seperti molekul liar yang seenaknya berterbangan kesana kemari.
Saya harus mengalah, saya simpulkan sederhana saja. Berjalan di permukaan cerpen dan mencoba mencocokkan penafsiran saya yang “sebatas kulit” kepada penulisnya. Itupun karena saya sudah menemukan keraguan, “Apakah hanya seperti itu saja SSCC?” seperti satu kalimat ditambah satu frase dibelakangnya;

“Aku, perempuan yang cinta pada cemara-cemara tropis setengah basah setengah kering, dibelaha bumi sana. Perempuan-perempuan.”
…. dan kesannya ya memang seperti itu. 
 Awalnya saya akui saya tidak menemukan apa-apa selain yang tersurat itu dan tersirat itu; cerita tentang seorang lesbian yang masih ragu-ragu dengan keputusannya memilih orientasi sex dan memilih pulang atau tidak ke negerinya, Indonesia. Sedangkan di Indonesia sendiri melarang bahkan mengecam LGBT. Hukum sosial di mata masyarakat Indonesia pun hal-hal yang berbau seperti itu dianggap suatu hal yang lebih buruk dari sekedar zina, tetapi juga menjijikkan, itu dianggap penyakit.
Tetapi saya tetap tidak mau terjebak di situ, pada tafsir itu, walau saya telah tanyakan langsung pada penulisnya. Dan Yuli Nugrahani memang mengatakan demikian.
Saya terus berpikir, Saya tetap tidak mau menyerah. Harus ada garis merah. Saya selami lagi cerpen itu walau megap-megap dan timbul tenggelam (hanya) di permukaan saja. Tapi, saya mulai penasaran.
Akhirnya, saya pakai garis besar Indonesia dan perempuan. Oke, saya terima tentang Indonesia yang tidak menerima LGBT. Diantara 6 agama yang ada di Indonesia juga tidak menyetujui penyimpangan. Walau Konghucu, Budhis, Hindu meyakini reinkarnasi atau tumimbal lahir, karmapala, tetapi tetap menganjurkan “pengobatan”. Dalam Budhis melarang Kamasumichachara “perilaku sex yang salah” dan kesemua (agama itu) mengajurkan “jalan pertaubatan”. Sebab itulah, si tokoh SSCC ini, pergi ke suatu tempat yang jauh, negeri bersalju.

Ratusan perputaran bulan, melewati musim bersalju yang te¬lah berulang kali, memberikan bonus pengalaman-pengalaman dan perjumpaan-perjumpaan. Bahkan aku sengaja menelan beberapa kristal beku supaya bara dalam hatiku yang tinggal setitik, cukup di situ saja. Aku harap semua itu telah membekukan semua luka yang tidak aku perlukan lagi. Jangan sampai memercik kembali menjadi api ung¬gun yang besar. 
Aku ingin seluruhnya menjadi beku. Semua itu aku perlukan sebelum aku menginjak kembali kota-kota tropis yang sudah menung¬guku di belahan katulistiwa sana. Aku ingin jadi orang baru saat berada di sana nanti. Kembali menjadi bayi yang putih bersih seperti pada de¬tik pertama usai dilahirkan.

Celakanya, walau toh setelah bertahun-tahun pergi menghindar, mengendapkan, menahan diri dan menutup hati dari perempuan, tetapi tetap saja tidak bisa menghindarkan perasaannya. Sementara, Sang Tokoh mau tidak mau entah dengan atau untuk kepentingan apa dia harus kembali ke Indonesia. Tentunya Si Tokoh harus bersiap-siap dengan kemungkinan-kemungkinan terhadap diri dan hatinya. Oke, pada kesimpulan itu saya terima.
Tetapi pikiran saya tidak bisa diam, saya penasaran terhadap sesuatu yang sudah saya kenal dan terlanjur saya pikirkan. “Tresno jalaran eneng terus neng moto”. SSCC tiap hari ketemu, dibacam, dan dipikirkan… kok saya jadi ingin lebih dekat, ingin lebih tahu.
Saya baca lagi. Berulang. Berhenti di setiap kalimat, paragraf… bahkan detail kata. Dan berhentilah saya pada kata “Perempuan”. 
… Kebetulan saya pernah bersinggungan dengan perempuan-perempuan yang juga hidup dan bekerja di luar negeri. Saya memang sempat nyaris berangkat menjadi TKW beberapa waktu lalu. Dan saya ditolak oleh PJTKI tempat dimana para TKW dikarantina dan diberi pendidikan sebelum diberangkatkan. Akhirnya dapatlah saya bahan observasi yang seru dan menarik selama 3 hari di PJTKI itu.
Para TKW ini, banyak bekerja di Hongkong dan Taiwan. Kedua negara itu juga bersalju. Syarat konflik yang menarik juga dari sisi psikologis para TKW yang ingin berangkat mengadu nasib ini. Tetapi tidak semuanya buruk, justru saya banyak melihat kehebatan-kehebatan mereka yang luar biasa yang saya sendiri pastilah tidak akan sanggup menjalaninya. Saya bersumpah, sebetulnya mereka perempuan-perempuan hebat. Namun, ketika saya merenung lebih dalam saya berfikir kalau mereka juga sebenarnya “perempuan yang sakit”. Sakit fisik dan tersiksa secara batin. Fisik yang harus bekerja setiap hari, tertekan batin karena pastilah mereka sangat merindu dengan kampung halaman, tetapi tidak berdaya untuk pulang sebelum masa kontrak habis dan jika pun harus pulang, mereka harus memikirkan apa yang bisa mereka kerjakan setelah pulang. Bukan hal baru juga ketika kita mendengar kalau pekerjaan perempuan-perempuan di Hongkong ataupun di Taiwan itu sangatlah berat. Banyak yang bilang tergantung nasib. Kelapangan hati mereka meyakini hal itu. Kalau nasib baik, mereka akan dapat bos yang baik dan perlakuan yang baik pula. Terlepas paham atau tidaknya mereka masalah peraturan dan undang-undang untuk para TKW yang sesungguhnya. Dan karena ketidak pahaman itu, banyak cerita menyedihkan tentang mereka. 
… tetapi jika bicara Hongkong dan Taiwan, ya … yang terbayang adalah bahasa mandarin. Mereka etnis China. Dan jika dihadapkan dengan masalah tanah air … di Indonesia pun ada etnis China dan disebut warga negara keturunan Tionghoa. Singkat kata, bicara Hongkong, Taiwan, China, Tionghoa peranakan, terbesitlah beberapa konflik di kepala saya.
Oke mbak Yuli, terlepas dari semua penjelasan dan pengakuanmu, tapi aku tidak mau menyerah. Terlebih setelah melewati pementasan awal yang masih sekedar lipstik itu dan saya sengaja bermain di permukaan dengan konsep “fun”, mengajak semuanya menikmati SSCC dengan bungkus bergaya agak nasionalisme yang (mungkin) bisa diterima siapa saja atau juga terkesan pop atau apa, itu memang sangat sengaja saya lakukan sebagai ajang untuk bertemu siapa saja. Momen itu saya anggap sebagai “menghimpun bagian dari semesta yang sangat berarti bagi saya, dan juga SUN LOVE COMMUNITY”.
Namun, celakanya hari ini, saya harus jujur dan harus berani mengatakan kalau saya sudah jatuh cinta dengan SSCC. Dan gawatnya, ketika saya sudah jatuh cinta, mungkin saya akan total tegak di sana. Saya harus bertanggung jawab terhadap cinta saya tersebut, karena ketika Tuhan sudah memberikan “anugerah cinta” itu maka saya akan berdosa jika menyia-nyiakannya… (hmh), apalagi kalau tidak sampai menjadi sesuatu. Dan bukan hanya keyakinan “tidak boleh menyia-nyiakan itu” yang saya jaga, tetapi saya yakin dengan YULI NUGRAHANI pastilah dia punya sesuatu di SSCC. Tidak mungkin tidak. Akankah sesuatu itu benar-benar dibuat dan ditaruh begitu saja tanpa makna? Seperti pengakuannya di blognya yang sama;

"Namun, aku harus mengakui, cerpen SSCC bukanlah cerpen yang 'kusayangi' dibandingkan beberapa judul lain yang ada di sana. Aku suka cerpen Kafe, atau Mencari Kubur Ahmad, yang kemudian wujud sayangku itu kuteruskan dengan menggubah Kafe dan Mencari Kubur Ahmad sebagai bentuk naskah pementasan. (Yang butuh naskah monggo kontak aku.)
Aku hanya menyerap SSCC, mengukirkannya sebagai judul buku, lalu sudah. Dia kubiarkan teronggok begitu saja. Di satu sisi aku tak percaya diri mengungkapkan kehendakku atas cerpen itu, di sisi lain, aku merasa SSCC sudah cukup sebagai sebuah gagasan. Aku tak punya tugas apapun lagi atas cerpen itu. Dia mesti tahu diri, toh tak aku buang tapi aku sematkan dalam buku yang kubanggakan. Cukup."
Hmh… baiklah. Seperti kehadiran seorang anak, terlepas tiri atau kandungkah sang anak, pastilah orang tua punya harapan, setidaknya makna dari nama yang sudah kita labelkan kepada anak tersebut.
Dan di momen-momen berikutnya, mau tidak mau juga SSCC akan melekat pada tubuhku, perjalananku dan sun love. Untuk itu, aku tidak mau menyerah. Ngeyelku adalah resikoku walau pasti Si Penulis Hebat itu akan bilang; “Itu urusanmu, terserah dirimu”, selalu itu yang diucapkan Mbak Yuli ketika saya bicara tentang apapun (mungkin dia lelah).
“Kali ini akan saya buktikan “kengeyelanku” padamu mbak, akan kugali lagi“. 
Entah kenapa saya seperti makin jatuh cinta dan SSCC sudah tidak saya pedulikan lagi kalau yang menulis cerpen itu adalah YULI NUGRAHANI. 
“Okelah dia ibunya, tetapi dia akan menemukan realita kalau kelak anaknya berhak “jalan” dengan siapa saja dan dicintai siapa saja.”
… huff…
Saya kembali meditasi. Kini yang terlintas kuat adalah tepat pada judulnya;
SSCC. CEMARA.
Dulu saat saya pertama kali membaca SSCC, entah kenapa kata-kata “CEMARA” seperti luput dari perhatian saya. Tapi kali ini “CEMARA” benar-benar hadir di mata saya. Tentang bentuknya, daunnya… Ya, anatomi Cemara.


2. Menafsir SSCC; Cinta yang Belum Tuntas, Pencarian yang Belum Usai…
Pada cerpen “Salah Satu Cabang Cemara”, disebutkan 16 kali kata “Cemara” (kalau tidak salah hitung saja) dengan berbagai frase. Cemara basah, cabang cemara, kuping cemara, bibir-bibir cemara, reruntuhan cemara, cemara-cemara tropis setengah basah setengah kering, dan (ajaibnya) “salah satu cabang cemara” disebutkan di kata cemara yang ke 7, tepat di paragraf 24 (atau 25). 
Cemara disebut 16 kali yang bisa jadi itulah cabang-cabang cemara yang lain yang mengisi hiruk pikuknya kehidupan ini. Tafsir ini persis sama dengan pengakuan Yuli Nugrahani di Blognya Friday, May 12, 2017 “Salah Satu Cabang Cemara oleh Sun Love Community”

Judul yang terakhir kupakai ini kupilih setelah seluruh buku selesai kuedit. Dan kemudian kupilih sebagai judul buku karena frase ini dapat menggambarkan seluruh buku yang berisi cerpen aneka rupa tema, yang kesemuanya berangkat dari ide-ide personal yang kujumpai.
… 16 sampel tema kehidupan selain “salah satu cabang cemara” yang lain seperti yang dimaksud di dalam buku SSCc ini. Dan “salah satu cabang cemara” disebutkan di kata “cemara” yang ke 7, bisa jadi inilah penciptaan Tuhan yang agung, bisa jadi berupa 7 lapis langit dan bumi. “Salah satu cabang cemara” juga masuk di paragraf 24 atau 25. Kenapa 24 atau 25 seperti ada salah ketik disitu. Paragraf atau bukan, kenapa tidak menjorok ke dalam diawal kalimat. Saya tidak berani menyebutkan ini Nabi ke 24 atau ke 25, namun 2 nabi itulah yang membawa ajaran samawi tersebsar di muka bumi ini.
Oh, seajaib itukah engkau Mbak Yuli? boleh bertanyakah aku, itu kebetulan yang kau buat lewat imajinasimu yang mengalir begitu saja refleks dari jemarimu saat kau mengetik di tuts-tuts laptopmu? Atau sengaja kau hitung, kau rumuskan sambil menaklukkan imajinasimu, pikiranmu yang mengembara, sebelum kau tuang di kertas-kertas itu? Kau yang bilang SSCC tidak penting atau kau coba sembunyi dari hasil pemikiranmu sendiri yang telah kau endapkan hingga telah menjadi air bening, mineral murni yang tersaring lewat proses alami “Pengendapan kesadaran melalui jalurnya; serat-serat halus serupa akar pohon, serupa jaringan otot, serupa jaringan saraf, (atau …. apalah entah istilahnya aku tidak paham) yang disitulah sesungguhnya tempat disimpannya energi, tidak terlihat, namun itulah sejatinya”.
“Itu bukan kuping, Sayang. Lihat lagi dengan seksama. Aku kira lengkung itu lebih mirip bibir. Lihat ada gurat-gurat lembut panjang yang bisa berkerut atau merekah sesuai geraknya. Tapi kau betul. Dia sangat romantik. Dari bibirnya itu selalu dilantunkan desis tembang ro¬mantis. Kau mendengarnya juga?”
“Itu telinga. Lihat lubang yang melingkar-lingkar itu. Lihat dari bawah batangnya. Kau akan lihat rumitnya seperti apa. Tidak bisa dipungkiri itu adalah telinga. Muara, tujuan segala suara. Kalau kamu berdendang pasti akan segera mengalir masuk di sela-selanya. Setelah itu melingkar melesak ke dalam.”

Lalu apakah jalur itu? Gurat-gurat lembut itu yang justru menjadi inti dari batangnya benarkah yang saya tafsir ini sebagai Muara, tujuan segala suara itu. Setelah saya gali cerpen itu… ya apalagi kalau bukan Illahi dan apapun penciptaan-Nya yang mencerminkan Dia. Apapun itu.
Atau aku yang terlalu dalam menafsir seperti orang yang mencintai sesuatu maka aku akan mengharapkan yang terbaik ? atau yang baik-baik saja yang aku harapkan ?
Baiklah saya lanjutkan lagi meditasi, kembali saya tembak sana, tembak sini. Bidikan itu benar-benar saya arahkan pada sosok YULI NUGRAHANI.
Saya kenal dia sebagai perempuan yang bekerja di Kantor Keuskupan, berkeluarga, punyai suami dan 2 orang anak laki-laki. Dia ibu rumah tangga yang baik, walau moving kesana kemari, itu semua karena tugasnya dan dia juga seorang sastrawan produktif.
Dan saya berhenti di ruang kerjanya. Inikah? Apakah ini Cemara itu? Apakah Cabang Cemara atau bentuk segitiga Pohon Cemara itu adalah lambang dari Trinitas?
Saya benar-benar terpaku pada imaji pohon cemara, semua daunnya berbentuk jarum, dahannya sejajar, pucuk daunnya selalu menghadap ke atas. Uniknya pucuk-pucuk cemara itu seperti anggun dan agung tegak tidak ada yang berusaha mengalahkan satu sama lain. Kalau ditarik garis, bentuknya segitiga sama kaki, terlepas dari apapun tafsir tentang Anatomi Cemara. selain sering dihias dan digunakan sebagai Pohon Natal, Cemara juga tumbuhan yang mampu bertahan dimusim panas dan dimusim salju sekalipun.
Di sini, saya menemukan sesuatu yang “bertahan hidup” pada sosok Cemara. Sedang tema dalam cerpen ini adalah Cinta. Apakah ini yang dimaksud cinta yang bertahan dalam keadaan apapun untuk menjunjung komitmennya, kalau begitu, kira-kira “cinta” yang seperti apakah ?
Cinta yang seperti pohon cemara, tegak ke atas. Cinta yang bertahan dalam keadaan apapun untuk menjunjung komitmennya tegak kepada Tuhannya.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Kubuka mataku. Selesailah meditasiku hari ini.
Tetapi cerpen ini seperti belum selesai. Mbak Yuli tidak bisa begitu saja berdalih “Silahkan ambil kesimpulan, saya serahkan kepada pembaca”. Saya berharap tidak akan ada kata-kata itu lagi.
Dan jikapun SSCC ini belum selesai seperti pengakuanmu, mbak, mungkin inilah penyelesaian yang akan saya bawa ke atas panggung dengan penafsiran saya sembari mendengarkan tuturan-tuturanmu yang serupa bisikan lembut seperti yang terjadi di 19 Maret di UKMBS Unila. Aku merinding mendengar penjelasanmu tentang SSCC. Dan aku sekarang tau kalau sesungguhnya SSCC itu adalah cintamu, cinta kita semua yang belum tuntas, pencarian yang belum usai dalam mengkaji dan memahami maunya semesta.
SSCC itu pencarian saya dan juga pencarian setiap pembaca yang tanggap. Bukan hanya pembaca SSCC, tetapi setiap yang membaca pucuk-pucuk cemara yang tumbuh subur dari setiap cabangnya. Dia bertahan dengan keyakinan akan cinta-Nya.
Bantu aku menyelesaikan pencarian dan perjalanan di cerpen ajaibmu itu, mbak… dan aku akan dengan sabar ikut meneliti di setiap cabang-cabangnya, helai demi helai daunnya yang terkesan seperti jarum. Aku yakin, pucuknya yang tegak ke atas tidak akan pernah bersaing gaduh berlomba menjangkau langit. Aku yakin, daun jarumnya tidak akan melukai kulit di jemariku dan sesiapa saja yang ingin merabanya.
Aku akan bertengger di cabangnya dengan mantap semantap ketika kita yakin telah jatuh cinta dan mencintai. Apapun selagi masih didunia ini, tidak lah akan kekal adanya. Mau perempuan cinta dengan bunga, perempuan cinta dengan emas, perempuan cinta pada perempuan, perempuan cinta mati dengan lelakipun, itu tidak akan kekal seperti layaknya cemara yang bertahan terhadap musim.
Untuk hari ini, saya memang selesai meditasi, bangkit setelah menarik kesimpulan yang akan kita lihat bersama dalam bentuk pementasan dramatik cerpen SALAH SATU CABANG CEMARA, The Branch of Love tanggal 25 Mei 2017 di GTT TAMAN BUDAYA LAMPUNG. Tetapi ini belum final, pencarian saya belum usai…

Wednesday, May 17, 2017

Waiting for Warih

Awalnya saat membaca judul pementasan ini, aku agak ndak suka,"Ih, apaan sih. Judul kayak gitu." Warih siapa? Hehehe... Tapi, eits, tunggu dulu. Bukannya warih itu banyu? Toya? Tirta? Air? Nah... Kalau yang ditunggu air ya aku juga mengalaminya. Jadi sementara ndak usah protes dulu. Mari kita lihat pementasan para mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung (Unila), di Taman Budaya Propinsi Lampung, 15 - 16 Mei 2017 pukul 16.00 setiap harinya.

Dimulai dengan panggung yang gelap. Ketika mulai terlihat, ada satu tokoh di sudut depan, dan satu di sudut belakang. Plus 8 orang duduk. Yang di depan dan belakang saling bicara sampai pada puncaknya 8 penari itu menghentak. Itulah awal pentas.

Selanjutnya dialog dan tarian berselang-seling, menjadi alur, menjadi konflik, menjadi akhir... Hmmm....

Aku akan tahan komentar  yang lebih banyak. Aku mau angkat satu adegan yang kusukai, yaitu bagian setelah adegan kematian. Setangkai mawar ditinggalkan di tanah. Hanya mawar yang tersisa dari kematian, dikelilingi para penari Sigeh Penguten. Tarian yang seringkali dipakai untuk menyambut tamu kehormatan ditarikan oleh lima orang penari, tidak dengan kostum meriah seperti biasanya dengan mahkota siger, tanggai penghias jemari, tapis penutup tubuh, kebaya putih cemerlang, dan sebagainya, tapi mereka menggunakan baju hitam tanpa perhiasan dan wajah nyaris tertutup semuanya oleh anyaman bambu.

Bau dupa yang harum menyebar dari tarian ini mengiringi gerakan Sigeh Penguten yang berulang-ulang. Hmmm... ya, spontan pikiranku sampai pada pesta penyambutan tamu yang datang. Kematian pun serupa kedatangan. Jiwa yang datang di sebuah dimensi, setelah meninggalkan serupa kelopak mawar saja menggantikan raga. Jiwa yang datang dalam misteri, hmmm.... ya, tentu akan menerima penyambutan yang agung juga.

"Akhirnya,
waktu menumpas kita
dan cinta adalah alasan sementara
supaya kita merasa nyaman."

(Kalimatnya tidak persis, aku lupa... Entar pasti nemu teksnya untuk koreksi kalimat-kalimat ini.)


Friday, May 12, 2017

Salah Satu Cabang Cemara oleh Sun Love Community

Nah. Aku ingin menulis agak panjang kali ini. 
Jadi agak sabar ya. Kuselesaikan pelan-pelan :


Ini dimulai dari tahun lalu. Salah Satu Cabang Cemara (SSCC) adalah salah satu judul cerpen yang masuk dalam buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama, diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami tahun 2016. Cerpennya sendiri kutulis sekitar tahun 2008 atau 2009, yang kemudian mengalami proses yang lama dalam penyelesaiannya. Pernah berganti judul beberapa kali. Judul yang terakhir kupakai ini kupilih setelah seluruh buku selesai kuedit. Dan kemudian kupilih sebagai judul buku karena frase ini dapat menggambarkan seluruh buku yang berisi cerpen aneka rupa tema, yang kesemuanya berangkat dari ide-ide personal yang kujumpai.

Namun, aku harus mengakui, cerpen SSCC bukanlah cerpen yang 'kusayangi' dibandingkan beberapa judul lain yang ada di sana. Aku suka cerpen Kafe, atau Mencari Kubur Ahmad, yang kemudian wujud sayangku itu kuteruskan dengan menggubah Kafe dan Mencari Kubur Ahmad sebagai bentuk naskah pementasan. (Yang butuh naskah monggo kontak aku.)

Aku hanya menyerap SSCC, mengukirkannya sebagai judul buku, lalu sudah. Dia kubiarkan teronggok begitu saja. Di satu sisi aku tak percaya diri mengungkapkan kehendakku atas cerpen itu, di sisi lain, aku merasa SSCC sudah cukup sebagai sebuah gagasan. Aku tak punya tugas apapun lagi atas cerpen itu. Dia mesti tahu diri, toh tak aku buang tapi aku sematkan dalam buku yang kubanggakan. Cukup.

Namun (huh, aku tak terlalu suka menggunakan kata 'namun', tapi berkali-kali sudah kupakai dalam tulisan ini.), lihat poster berikut ini :



Hera mengubah 'anak tiri' ini menjadi calon berlian. Saat gadis kerempeng ini datang ke kantorku dan bilang,"Mbak, aku mau membuat pementasan berdasar salah satu cerpen mbak Yuli." Aku sudah menduga dia akan mengambil Kafe, atau cerpen-cerpen dalam Daun-daun Hitam. "Yang mana?" Dia dengan yakin menjawab,"Salah Satu Cabang Cemara." Eh. Aku sempat terdiam sebentar. Kurang begitu suka dengan pilihannya, tapi toh itu cerpenku juga, jadi aku jawab,"Ok. Mau kau baca sebagai monolog?" Nah, ini yang kemudian membuat aku lebih berkobar saat aku mendengar dia mulai bercerita tentang konsep-konsep kepedulian, anak-anak, masyarakat miskin, kebangsaan, perempuan-perempuan, nilai-nilai sosial, dan seterusnya-dan seterusnya.

How can Hera found the value from SSCC like as her said? Aku ndak ngerti. Aku mengerutkan kening. Aku berusaha keras memahami jalur pikirannya. Sering banget dia lompat dari sebuah gagasan ke gagasan lain. Aku tak paham. Aku pasrah,"Kau tahu yang terbaik. Semangat. Lakukan."

Aku kenalkan dia dengan beberapa orang. Aku ajak dia masuk dalam jaringan muda seni di Lampung kembali. Aku coba mendengarkan dia walau ndak paham seratus persen. Huft. Akan jadi seperti apa SSCC di tangannya? Aku kuatir, juga penasaran. Aku menahan diri terhadap ajakannya untuk datang melihat latihan. Aku tak mau intervensi. Tak mau mencampuri pikiran dan gagasannya walau sesekali mulut sok tuaku ini bocor juga.

Lalu terjadilah hari itu di Dawiels Cafe Bandarlampung menjelang hari Kartini, 20 April 2017 malam. Aku skeptis. Aku tak percaya SSCC bisa 'jadi', tapi aku gembira pada moment itu. Gembira melihat poster itu tersebar, dan aku datang dengan bahagia. Untuk Hera and the ganks, juga untuk SSCC, juga untuk diriku sendiri.


Sejumlah 50 an orang hadir dari berbagai kelompok. Sebagian tak kukenal, sebagian kukenal dekat, sebagian lagi kukenal sebagai jaringan. Aku menanti dengan sabar pementasan SSCC. Hera dan kawan-kawan sengaja sekali membuat pementasan itu sangat lambat rasanya di bagian awal dengan puisi-puisi, kata sambutan dan lain-lain. Aku tegak saja terpaku menunggu sampai kemudian saatnya SSCC.

Aku berurai air mata. Aku masuk dalam cerita itu seperti akulah sang tokoh. Ya, aku memang penulisnya. Akulah tokohnya. Akulah pembacanya kini memakai telinga-telingaku. Bunyi-bunyian di dari SSCC mengalun menjadi tanya. "Akukah penulisnya? Akukah tokohnya? Akukah pembacanya?" 

Hatiku meledak-ledak sampai di belahan bumi lain, tempat cerpen itu dialami oleh tokohnya. Di tempat yang jauh, yang berjarak dari Indonesia, yang obyektif sekaligus subyektif terhadap perempuan-perempuan Indonesia. Aku tak bisa tidak mengakui, Hera mampu membunyikan SSCC melampaui ekspektasiku.

Maafkanlah soal teknis, teori teatrikal dan lain-lain. Ini baru latihan pertama bagi Sun Love Community, Hera dan kawan-kawan. Aku tak peduli itu.


Aku peduli pada manusia-manusia yang membunyikan tokoh dan suasana dalam SSCC. Aku salut dan mengucapkan semangat untuk mereka. Saat itu, malam itu juga, aku yakin SSCC adalah pilihan yang tepat untuk dibawa ke ruang-ruang lain, dan siapa yang akan membuktikannya? Bukan aku. (Belum selesai, nanti lanjut lagi, sabar.)

Eropa, Aku Datang 13 : Pulang

(Sebelumnya.)

Pesawat Qatar Airways pukul 10.30 dari Fiumicino Airport akan membawaku pulang ke Indonesia. Transit di Doha, Jakarta lalu Lampung. Semuanya okey saat check in. Juga saat melewati imigrasi. Tak ada yang menarik juga sepanjang perjalanan pulang. Pesawat Qatar dari Roma ke Doha berbeda denga saat berangkat. Airbus dengan susunan tempat duduk 2-4-2. Sedang dari Doha ke Roma pakai Boeing 3-3-3. Jenis ini sama dengan saat berangkat dari Jakarta ke Doha, juga saat dari Doha ke Roma, waktu itu.

Makanan standar yang begitulah. Pelayanan ok. Sebuah dompet kain dibagikan berisi sikat gigi dan pasta, penutup mata, kaos kaki, juga penutup telinga. Minum apa saja sepanjang perjalanan. Sapaan setiap kali oleh para pramugari. "Madam, are you okey? Do you need something?" Aku biasanya menyebut keperluanku, jika memang ingin. "A cup of tea, please." Atau,"Do you have candy or cookies?" Atau,"I miss my dear, can you call him for me, please?" Hihihi...

Daftar menu selalu ada di Qatar Airways.

Pilihanku selalu yang ada nasi atau yang ada ayam.

Di bandara Soekarno Hatta, aku sampai pada pukul 7.40 pagi pada 13 April. Pesawatku ke Lampung menggunakan Garuda masih jam 13-an siang dari terminal 3. Aku terdampar di terminal 3 di terasnya Alfamart, dengan secangkir kopi, semangkuk mi, sebotol air minum dan berjuta pikiran-pikiran. Aku harus gembira. Itu kesimpulan akhirnya.


Saat tiba di Lampung, aku tak punya waktu lagi untuk memikirkan banyak hal. (Itulah mengapa kusebut hari terakhir yang lengang di Swiss dan Italy itu penting.) Kamis putih kulewati pada sore itu dengan ngantuk berat, Jumat agung kulalui dengan hitam pekat, dan malam Paskah, aku terbang bersama asap dari cahaya lilin di tanganku.

Aku mengakhiri perjalanan dengan 'mistis' mungkin karena pas dengan pekan suci. Semuanya tepat, pas. Ini perjalanan mimpi. Perjalanan absurb. Permainan ilusi. Hihihi. Nantilah kuterangkan hal-hal ini. Pokoke, ini adalah perjalanan yang ingin segera kuulang dengan peristiwa-peristiwa berbeda...

Love you, Langit dan Semesta. Love you so much. (Sementara selesai.)

Eropa, Aku Datang 12 : Hari yang Lengang sebelum Pulang

(Sebelumnya.)

Hari terakhir di Zurich sebenarnya sudah dirancang untuk jalan santai ke kota Zurich, menyusuri jalan-jalannya, lalu nongkrong sebentar sebelum ke bandara. Tapi aku tak ingin bergerak, tak ingin bersuara. Jadi hari ini aku hanya berbaring, duduk, mondar-mandir di rumah tanpa banyak cakap. Dan sekarang, setelah mengenangnya, pilihan itu sangat tepat. Seperti sebuah kesempatan untuk mengendapkan segala hal yang sudah kutangkap. Tubuhku juga membutuhkan itu. Pikiranku. Hatiku. Jadi, hanya diam saja pada hari itu, memanglah sangat tepat.

Aku kembali ke Roma dari Bandara Zurich menggunakan Swis Airlines pada pukul 17.45. Kalau waktu berangkat aku menembus Alpen, kali ini aku melintasi puncak-puncak Alpen. Aku nangis. Tidak bisa tidak. Aku tertawa. Tidak bisa tidak. Aku kosong. Aku penuh. Aku ...







Sampai di Fiumicino Airport, aku dijemput minibus untuk sampai ke hotel transit, B&B Hotel di Fiumicino. Satu malam yang menambah kelengangan di hari terakhir sebelum aku balik Indonesia. Rasanya seperti mimpi hari ini. Melayang, terbang... tidur dengan tidak nyenyak. Beberapa kali terbangun. (Aku akan tulis lebih detail tentang hal ini nanti, ingatkan aku.)

Aku benar-benar bangun pada pukul 06.00. Tanpa mandi aku packing dengan kilat, bersiap seperlunya. Di lobby hotel, petugas memberiku bungkusan sarapan berisi pie apel dan jus jeruk kotak, dan berbaik hati menunjukkan tempat di mana aku harus menunggu jemputan ke bandara.

Kabut melingkupi Fiumicino. Dingin. Tak ada seorang pun di jalanan pada jam 07.00 pagi itu. Sempat was-was ketika hingga 10 menit tak juga ada makluk lain di sekitarku. Ketika mobil penjemput datang 15 menit kemudian, sapaan sopirnya seperti sapaan paling ramah yang pernah kudengar saking aku lega banget bisa bertemu manusia lain. Hehehe. Seorang laki-laki Italy, tua, berjas, membantuku memasukkan koper, bertanya terminal berapa tujuanku, lalu membantuku masuk ke mobil dengan sabar.

Akan ke manakah aku setelah ini? (Kisah selanjutnya.)

Eropa, Aku Datang 11 : Reinfall dan Mainau, Swiss hingga pinggiran Jerman

(Sebelumnya.)

Hari Senin keesokan harinya Nadet sudah menawarkan rencananya : "Kita akan ke Rein Fall, lalu Mainau dan kalau ada waktu ke pinggiran Austria." Aku ya mung mantuk-mantuk setuju. Apa pun pasti kunikmati kusukai.

Reinfall, masih daerah Swiss. Kami menyusuri pinggirnya dari berbagai sisi :




Mainau, sebuah pulau unik di Jerman :


Magnolia sedang mekar. Ohhh... cintaku, akhirnya aku bertemu denganmu di sini.

Tulip!!!

Makan siang yang super kenyang.


Hmmm... Austria tak jadi dikunjungi karena waktunya tak memungkinkan. Bagiku sih hari ini sudah puas. Jadi saat kembali ke Zurich, melalui jalanan lurus dengan cemara/pinus di kanan kiri jalan, ditemani lagunya Sheila on Seven dan lagu-lagu lain, aku tak lagi berpikir apa pun. 

Ini sudah berlebihan kuterima. (Kisah selanjutnya.)

Eropa, Aku Datang 10 : Piknik di Tepi Danau Zurich dan Makan Malam bersama Edhit

(Sebelumnya.)

Hari santai pada hari Minggu, 9 April, urusanku adalah memenuhi undangan makan. Nadet dan Silke libur. Sepanjang siang mereka bersama beberapa orang sudah merencanakan piknik di tepian danau Zurich, makan, bakar-bakar, makan, jalan, makan, ngobrol, makan lagi, ... dst. Huft. Sampai melar full ini perut dengan salad, buah, asparagus, bihun goreng, ayam bakar, sosis, etc.etc, entah apa saja.

Salah satu yang menarik, bukuku kumpulan cerpen Salah Satu Cabang Cemara rupanya terselip di antara bekal piknik Nadet sehingga menarik perhatian Jo, yang lalu menarik semuanya untuk dibaca sekilas dan dibahas sekilas. Hanya kilas-kilas saja. Hehehe. Iyalah. Mana mereka paham bahasa Indonesia. Tapi mereka rupanya menunjukkan apresiasinya padaku dengan antusias melihat deretan huruf-huruf dalam buku itu.

Lihat. Terlihatnya saja sudah begitu luar biasa kan.

Piknik di tepi danau Zurich

Pasangan Felix dan Nona, Jerman dan Rusia, mesra...

Nah, malamnya Edhit undang untuk makan malam. Perempuan Jerman ini memasak pasta dengan saus jamur yang super deh. Awalnya aku udah ragu apakah perutku yang masih kekenyangan dari piknik itu bisa menerima makanan lagi malam hari itu. Tapi ternyata, begitu memasuki rumah Edhit yang mungil, aroma saus jamur tercium lezat dan langsung mengkili-kili perut. Aku masih bisa menghabiskan sepiring pasta dengan sausnya, plus semangkuk salad sayur yang segar. Pun Edhit masih memberiku bonus sekantung coklat. Wajah ramahnya itu tak mungkin kulupakan.

Teras rumah Edhit yang mungil dan indah.


Silke kebagian motret. Ingat foto setelah semua santapan hilang di perut. Hehehe.

Malam hari balik ke rumah Nadet dengan super kenyang mengingat seluruh makanan dan energi-energi lain yang kulahap sepanjang hari itu. Tidur pulassss...  (Kisah selanjutnya.)

Eropa, Aku Datang 9 : Menyentuh Salju Alpen di Grindelwald-First

(Sebelumnya.)

Hari kedua di Swiss, tuan rumahku yang baik sangat paham bahwa tamunya ini berasal dari negeri Katulistiwa nan hangat sepanjang tahun. Salju pasti luar biasa kalau dapat dijangkau. Maka, mereka mengajakku ke arah Alpen untuk menyentuh salju. Aihdah kidah. Mereka bilang tak pernah ke tempat ini, sebuah desa di kaki Alpen karena memang tempat turis. Mereka ini para pejalan namun bukan sebagai turis. Aku pun sebenarnya lebih cocok begitu. Aku tak suka jadi turis, aku lebih suka disebut sebagai pejalan.

But, bagiku ya tetap saja luar biasa. Perjalanan ke Grindelwald First yang tersohor ini, sangat-sangat istimewa. Naik cable car selama belasan menit, mendaki bukit salju, dan segala hal yang kutemui di sana, apa coba yang bisa kukatakan. Para sahabatku ini menyiapkan aku dengan baik. Meminjamiku baju hangat sebagai rangkapan di dalam jaketku, sepatu jalan yang tepat untuk salju, juga keperluan-keperluan lain yang mungkin kubutuhkan.

Dan, really, aku sangat menikmati tempat ini. Lihatlah.






Perjalanan ke arah sana saja sudah luar biasa bagiku. Kalian bisa lihat dari foto-fotoku itu. Yang tak bisa kuceritakan banyak adalah perbincanganku dengan para sahabat ini. Mereka, sahabat-sahabat yang dengan wajar menerimaku, memberikan pelajaran-pelajaran tidak langsung selama perjalanan asyik ini. Jika aku punya kesempatan berikutnya, aku pasti akan melanjutkan pelajaran-pelajaran itu. Sungguh. (Kisah selanjutnya.)

Eropa, Aku Datang 8 : Zurich yang Rapi dan Bersih

(Sebelumnya.)

Sampai di stasiun Zurich Hb, sekitar pukul 15.00, Nadet sudah menjemputku di platform. Huh. Kalau tidak dijemput olehnya, pasti aku akan hilang dari peredaran dunia ini secara tidak wajar. Hehehe. Lebay. Tapi memang betul itu. Bahasa Jerman digunakan di sana sini di seluruh negeri kecil ini. Semua-muanya tampak asing. Tapi senyum Nadet tentu saja sangat kukenal bahkan dari kejauhan. Lega banget melihat dia.

Sore itu kami berjalan di sekitar kampus ETH Zurich, ngopi di kantinnya, melihat danau Zurich sambil nunggu Silke. Menikmati Zurich sangat berbeda rasanya dengan Italy. Jauh lebih bersih, lebih rapi, lebih aman. Tak kulihat pengemis atau gelandangan. Tak kulihat sampah dan kericuhan. Pokoke jauh lebih beradab.







Itu beberapa sudut yang kutemui saat berjalan di Zurich pada hari pertama di Swiss. Aku merasa betaahhhh... iyalah. Bahkan aku sampai tak tahu kalau Euro tidak laku di sini karena kebaikan hati SuN menerimaku di rumah mereka yang indah.

"Kau adalah tamu kami. Semua kebutuhanmu kami yang tanggung." Waduh. Aku bercucuran air mata, mau apa coba. Ini bagian dukungan Semesta itu. Kau tahu, Langit. Kadang cara bercandamu itu keterlaluan. Huh. (Kisah selanjutnya.)

Eropa, Aku Datang 7 : Roma Termini - Zurich Hb

Kayak orang hilang
(Sebelumnya.)

Hari ke sekian, pada 7 April aku sudah di stasiun Roma Termini. Udara cukup dingin dan pagi-pagi mesti check out dari Hotel Joli. Keretaku jam 08.00 dari Roma Termini menuju Milano Centrale dengan menggunakan kereta Frecciarossa 9610. Kereta ini terlalu bagus buatku. Hehehe. Nadet dan Silke telah mengupayakan segala yang terbaik untuk perjalanan Roma - Swiss pulang pergi dan selama di sana. Aku ndak tahu lagi mesti ngomong apa ke mereka : Terimakasih, terimakasih, terimakasih.

Kereta ini berhenti di Milano Centrale tempat aku sambung ke Zurich Hb, dengan kereta Eurocity 16 pukul 11.25. Kedua kereta kelas 2 ini super bersih, tepat waktu. Dan aku nyaris tidak bicara apa pun selama di kereta. Tak ada yang bisa kuajak ngobrol. Aku membuka Manuskrip Celistine sesekali. Tidur terputus-putus. Selebihnya adalah mengagumi pemandangan di luar jendela kereta yang terus bergerak ajek, plus pikiran-pikiran yang bergerak antara tubuh, luar tubuh, ... Huaaa... Bahkan saat kualami pun peristiwa itu seperti mimpi. Apalagi dari Milano ke Zurich itu kereta melintasi lembah, bukit maupun terowongan yang menembus Alpen. Hmmm... mau ngomong apa pun tak bisa menampung semua yang ingin kukatakan.

Nah, karena sulit bercerita tentang pengalaman ini dan aku kok ndak menemukan foto apa-apa di kameraku tentang perjalanan ini (padahal seingatku aku mengambil foto-foto juga sepanjang perjalanan. Entah hilang kemana), aku cerita saja yang kualami saat di kereta :

1. Rasanya aku tak pernah memimpikan suasana di atas kereta seperti dFrecciarossa 9610. Aku duduk di gerbong 4 no kursi 5A. Sampingku seorang bapak yang satu rombongan dengan orang yang duduk di depanku. Masih serombongan dengan beberapa orang lain di gerbong yang sama. Sepertinya mereka adalah segerombol orang yang melakukan perjalanan karena pekerjaan. Ini terlihat dari gaya mereka berpakaian (jas rapi sepatu pantofel), bawaan mereka (tas jinjing, laptop, kertas-kertas), juga sesekali antar mereka serius berbincang lalu melakukan kontak memakai HP. Mereka saling komunikasi memakai bahasa Italia. Aku hanya sempat bicara dengan teman dudukku ini saat akan turun, menanyakan apakah betul stasiun itu Milano Centrale. Dia memastikan bahwa itu betul, dan mempersilakan aku keluar kursi.

2. Di seberang kursiku adalah sebuah keluarga Italia. Bapak dan ibu muda, dengan 3 anak. Perempuan, laki-laki dan laki-laki. Anak pertama perempuan dan anak kedua laki-laki sibuk dengan buku-buku yang mereka bawa. Bapak mengajari beberapa hal kepada dua anak itu jika mereka mengalami kesulitan dengan bukunya. Ibu memangku anak terkecil sambil bermain HP. Sesekali bapak dan ibu saling bercakap. Nah, seperti itu sepanjang 3,5 jam di kereta. Ketika si ibu butuh ke toilet, anak kecil dipangku bapak tapi sambil nangis mencari-cari si ibu. Hmmm... Potret yang mirip dengan keluarga-keluarga lain, kukira.

3. Saat aku berada dalam kereta Eurocity 16 dari Milano ke Zurich, penumpang lebih sepi, lebih sering berganti di stasiun yang dilewati. Kursi sampingku kosong, di depanku duduk seorang pemuda asyik dengan buku dan earphone yang tertancap di HP, tanpa suara. Di gerbong 4 no kursi 32. Aku melihat banyak orang semacam turis di kereta menuju Zurich ini. Banyak juga wajah non Eropa. Aku lebih nyaman, dan bisa menikmati bekal nasgor plus telur ceplok, masakan Rm. Indro yang disediakan bagiku, sambil melihat pemandangan luar biasa di luar.

4. Perjalanan ini, atau mirip seperti ini, menurut intuisiku akan sering kualami di masa mendatang. Hmmm... (Kisah selanjutnya.)

Eropa, Aku Datang 6 : Seputaran Roma


Di pintu belakang KBRI Vatican di Roma.
(Sebelumnya.)

Usai konferensi dua hari di Vatican, acaraku adalah : keliling Roma. Aku tak mau menganggap jalan-jalan seputar Roma ini sebagai sampingan, ini adalah bagian utama juga. Hehehe... Beberapa janji sudah kubuat. Hari pertama usai konferensi adalah hari Rabu. Aku, Rm. Indro dan Br. Yuwono sudah janjian untuk mengikuti audiensi umum Paus yang memang diadakan tiap hari Rabu. Br. Yuwono sudah mendapatkan tiketnya.
Salah satu sudut

Basilika St. Paulus
Usai itu sudah janji untuk bertemu Pak Agus Sriyono, duta besar Indonesia untuk Vatican di kantornya. Ini ngobrol santai tanpa target apa-apa. Menyerahkan beberapa buku. Dan tentu saja, untuk menikmati kehangatannya.

Nah, bagian yang penting juga adalah berjalan di tempat-tempat terkenal di Roma. Aku lupa apa aja saja yang kukunjungi (mungkin Rm. Indro bisa bantu aku.). Kucatat dulu yang kuingat : Colosseum, Pantheon, Fontana di Trevi, Piazza di Spagna, Via de Corso, basilika entah apa saja, (aihdah) dst. dst. (Aku susah mengingat nama-namanya. Duhhh.)

Jadi kupasang saja foto-foto yang bisa kutemukan ya. Lihat, siapa tahu kalian bisa mengingatkan aku kemana saja aku selama dua hari di Roma itu. Ohya, selama keluyuran ini aku menginap di Joli Hotel, dekat dengan Ottaviano Station. Hotel tua yang unik, tapi nyaman. Walau air panasnya sering ngadat, lift kecilnya agak menyeramkan, tapi hotel ini cukup strategis posisinya dan cukup ramah para pengelolanya. Ada sarapan juga yang disediakan, jadi ok banget deh.


Pantheon.







Fontana di Trevi.


Halaman Basilika St. Petrus.




Musium Leonardo da Vinci




Jalanan Roma

Collosseo.

Pelukis jalanan.

Ngikuti hasrat duduk di bawah bunga sakura.


Keterangan dan foto lain-lain kutambahkan nanti yaaa..... (Kisah selanjutnya.)