Friday, December 13, 2019

Abon Ikan / Ayam ala Yuli Nugrahani

Abon dikemas rapi setelah diolah dengan penuh cinta.
Beberapa saat sebelum pergi ke Agats, aku melakukan eksperimen membuat abon dari macam-macam bahan. Ikan tuna, patin, dan lele itu menjadi obyek yang awal-awal. Membeli dalam jumlah sedikit hanya setengah kg atau beberapa ons saja. Lalu aku juga membuat abon ayam dari dada 1 ekor ayam. Kemudian melakukan eksperimen juga dengan menyematkan macam-macam rasa, dari yang orisinil, pedas dan bawang.

Eksperimen ini mesti kulakukan karena di Agats aku akan latihan bersama para ibu di sana untuk membuat berbagai macam pangan lokal. Aku yakin di Agats pasti ada macam-macam hasil air laut atau sungai yang bisa diolah menjadi makanan. Selain membuat abon aku juga menyiapkan kue sagu, kue telur gabus, pastel abon dan sebagainya. Soal yang mana nantinya akan dipraktekkan di Agats tidak jadi soal.

Hasil dari eksperimen itu aku kemas dalam kantung-kantung yang memungkinkan untuk digunakan beberapa kali, tanpa perlu dipindah ke toples dan tidak repot untuk menutupnya kembali sehingga tidak melempem. Kulengkapi dengan hitungan bisnisnya andai kata abon-abon itu akan dijual.

Pertanyaan yang sering muncul adalah sebagai berikut:

Ikan patin, lele dan ayam. Siap packing.
1. Bukannya bikin abon itu ribet?
jawab: Ndak, sama sekali tidak ribet. Memang butuh waktu lama dan kudu telaten. Bahkan untuk proses penggorengannya bisa dipakai untuk wiridan sampai beberapa kali putaran. Jadi sambil ngudek bisa sambil mendaraskan doa-doa.

2. Bukannya alat-alatnya harus khusus?
jawab: Tidak. Aku menggunakan alat-alat yang ada di rumah. Kompor, panci, wajan, sutil, sendok, baskom, cobek, solet, blender, alat pres (bisa menggunakan serbet atau kain bersih kalau tak ada). Nah, ada semua di dapur kan alat-alat itu? Kalau pun tak ada tetep bisa diakalin, pakai yang ada saja.

3. Bukannya bahannya susah?
jawab: Tidak. Kita bisa pakai bahan apa saja yang ada. Ikan laut, sungai, ayam atau daging apa saja. Malah aku sedang berpikir untuk membuat dari jamur atau gori/sukun/kluwih.

4. Bukannya hasilnya nyusut menjadi sangat sedikit?
jawab: Betul. Dari 3 kg ikan patin yang kubeli nanti hasil abonnya paling hanya 6 - 8 ons. Kan harus diilangin duri, kulit, kepala, dan ekornya. Habis itu digoreng kering dan dipres pula biar minyaknya hilang.

5. Harganya jadi mahal dong...
jawab: Betul. Harga abon memang mahal. Karena prosesnya lama dan penyusutannya banyak. Memang begitu.

Nah, karena mahal daripada beli di tempatku (bisa pesan di 08127925222), lebih baik buatlah sendiri saja. Ini kubagikan resepnya:



ABON LELE/PATIN/TUNA/AYAM ALA YULI NUGRAHANI


BAHAN:
-          1 kg ikan, buang kepalanya (kepala bisa dibuat pindang)
Abon siap meluncur ke pemesan.
-          1 ltr Minyak goreng
-          3 batang sereh (kalau ada)
-          3 lembar daun jeruk (kalau ada)
-          6 lembar daun salam (kalau ada)

BUMBU HALUS:
-          6 siung bawang putih
-          12 siung bawang merah
-          10 butir kemiri
-          1 sendok makan ketumbar
-          Cabai (kalau mau rasa pedas)
-          1 sendok teh garam (cek rasa)
-          2 sendok makan gula pasir (atau bisa ditambah gula merah, ada ditambah jumlah kalau mau rasa manis)
-          1 ruas jari jahe (kalau ada)
-          1 rusa jari laos muda (kalau ada)
-          1 ruas jari kunyit (kalau ada)

CARA MENGOLAH:
-          Rebus ikan hingga matang, beri sedikit garam pada air, tiriskan.
-          Bersihkan ikan dari kulit dan duri (kulit bisa dibuat keripik kulit ikan), suwir-suwir.
-          Haluskan bumbu. Rebus dengan sedikit air hingga aromanya tercium, matang. Masukkan potongan ikan, bumbu lain-lain, aduk rata, api kecil hingga air mengering.
-          Uleg/tumbuk ikan yang sudah berbumbu.
-          Goreng dengan api kecil sambil terus dibolak-balik (30 – 45 menit)
-          Tiriskan dan press dengan alat press hingga minyaknya keluar.
-          Keluarkan dari alat press dengan dikerok menggunakan garpu.
-          Jika tidak ada alat press bisa menggunakan kain dan diperas sampai minyak keluar.
-          Biarkan dingin dan siap dikemas.

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019

Sebenarnya aku lebih suka bicara tentang gender daripada bicara tentang perempuan. Kalau bicara tentang gender, aku bicara tentang manusia. Dan manusia itu adalah perempuan dan laki-laki, keduanya. Sama martabatnya sebagai ciptaan, sama derajatnya dalam seluruh kehidupan, dan harusnya diperlukan adil dan setara dalam setiap peran yang dijalankannya.

Tapiii, di Indonesia, kalau bicara tentang gender mau ndak mau bicara tentang perempuan, karena:

1. Korban kekerasan yang sekarang ini terjadi dalam hidup sehari-hari kita paling banyak adalah perempuan (juga anak-anak).

2. Perempuan masih mendapatkan label negatif dalam banyak peran yang dijalankannya.

3. Masih banyak perempuan yang menanggung beban ganda karena pilihan-pilihan sikapnya.

4. Perempuan masih terpinggirkan dalam peluang, akses dan perkembangan ekonomi. Masih ada gap dalam kesejahteraan.

5. Masyarakat masih sering menomorduakan perempuan untuk berbagai macam peran, posisi, dan tanggungjawab sehingga tidak mendapatkan akses dalam pengambilan keputusan maupuan kebijakan publik.

Karena itulah, bicara gender di Indonesia masih terus melekat pada perempuan dan upaya-upaya untuk pemberdayaan perempuan.

Dalam 16 hari kemarin, dari 25 Nopember hingga 10 Desember, menjadi kesempatan untuk melakukan usaha lebih dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Ada banyak moment yang bisa digunakan sepanjang 16 hari itu dengan puncaknya pada 10 Desember sebagai hari Hak Asasi Manusia.

Satu kesempatan kulakukan di Radio Suara Wajar pada Rabu 4 Desember 2019 mengambil slot ruang talkshow ASG yaitu pada pukul 20.00 - 21.30, dengan mensosialisasikan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, juga mengangkat keprihatinan kuatnya industri sekarang ini menjadikan perempuan sebagai korban melalui diskriminasi-diskriminasi langsung maupun tidak langsung. Misal standar kecantikan: kulit putih, rambut lurus, pipi tirus dan sebagainya. Perempuan yang sebaliknya seperti kulit hitam, rambut keriting dan pipi cubby menjadi obyek bullyan, dianggap tidak cantik, dan 'dipaksa' dengan segala macam 'permak' untuk mengubah kondisi fisiknya.

Wednesday, December 11, 2019

Perjalanan ke Agats (5): Masa Depan Anak-anak Papua

Bersama pelajar Agats di Aula Bupati Agats

Bersama Goan dan buku-bukuku.

Anak-anak cantik di depan Museum Asmat.

Gadis-gadis cantik yang suaranya luar biasa


Anak-anak asrama



Dalam perjalanan ke Agats kali ini (19 - 26 Nopember 2019), aku mendapatkan beberapa kesempatan bertemu dengan anak-anak dan remaja Papua. Kesempatan pertama (di bagian awal dan akhir perjalanan) aku bertemu dengan anak-anak di asrama yang dikelola oleh suster-suster di Timika. Mereka adalah anak-anak asli Papua yang mendapatkan didikan 'keras' pada usianya yang sangat dini, usia SD, masih sangat 'bayi' kalau aku ingat Albert dan Bernard, anak-anakku.

Saat berkunjung ke asrama ini spontan aku ingat tulisan Rm. Mangun tentang Asrama Mendut di samping Sungai Elo yang dibangun untuk mendidik gadis-gadis Jawa. Para suster Belanda dikisahkan sangat 'prihatin' dengan para gadis kecil yang bodoh ingusan tak tahu apa-apa, maka mereka dididik sangat keras dengan disiplin Eropa untuk membuat mereka menjadi perempuan-perempuan mandiri dan handal menghadapi hidup. Termasuk juga tulisan itu dengan para bujangnya di asrama Van Lit yang tak jauh dari situ.

Para muda Papua itu pun juga mendapatkan gemblengan dari para suster yang kebanyakan dari luar Papua. Mereka dipaksa untuk tertib mengikuti seluruh aturan dari para suster yang jelas sekali sebagiannya galak dan bersiap untuk menghardik kalau ada kesalahan-kesalahan.

"Pun begitu mereka tetap saja menggunakan waktu tidur siang para suster untuk keluyuran mencari buah-buahan yang tumbuh di halaman tetangga asrama," kata Rm. Gun, seorang pastur yang bertugas di SCJ, tak jauh dari asrama.

Aku tertawa saja sepanjang kunjungan singkat di asrama itu, melihat bagaimana mereka hidup secara 'mandiri' jauh dari orang tua mereka di kampung-kampung jauh. Katanya drama hebohnya ya terjadi saat mereka mulai masuk asrama (jan mirip dengan kisah Mendut), bahkan ada yang melarikan diri berusaha pulang ke kampungnya dengan segala cara.

Perjumpaan kedua dengan anak-anak Papua terjadi di Aula Kantor Bupati saat seminar. Aku bersama dengan Sr. Natalia OP memberikan dasar-dasar gender, bagaimana pergaulan sehat dan sebagainya untuk anak-anak pelajar dari berbagai sekolah di Agats. Anak-anak dari berbagai sekolah SMP dan SMA itu rupanya dipilih dari para aktifis sekolah, yang sudah biasa berorganisasi dan biasa untuk aktif. Mereka bisa menyampaikan buah pikiran mereka dengan baik, berani dan tidak malu-malu. Malah dengan mudah mereka membantu menghidupkan suasana pertemuan saat kami minta untuk bernyanyi dan bergerak.

Lalu perjumpaan-perjumpaan selanjutnya ada beberapa kali seperti di Kopi Bakau, para muda yang berkreasi dengan kopi dan menyediakan tempat untuk nongkrong. Lalu sebuah percakapan agak mendalam dengan Goan, guru muda asli Wamena yang tinggal dan besar di Agats. Dia lulusan pendidikan guru di Sanata Darma, dan masih punya banyak impian untuk masa depannya.

"Sa belum kepikir untuk menikah, kak. Belum menemukan orang yang cocok di Agats ini. Lagi pula sa masih ingin kuliah lagi S2 seusai kontrak dengan sekolah selesai."

Dia menceritakan aktifitasnya masa kuliah yang dia sukai, seperti naik gunung, juga menari. Kau bisa menari? Aku memandang tak percaya tubuhnya yang 'gagah', ya, dia gadis manis yang gagah.

"Bisa, kak. Sa bisa menari jaipong, tari bali, dan lain-lain."

"Tarian papua?"

"Tentu saja bisa." Jawabnya mantap dan percaya diri.

Dia menyampaikan beberapa pemikirannya sembari menemaniku keliling pasar Agats, bercerita tentang keprihatinannya akan harga-harga yang sangat mahal di Papua, minimnya fasilitas, susahnya mendapatkan akses pelatihan untuk mengembangkan diri dan sebagainya. Aku menangkap kerinduannya untuk terus maju dan belajar. Dia ingin tidak disekat oleh Agats yang terpencil tapi juga sertamerta dia ingin ikut mengembangkan Agats agar mampu bergerak maju seperti pikirannya.

Kegirangannya tampak jelas ketika aku memberikan dua bukuku padanya setelah aku tahu bahwa dia suka menulis. Goan mungkin tidak mewakili seluruh Papua, tapi dia adalah masa depan Papua, dan aku yakin banyak anak muda Papua yang seperti Goan, siap mengembangkan diri sekaligus mengembangkan Papua.

Wednesday, December 04, 2019

Perjalanan ke Agats (4): Seni Ukir dan Wisata Alam

Sebagian patung hasil kurasi panitia Festival Asmat.

Museum Asmat

Buaya leluhur

Sebagian sisi dari bagian dalam museum Asmat

Salah satu pojok foto di deretan Kopi Bakau

Patung Tangan di pusat kota Agats

Menghindari lalat babi dengan mepet ke api unggun

Yan Smith yang memprihatinkan

Sore di pelabuhan Agats

Perkampungan dekat pelabuhan

Salah satu kelompok yang hadir saat ekaristi 50 tahun Keuskupan Agats

Jembatan Jokowi, Agats.

Suku Asmat sudah familer di telingaku sejak dulu. Yang paling kukenali dari mereka adalah karya seni ukir yang mereka hasilkan. Kali ini aku bisa menikmati karya-karya mereka secara langsung termasuk bagaimana mereka melakukannya. Keberuntunganku adalah perjalananku kali ini bertepatan dengan Festival Asmat Pokman (pokman = karya tangan), dan saat itu ada ratusan seniman berkumpul di Agats dengan karya ukir, anyaman. Masih ditambah dengan para penari dan pendayung.

Sayangnya aku punya agenda lain bersamaan itu dengan SGPP KWI tapi tetap saja aku beruntung menikmati remah-remah yang masih boleh kupungut. Aku menggunakan jadwal festival yang dipasang di hotel, di kantin juga di tempat-tempat strategis di kota itu untuk memastikan mana yang bisa kuikuti dalam rangkaian festival.

Hari pertama aku dan beberapa tamu sudah diundang oleh Mgr. Aloys untuk mengunjungi Museum Asmat. Saat tiba di halamannya yang luas dan sedang disiapkan untuk pusat festival, mata dan hatiku sudah dimanja dengan ratusan ukiran berbagai ukuran yang sudah dikurasi oleh panitia. Hasil karya yang lolos kurasi itu akan dilelang dalam hari-hari festival Asmat.

Beberapa hasil karya ukir itu tampak mencuat di mataku dan menarikku untuk mencermati lebih lanjut. Ada cerita yang terungkap dari setiap ukiran. Beberapa di antaranya ada konten biblis yang diterjemahkan dalam warna Asmat. Misal ada kisah tentang Adam dan Hawa di Taman Eden. Ular/setan digambarkan dalam wajah manusia dengan gerak menggoda. Ada juga penggambaran dunia 'bawah', 'tengah' dan 'atas'. Selain penggambaran manusia juga ada bentuk yang sering muncul yaitu perahu, pepohonan, alat musik dan senjata.

Saat masuk ke museum, yang mencolok mataku pertama-tama adalah buaya besar di tengah ruangan. Tampak besar dan gagah. Konon itu adalah buaya yang sebenarnya, diawetkan dan dianggap sebagai leluhur. Mulutnya yang terbuka diberi persembahan-persembahan, yaitu uang dan rokok. Selain itu juga dikoleksi patung-patung segala bentuk segala ukuran, macam-macam senjata yang digunakan oleh suku Asmat, dan sebagainya. Di dinding dekat pintu masuk/keluar dipasang peta yang membuatku semakin ngeh lokasi Asmat ini juga kedekatannya dengan daerah-daerah lain.

Keluar dari Museum kami belok ke kanan ada deretan kopi bakau dengan pojok foto bagi siapa pun yang datang. Karena kopi bakau belum tersedia ya foto-foto itulah yang kami lakukan. Hehehe...

Saat pembukaan festival pas banget dengan seminar untuk para pelajar. Tapi kami break saat pawai dimulai sehingga aku bisa merekam pawai mereka dan menikmati gerak Asmat dan kostum yang mereka gunakan secara langsung.

Banyak agenda lain setelah pembukaan tapi aku malah nyempil di Aula Kantor Bupati. Huh. Tapi sekali ada kesempatan aku tak melewatkan tour bakau seperti yang ditawarkan oleh panitia. Kami diajak menyusuri sungai di Agats dan berhenti sebentar di sebuah pondok untuk menikmati suku Asmat dalam ritualnya. Tidak terlalu lama dan membuatku sedikit kecewa tapi cukuplah juga untuk membuktikan bahwa Agats, bahwa Asmat mempunyai daerah yang indah alamnya dengan beberapa ancaman yang nyata: pendatang yang ndak mudeng budaya setempat, air sungai yang keruh oleh pencemaran (oleh tambang?) dan masuknya budaya instan dalam segala lini kehidupan. Huh.

Puncak acara tak bisa kuikuti karena terlalu capek dan aku harus 'memaksa' Sr. Natalia untuk diam saja di hotel karena kakinya yang bengkak. Jadi hari Sabtu 23 Nopember aku menikmati sore dengan jalan ke pasar Agats bersama Goan lalu tidur, makan, tidur makan. Ohya, aku berkunjung juga ke pelabuhan dimana patung Yan Smith berdiri rusak di sana. Mengambil foto-foto sunset yang indah di pelabuhan lalu makan bakso di dekat Patung Tangan kota Agats.

Hari Minggu 24 Nop menjadi puncak peringatan 50 tahun Keuskupan Agats ditandai dengan ekaristi inkulturasi di halaman museum Asmat. Acara ini memuaskanku. Bahkan hingga hidangan yang mereka sajikan. Pun ketika disambung dengan acara makan malam di aula Keuskupan Agats pada malam harinya, aku menikmatinya sangat.

Wisata lain kusambung tanggal 25 nop dengan bermotor listrik bersama Sr. Natalia ke Jembatan Jokowi, untuk mendapatkan foto donggg....

Jadiiii, kalau ada kesempatan lagi pergi ke tempat ini, aku sudah punya deretan yang ingin kunikmati secara lebih:

1. Menelusuri sungai-sungai Asmat dengan tanaman-tanaman bakaunya yang beragam.

2. Menikmati seniman-seniman Asmat merenda di atas kayu-kayu, seperti tanpa konsep langsung ukir saja.

3. Mencoba tinggal di rumah-rumah asli mereka dan menggunakan cara mereka untuk bertahan hidup.

Nah, begitulah.

Tuesday, December 03, 2019

Perjalanan ke Agats (3): Sanitasi dan Air Bersih yang Susah


Jalan depan antara aula dan kantor bupati Agats

Lihat atap di sebelah kanan itu, ada selang/pipa untuk mengalirkan air hujan yang ditangkap oleh atap, masuk ke talang dan masuk ke penampungan air.

Sungai samping hotel saat pasang

Semuanya tanah rawa yang pasang surut.

Bagian lobi hotel Sang Surya.

Kebiasaanku kalau datang ke suatu tempat asing yang pertama-tama adalah tanya di manakah kamar mandi dan WCnya, apalagi kalau rencana akan tinggal dalam beberapa lama di tempat itu. Itu juga yang kutanyakan ketika sudah mendapatkan kunci kamar di Hotel Sang Surya Agats. Aku menempati kamar no. 6 yang terletak di lorong pertama setelah lobi. Kamar itu dekat dengan sungai samping hotel sehingga kalau aku membuka jendela kamar, aku bisa melihat hilir mudiknya speedboat atau perahu saat air sedang pasang.

Kamar itu berukuran sekitar 2,5 X 2,5 m2 dengan kasur untuk satu orang dengan satu bantal satu selimut dan satu handuk besar, satu meja yang di atasnya ada kipas angin, alat mandi dan sisir, satu kursi, satu lemari tanpa pintu dan satu cermin. Di lantai ada dua pasang sandal jepit warna putih dan hitam. Mengikuti hasrat aku pakai sandal putih untuk di dalam kamar sedang sandal hitam untuk ke luar kamar. Hehehe...

Kamar mandi terletak di luar kamar, setelah melewati kamar-kamar lain dan ruang cuci seterika. Kamar mandi dipisahkan antara laki-laki dan perempuan dan tiap pintu diberi tulisan peringatan untuk menghemat air karena air di situ didapatkan dari tampungan air hujan. Jika tidak hujan maka air akan menipis bahkan tidak ada lagi yang bisa digunakan.

Hotel ini cukup bersih dan air berkecukupan karena mempunyai bak-bak penampung air hujan yang sangat banyak. Pun begitu semua orang yang ada di situ harus berhemat dalam penggunaan air karena tidak bisa memprediksi kapan hujan atau tidak.  Jadi, walaupun berhemat air, selama aku tinggal di Hotel Sang Surya Agats aku tidak mengalami masalah besar soal air.

Ketika dua hari mengisi acara di Aula Ja Asamanam Apcamar, aula milik kantor Bupati Agats, aku berharap hal yang sama dengan di hotel. Tapi rupanya tidak. Ada dua kamar mandi/toilet di bagian belakang aula, dan tak ada sedikit pun air di sana. Jadi bagaimana urusan kencing atau berak? Huhuhuu... di sinilah air botol dan tisu jadi korban. Terpaksa aku menggunakan sebotol kecil air minum, tisu basah dan tisu kering untuk menyelesaikan urusan kamar mandi. Agak repot apalagi kami dua hari menggunakan aula itu dalam waktu yang cukup lama.

Saat aku masuk dapur kantin depan hotel berniat baik untuk membantu mencuci piring, Bude Anas yang mengelola kantin malah teriak-teriak: "Ndak usah bantu, mbak. Bisa malapetaka nanti. Bukannya membantu malah mborosin air. Kalau nyuci di sini mesti menggunakan cara yang berbeda dengan di tempat yang air berlimpah." Aku pun mundur teratur. Oke deh.

Di komunitas yang aku kunjungi seperti FSGM mereka memiliki tandon air yang besar dalam jumlah banyak. Pun begitu mereka tetap hati-hati dalam penggunaan air. Mereka beruntung bisa mempunyai fasilitas itu. Di rumah penduduk tampak bak-bak penampung air itu untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tapi jelas tidak semua orang mempunyai akses yang sama untuk memiliki tandon air karena membutuhkan biaya besar dalam pemasangannya.

Mereka sangat tergantung pada air hujan untuk pengadaan air bersih sehari-hari. Air rawa tidak layak untuk digunakan kecuali dengan pengolahan sebelumnya. Konon ada juga sumur bor hingga 200-300 m penggalian. Itu pun tidak mesti mendapatkan air yang sehat.

(Sorry tidak banyak foto yang bisa mewakili ceritaku tentang sanitasi dan air besih. Semoga kali berikutnya ke Agats aku dapat mengingat untuk memotret segala hal yang perlu untuk cerita semacam ini.)

Friday, November 29, 2019

Perjalanan ke Agats (2): Lampu Kuning untuk Ketahanan Pangan di Asmat

Bersama para ibu mengolah ikan menjadi abon.

Memberi petunjuk untuk membuat kue telur gabus.

Foto bareng dunggg...

Foto bareng lagi.

Hasil olahan ikan duri dan sagu. Abon ikan dan telur gabus.
Saat pelatihan kok ada tukang sayur lewat. Dicekrek dulu. Ada tahu, tempe, kerupuk dan sayuran. 

Kangkung, okra merah, terong, cabai dll di halaman Pak Sarimin, PPL Dinas Pertanian Agats


Pasar Agats, macam-macam ikan. Yang paling dekat itulah ikan duri.

Daun gatal untuk menyembuhkan pegal linu. Aku ndak berani nyoba. Konon di tempel di kulit, bakal gatal sekitar 15 menit, usai itu sakit dan pegal ilang.

Singkong dan setengah pohon pisang.

Pasar Agats, aneka sayuran dan bumbu.

Kabupaten Asmat beberapa kali mengalami kejadian luar biasa busung lapar/gizi buruk yang menewaskan banyak orang. Pada tahun 2017 - 2018, puluhan anak meninggal karenanya dan ratusan menderita campak. Saat aku datang ke Agats, hal ini menjadi keprihatinan paling besar yang kurasakan. Okeyyyy, aku sama sekali tak kekuarangan makanan. Panitia menjamuku (bersama tamu-tamu lain) dengan makanan beraneka jenis. Tiap kali makan selalu tersedia cukup nasi, ubi-ubian, pisang rebus, roti, aneka lauk dan sayur. Masih ditambah dengan buah walau dalam jumlah dan jenis terbatas.

Bersama dengan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agats, kami menggarap acara Pangan Lokal dalam Perspektif Gender pada Jumat 22 Nopember 2019 bertempat di Aula Kantor Bupati Asmat, diikuti para ibu dari berbagai kelompok. Dua narasumber awal adalah dari bagian gizi RSUD Agats dan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Asmat. Aku gembira karena optimisme yang muncul dalam sesi-sesi itu.

Sesi-sesi itu memunculkan kekayaan pangan lokal yang ada di Asmat. Yang paling menonjol sebagai sumber karbohidrat adalah sagu. Sagu juga mempunyai kandungan serat yang lebih tinggi dibandingkan beras. Buah-buahan lokal juga ada. Aku disebut buah bintang dari tanaman bakau, buah kom dan pisang. Ikan ada beberapa jenis yang mudah didapatkan di sana. Sayuran tidak banyak tapi ada.

Dari situ aku sangat penasaran ingin melihat pasar yang ada di sana. Betul, ikan berbagai jenis ada. Sayuran dan buah juga banyak. Tapi kebanyakan bahan ternyata berasal dari luar daerah Agats. Dan harganya bisa berkali lipat dibanding daerah lain. Misal kemarin aku beli pisang nona (di Lampung biasa disebut pisang muli) sesisir harga Rp 20.000. Padahal di Lampung untuk ukuran yang sama bisa dapat Rp. 3000 -5000 rupiah per sisirnya.

Kebanyakan bahan pangan berasal dari Timika dan Merauke (yang mungkin juga berasal dari daerah lain sebelum masuk lewat Timika atau Merauke). Untuk masuk ke Agats, bahan-bahan itu menggunakan jalan laut (sebagian mungkin udara) dan masuk ke distrik-distrik yang ada di Asmat dengan menggunakan perahu lewat sungai-sungai.

Daerah Agats merupakan kawasan rawa yang membutuhkan perlakuan khusus jika mau menggunakan tanahnya untuk bercocok tanam. Yang kelihatan sepanjang aku berjalan di daerah ini adalah pohon-pohon bakau berbagai jenis. Buah bintang yang diambil dari beberapa jenis bakau katanya biasa dimakan dengan dicolekin ke 'royko'. Duhhh, aku penasaran sekali mengapa harus memakai micin untuk memakannya. Mungkin suatu ketika aku akan bertandang lagi ke mari dalam waktu yang panjang untuk mengeksplorenya.

Pak Sarimin seorang penyuluh dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Agats mengatakan kalau bertanam sayuran di halaman rumah dinasnya. Aku mampir sebentar ke sana untuk melihatnya. Dia menanam kangkung, okra merah, cabai rawit dan lain-lain. Menurutnya tanah yang digunakannya berasal dari tanah rawa yang dicampur dengan sekam, abu dan EM4, baru siap untuk digunakan. Aku sempat bertanya kepadanya apakah cara yang digunakan itu ditularkan ke warga, karena aku belum melihat ada warga yang memanfaatkan sekitar rumahnya untuk bertanam sayuran. Jawabannya kurang memuaskan, tapi memang aku menangkap banyak kesulitan untuk hal itu.

Aku dan Sr. Natalia memberikan sesi pendek tentang gender, lalu usai sholat Jumat kami mengajak para ibu untuk praktek membuat abon ikan duri (ikan ini banyak ditemukan di Agats, mirip ikan lele atau patin), membuat kue gabus dari tepung sagu dan membuat kue sagu mutiara. Resepnya nanti kubagikan dalam halaman terpisah, tahap per tahap sehingga bisa ditiru oleh pembaca. Sebenarnya aku juga menyiapkan resep olahan lanjut dari abon tapi tidak mempraktekkannya. Moga jadi inspirasi bagi para peserta dan mau menyebarkan ke orang-orang lain karena produk ini mudah dibuat, tahan lama dan bernilai ekonomis yang tinggi.

Banyak peristiwa terkait dengan pangan ini membuatku mengeluarkan air mata.

1. Budidaya sagu tidak optimal dilakukan padahal jenis tanaman ini merupakan bahan pangan lokal yang sudah ada sejak lama. Jenis sagu unggul yaitu sagu licin sudah mulai punah, dan harusnya mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak.

2. Masyarakat Asmat mendapatkan perlakukan yang 'miring' dalam urusan makan. Misal saat makan di kantin hotel, mereka mendapatkan cap : makan banyak, menyembunyikan lauk di bawah nasi, kalau tidak habis dianggap hanya pura-pura, dipaksa menghabiskan makan yang tidak diambilnya sendiri, tidak mendapatkan penghormatan selayaknya pembeli yang lain.

3. Orang Asmat yang mondar-mandir di sekitar Agats karena perhelatan budaya Asmat itu datang dari berbagai kampung dalam rumpun suku Asmat. Kebanyakan mereka kurus, dengan baju yang tidak layak, sepertinya tidak ada gantinya, tidak bisa mengakses air bersih dan makan secara layak,

4. Pangan mereka berasal dari luar daerah yang sangat susah transportasinya. Sekali telat atau tidak bisa datang, mereka pasti kekurangan bahan pangan. Atau kualitasnya kurang bagus. Saat aku memasak memakai telur, semua telur yang kupecah selalu cair putihnya, malah kadang sudah busuk.

5. Tidak ada budidaya memadai yang mengembangkan tanaman lokal untuk membangun ketahanan pangan. Huftt...

6. Makanan instan sangat disukai. (Aku sempat beli mi instan plus telur harganya Rp. 20 ribu.) Bahkan mereka menjual ikan atau sayur kemudian menukarnya dengan makanan instan.

Masak sendiri mi goreng plus telur dan sosis. (Sssttt.... ini jangan ditiru.)

Thursday, November 28, 2019

Perjalanan ke Agats (1): Mengenali Transportasi Agats pada Perjumpaan Pertama

Bandara Mozes Kilangin Timika

Ongkos pesawat Timika Ewer.

Salah satu alat transportasi di Agats, longboat.

Pelabuhan Ewer untuk menuju tempat lain di Kabupaten Asmat.

Jembatan Jokowi di Kampung Syuru Agats.

Motor listrik, satu-satunya transportasi darat di Agats.

Bandara Ewer, pakai gerobak untuk mengangkut bagasi.

Pesawat twin otter, yang paling banyak menghubungkan daerah2 di Papua.

Rencana perjalanan ke Agats kupersiapkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Usai berbagai materi beres, sehari sebelum keberangkatan aku baru bisa browsing tentang Agats, itu pun hanya sebentar karena berbagai hal yang mesti kukerjakan pada minggu itu. Tanggal 19 Nopember 2019 sore, menggunakan Garuda dari Lampung ke Soekarno Hatta, lalu dari sana menuju Timika pada 21.35. Perjalanan lancar hingga mendarat tepat waktu di Bandara Moses Kilangin Timika pada 20 Nopember 2019. Hingga saat itu aku belum juga mendapat jawaban tentang pesawat yang akan membawa kami ke Agats. Naik pesawat apa, jam berapa dan kode booking kami mana. Semuanya tak ada jawaban.

Rm. Hendri yang menjemput kami memberi jawaban pendek saat kami sudah di ruang makan Ursulin: "Penimbangan jam 11. Nanti saya antar ke tempat penimbangan."

"Lalu terbang jam berapa?"

"Mungkin jam satu atau setengah dua. Pokoknya bersiap saja." Oh. Lalu tiketnya mana? Pesawat apa? Hehehe... tak ada jawaban.

Pukul 11.00 kami tiba di kantor Rimbun Air. Bagasi ditimbang, orang dengan bawaan juga ditimbang. Harga tiket Rp. 1.800.000 per orang, dengan maksimal berat 80kg plus bawaan kabin. Lalu bagasi Rp. 20.000 per kg, tak ada free bagasi. Semua harus dibayar. Total per orang mesti membayar sekitar Rp. 2 jt. Beratku plus ransel adalah 67 kg, masih di bawah berat maksimal. Lalu bagasi 11 kg. Pesawat yang digunakan adalah tipe Twin Otter, isi 17-18 orang, tujuan Ewer. Dari Ewer kami akan melanjutkan perjalanan ke Agats dengan menggunakan speedboat atau longboat.

Dari sana kami lihat masih ada waktu sehingga kami mampir makan siang di warung pecel di kota Timika, enak dengan porsi jumbo ang membuat berat badanku nambah 1 kg. Hehehe... Saat makan Rm. Hendri menyempatkan memberi penjelasan tentang hal-hal penting yang mesti kami ingat saat di Agats demi kesehatan kami semua: "Jangan sampai lupa minum biar tidak dehidrasi. Udara sangat panas, usahakan setiap jam minum air putih dan bawa botol minum ke mana pergi. Makan secukupnya jangan sampai lapar tapi juga jangan terlalu kenyang sehingga masih bisa memasukkan air putih dalam tubuh. Malaria mengintip di mana-mana, jadi jaga tubuh tetap sehat."

Sejam kemudian kami diantar ke Bandara Baru Moses Kilangin, bandara di kompleks yang sama dengan pesawat kedatangan kami di Timika tapi bangunan lain di sisi lain. Bandara itu kecil dan sedang dalam pembangunan. Konon kalau bandara baru ini selesai semua penerbangan domestic dan internasional akan melalui bandara ini sedang bandara lama hanya dipakai untuk kepentingan Freeport.

Menunggu di dalam bandara, kami tidak kunjung menerima pemberitahuan keberangkatan hingga ketika pukul 15.00, petugas memanggil penumpang menuju Ewer. Bukan untuk berangkat tapi untuk membatalkan penerbangan. Hah. "Penerbangan dibatalkan karena pesawat tidak mendapatkan bahan bakar. Silakan menanyakan informasi lanjut ke kantor Rimbun Air, jika anda ingin membatalkan penerbangan atau mengetahui penerbangan besok."

Ndak bisa ngomong. Waduh. Kami segera kontak Rm. Hendri untuk menginformasikan hal tersebut dan minta nasihat apa yang mesti kami lakukan. Beberapa saat kemudian Rm. Hendri menjemput sambil tertawa-tawa: "Ini hal biasa, Yul."

Jadi kami ke kantor Rimbun Air, mengambil bagasi. Rm. Hendri menjanjikan untuk urus kepastian keberangkatan kami ke Agats, dan meminta kami istirahat saja. Jadi malam itu kami tidur di Timika, menginap di Grand Mozza, satu hotel yang dekat dengan bandara. "Nanti saya kabari penerbangan besok bagaimana."

Maskapai tidak bisa menjanjikan jam berapa kami akan terbang. Tapi berkat upaya Rm. Hendri, malam itu kami mendapatkan informasi bahwa kami akan terbang sepagi mungkin dengan pesawat apa pun yang ada. Setelah melalui perubahan jam beberapa kali, kami akhirnya kembali ke bandara pada pukul 06.00. Bandara yang kami tuju masih dalam kompleks Moses Kilangin, tapi gedung yang lain yang berbeda dengan yang pertama dan kedua.

Kami ditimbang lagi. Pesawat yang akan membawa kami ke Ewer adalah Airfast, twin otter isi 18 orang. Terbang saat jam sudah lewat dari 08.00. Pesawat kecil ini membawa kami dengan tenang, karena cuaca sangat bagus. Butuh waktu sekitar 45 terbang. Luar biasa memandang alam Papua dari pesawat kecil yang terbang rendah semacam ini.

Selain pesawat kecil, sebenarnya ada kapal ferry atau speedboat yang bisa digunakan untuk menjangkau Agats dari Timika. Kapal ferry bisa membutuhkan waktu sekitar 10 jam, sedang speedboat membutuhkan waktu sekitar 6 jam. Tentu keduanya tidak direkomendasikan dalam perjalanan singkat seperti ini walau cuaca nampaknya sedang bagus.

Sampai di Ewer kami sudah dijemput oleh Luise, panitia sie transportasi Keuskupan Agats, bersama kru perahu membantu kami mengurus bagasi dan memindahkannya ke longboat milik Keuskupan Agats. Perjalanan ke Agats dengan longboat ditempuh sekitar 30 menit, melewati muara, laut dan masuk menyusuri sungai besar hingga sampai Pelabuhan Misi di Agats.

Ooohhh, kota Agats nan indah ini ternyata berdiri di atas rawa. Aku tak pernah menyangka kalau seluruh kota dibangun di atas rawa. Jadi naik ke darat itu artinya jalan di atas rawa, rumah di atas rawa dan seluruh aktifitas di atas rawa.

Panitia membantu kami membawa koper ke Hotel Sang Surya, tempat kami menginap selama di Agats, dan kami berjalan kaki untuk mencapai hotel ini. Tak ada alat transportasi selain motor listrik, perahu dan jalan kaki.

Wednesday, November 13, 2019

Bersiap untuk Agats: Lakonono Dhisik Hoiii...

Agats sudah di depan mata. Aku merencanakan dalam waktu yang singkat karena memang baru beberapa minggu lalu mendapat tawaran tentang acara di sana, itu pun aku belum bisa memastikan karena memang tak terpikirkan sebelumnya. Pekerjaan-pekerjaan akhir tahun di Lampung sudah menguras pikiranku, kalau ditambah perjalanan panjang ke Agats kayaknya akan sangat membebani aku. Tapi seluruh situasi membuatku tak bisa menolak. Pertama, Sr. Natalia yang mestinya pergi ke sana sungguh harus ada teman untuk mengisi acara terlebih setelah kecelakaan kecil yang membuat kakinya harus dioperasi dan masih butuh proses pemulihan. Kedua, seluruh anggota badan pengurus SGPP KWI tidak mungkin untuk pergi ke sana menemani Sr. Natalia. Ketiga, akulah yang paling mungkin untuk pergi dalam kesempatan ini. Jadi okelah, aku pergi. Aku memutuskannya minggu lalu dan segera Della mendapatkan tiket Garuda yang sesuai untukku: Lampung-Jakarta-Timika PP. Timika-Agats tidak kuketahui bagaimana cara menempuhnya, pokoke panitia yang akan menyiapkan.

Bagianku adalah menyiapkan bahan-bahan sebagai inspirasi diskusi. Nah, itu dia yang berat. Di tengah segala urusan akhir tahun ini, ditambah waktu yang mepet plus materi yang tak biasa membuatku kerja ekstra. Soal pergaulan sehat (satu sesi tentang itu) aku bisa merangkainya dari materi yang sudah kupunya. Sesi lain yang harus kuampu adalah menu seimbang dalam keluarga. Hehehe... aku bukan ahli gizi, pasti aku akan mengaitkannya dengan kebiasaanku dalam keluarga, lalu mengungkapkan dalam lingkup keutuhan ciptaan. Nah sesi yang berikutnya, katanya paling mudah, yaitu membuat olahan dari bahan lokal. Lha piye iki. Bikin aku panas dingin. Memang aku lulusan Teknologi Pertanian, yang fokusnya pengolahan bahan pertanian. Tapi kalau mesti memberikan sesi tentang itu yo bukan aku donggg. Ditulis oleh Sr. Natalia bahwa sesi terakhir itu akan dibuat berdua, Sr. Natalia dan aku. Hadehhh...tetep saja groginya sudah terasa dari sekarang.

Tapi okelah, aku mengabaikan hal itu sementara waktu. Aku mulai kumpulkan dulu yang ada di sekitar rumah, apa yang kumiliki. Ini sebagian darinya:

Belimbing dalam pot, sedang berbunga.

Jambu dalam pot sudah berbuah.

Terong dalam karung bekas beras, oleh-oleh dari kebun Rm. Pur Palembang.

Jeruk peras dalam pot sudah berbuah.

Bayam merah siap panen plus bayi-bayi sawi yang mulai tumbuh di sela-selanya.
Apel india dalam pot sudah berbuah

Cabai rawit di tanah mulai berbuah

Seledari dalam polibag oleh-oleh dari kebun Rm. Edy Tulangbawang siap panen.

Pohon salam dalam pot siap sedia untuk tambahan bumbu masakan.

Sarapan hari ini. Tumis bayam merah dari kebun sendiri. Ayam dan tahu goreng. Sambel tahu sisa kemarin. Kering tempe sisa kemarin dan mangga hasil kebun tetangga. Lengkap.