Tuesday, May 27, 2014

Menanam Benih Kata

Judul buku : Menanam Benih Kata
Penulis : Ari Pahala Hutabarat
Cetakan pertama : Desember 2010
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung
Isi : 284 halaman

Hari libur, 27 Mei 2014, perayaan Isra Miraj, rencana-rencana kuhilangkan dan aku menikmati kamar. Nyaris tidak beranjak dari dalam rumah. Hanya ada anak-anak, karena Den Hendro sedang ke Jakarta. Bangun tidurku yang terlalu awal, jam 4 aku sudah mulai masak, jam 6 semua beres dan aku kembali tidur. Jadi saat bangun yang siang, tinggal makan. Sip kan?

Ketika tak ada lagi yang harus kukerjakan, aku membuka microsoft word, merapikan Buku Puisi 2, yang entah kapan akan bisa diterbitkan, tak masalah. Sesekali aku buka facebook, hingga aku ingat dalam minggu ini aku mendapat dua buku baru, salah satunya Menanam Benih Kata, karya Ari Pahala Hutabarat, yang aku dapat sangat terlambat, hampir 4 tahun setelah penerbitannya.

Maka aku meninggalkan Buku Puisi 2 dan mulai mengacak buku ini. Ada tokoh sentral di situ, mbah Bob, lalu Budi dan teman-temannya, yang nyantrik, meguru sama mbah Bob untuk belajar puisi. Wah. Aku langsung tak bisa berpaling. Hingga petang ini pembatas bukuku ada di halaman 139. Ari menyodorkan semangat dan cara menulis dengan cara yang sangat santai, seolah puisi memang diperuntukkan bagi semua orang. Lewat dialog Mbah Bob dengan murid-muridnya itu, Ari mendorong pembaca untuk menyakini bahwa menulis puisi itu 'mudah, ringan dan menyenangkan'. Cara pikir bahwa menulis puisi itu susah, harus dibalik dengan mantra itu, 'menulis puisi itu mudah, ringan dan menyenangkan'.

Dalam perjumpaan dan perbincangan mbah Bob dan murid-muridnya inilah ilmu-ilmu tentang puisi mengalir, mengalun, mengajar para pembaca. Aku sedikit menyesal kenapa buku ini kudapatkan justru setelah buku puisiku jadi dan beredar. Andai lebih awal kudapatkan, andai aku tidak terlalu kuper, tentulah aku mendapat banyak petunjuk untuk mempermudah kerjaku membuat buku puisi "Pembatas Buku" kemarin itu.

Tapi ya, biar saja telat, tapi aku tetap mendapat berkat. Jadi aku masih akan melanjutkan buku ini dan menyerap seluruh ilmu dan semangat dari buku ini. Ohya, salah satu yang menarik dari buku ini adalah sisipan perikop atau paragraf atau kalimat dari tokoh-tokoh atau dari kitab-kitab luar biasa. Misal hal. 20, TS. Elliot,"Puisi yang baik harus memenuhi estetika puisi. Puisi yang besar memberikan pengaruh atau dampak yang besar terhadap dunia di luar puisi." atau hal. 72, dari Konfusius,"Tidak masalah seberapa pelannya kamu berjalan, selama kamu tidak berhenti atau hal. 84, Ari mencuplik Eudora Welty, "Jika kamu tidak mampu menjadi jenius, tirulah orang-orang yang nekad."

Sisipan kata-kata dari tokoh puisi atau bukan puisi ini hadir di sepanjang buku. Aku membalik-balik hingga halaman terakhir, kata-kata itu menyertai kisah mbah Bob dan para muridnya sebagai penguat semangat yang coba disuntikkan Ari bagi pembacanya. Di bagian prakata, Ari berharap buku ini menjadi sebentuk provokasi terutama untuk para siswa SMA, mahasiswa dan para guru bahasa dan sastra Indonesia SMP dan SMA di Lampung untuk lebih nekad dan berani mencintai dunia kepenulisan, khususnya puisi. Tapi menurutku, buku juga baik dibaca oleh penulis-penulis otodidak yang sudah mulai/lama menulis, supaya mereka lebih paham apa yang sedang mereka geluti.

Okeylah, aku memilih melanjutkan membaca buku itu kembali daripada melanjutkan tulisan ini. Itu lebih mengasyikkan. Yukk...

Saturday, May 24, 2014

Melunasi Pembatas Buku

Aku mesti menuliskan ini sebagai kenangan yang tak ingin kulupakan. Saat nanti angin membuat ingatanku kacau, aku ingin tetap mampu mengingat rentetan peristiwa ini sebagai bagian dari kehidupanku. Jadi aku akan mencatatnya dengan detail-detailnya yang kusukai.

Isbedy Stiawan, membaca Advent.
Kumpulan puisiku terbit Mei 2014 setelah kuaduk dalam proses editing yang berurai keringat, air mata dan darah. Keringat, ya, ini adalah kerja keras. Bagi buku pertama yang sudah kubayangkan dari tahun lalu, tertunda oleh lecutan guru-guruku. Air mata, tentu saja, karena buku ini berisi puisi-puisi. Siapakah yang bisa memisahkan puisi dari hati penulisnya? Seluruh emosiku terlebur dalam puisi-puisi itu. Dan emosiku adalah air mataku. Darah, ini luka, ini duka. Bagaimana aku bisa menyebutnya, tapi darah mengalir, sebagian muncrat dari sekujur tubuhku. (Terserahlah kalian menyebut lebay, tapi ini memang terjadi.)

Lalu berkat melimpah lewat sebuah SMS GB, salah satu sahabat hatiku : "Mbak Yuli, gimana kalau tanggal 22 Mei bukumu dan punya Fitri launching di Unila, di UKMBS?" Aku tidak tahu siapa yang punya ide ini dari teman-teman Komunitas Berkat Yakin (KoBER) yang kutahu memakai tanggal itu sebagai rangkaian ulang tahunnya yang ke 12. Tapi spontan hatiku melonjak dalam kegembiraan. Mau sekali. Ini akan melunasi kerjaku untuk Pembatas Buku. Aku akan mendapat kesempatan menyampaikan pertanggungjawabanku terhadap buku ini. "Aku mau, sangat gembira. Terimakasih." Apalagi yang bisa kukatakan selain hal itu?
Edi Samudra Kertagama,  Tertembak Malam dan Menuju Rumahmu


Dekat hari H aku tak bisa menahan kegelisahan. Terus terang aku cemas. Ini pengalaman pertamaku. Beberapa peristiwa membuatku cukup hangat seperti nongkrong tanpa maksud beberapa kali di rumah KoBER, teman-teman jurnalis yang meminta release buku itu, perjumpaan dengan KD yang lalu menghantar pada perjumpaan dengan Pak Edi Samudra, peristiwa kecil ini itu, obrolan dengan Ari, chatting dengan Fitri, dan sebagainya. Ada sisi-sisi yang rumpang, setengah kosong setengah isi, tanpa bisa kuidentifikasi perasaanku. Ada kerinduan tanpa tahu rindu pada apa atau siapa, ada kemarahan, ada kesedihan, spontan juga ada kegembiraan, antusias, ... tak bisa dijelaskan.

Hari itu tiba dengan nyata. Den Hendro meyakinkan aku berkali-kali bahwa semua sip, terkendali, dan dia menemaniku di Gedung Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung, tempat acara berlangsung, 22 Mei 2014 pukul 19.00. Telat setengah jam mulainya, dan itu menguntungkan aku sehingga aku bisa bercakap santai dengan Isbedy Stiawan, salah satu inspiratorku, Edi Samudra Kertagama yang meneguhkan aku lewat perbincangan santai, dengan beberapa teman yang hadir.

Yang paling ingin kuingat adalah saat beberapa teman termasuk dua tokoh penyair senior Lampung itu membaca puisi-puisiku. Titik-titik embun di mataku meleleh, mengalir. Aku tak menyangka tulian-tulisan dalam puisi itu begitu dalam menusuk hatiku, mengungkit perasaanku. Puisi-puisi itu adalah aku sendiri yang berkeringat, berair mata dan berdarah. Saat Jarwo, sang MC membaca biodataku yang singkat aku nyaris tak mendengarnya, dan tergagap ketika dia memanggilku untuk membaca salah satu atau dua puisi. Aku tidak menyiapkan diri untuk membaca puisi, dan aku sudah bilang berkali-kali pada teman-teman KoBER aku tak usah membaca puisi.

Berjalan ke mike dengan kosong, aku buka halaman 54, puisi ke 35 : PEREMPUAN. Ini salah satu puisi yang akan menguatkan hatiku untuk tidak menitikkan air mata saat membacanya. Ini salah satu puisi yang 'marah', sehingga aku tak akan sempat merasakan melankoli sekaligus menghapusnya. Ini adalah puisi keteguhan niat sekaligus geram menuntut dengan sadar diri. Aku membacanya juga dengan kemarahan. Jarwo mengatakan aku membaca dengan lugas, tapi aku bilang aku membacanya dengan tandas. Jika bukan puisi ini, bisa jadi aku akan tersedu-sedu saat membacanya, dan apa kata dunia?

Yuli Nugrahani, Fitri Yani dan Ari Pahala Hutabarat.
Aku mesti bercerita tentang asal muasal buku puisi ini dalam diskusi. Ari Pahala Hutabarat, mesti kutunduk hormat padanya, yang sudah memberiku apresiasi dan juga sugesti dan juga energi untuk hal ini. Aku beruntung ada Fitri Yani di sebelahku dengan buku puisi Suluh, sehingga aku tak harus merasa sendirian. Dia jauh lebih muda usia dariku, tapi dalam puisi dia juga guruku. Langkahnya yang sudah jauh juga inspirasiku. Di ujung diskusi aku merasakan ketakutan yang terus menyeruak hingga malam, tak bisa tidur, hingga subuh. Mungkinkah aku menuliskan lagi puisi-puisi selanjutnya di masa mendatang? Mampukah aku mengurai kembali hatiku yang penuh dinamika semesta ini secara netral dalam bentuk puisi? Aku begitu gentar, gemetar.

Sekarang Pembatas Buku sudah lunas. Sudah kuupayakan segala sesuatu yang diperlukan untuk puisi-puisi dalam buku itu. Sekarang lunas. Biarlah dia menentukan sendiri nasibnya. Aku akan melanjutkan hidupku. Terimakasih Den Hendro, Albert, Bernard, juga bapak ibu Sam, bapak Soeliham, juga terimakasih Oki dan teman-teman Indepth Publishing, Ari, GB dan teman-teman KoBER, Reza dan Devin, para guruku, para pendukungku. Aku bergembira karena kesempatan manis bekerja bersama kalian semua untuk Pembatas Buku ini. Berkat.

Friday, May 23, 2014

Ulasan Pembatas Buku dari Sahabat di Moncek

PEMBATAS BUKU
KUMPULAN PUISI YULI NUGRAHANI
Oleh : Fendi Kachonk

Kemarin, setelah seharian bekerja dan baru sampai rumah, seperti biasa saya istirahat dan masuk ke ruang bacaku, yaitu Taman Baca Arena Pon Nyonar. Di atas meja telah ada bungkusan rapi, aku lihat-lihat dan ternyata buku Yuli Nugrahani telah sampai, satu buku antologi puisinya yang berjudul “Pembatas Buku”. Dari tema atau judul buku ini, aku merasakan ada goresan kata, yang sengaja dialirkan dengan liris “pembatas buku” . Saya masih saja mengeyam kata-kata itu, pembatas buku, sambil menerka-nerka apa maksud dari tujuan Yuli melekatkan “pembatas buku” di kumpulan puisi pertamanya. Saya menerka-nerka mungkin buku kumpulan puisi ini seperti pembatas buku dan tulisan Yuli, yang biasanya lebih mendalami cerpen, atau tulisan yang lain, kini Yuli juga menulis buku, atau bisa jadi juga ini adalah pembatas keadaan. Ah sudahlah, intinya saya dengan pemilihan tema atau judul ini telah merasakan keunikan dan kecerdasan seorang Yuli dalam merangkai kata menjadi luar biasa.

Dalam Kumpulan Puisi Pembatas Buku ini, ada 40 puisi yang ditulis Yuli, dan mungkin sekedarnya saja aku mengenal Yuli di dunia maya, tetapi yang saya ketahui Yuli dengan produktifitasnya mampu melahirkan tulisan-tulisan yang senyap, seolah hampa dan seolah tanpa ada emosi yang menggerogoti  anak-anak kata dan kalimat yang dibungkus dengan kedewasaan bahasanya yang lugas, bercerita dan seolah ini cerpen dalam bentuk puisi, tetapi ini adalah puisi bukan cerpen. Namun pencitraan dan pembangunan suasananya, dialektika yang terbangun, seolah itu adalah khas seorang Penyair Perempuan Lampung yang kaya dengan tema, oleh juga dirinya adalah pegiat dan pemerhati sosial yang masih aktif sampai sekarang.

Satu persatu saya membaca puisi Yuli, dan saya semakin mengenal karekter bahasanya, mengalun, sederhana dan perhitungan pemilihan diksi yang sangat ketat. Saya mendapati tak ada yang longgar semuanya berbobot nilai estetika. Tetapi bagi saya, oleh pandangan saya dan cara saya menggauli puisi, jiwa saya akan mencari jiwa dalam beberapa puisi yang ditulis, dan sampai juga pada penyisiran tiga puisi yang saya amat kagumi. Dalam tiga puisi ini Yuli tak menggunakan dialektikanya, tetapi ia langsung menuju suasana mistik yang terbangun dan saya amat tertegun. Kekuasaan tiga puisi ini membuat saya tak berhenti untuk mengulang membacanya, membacanya dan lagi. Sepertinya secara tersirat Yuli Nugrahani mengisyaratkan bahwa “Pembatas Buku” itu dalam tiga puisi ini. Mari saya hadirkan tiga puisi tersebut di sidang pembaca.

MUSIM BAGI TRENGGULI

Di rumah lain aku bisa menemuimu,
kenari kecil yang penuh rinai.

Trengguli sudah sampai di musim bertabur
mencipta harum sebagai beranda
di sana, kita bercengkerema.

Nopember, 2013

Saya menikmati dengan pemilihan diksi dan suasana yang terbangun, oleh rima dengan kesederhanaan yang mengalir mengantarkan kepada ruang imajinasi kita, di suatu musim  bagi trengguli. Dan kita juga mesti menyadarinya, bahwa Yuli Nugrahani di puisi-puisi ini tak semata menghadirkan kesayuan dan kesahduan semata-mata, tetapi dia mampu memotret lingkungannya dengan indah dan ciamik. Mari saya bawa kepengangkatan tema “trengguli” yang adalah :

Trengguli (Cassia fistula) atau biasa disebut dengan bak buraktha, papa pauno,tengguli, klohor, kalabur, kayu raja, biraksa, bubundelan ini mempunyai kandungan kimia seperti saponin, tanin, gom, gula, hidroksimetil, asam sitrat, asam hidrisianik, pektin. Sementara kulitnya mengandung zat samak. Anggota famili Leguminosae ini bersifat rasa manis, antringen, pencahar dan penurun demam.

Saya baru menyadari, bahwa suasana yang romantis ini tak semata-mata sederhana secara kebermaknaan dari teks tersebut, Yuli Nugrahani mengajak kita semakin mencintai alam, kembali ke lingkungan dan dia juga memberitakan hal yang terdalam, bahwa alam ini telah banyak menyediakan imun bagi tubuh kita. Lihatlah bagaimana trengguli itu juga berfungsi sebagai penurun demam, silahkan bisa dilanjutkan pencaritahuan pada tema trengguli dan pesan yang secara samar Yuli sampaikan, kembalilah ke lingkungan dan “di sana kita bercengkerama” bait penutup yang romantis, romantisme sebuah ajakan yang terbangun dan sengaja diendapkan dalam puisi “ Musim Bagi Trengguli”.

Maka dari puisi tersebut kembali saya mengimani, bahwa puisi memang tak akan jauh dari realitas sosial pengarangnya, dan saya merekatkan puisi tersebut, hadir dan lahir dari pergulatan Yuli dalam kegiatan-kegiatannya, amatannya dan menjadi puisi yang manis menyampaikan pesan secara romantis dan samar.

Bagaimana jiwa bahasa Yuli dan cara Yuli mengantarkan pembaca pada tempat yang sejuk? Setelah puisi di atas, saya juga sangat tertarik menghadirkan puisi kedua yang juga membuat saya merasakan suasananya. Kemampuan Yuli, memainkan kata sederhana dan meneguhkan ruh tulisan pada pesan yang akan disampaikan tetapi begitulah Yuli juga tak serta merta meninggalkan keindahan-keindahan dalam memberi busana yang pantas dalam puisi-puisinya.

Yuli Nugrahani ini, memang kaya dengan tema, dan semuanya sama dengan apa yang telah saya sampaikan di atas, semuanya hasil dari pengamatan dan kejeliannya. Tetapi kadang Yuli bermain dengan senyap sekali, sehingga saya membaca puisi ini juga hanyut, pada perbedaan angin laut di sebuah pagi, yang sama-sama memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengatur keseimbangan alam. Jika pun tidak ada pengrusakan, angin juga tak akan mengantarkan sebuah kemelut di laut, mencintai lingkungan dan membangun tema sosial serta mengalurkan dalam bentuk puisi adalah cara yang sangat unik dan menarik dalam puisi-puisi Yuli Nugrahani. Mari kita simak.

PESAN ANGIN LAUT PADA PAGI

Takdirku
adalah pantai siang hari,
mengantarkan nelayan
pulang ke bilik istrinya.

Tapi kau,
Pagi, kekasihku abadi
tempat kuhamparkan
pasang sepenuh daya.

Januari 2014

Membaca puisi ini, serasa senyap, ada luka yang diam dan sublim di dalam, perasaan saya seolah merasakan hal itu, bagaimana takdir alam dan waktu kadang mampu menghadirkan kesenduan. Sedang dalam tulisan ini Yuli Nugrahani tetap menggugah pembaca untuk kembali membaca alam, waktu, keadaan serta fungsi masing-masing sebagai alam, itulah warna dan jiwa bahasa Yuli. Senyap terasa dengan kata “Takdir” itu yang mesti mengantarkan nelayan pada bilik istrinya, dan hanyut kembali dengan bait-bait selanjutnya, tapi kau, pagi, kekasihku abadi. Dan saya sambungkan dengan puisi yang sangat dan bagus sekali oleh perasaanku merasakan pertempuran di medan senyap dan sepi dan di medan kuasa tanpa kuasa di puisi terakhir yang ingin saya hadirkan dan saya bersepakat pada jiwa saya, inti, ruh dan kata pembatas buku ini, ada di puisi ini. Menurut pandangan saya.

MENUJU RUMAHMU

Satu kali, satu kali saja aku berhenti
di sisi genangan air sisa hujan semalam.

Lalu kembali aku bergegas, walau tahu
aku tak akan pernah sampai di rumahmu.

2014

Saya ingin belajar dan mencoba bermain-main dengan puisi ini, dari kemarin saya tertarik dan saya mencoba memasuki ruangnya, menjadi saya di medan konflik itu aku lirik itu, yang mencoba melangkah satu kali, lalu berhenti lagi langkahku, satu kali lagi, aku mencoba berjalan di sisi genangan air sisa hujan, aih kulihat kak Yuli menjinjing sepatunya, takut kotor dan melangkah lagi, satu kali, artinya hati-hati dulu, lalu melangkah dan terus satu kali. Itulah ruang imajinasi dalam puisi ini sangat bagus, tak mesti puisi hadir dengan pemilihan diksi yang berat-berat, yang sok-sok puitis tapi tak mengena ke jiwa, atau tak pernah ada jiwanya, di sini puisi Yuli Nugrahani, kata klise menjadi menarik dan diolah dengan matang, oleh karena Yuli Nugrahani tak hanya mampu berimajinasi, tetapi dia ada di medan  konflik itu.

Begitupun bait kedua dari puisi “menuju rumahmu” judulnya saja telah mampu membangun suasana, dan lihat, “lalu kembali aku bergegas” di bait pertama ada kata berhenti, satu kali saja, tetapi selalu ada spirit perjuangan dan tak mau mengalah untuk sampai pada rumahmu, rumahmu itu bisa apa saja, harapan, impian dan atau rumah kekekasih yang di atas singgasana, yaitu Tuhan, kenapa Yuli sangat berhasil melahirkan semuanya di puisi ini? mari kita coba rekatkan pada hubungan, aku lirik yang menjadi hamba menuju rumah Tuhannya, seolah di sana, aku lirik berkata, ada genangan air sisa hujan, seperti mengabarkan, ada yang becek, kotor dan si aku lirik telah mencoba berusaha melewatinya, berusaha berhenti dari kotor genangan air sisa hujan yang jadi lambang sebuah renungan jiwa aku lirik atau bisa jadi aku Yuli sebagai penulis puisi ini. Betapa kotor aku lirik menujumu, tetapi tak ada kata putus asa, satu kali lagi melangkah memperbaiki diri, terus seperti itu aku lirik meski juga tak akan sampai, karena mungkin rumahMu terlalu suci tetapi aku lirik mencobanya terus. Satu kali, satu kali berhenti dan aku bergegas melangkah lagi, menuju rumahmu tuhan, walau aku tahu tak akan pernah sampai.

Demikian kepada kak Yuli Nugrahani, semoga tetap menulis, semakin semangat dan bagi para kawan-kawan tak ada ruginya memiliki buku ini, oleh sebab kedewasaan berbahasanya yang kuat, bisa jadi buku “Pembatas Buku” ini menjadi pembatas dari buku-buku yang kurang menarik. Salam.

Friday, May 16, 2014

Gemuruh Ingatan, 8 Tahun Korban Lumpur Lapindo

Aku tengah diliputi kegembiraan penerbitan bukuku yang akan launching tanggal 22 Mei 2014 bersama teman-teman Komunitas Berkat Yakin (KoBer) yang pas merayakan 12 tahun dinamikanya sebagai komunitas seni dan sastra. Beritanya silakan klik Teras Lampung atau Lampung Today. Untuk keterangan buku bisa lihat di postinganku sebelumnya seperti di sini atau di sini atau di sini dan mungkin di facebookku Yuli Nugrahani.

Di tengah kegembiraan itu, sebuah panitia untuk 8 tahun Lumpur Lapindo mengontakku mengatakan kalau salah satu puisiku masuk dalam antologi yang mereka buat berjudul Gemuruh Ingatan, berisi puluhan puisi menolak lupa ketidakadilan yang terjadi selama 8 tahun pada korban-korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Mereka akan mengajak para penulis yang terdiri dari berbagai kalangan untuk membaca puisi-puisi dalam buku itu dalam aksi tanggal 28 Mei mendatang di sekitar tanggul lumpur.

Ini bakal menjadi peristiwa penuh tekad selain juga penuh air mata. Adakah hati yang terketuk? Aburizal Bakrie harusnya menaruh hati dan otak lebih banyak pada mereka daripada sibuk mencalonkan diri jadi presiden yang tak bakal jadi. Harusnya para korban di genangan belum berhenti mendapatkan perhatian, tidak dilupakan. Mereka sudah kehilangan rumah, pekerjaan, bahkan sejarah. Bahkan kuburan leluhurnya pun tak tampak lagi. Bahkan setiap hari kerugian masih terus bertambah. Bahkan...

Thursday, May 15, 2014

Purwokerto, Kota Asyik yang Sering Terabaikan

Jika merancang perjalanan, kota Purwokerto, Jawa Tengah, jarang sekali masuk dalam hitungan. Pertama, tak ada keluarga atau kerabat yang bisa dikunjungi di kota itu. Kedua, apa sih yang asyik dari kota itu? Sepertinya itu kota kecil yang membosankan. Maka, setelah sekian lama Purwokerto hanya jadi kota atau stasiun atau terminal yang dilewati. Bukan kota yang dikunjungi.

Kesempatan datang sebagai 'nglulu', diberi tak tanggung-tanggung. Dua acara dilakukan di Purwokerto dalam waktu yang hampir beruntun. Hanya terselip dua hari di tengah-tengahnya, 6 - 8 Mei untuk rapat KKPPMP-KWI, lalu 10 - 11 Mei untuk FPBN wilayah Barat. Haa, ini tak bisa dilewatkan walaupun harus cari trik and tips bagaimana meninggalkan rumah selama 1 minggu tanpa mengabaikan semua kewajiban.

Nah, kemudian terbukti, Purwokerto adalah kota yang asyik. Lihat saja yang bisa kukunjungi di sela-sela dua acara serius itu. Pertama, terminal atas Baturraden. Daerah di kaki gunung Slamet ini begitu indah. Pada satu malam sempat nongkrong di terminal atas itu. Warung-warung susu jahe, mendoan, jagung bakar, sate kelinci dan makanan minuman penghangat badan siap disaji dengan harga murah meriah. Di waktu siang terminal ini menjadi tujuan paling akhir angkutan dari Purwokerto menuju Baturraden.

Kedua, Telaga Sunyi. Tempat ini langsung mengingatkanku pada lagu Koes Plus dengan judul yang sama. Air terjun, air yang bening, pemandangan indah, dan... betul, memang sunyi. Ini betul-betul telaga sunyi terlebih jika dikunjungi pada hari biasa sebelum 8 pagi.

Telaga Sunyi
Ketiga, Pancuran Pitu. Ini sisi lain yang masih satu kawasan dengan Telaga Sunyi di Kawasan Taman Hutan Raya Baturraden. Ada 7 pancuran air panas belerang di tempat ini, gua dan pemandangan luar biasa. Bonusnya, pijat lumpur belerang di dekat pancuran. Ada belasan orang siap memijat yang berminat dengan harga 10 - 40 ribu tergantung bagian mana saja yang mau dipijat dan dilulur.

Keempat, agak ke pinggir, bisa berkunjung ke Cilacap. Benteng Pendem siap dijelajah. Bisa diakhiri dengan kuliner laut sepanjang pesisir Cilacap dan membeli ikan asin dari segala jenis. Ohya, untuk sampai di Cilacap bisa menikmati Sungai Serayu yang kukuh, coklat dan selalu melimpah airnya.

Kelima, bagi yang Katolik atau mungkin juga selain Katolik kalau minat ada Gua Maria Kaliori. Ini tempat sejuk dengan Maria manis di dalamnya. Ada 7 pancuran juga yang mengalirkan rahmat lewat kaki-kaki Maria segala rupa.

Keenam, perjalanan di Purwokerto bisa ditutup dengan membeli oleh-oleh khas Purwokerto. Getuk goreng, kacang ngumpet, mendoan, dan batik.

Sunday, May 11, 2014

Tanah Makam

Dalam perjumpaan dengan ibu dan bapak di Kediri beberapa waktu yang lalu, aku baru tahu kalau mereka berdua sudah membeli tanah dua petak di pemakaman Sembak, Gringging, Kediri. Tanah itu kemudian disiapkan untuk menjadi rapi, dibuat dua lubang berdampingan, disemen sisi-sisinya dan dibuat penutup yang siap dibuka jika dibutuhkan suatu saat nanti.

Ibu menceritakan itu dengan detail, dengan wajah berseri-seri gembira.

"Beberapa orang protes, kenapa sudah membeli tanah itu. Tapi ibu bilang, jiwaku tidak membutuhkannya karena sudah tahu kemana dia akan pergi. Tapi tubuh yang tidak lagi dibutuhkan nanti saat kematian itu tiba, perlu diurus. Jadi biar saja kami siap-siap dari sekarang sehingga nanti tidak repot lagi. Ini kan sudah pasti, tidak mungkin tidak. Soal waktu saja."

Huft. Embun mengental di ujung mataku. Aku ingin memeluknya, tapi tidak kulakukan karena hmmm... keluarga kami baru akhir-akhir ini kurasakan mulai memakai sentuhan sebagai bentuk kasih sayang. (Dulu sama sekali tidak biasa kami saling peluk cium.) Tapi jiwaku memeluknya. Itu cara pikir yang hebat, membuatku salut dan karena ibu dan bapak gembira karena hal itu, aku juga ikut bergembira.

Wednesday, May 07, 2014

Dari Imaji Menjadi Sastra

Salah satu sahabatku, Edi Laksito atau biasa dipanggil Nanglik, berkenan memberikan kata untuk Kumpulan Puisi PEMBATAS BUKU. Dia ini seorang penyair walau dia tak mau disebut begitu tetap saja aku menyebutnya begitu. Berikut ini sedikit cuplikan yang sudah dia tulis untuk bukuku itu :

...
Bertukar lagi cerita. Mimpi-mimpi orang sastra. Menerbitkan puisi. Kumpulan cerpen. Menulis novel.
Yang membuat hal ini mungkin terlaksana pada Yuli saya kira adalah imajinya yang tak berhenti. Belantara luas angan-angan yang terus berproduksi dan terpelihara. Ia berani masuki, berlama-lama di dalamnya. Dalam hal ini, saya kira, ia dikaruniai bakat alam. Termasuk untuk menikmatinya.
Selanjutnya hasrat-stamina fit untuk melahirkan dan menikmati : kata demi kata - dari imaji menjadi sastra - yang ditulis tidak dengan tinta kering. Yang dikerjakan di kesibukan perempuan berumah tangga, bekerja dan terlibat di masyarakatnya. Hal ini, saya kira, bukan lagi bakat.
Lalu apa? Jawaban yang tak mudah diduga.
Mengapa puisi-puisinya, yang kedalamannya sukar dibaca arahnya secara akal saja, mampu menampilkan kilap rohani, nafas rindu, gerak emosi, getar jiwa dan hasrat akan kemerdekaan - hal-hal yang umumnya membeku di hati manusia?
Bagaimana ia menjelma matang pengungkapannya dalam hal-hal yang dituntut oleh sastra?
Barangkali jawabannya ada di seputar kata yang berpadanan ini: dedikasi, ketekunan, misteri, cinta.
Itu kesan saya. Diamini oleh puisi-puisi di Pembatas Buku ini. Sampai pada penutup, ke-40.
...

Ini ditulis olehnya di Kota Manila, tempatnya belajar sementara, pada tahun 2014. 
Terimakasih, Rm. Nanglik. Terimakasih atas segalanya.

Monday, May 05, 2014

Semacam Upaya Melintasi Batas di Pembatas Buku

Judul buku : PEMBATAS BUKU
Penulis : Yuli Nugrahani
Desain sampul : Devin Nodestyo
Tata letak : M. Reza
Cetakan pertama : Mei 2014
Penerbit : Indepth Publishing
Isi : 62 hlm + xii
Ukuran : 14 X 21 cm
ISBN : 978-602-1534-31-1



Puisi-puisi Yuli Nugrahani, sama seperti prosa-prosanya, sama-sama beranjak dari persoalan yang hadir dan akrab dalam pergaulan hidupnya. Yang membedakan adalah intensitas tingkat penghayatan terhadap objek tersebut. Jika pada prosa-prosanya ia secara sadar seakan mengambil jarak terhadap apa yang biasa kita sebut sebagai objek,  pada puisi-puisinya ini ia justru meleburkan diri habis-habisan terhadap objek tersebut.  
Yuli menjadikan yang universal menjadi sangat personal dalam puisi-puisinya. Dunia fiksi yang dalam hal ini diwakili tokoh-tokoh tertentu, baik yang berasal dari dunia pewayangan maupun dari khasanah tradisi Katolik berubah menjadi begitu ”faktual”—setidaknya bagi dirinya sendiri. Tokoh-tokoh tersebut seakan ditarik, diajak berbincang, dan direnggut dari mitos-mitos dan kesakralan yang melingkupinya. Seperti secara seketika mereka, para sosok tersebut menjadi teman berbagi, cermin, sekaligus wakil dari perasaan dan pemikiran si penyair. 
Ada proses yang lebih dalam dari sekadar apresiasi terhadap tokoh dan mitos-mitos tertentu di sini. Ia telah berubah menjadi identifikasi. Tokoh dan mitos bermetamorfosa menjadi semacam individu yang biasa belaka; yang juga bisa merasa bimbang, kesepian, merasa sia-sia, kangen, dan penuh cita-cita. Namun, pada saat yang sama, kita tetap bisa melihat mereka sebagai sebentuk idealisasi—yang khusus pada puisi-puisi Yuli—yang ideal tersebut tak hendak berhenti di langit, mereka juga turun dan berkeringat di tanah. Mereka menjadi Yang Riil.
Lebih lanjut, tokoh-tokoh dan mitos dalam sajak-sajaknya pada konteks tertentu kembali ke sifat intrinsiknya yang asli, sebagai manusia belaka, seperti saya dan para pembaca semua. Tentu di sinilah kita mendapat manfaat dari membaca buku ini. Tokoh dan mitos tersebut tidak lagi menjadi sekadar tekstual, tapi telah berubah menjadi kontekstual. Mereka berubah menjadi Yuli Nugrahani, namun pada saat yang sama, mereka juga adalah diri setiap pembaca.
Transposisi yang terjadi pada objek puisi kemudian bergerak tidak hanya pada tokoh-tokoh atau mitos-mitos tertentu. Dalam puisi-puisi yang termaktub dalam buku ini kita juga akan menemukan yang biologis seperti yang terdapat pada dunia tetumbuhan dan hewan diubah menjadi yang eksistensial. Tanaman atau hewan tertentu seperti digemparkan medan pemaknaannya. Tanaman tertentu kemudian menjadi media bagi aku lirik untuk menyuarakan biografi perasaannya atau sebaliknya—ia meminjam hati dan kognisi penyair dan bersuara melaluinya..
Yang “biasa” kemudian menjadi “luar biasa” di dalam proses transposisi objek dalam sebagian puisi dalam buku ini. Yang jauh menjadi terasa begitu dekat. Pada beberapa puisi - Yuli berhasil mengubah perasaan-perasaan domestiknya menjadi perasaan-perasaan publik,  menyisipkan yang sakral terhadap peristiwa-peristiwa yang banal. *** (Dicuplik dari Catatan Pembuka Kumpulan Puisi Pembatas Buku, Ari Pahala Hutabarat, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung)