Monday, October 29, 2018

NENG KOALA, Berjuang Menjadi Manusia



Berikut ini adalah catatan point-point yang kusampaikan dalam acara bedah buku dan diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Perempuan Padmarini (JPP), di Mister Geprek 3 (dekat Unila) Lampung, 28 Oktober 2018. Hari yang gembira karena bersamaan dengan ultah ke 3 JPP dan hari sumpah pemuda:

Ada beberapa point yang menarik dalam ulang tahun Jaringan Perempuan Padmarini (JPP) hari ini, Minggu, 28 Oktober 2018, bersamaan juga dengan Hari Sumpah Pemuda yaitu:
1.      Diskusi dan bedah buku Neng Koala ini menjadi satu rangkaian dengan tanam pohon dan potong tumpeng di Desa Talang Mulia, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran. Kepedulian terhadap lingkungan hidup terwakili oleh kegiatan selama dua hari (27-28 Oktober 2018 bersama dengan Walhi, YKWS dll), maka kegiatan ini menandai fokus lain dari JPP, yaitu tentang gender.
2.      Neng Koala menampilkan tulisan-tulisan dari pengalaman banyak perempuan yang berjuang mencapai impiannya, di tengah pandangan mainstream terhadap perempuan yang masih sering tidak adil gender. Dalam banyak kisah, mereka memaparkan pergulatan mereka supaya tetap ‘harmoni’ sebagai anak, istri, ibu, juga mahasiswi.
3.      Kekuatan mereka adalah pada ‘ngeyel’ sekaligus ‘tidak ngeyel’. Ngeyel, kokoh, yakin bahwa mereka punya modal, rahmat tak terhingga dari Sang Pencipta (tubuh, hati, akal budi) untuk mereka kembangkan dan hal itu sungguh-sungguh mereka lakukan dalam seluruh dinamika situasinya. Mereka yakin bahwa mereka akan ‘utuh’ kalau mereka teguh dalam pilihan-pilihan mereka, sehingga tidak ada penyesalan. Serta merta mereka tidak ngeyel, menuntut atau memusuhi, tapi mereka lakukan dengan kompromi bersama dengan situasi, pasangan hidup, anak dan sebagainya. Maka yang muncul adalah gambaran seorang perempuan, yang menyusui anak di pangkuannya, juga memegang buku dan laptop. Dan mereka bersama orang-orang yang di sekitarnya mengalami pembelajaran sekaligus petualangan (Butet Manurung dalam pengantar).
4.      Adalah harapan. Inilah yang menjadi penanda iman. Maka saya bisa menyebut perjuangan semacam ini, harusnya dimiliki oleh semua manusia, entah perempuan atau laki-laki. Selama tidak kehilangan harapan, maka segalanya mungkin terjadi. Saya percaya dengan kekuatan pikiran, apa yang kau pikir itulah yang terjadi. Pikiran itu menampakkan visi, penglihatan di suatu masa, semakin hari semakin diperkuat plus upaya menyiapkan syarat-syaratnya. Misal, sejak tahun 2010 sampai sekarang (8 tahun), aku sudah pergi ke 11 negara: Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, Taiwan, Srilanka, Italia, Qatar, Swiss, dan Jerman. Dengan dana yang minim. Lalu aku membayangkan akan pergi ke Malaysia dan Thailand bersama dengan suami dan anak-anak, sebagai backpacker. Setiap saat aku memikirkan itu, memikirkan syarat untuk pergi, dan memenuhinya satu per satu, maka terjadilah itu. Sederhana sekali. Tak ada yang tak mungkin. Maka setiap saat (entah peristiwa, perjumpaan, dll) menjadi kesempatan untuk mempersiapkan diri. Saat peluang itu ada, kita tidak melewatkannya dan kemudian menyesal.
5.      Keunggulan yang utama para perempuan ini adalah menuliskan pengalamannya beserta pikiran dan perasaannya. Itulah keunggulan yang dimiliki Kartini. Semua orang, semua perempuan banyak mengalami hal-hal hebat. Tapi mereka tercatat karena mereka menuliskannya. Ini menjadi catatan yang berguna tidak lagi hanya untuk dirinya sendiri tapi untuk banyak orang. Mereka dengan tulisannya ini membantu orang lain, menginspirasi orang lain dan menandai bahwa hal-hal luar biasa telah mereka lakukan.

*Yuli Nugrahani, penulis cerpen, puisi dan penggiat justice and peace di Keuskupan Tanjungkarang, juga menjadi salah satu dari Pembina Jaringan Perempuan Padmarini yang bergerak dalam bidang gender dan lingkungan hidup. Beberapa bukunya antara lain Pembatas Buku (kumpulan puisi), Daun-daun Hitam (kumpulan cerpen), Salah Satu Cabang Cemara (kumpulan cerpen) dan Sampai Aku Lupa (kumpulan puisi)

Thursday, October 25, 2018

Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI), Menuju Budaya Hidup Damai


Judul buku: Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI): Menuju Budaya Hidup Damai
Penyusun: Eka Aldilanta dkk
Tata letak dan desain sampul: R. Yohanes Hermawan
Diterbitkan untuk kalangan terbatas.


Salah satu kegembiraan yang muncul dari Pertemuan Nasional Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI) di Klender, 16 - 19 Oktober 2018 lalu adalah diluncurkannya buku GATKI: Menuju Budaya Hidup Damai. Buku yang sudah disusun mulai tahun 2016 ini akhirnya rapi tercetak berkat banyak pihak yang terlibat.

Upaya untuk merombak tanpa merusak saat menghadapi berbagai situasi kekerasan dan ketidak adilan di Indonesia, merupakan bagian dari mengapa buku ini penting diwujudkan. Ini semacam langkah kecil yang harus dilakukan diantara banyak tahun yang sudah berjalan sejak Rm. Adi Wardaya SJ mengenalkan gerakan ini pada kami. Dan langkah kecil ini harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain untuk menyatakannya di tengah dunia ini.

Ada empat bab yang ditampilkan dalam buku ini, yaitu:gambaran kekerasan di Indonesia masa kini, sejarah GATKI, filosofi dan prinsip dasar GATKI dan metode GATKI. Semua bahan ini dirangkum oleh tim perumus yang sering menyebut diri atau disebut sebagai Tim Penjaga Obor GATKI, bersumber dari banyak dokumen yang berhasil ditemukan.

Saya tidak ingin bercerita detail, tapi patutlah diketahui bahwa GATKI mempunyai visi Indonesia damai tanpa kekerasan. Visi itu ingin dituju dengan misi, pertama: mengembangkan nilai-nilai gerakan aktif tanpa kekerasan sebagai dimensi dalam hidup bermasyarakat: kedua: mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proses transformasi bangsa dengan semangat, nilai-nilai, pendekatan, strategi aktif tanpa kekerasan.

Saya yakin ini masih akan terus berjalan, walau yeachhh.... tidak mudah.

Sunday, October 14, 2018

Mengakhiri Kekerasan dengan Menggunakan Media Sosial secara Sehat

Forum Komunikasi PUSPA (Partisipasi Publik untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Provinsi Lampung, di mana aku terlibat dalam setahun ini menyelenggarakan kegiatan pertama di Kelurahan Enggal. Kegiatan ini mengundang perwakilan dari 23 RT yang ada di Kelurahan Enggal, Bandaralampung untuk belajar tentang cara menggunakan media sosial secara sehat.

Tema ini memang harus diangkat karena sekarang ini media sosial bisa menjadi sumber kekerasan, alat kekerasan dan juga menyebarkan kekerasan. Tentu saja PUSPA tetap pada relnya yaitu keterlibatan dalam 3 end: akhiri kekerasan, akhiri perdagangan manusia dan akhiri kesenjangan ekonomi (khususnya terkait perempuan dan anak).

Narasumbernya keren dunkkk, Juwendra Asdiansyah dari Duajurai, Wirdayati dari KPID Lampung, dan dibantu oleh teman-teman muda dari Komunitas Jendela dan TBM Kampung Merdeka. Aku bagian yang memfasilitasi eh yang jadi kuli eh yang ngupyek sana sinilah pokoknya sebagai wujud dari keterlibatan Jaringan Perempuan Padmarini (JPP) dalam forum di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung ini. Juga dibantu oleh Nagiyyah Syam dari Tapis Bloger Lampung. Moderator kerennya si Heni dan Rinda, dua ibu muda yang jempol.

Agak sulit menuliskan secara lengkap acara ini, tapi aku ingin mengangkat yang sudah disampaikan oleh Juwendra tentang cara mendeteksi HOAX, yaitu:

1. Lihat medianya
2. Siapa sumber berita
3. Lihat judulnya
4. Lihat tulisannya
5. Lihat logika
6. Verifikasi, cek ricek
7. Jangan terkecoh dgn kata "sebarkan"
8. Masuk surga tidak cukup hanya "mengaminkan"
Nah, tuh.

Wednesday, October 03, 2018

Yang Ini Pernak-pernik Roma, Mulai dari Pedagang Asongan, Kemacetan Dll.

Ada penjual asongan juga...

Kotor di beberapa sudut kota.

Taman dalam rumah SCJ.

Yehaaiiii...

Alat bantu terjemahan. Untung ada si alat ini.


Masih kebagian bunga-bunga seksi

Agak tak suka dengan toiletnya. Tak ada air untuk cebok.

Seabgian dari kebun sayur di Rumah SCJ yang dikelola Rm. Sugino.

Nih taksi yang mahal tuh. Huh.

Vatikan waktu malam.

Lalulintas Roma. Macet di beberapa tempat.

Italia dalam 4 Hari (7): Balik ke Indonesia Kangen Nasi Padang

Ergife Palace Hotel, Rome
Pagi-pagi tanggal 21 September 2018 jam 03.40 aku sudah bangun. Membereskan lagi dua koper yang akan kubawa (koper beranak koper. Hehehe). Mandi dengan ogah. Sebelum keluar kamar hotel sekitar pukul 04.30 aku memastikan lagi isi ransel yang akan aku tenteng: dokumen, botol minum, alat mandi, kamera, dan HP.

Di lobby hotel ada beberapa orang yang duduk. Pegawai yang seorang ganteng itu menyapaku nyaris tanpa senyum. Mungkin dia belum tidur semalaman. Dia menunjukkan ada bis ke bandara jam 5 kalau aku mau. Nah, itu yang apik. Ndak perlu naksi lagi. Hehehe... Beruntung lagi hotel menyediakan sarapan dalam kantong-kantong untuk dibawa: roti, crackers, jus jeruk, air mineral, wafer dan olesan butter plus selai. Sip.

Yang bikin senewen adalah ternyata si bis itu tak datang juga hingga pukul 05.00. Lalu tak datang juga hingga 06.00. Aku sudah sekali menanyakan itu ke staf yang capai itu dia hanya menjawab kalau dia sudah mencoba menelpon sopir bis tapi tak ada jawaban: "Silakan menunggu saja, Madam." Huhuhu... pesawatku jam 08.20, sayangkuuu.
Menu makan hotel. Tuh, bikin kangen nasi padang kan...

Penampakan pasta. Suka sih, tapi ya gitu deh...

Baru saja aku hendak mengambil keputusan untuk minta taksi pada pukul 06.05 saat bis itu datang terseok-seok masuk ke halaman hotel. Kami berebut masuk. Dan tersisa hanya beberapa kursi di bagian belakang. Rupanya bis itu masih akan menjemput orang-orang lain lagi ke hotel lain. Ya elah. Penuh sesak si bis itu ketika benar-benar melaju ke Fiumicino. Sebagian berdiri, sebagian duduk di bawah. Keluhan dari penumpang tak ada efeknya. Ya iyalah. Mau apa lagi. Bagiku juga yang penting segera sampe bandara.

Seenak-enaknya makanan di pesawat tetep saja tak enak.
Sangat mepet sampai di bandara segera cari konter Qatar. Ih, sepi rupanya. Begitu juga saat di imigrasi dan ruang tunggu. Sepi. Dan ternyata sepi juga dalam pesawat besar Boeing 777-300 itu. Aku sudah minta kursi dekat jendela dan ternyata deretanku tak ada penumpang lain. Jadi aku bisa tidur nyaman sepanjang 5 jam Roma-Doha. Tidur berbaring! Hehehe... Nikmat.

Doha - Soetta pun cukup longgar. Walau tidak bisa berbaring tapi bisa tidur pulas dan makan enak serta beberapa kali ke lavatory. Hidup yang enak itu ya itulah ukurannya: tidur, makan, tersalurkan kebutuhan biologis ke toilet. Hehehe...

Waktu yang cukup longgar di Soetta kunikmati dengan pergi ke Restoran Sate Senayan untuk seporsi sate ayam yang mahal itu dengan sepiring nasi dan segelas besar teh tawar anget. Begitu nikmat sampe ndak ngeh kalau di sampingku ada anak orang yang ngetop di tanah air. Sapa hayooo.... hehehe.... Nasi sate ayam ini perlu banget bagi perutku untuk menetralkan Italian Style selama 4 hari lalu yang penuh dengan pasta, roti, keju, dll yang... ya enak sih enak tapi tentu saja nasi lebih enak bagi perutku. Hehehe...

Masih nunggu beberapa saat sebelum Garuda membawaku kembali ke Lampung siang itu. Mas Hen sudah menanti di Bandara Raden Inten 2 siap mentraktirku nasi padang sepuasnya di Puti Minang. Kangennnnn banget sama nasi padang hoiiii....

Italia dalam 4 Hari (6): Salah satu Puncaknya adalah Bertemu Paus Fransiskus

Hari keempat di Italia, Kamis 20 September 2018, harus kucatat secara khusus. Konferensi hari ketiga kami semua peserta diundang ke Vatikan untuk audiensi dengan Paus Fransiskus. Aku selalu berdebar-debar dengan rencana audiensi, tapi aku tak seantusias tahun lalu begitu ingin menyentuh Paus Fransiskus. Sudahlah, pasrah saja. Tahun lalu pun bisa melihat dari kejauhan juga sudah menjadi berkat besar bagiku. Kali ini pun aku berjalan dengan berdebar-debar masuk Hall Sint Clement di bagian dalam tanpa harapan yang muluk. Melewati pemeriksaan pun biasa saja. Menanti dengan manis di kursi agak belakang. Orang besar ini selalu favoritku walau aku tak bisa menyentuhnya.

But, yang terjadi, Paus datang, memberikan sambutannya ke Kardinal Turkson tanpa dia baca, lalu kami maju. Satu per satu diberi kesempatan untuk salaman dengannya! Huaahhh... tiada kata yang mampu kukatakan dah. Aku menanti giliranku maju dengan tidak sabar.

Begitu di depannya, aku segera meraih tangannya yang langsung menggenggam erat. Matanya yang teduh memandangku. Hmmm... membuatku sangat malu. Dia sangat ramah mendengarku:

"Aku Yuli dari Indonesia. Kau tahu negaraku itu memiliki banyak masalah. Please, berdoalah untuk Indonesia." Dia mempererat genggamannya. Tak berkata apa-apa. Mungkin tak mendengar aku ngomong apa. Tapi aku tak peduli. Aku mengatupkan tanganku mengakhiri salaman itu dengan mengucapkan terimakasih terimakasih terimakasih banyak.

Girang banget usai salaman dengan Paus Fransiskus.
Usai itu aku menuju Kardinal Turkson untuk bilang sekali lagi terimakasih sudah memberiku kesempatan moment indah ini. Kardinal mah pengertian banget: "Sama-sama terimakasih. Terimakasih sudah datang memenuhi undangan. Foto kau bisa cetak nanti usai acara kalau mau mendapatkannya." Dia pasti lihat wajahku yang gembira banget sehingga menduga ini pasti urusannya dengan foto bersama Paus. Hehehe....

Sayang aku tak bisa mencetak foto spesial itu karena saat sore kembali ke Vatikan, studio foto sudah tutup. Petugas di sekitar situ bilang kalau sepanjang September studio foto tutup sebelum jam 16.00.

Ya, tak masalah. Suatu ketika pasti ada kesempatan untuk kembali ke Vatikan mencetak foto-foto itu.

Malam itu, begitu kembali ke hotel, lupa kalau Indonesia sudah masuk jam tengah malam atau dini hari aku menyiarkan anugerah yang kudapatkan itu pada ibu dan Mas Hendro. Mereka kok ya masih melek (atau terpaksa melek karena bunyi HP) menanggapi kabarku itu dengan riang gembira ikut antusias yang mengalir dariku.

Italia dalam 4 Hari (5): Hari Kedua Konferensi Membuat Rekomendasi


Hari ketiga di Italia atau hari kedua konferensi, selain beberapa narasumber inspiratif, peserta juga mencermati pesan hsil diskusi kelompok dan pleno yang akan menjadi rekomendasi dari kegiatan ini. Aku pasang saja lengkap ya. Ini terjemahan yang mungkin tak terlalu tepan (ihiks) tapi moga mendekati dokumen aslinya yang diedarkan dalam bahasa Inggris, Italia, Perancis dan Spanyol.



PESAN DARI KONFERENSI
“XENOPHOBIA, RASISME, DAN NASIONALME KERAKYATAN DALAM KONTEKS MIGRASI GLOBAL ”
Kerjasama Dicastery for Promoting Integral Human Development ( Vatikan)
Dengan Badan Gereja-Gereja Dunia (Jenewa)
Dalam Kolaborasi Dengan Pontifical for Promoting Christian Unity (Vatikan)
ROMA, 18 - 20 SEPTEMBER 2018

Kami mengakui iman kami kepada Tuhan Yesus Kristus, dan kami percaya bahwa kemanusiaan diciptakan dan dicintai oleh Tuhan dan bahwa manusia adalah setara dalam martabat dan berhak atas hak asasi manusia yang sama.

1. Dalam konteks global yang ditandai dengan migrasi di dalam dan di antara negara-negara, kami peserta dalam Konferensi "Xenophobia, Rasisme, dan Nasionalisme Kerakyatan dalam Konteks Migrasi Global" berkumpul di Roma dari 18-20 September 2018. Sadar akan peningkatan xenofobia dan reaksi rasis terhadap pengungsi dan migran, kami berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis, memahami, dan mengatasi pengecualian, marjinalisasi, stigmatisasi dan kriminalisasi migran dan pengungsi, dan pembenaran untuk sikap dan wacana yang sekarang ada di beberapa bagian dunia yang berbeda, bahkan di dalam gereja-gereja.

2. Sebagai orang Kristen dari denominasi dan wilayah yang berbeda - bersama dengan perwakilan antar-agama, masyarakat sipil dan mitra antar-pemerintah - dasar umum untuk refleksi kami adalah keyakinan bahwa semua manusia setara dalam martabat dan hak dan sama-sama dihormati dan dilindungi, dan sebagai konsekuensinya kita dipanggil oleh Tuhan untuk melawan kejahatan, bertindak adil, dan mengejar perdamaian untuk mengubah dunia. Sementara kita mencari dan mempromosikan dialog untuk penyelesaian perbedaan pada setiap masalah yang diangkat dalam pesan ini, keyakinan dasar ini bersifat tetap dan permanen.

3. (A) Migrasi - pergerakan orang - adalah kisah yang melekat pada kondisi manusia. Itu termasuk seluruh sejarah kemanusiaan — masa lalu, sekarang dan masa depan — dan seluruh narasi alkitabiah. Kita semua adalah migran dan pendatang, dan kita semua merupakan anggota satu keluarga manusia.
(b) Penggerak pemindahan paksa dan migrasi baru-baru ini telah memasukkan konflik brutal yang belum terselesaikan dan konsekuensi terpuruk dalam krisis ekonomi global dan kebijakan penghematan, serta akar penyebab lainnya seperti kemiskinan ekstrim, ketidakamanan pangan, kurangnya kesempatan, dan ketidakamanan. Dampak yang semakin besar dari perubahan iklim kemungkinan akan menambah signifikan penggerak perpindahan.
(c) Sementara mengakui hak pengungsi untuk kembali ke negara asalnya dan hidup di sana dengan martabat dan keamanan, kami menegaskan dan menegakkan lembaga suaka bagi mereka yang melarikan diri dari konflik bersenjata, penganiayaan atau bencana alam. Kami juga meminta penghormatan atas hak semua orang yang sedang bepergian, terlepas dari status mereka.
(d) Meskipun migrasi secara umum memberikan kontribusi positif untuk kedua negara tujuan dan negara asal, kami mengakui bahwa tantangan signifikan masih terkait dengan migrasi, terutama di bidang perlindungan hak-hak migran tidak berdokumen.

4. Menggunakan wawasan multidisiplin, pengalaman hidup, dan kesaksian dari tradisi agama yang berbeda untuk lebih memahami penyebab dan efek dari pidato kebencian terhadap migran dan pengungsi, dan ketegangan antar negara dan antara komunitas sosial, budaya, atau agama dalam konteks migrasi global, kami telah berusaha untuk memahami apa yang dipertaruhkan dalam perjumpaan dengan manusia lain yang rentan oleh pengalaman perang atau kemiskinan, dan mencari suaka, perlindungan dan martabat.

5. (a) Perjalanan seseorang menjadi rentan oleh kekerasan atau kekuatiran ekonomi adalah memang merupakan inti dari refleksi kita. Xenophobia, yang terutama berarti "takut akan orang asing," diekspresikan oleh sikap yang ekslusif dan membatasi yang lain dalam kesulitan mereka dan dengan bentuk dan struktur dari perbedaan dan penolakan, bahkan meluas ke penolakan bantuan dalam keadaan darurat dan untuk bertahan hidup. Oleh karena itu perlu mengatasi ketakutan yang lain dan untuk menantang ekslusif dan marginalisasi para migran dan pengungsi. Ketakutan ini dapat mengungkapkan hubungan pribadi atau kolektif yang kompleks dengan masa lalu, masa kini atau masa depan, dan mengekspresikan kecemasan kehilangan identitas, keamanan, harta benda, dan kekuatan seseorang dalam menghadapi tantangan kehidupan dan masa depan.
(B) Perlu juga untuk mengakui rasa takut yang dialami oleh seseorang yang terpaksa melarikan diri dari rumah dan negara mereka karena kerentanan yang disebabkan oleh konflik bersenjata, kebijakan nasional dan regional yang merusak, penganiayaan, bencana alam atau kemiskinan.

6. (A) Ras adalah konstruksi asosial dimana menjadi klaim untuk menjelaskan dan membenarkan pemisahan antara kelompok manusia dengan memajukan kriteria fisik, sosial, budaya dan agama. Rasisme adalah dampak sistemik dan sistematis dari tindakan yang dilakukan terhadap kelompok orang berdasarkan warna kulit mereka. Ini memisahkan orang dari satu sama lain atas nama gagasan yang salah tentang kemurnian dan keunggulan komunitas tertentu. Ini adalah sebuah pendirian ideologis yang diekspresikan melalui marginalisasi, diskriminasi dan pengecualian terhadap orang-orang tertentu, minoritas, kelompok etnis atau komunitas.
(b) Definisi diskriminasi rasial dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (pasal 1.1) menyoroti “perbedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal kebangsaan atau etnis yang memiliki tujuan atau efek membatalkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau latihan, pada pijakan yang setara hak asasi manusia dan kebebasan mendasar ”.
(c) Rasisme menciptakan dan memelihara kerentanan anggota-anggota kelompok tertentu, menyangkal hak-hak mereka dan keberadaan mereka, dan berusaha membenarkan penindasan mereka. Dalam pengertian ini rasisme adalah dosa, baik dalam ekspresi pribadi maupun sistemiknya, secara radikal tidak sesuai dengan iman Kristen. Ia sering hadir di negara-negara tempat para migran datang dan ke mana mereka pergi. Orang-orang beriman harus mengutuk rasisme karena menyangkal martabat manusia dan saling memiliki satu keluarga manusia, dan merusak citra Allah di setiap manusia.

7. (a) Nasionalisme kerakyatan adalah strategi politik yang berusaha mengandalkan dan mempromosikan ketakutan individu dan kelompok untuk menegaskan perlunya kekuatan politik otoriter untuk melindungi kepentingan kelompok sosial atau etnis dominan yang didirikan di wilayah tertentu. Atas nama "perlindungan" inilah para pemimpin populis membenarkan penolakan untuk memberikan perlindungan, untuk menerima dan mengintegrasikan individu atau kelompok dari negara lain atau konteks budaya atau agama yang berbeda.
(B) Namun, menolak untuk menerima dan membantu mereka yang membutuhkan bertentangan dengan teladan dan panggilan Yesus Kristus. Mengklaim untuk melindungi nilai-nilai atau komunitas Kristen dengan menutup mereka yang mencari perlindungan yang aman dari kekerasan dan penderitaan tidak dapat diterima, merusak kesaksian Kristen di dunia, dan memunculkan batas-batas nasional sebagai berhala.
(C) Kami menyerukan kepada semua orang Kristen dan semua orang yang mendukung hak asasi manusia yang fundamental untuk menolak prakarsa populis seperti itu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Injil. Hal ini harus menjadi pertimbangan kehidupan politik dan wacana publik, dan menginformasikan pilihan mendasar terutama pada saat pemilihan.
(D) Kami juga menyerukan semua platform media untuk menahan diri dari penyebaran ide dan inisiatif yang memecah belah dan tidak manusiawi, dan berkomitmen untuk melibatkan media untuk promosi positif messages.

8. (a) Dalam refleksi dan dialog ini, kami mengamati pentingnya narasi dan ingatan, pada tingkat pribadi, komunitas dan institusional. Falsafah tulisan suci yang menyatukan kita dalam konferensi ini memberi tahu kita bahwa pengalaman migrasi adalah tema konstan dalam tradisi Abraham. Narasi alkitabiah adalah salah satu orang yang sedang bergerak. Dan mereka menemukan, dalam perjalanan mereka, bahwa Allah menemani mereka. Tugas keramah-tamahan, umum bagi semua putra dan putri Abraham, timbul dalam penerimaan "orang asing" oleh Sarah dan Abraham (Kejadian 18, 1 - 16), dalam pengajaran para nabi, dan oleh Yesus sendiri yang mengidentifikasi dengan orang asing (Matius 25: 35-40) dan memanggil semua orang percaya untuk menyambut orang asing itu sebagai tindakan cinta yang diilhami oleh iman.
(b) Kami mengakui bahwa kekhawatiran banyak individu dan komunitas yang merasa terancam oleh para migran - baik untuk keamanan, alasan identitas ekonomi atau budaya - harus diakui dan diperiksa. Kami berharap dalam dialog yang tulus dengan semua orang yang memiliki kekhawatiran seperti itu. Tetapi berdasarkan prinsip-prinsip iman Kristen kita dan teladan Yesus Kristus, kita berusaha untuk mengangkat narasi cinta dan harapan, melawan narasi populis kebencian dan ketakutan.

9. Gereja-gereja dan semua orang Kristen memiliki misi untuk menyatakan bahwa setiap manusia layak dihormati dan dilindungi. Gereja-gereja juga disebut tolive, setiap hari, menyambut orang asing tetapi juga perlindungan dan dorongan bersama untuk semua - masing-masing dalam keragaman asal-usul dan sejarah mereka - untuk berpartisipasi sesuai dengan bakat mereka sendiri dalam pembangunan sebuah masyarakat yang mencari kesejahteraan damai dalam kesetaraan dan menolak semua diskriminasi. Gereja-gereja secara konstan dipanggil untuk menjadi tempat di mana kita mengalami dan belajar menghargai keberagaman dan di mana kita bersukacita dalam perjumpaan dan pengayaan timbal balik. Ini khususnya penting dalam konteks asuhan pastoral, pemberitaan dan inisiatif solidaritas, di dalam gereja-gereja, dan dengan perhatian khusus terhadap inisiatif untuk dan dengan anak muda.

10. Kami dipanggil untuk menemani dan memegang akuntabilitas yang memiliki kekuatan dan berpartisipasi langsung dalam keputusan yang mempengaruhi masa depan komunitas manusia, di tingkat nasional dan internasional. Nasihat yang dapat diberikan semua orang percaya dapat diilhami oleh "aturan emas", yang umum bagi berbagai tradisi, yang menurutnya harus "dilakukan kepada orang lain apa yang Anda ingin mereka lakukan kepada Anda" (Matius 7:12). "Peraturan emas" ini tercermin dalam hak asasi manusia yang fundamental, yang merupakan kondisi yang harus dicapai bagi orang lain sama baiknya Seperti untuk diri kita sendiri, dan menyerukan konstruksi kohesi sosial. Hanya pendekatan inklusif yang mempertimbangkan semua dimensi manusia dan panggilan untuk partisipasi masing-masing dan setiap orang dalam masyarakat dapat secara efektif memerangi diskriminasi dan pengecualian.

11. Kami mendorong upaya lebih lanjut oleh PBB dan negara-negara anggotanya untuk “menghapus semua bentuk diskriminasi, mengutuk dan melawan ekspresi, tindakan dan manifestasi rasisme, diskriminasi rasial, kekerasan, xenofobia dan intoleransi terkait terhadap semua migran” dalam konteks Global Ringkas untuk Migrasi yang Aman, Teratur dan Reguler (Tujuan 17), dan untuk “memerangi semua bentuk diskriminasi dan mempromosikan koeksistensi damai antara pengungsi dan masyarakat tuan rumah” dalam konteks Global Compact on Refugees (para 84), yang secara eksplisit mengakui “ kekuatan dan dampak positif dari masyarakat sipil, organisasi berbasis agama, dan media ”(ibid) - keduanya akan diadopsi secara resmi pada akhir tahun. Kedua Global Compact ini, yang telah disusun dengan partisipasi aktif gereja, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan pemerintah, menyediakan kerangka kerja kebijakan global berbasis HAM yang berguna, yang harus digunakan oleh semua pemangku kepentingan dalam memerangi xenophobia dan rasisme terhadap migran dan pengungsi.

12. Gereja adalah aktor penting dalam masyarakat sipil dan kehidupan politik, dan kami mendesak mereka untuk berpartisipasi, bekerja sama dengan mitra antar agama dan mitra lainnya, dalam urusan politik, ekonomi dan sosial, dalam merawat planet "rumah kita bersama", dan dalam merawat mereka yang menderita, dengan membangun jaringan perlindungan sosial, melalui advokasi dan dengan mengajukan prinsip-prinsip hukum dan etika (seperti 20 poin tindakan Takhta Suci untuk Global Compact). Kerja sama yang baik antara komunitas agama, aktor masyarakat sipil, akademisi, aktor ekonomi dan politik sangat penting dalam perjuangan melawan xenophobia dan rasisme.

13. (a) Kami peserta dalam Konferensi "Xenophobia, Rasisme, dan Nasionalisme Populisme dalam Konteks Migrasi Global" menarik bagi semua orang percaya yang menegaskan, dalam tradisi mereka sendiri, martabat pribadi manusia dan solidaritas di antara orang-orang, sehingga semua contoh pelanggaran hak asasi manusia, xenofobia dan rasisme, ditentang dengan keras oleh pendidikan (termasuk pendidikan hak asasi manusia), proses demokrasi, dialog antar agama, hukum dan cinta.
(b) Kami berkomitmen untuk bekerja bersama untuk transformasi struktur dan sistem yang tidak adil yang melanggengkan dirinya di atas dasar stabilitas dan keamanan, dan yang menciptakan budaya dan kondisi yang mendiskriminasikan orang lain dan menolak martabat yang sama dan hak semua orang.
(c) Kami mengajak gereja-gereja untuk melatih kepemimpinan dalam meningkatkan kesadaran kritis di antara orang-orang Kristen tentang keterlibatan beberapa teologi dalam xenophobia dan rasisme, untuk pelepasan radikal dari teologi-teologi semacam itu, dan bagi gereja untuk sepenuhnya menganggap perannya sebagai penjaga hati dalam konteks ini.
(d) Kami menyatakan solidaritas kami pada gereja-gereja yang menderita di bawah penganiayaan atau pendudukan.
(e) Gereja-gereja menjadi tempat kenangan, harapan, dan cinta. Dalam nama Yesus, yang membagikan pengalaman migran dan pengungsi dan menawarkan Firman pengharapan bagi yang dikecualikan dan penderitaan, kami bahkan berkomitmen lebih kuat untuk mempromosikan budaya perjumpaan dan dialog, mengenali Tuhan di wajah para migran. Karena yang lebih kuat dari jalan kematian adalah jalan hidup dan cinta.

Roma, 19 September 2018



Italia dalam 4 Hari (4): Hari Kedua Langsung Pada Intinya

Konferensi ini diikuti oleh sekitar 200 orang dari berbagai negara. Tema: Xenophobia, Rasisme, dan Nasionalisme Kerakyatan dalam Konteks Migrasi Global. Aku baru ngeh beberapa hal misalnya bahwa peserta tidak hanya dari kalangan Katolik tapi juga dari Protestan, utusan dari Muslim, Hindu dan Budha. Juga baru ngeh kalau aku diundang oleh Dicastery for Promoting Integral Human Development Vatikan tapi bukan hanya discastery ini yang bikin acara. Duh, aku kok ndak teliti baca undangannya ya.

Apapun, justru itu membuat acara ini semakin asyik. Bertemu dengan beberapa orang yang dikenal membuat aku cukup nyaman. Yang terlihat pertama adalah Rm. Bonnie dari Pakistan, bertemu di lobby hotel bersama dengan rekan senegaranya. Lalu bertemu Rm. Niphot dari Thailand. Wahhh, aku sudah teriak dari jauh demi melihat wajah teduh romo senior dari Chiang Mai ini. Lalu ada Rm. Charles dari India, so familier. Juga ada Sr. Philo dari Jepang, Mgr. Bernard tentu saja, dan lain-lain.

Sebagian besar tentu saja kenalan baru. Salah seorang yang langsung mengena di hatiku adalah Sigrid dari Norwegia yang duduk di sebelahku di hari pertama konferensi. Tertawanya langsung menawan hatiku. Perempuan periang ini membuatku sangat sangat nyaman duduk di ruang konferensi itu. Asal dengar dia tertawa saja, hatiku ikut melonjak-lonjak berkobar-kobar. Hehehe...

Hari pertama isinya adalah paparan narasumber, buanyak narsum yang diundang, berbagai perspektif diketengahkan. Waktu untuk tanya jawab sangat singkat. Mulai agak mbulet kalau sudah ketemu narsum dengan bahasa selain Inggris. Dibantu penterjemah lewat headset tapi tahu sendiri kannnn, aku nih katrok dalam hal bahasa. Sekali fokus buyar, buyar semua dah.

Kardinal Turkson, Pendeta Olav dan Mgr. Brian menjadi yang pertama-tama membuka acara. Secara mereka itulah yang punya gawe. Lalu bergantian narsum dari pandangan politik, teologi, sosio budaya, juga dari perspektif agama-agama dan sebagainya.

Hari itu ada juga kerja kelompok per grup. Masuk di grup Asia aku baru ngeh (lagi) kalau peserta dari Asia sangat sedikit. Hanya sekitar 12 orang, itu pun sebagian dari antaranya memang tinggal di Roma. Dari Asia Tenggara hanya ada Indonesia, Thailand dan Philifina. Selebihnya ada Jepang, Pakistan, India, ...sudah.

Rm. Bonnie termasuk kunci untuk nama-nama orang dari Asia ini bilang kalau dia juga merekomendasikan seseorang dari Korea Selatan tapi entah mengapa tidak hadir. Hmmm... okelah.

Italia dalam 4 Hari (3): Hari Pertama Anti Jetlag

Aku menulis tentang ini di facebook:

Saat hadir di suatu tempat untuk acara yang singkat, seringkali aku tak punya waktu untuk istirahat lama memulihkan capai tubuh. Tak ada waktu untuk jetlag. Ini tips yang kupakai supaya tidak jetlag saat berpergian ke tempat yang berbeda waktu dengan asal kita.
1. Begitu naik pesawat, segera ubah jam sesuai waktu kota/negara tujuan.
2. Ikuti waktu setempat seperti orang lokal beraktifitas.
Seperti kualami kemarin, aku sampai di Ergife Palace Hotel Roma pukul 16.00 pm. Waktu di Indonesia pada jam itu sudah 21.00 pm, menjelang tidur. Dan rasanya aku juga ngantuk banget. Untungnya ada beberapa teman baik hati yang mau menemani jalan-jalan sekitar rumah SCJ, melihat Kota Roma dari ketinggian, lalu jalan ke Vatikan menikmati pemandangan malam, dan diakhiri makan di restoran China.
Selesai makan sekitar pukul 22.00 itu berarti dini hari menjelang subuh waktu Indonesia Barat jalan sendiri lebih dari 1 km tanpa ngobrol membuatku super ngantuk. Duh. Kaki melangkah tapi mata nyaris merem.
Sesampai hotel aku mandi dan tidur pulas. Pagi tadi, segar banget masuk ke konferensi. Udah ikut jam setempat. Tidak ingat jam Indonesia lagi. Aman. Adaptasi cepat.

Trik itu penting sekali bagiku, terlebih dalam perjalanan 4 hari yang singkat ini. Hampir dua jam aku tertahan di Bandara Fiumicino karena imigrasi mereka yang 'kekurangan tenaga' sedangkan pada waktu bersamaan ada banyak pesawat yang mendarat. Begitu padat, panas dan lama pelayanannya. Antrian yang mengular tak lagi mengular tapi berdesak-desakan. Oalah...

Tarif taksi yang super mahal.
Saat nunggu bagasi aku bertemu dengan kelompok-kelompok orang Indonesia untuk ziarah atau untuk kompetisi apa gitu, pokoknya mereka dalam kelompok. Aku yang sendirian agak-agak memelas, tapi aku kan sudah niat menikmati perjalanan ini. 
Jadi gaya yakin saja saat keluar bandara, mengiyakan tawaran taksi yang bodohnya aku tak tanya dulu soal jenis taksi dan tarifnya. Langsung naik saja. Aku sesali kecerobohan ini begitu sampai hotel dan sudah menyiapkan selembar 50 euro, si sopir minta 120 euro. Yang benar saja! Aku teriak protes. Si sopir lalu keluarkan list harga mereka, dan kemudian menurunkan tarif: 80 euro. Aku masih protes dan wajah ganteng sopir pun jadi seperti kriminal di mataku. Oke, oke, kubayar juga 80 euro. Huh. Itu sama dengan 1 juta rupiah lebih, untuk sekitar 30 menit perjalanan Fiumicino - Hotel Ergife. Ilang dah kesan ramah yang tadi dia tampilkan sepanjang jalan. Sebel.

Nah, di hotel semua ok. Ini hotel bintang 4 yang mewah. Aku hanya sebentar membereskan barang-barang di kamar lalu keluar. Jangan sampai jetlag. SCJ satu-satunya tujuan. Di sana sebentar, lalu ke Vatikan menikmati keindahan malam dan kembali ke hotel sekitar 22.30. Harus mandi karena badan sudah lengket. Musim panas belum berlalu, dan angin musim gugur sudah mulai berhembus. Aku tidur tanpa mimpi di hari pertama. 

Tuesday, October 02, 2018

Italia dalam 4 Hari (2): Perjalanan yang Nikmat

Iyalah, gimana ndak nikmat. Hanya tinggal memakai tubuh yang bernafas, berjalan, menyediakan seluruh pancaindera dan bergembira. Hanya itulah yang kukerjakan selama 16 - 22 September 2018 itu.

Acara akan dimulai pada 18 September pagi hari, jadi tanggal 16 September malam, Garuda membawaku ke Jakarta. Aku punya waktu sekitar 4 jam di Jakarta, untuk pindah terminal dari terminal 3 ke terminal 2, makan malam, check in, urusan imigrasi dan sebagainya.

Pertamakalinya aku menggunakan skytrain Bandara Soekarno-Hatta dari terminal 3 ke terminal 2. Sangat cepat, jauh lebih cepat daripada menggunakan shutle bus dan sama-sama gratis. Cukup nyaman dan serba mudah. Tinggal cari elevator atau lift, naik, hanya beberapa menit sampai di terminal 2. Nah pas turun di terminal ini memang agak repot jalan agak jauh karena masih ada perbaikan fasilitas.

Waktu check ini ternyata sudah mulai dengan antrian mengular di konter Qatar menuju Doha. Aku langsung masuk antrian tanpa sempat ke kamar kecil. Lalu dengan sabar menunggu giliran. Penumpang cukup banyak sehingga aku membutuhkan waktu cukup lama, sekitar 45 menit untuk antri check ini. Begitu selesai check in aman dah. Tinggal 1 ransel tenteng yang menemaniku.

Langsung ke imigrasi, hanya antre sekitar 7 orang di depanku, dan segera aku melesat ke toilet, pipis dan merapikan diri. Sekitar jam 22.00 malam, masih ada waktu sangat cukup sebelum keberangkatan Qatar Airways ke Doha. Bontotku kukeluarkan di ruang tunggu: nasi, kering tempe dan ceplok telur. Nikmattt...

Pukul 23.15 aku mulai masuk gate, menjelang boarding. Menunggu beberapa saat di ruang tunggu dalam aku melihat beberapa model penumpang yang akan bersamaku dalam pesawat yang sama. Sepertiga dari orang yang menunggu di ruang itu orang Indonesia, pelancong dan pekerja. Urusan turis dan urusan kerja. Di luar itu ada grup tak jelas, dan sepertinya aku termasuk dalam grup ini. Ndak jelas mau melancong atau mau kerja. Kalau mau melancong kok tak punya daftar itenery wisata, kalau kerja kok tak ada target akan dapat duit. Huhuhu...

Qatar Airways selalu nyaman. Seingatku tahun lalu aku akan mendapatkan beberapa sovenir yang mungkin kubutuhkan selama di pesawat: kaos kaki, penutup kuping, penutup mata, sikat gigi dan odol. Semuanya masuk dalam satu dompet cantik. Selain itu masih ada selimut, headset juga makanan-minuman yang akan diedarkan beberapa kali. Pukul 00.20 pesawat tinggal landas, aku sudah setengah merem hingga saat makan diedarkan sekitar 1,5 jam kemudian.

Doha airport yang megah dan bersih menyergapku setelah 8 jam perjalanan dari Jakarta. Setelah beberapa kali memakai toilet sempit dalam pesawat, toilet Doha adalah kemewahan. Aku bisa puas membilas pantat dengan air hangat. Hehehe...

Terbang selanjutnya dari Doha ke Roma membutuhkan waktu sekitar 5 jam. Tak ada sovenir seperti yang sebelumnya. Tapi makan lebih bisa kuterima sebagai sarapan yang pas. Dan saat mendarat di Fiumicino, Roma, pukul 13.25, aku dalam kondisi sangat segar, sehat.

Italia dalam 4 Hari (1): Persiapan yang Singkat

Sungguh tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan lagi pergi ke Roma dalam waktu yang tak terlalu lama. Tahun lalu bulan April, saat musim semi aku ke Roma dan beberapa kota lain di Eropa. Tahun ini kesempatan kudapatkan pada pergantian musim panas dan gugur, 18 - 20 September 2018. Menerima surat undangan dari Kardinal Turkson aku rasanya tak percaya, tapi pengalaman tahun lalu yang juga menerima undangan mendadak, kali aku lebih tenang. Aku mempercayai perjalananku akan menarik, dan setelah mengabarkan pada Mas Hendro pada kesempatan pertama, aku membalas undangan itu dengan menyetujui untuk datang. Acaranya adalah konferensi dunia dengan tema,"Xenophobia, Racism and Populis Nationalism in The Context of Global Migration" diadakan di Ergife Palace Hotel, Roma.

Undangan itu dikirim by email pada akhir Juli dan kemudian undangan resmi kuterima pada awal Agustus, baru hasil scaner. Surat asli dikirimkan ke Kedutaan Vatikan di Jakarta yang kemudian dikirimkan ke aku dan ke Kedutaan Italia tempat aku mengurus visa schengen. Semua berjalan dengan baik, lancar dan cepat. Aku benar-benar hanya mengalir. Menyetujui dengan senang hati, mengikuti tahapan persiapan yang seharusnya seperti meminta tiket ke agen Vatikan untuk mendapatkan tiket perjalanan yang kumaui : Lampung-Jakarta-Roma pulang pergi.

Panitia penyelenggara, sekretariat Dicastery for Promoting Integral Human Development membantuku dengan sangat baik. Tiket yang sesuai dengan Garuda dan Qatar, seperti tahun lalu, dengan jam yang tepat yang seperti kuinginkan. Juga membantuku dengan beberapa petunjuk tentang acara dan hal-hal yang kuperlukan.

Tiket, visa, beres setibaku di Lampung usai perjalanan ke Surabaya untuk pernas FPBN dan Sumenep untuk KKJ, pada 17 Agustus 2018, artinya aku siap untuk berangkat. Tapiii.... tak ada euro atau dollar atau bahkan rupiah di tabungan maupun dompetku. Huft. Aku memikirkannya dengan serius tapi tidak mendapatkannya hingga titik akhir mau berangkat, sehingga bantuan dari beberapa teman pun kuminta dengan sedikit malu. Huft. Aku tak bisa menyebutkan semua nama, tapi secara langsung maupun tidak langsung aku mendapatkan sangu dan dukungan dari teman-teman baikku. Terimakasih banyak teman. Kaulah supporterku. Terimakasih banyak.

Hmmm... sebenarnya kalau dipikir aku tidak benar-benar butuh euro untuk pergi. Aku toh sudah ditanggung oleh panitia, aku tak perlu kuatir. Uang 300 euro dan 40 USD, ditambah dengan 300an ribu rupiah, kuanggap hanya sebagai pegangan saja. Itulah uang yang kubawa saat aku duduk manis di Bandara Raden Intan, 16 Agustus 2018, satu koper dan satu ransel yang penuh dengan krupuk, roti, buku dan baju, dalam bagasi, serta satu ransel kecil kutenteng berisi dokumen, buku, botol kosong, HP dan kamera.

Siap berangkat dan siap menghadapi apa pun. Eropa, aku datang lagi!