Saturday, September 29, 2012

Menunggu Hujan

Kekeringan melanda Lampung. Judul di atas sama sekali bukan judul puisi, tapi kerinduan nyata terhadap hujan. Air! Lampung sudah kering kerontang. Melanda semua kabupaten. Hanya untuk contoh, lihat 5 Kabupaten/kota berikut ini :

Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura setempat luas areal sawah yang terancam kekeringan mencapai 7.140 Hektare (ha).  Dari luas areal sawah yang terancam kekeringan tersebut menurut Sekertaris Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan Rini Ariasih, sebanyak 2.100 ha dapat dipastikan mengalami gagal panen akibat puso.(TRIBUNLAMPUNG.co.id/17-Sept-2012)

Pemerintah Kabupaten Mesuji, Lampung, menerapkan tanggap darurat untuk mengatasi bencana kekeringan di wilayah itu. "Saya tetapkan musibah kekeringan sebagai kondisi tanggap darurat bencana. Selama puluhan tahun, musibah kekeringan selalu berulang dan tidak pernah mendapatkan solusi," kata Bupati Mesuji, Khamamik,  (KOMPAS.com/ 24-Sept-2012).

 "Berdasar laporan petugas POPT (Petugas Pengamat Organisme Pengganggu Tumbuhan) Kabupaten Pringsewu per  31 Agustus 2012, dampak perubahan iklim  menyebabkan padi puso  seluas 734 hektar atau lebih kurang 7,2 persen dari luas tanam (10.207 hektar)," tukas Jatiwan. (Tribunlampung.co.id/6-Sept-2012)

 Dewan menuding ini disebabkan proyek reklamasi di sepanjang sungai Bunut. "Ini berdampak pada berkurangnya titik-titik mata air, usaha pertanian dan perikanan tidak mendapat air," ujar Sekretaris FPD Solehan dalam sidang paripurna tanggapan fraksi atas penyampaian RAPBD-P 2012, Rabu (5/9). Warga juga merasa kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. "Mereka terpaksa meminta air dari warga yang memiliki sumur bor," paparnya.(Tribunlampung.co.id/5-Sept-2012)

Kemarau panjang di 2012 ini menyebabkan ratusan hektare tanaman padi di Kabupaten Pesawaran kering, bahkan ada yang gagal panen (puso). Diperkirakan kekeringan menyebabkan produksi padi turun 40% per hektare lahan. “Pasti ada penurunan hasil produksi padi karena kekeringan. Diperkirakan mencapai 40% per hektare,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pesawaran Lukmasyah, melalui Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Budi Wirawan (Lampungpost/12-Sept-2012).

Friday, September 28, 2012

Merampas Cangkirku?

Secangkir selalu tersaji untukmu
lihat kumpulan embun di dalamnya
kuraup dari tawaran titik-titik malam
dan lihat kepulan kabut di permukaannya
kutiup dari hamparan saksi pagi.

Secangkir penuh embun dan berkepul kabut
kusajikan untukmu.
Secangkir penuh.

Semua habis dalam satu tegukanmu
kau, yang rakus dan selalu haus
tidak mau cukup pada secangkir.

Masihkah kau ingin minum
dari cangkirku?
Merampas cangkirku?

Thursday, September 27, 2012

Donna Donna

Tiba-tiba saja ingin mendengar lagu ini berulang-ulang. Jadi aku pasang winamp dan klik berulang kali. Coba dengar lagu Donna Donna plus lirik yang  dinyanyikan Sita. Banyak versi terjemahan yang menyertai lirik lagu ini. Juga kisah sejarah penciptaan lagu ini.
Tapi aku punya sendiri terjemahan yang cukup okey bagiku untuk dihayati saat menyanyikan lagu ini. Tanpa perlu melihat soal Yahudi, Tuhan, takdir, sejarah dan lain-lain. Ini lagu yang bisa menyuntikkan semangat untuk berjuang, menjadi burung layang-layang. Coba dengarkan!



Tuan, tuan.
 
Pada sebuah kereta menuju pasar
Ada seekor anak sapi dengan mata sendu
Jauh di atasnya ada seekor burung layang-layang
Terbang cepat menembus angkasa.

Reff:
Betapa angin-angin tertawa,
Mereka tertawa dengan segenap kekuatan mereka.
Tertawa dan tertawa di sepanjang hari,
Dan setengah dari malam musim panas.

Tuan, tuan, tuan, tuan
Tuan, tuan, tuan, jangan
Tuan, tuan, tuan, tuan
Tuan, tuan, tuan, jangan.

“Berhenti mengeluh!” kata petani,
Siapa menunjukmu menjadi anak sapi?
Kenapa tidak kamu punya sayap untuk terbang,
Seperti burung layang-layang yang begitu bangga dan bebas?

Ulangi Reff

Anak-anak sapi mudah diikat dan disembelih,
Tanpa pernah mengetahui alasan mengapa.
Tapi siapa pun punya harta kebebasan,
Seperti burung layang-layang yang telah belajar untuk terbang.

Wednesday, September 26, 2012

Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial



ISBN                   : 9789792125054
Author                 : J. Sudrijanta SJ
Language             : INDONESIA
Date Published    : NOPEMBER 2009
Published             : Kanisius
Type                    : SOFT COVER
No. of Pages        : 304
Dimensions (cm) : 13 x 18

            Ada 50 judul tulisan buku ini. Tulisan-tulisan yang tidak dimaksudkan untuk menyajikan gagasan teologis, filosofis atau bahkan menafsir Kitab Suci atau ide spiritualitas tertentu. Penulis dalam pengantarnya mengatakan ingin mengajak pembaca untuk berjalan melampaui itu semua, melampaui semua doktrin, melakukan penyelidikan bersama atas berbagai pertanyaan tentang kematian dan kehidupan, manusia dan dunia, Allah dan kebenaran yang tidak pernah ada jawaban pastinya.
            Tentu saja pembaca yang harus membuktikan ajakan itu sendiri. Maka tidak heran dalam tiap judul tulisan pasti ada pertanyaan-pertanyaan yang mengajak pembaca, maupun penulisnya sendiri mungkin, untuk terus bergulat dalam jawaban-jawaban dan tentu menelurkan pertanyaan lagi selanjutnya. Penulis telah menyajikan banyak sekali kemungkinan yang tidak ada kepastian.
            Misal pada halaman 63, penulis menulis pertanyaan : Bagaimana menjadi kaya secara duniawi sekaligus kaya secara rohani menjadi mungkin? Pertanyaan itu diungkapkan setelah penulis menyajikan paradoks antara kemiskinan dan kebenaran, juga tentang kekayaan para koruptor maupun penguasa negara. Penulis sudah menyatakan upaya-upaya manipulasi hal-hal rohani untuk tujuan keuntungan materi dan kenyamanan duniawi. Ada banyak ‘jalan penebusan’ atas kesalahan melalui proyek sosial. Sungguhkah ‘keseimbangan’ macam itu membawa pada kekayaan rohani?
            Penulis menunjukkan pilihan untuk menjadi merdeka. Memiliki batin yang lepas bebas adalah batin yang kaya, yang memampukan untuk berjuang dengan damai dalam dunia yang tamak dan serakah. Kekayaan tidak lebih bernilai dari kemiskinan, kesuksesan tidak lebih bernilai dan kegagalan, sehat tidak lebih bernilai daripada sakit.
            Pun judul-judul yang lain menawarkan ajakan untuk melihat kekonkretan manusia. Bisa dilihat dari judul-judulnya seperti Jejak Langkah menuju Allah, Memahami Rasa Sedih, Tinggal di Rumah Abadi, Seni Beristirahat, Bebas dari Belenggu Keterikatan, dan sebagainya. Dan semuanya mengaitkan gerakan batin dengan gerakan sosial. Revolusi batin adalah revolusi sosial. Keduanya tidak terpisahkan.
            Dan penulis mengambil contoh aksi revolusioner seorang aktifis 2000 tahun lalu. Ia, Aktifis itu, telah dikobarkan bukan oleh ideologi atau kepercayaan, kebencian maupun kemarahan, namun Dia dikobarkan oleh api cinta. Maka aktifis ini membersihkan Bait Allah dari penyalahgunaan kekuasaan politik dan agama.
            “Menggerakkan roda revolusi yang sejati itu seperti membangun rumah di atas wadas. Wadas yang tidak lain adalah nyala api cinta atau keindahan, energi vital tindakan murni, atau energi vital revolusi sejati.” Hal. 404. *** (dimuat dalam Nuntius edisi Oktober 2012)

Tuesday, September 25, 2012

Taman Nasional Way Kambas

Gerbang masuk, 7 km jalan raya lintas timur.
Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu tempat khas Lampung yang cukup populer di Indonesia maupun dunia. Setelah hampir 13 tahun tinggal di Lampung, kesempatan untuk mengunjungi taman konservasi gajah Sumatera ini pun kesampaian (Minggu, 23 September 2012).
Letaknya ada di Lampung Timur, dengan beberapa alternatif jalan untuk menuju ke sana. Bandarlampung - Metro - Way Jepara (112 Km), menggunakan mobil + 2 jam. Bandara Raden Inten 2 (Branti) - Metro - Way Jepara (100 Km), menggunakan mobil + 1.30 jam. Pelabuhan Bakauheni - Panjang - Sribawono - Way Jepara (170 Km), menggunakan mobil + 3 jam. Dermaga Labuan Meringgai (kapal motor) dilanjutkan dengan kendaraan darat ke Way Jepara + 45 menit.
Gerbang berikutnya, masuk ke pusat konservasi gajah.
Kami memilih Metro karena jalan lumayan bagus walau agak memutar. Lewat Tanjungbintang- Sribawono tidak recommended karena jalanan sedang rusak parah walau sebenarnya lebih pendek jaraknya.
Sekitar 1,5 jam kami tiba di pertigaan dengan penunjuk arah TNWK ke kiri. Dari jalan lintas timur itu, sekitar 7 km akan menemui pintu gerbang TNWK. Ada petugas di loket, bisa ditanya-tanya seperlunya. Ongkos masuk hanya Rp. 2.500 per orang, Rp. 6.000 / mobil dan ditambah sumbangan Rp. 5.000 untuk satu kali parkir. Harga yang kelewat murah untuk masuk cagar alam yang luasnya 125.621,3 hektar ini. (Selengkapnya tentang TNWK silakan masuk ke web resmi mereka, bisa klik di sini dan di sini.)
Ada percabangan jalan di gerbang ini. Yang ke kanan untuk pusat pelatihan gajah, sedang ke kiri ke Way Kanan (Aku ingin agendakan suatu waktu nanti ke sini. Way Kanan ini punya alam yang yahud seturut dokumentasi yang pernah kulihat, juga ada konservasi badak. Baru beberapa waktu lalu ada badak yang lahiran di sana). Tujuan utama kami melihat gajah, maka kami memilih jalan ke kanan, sekitar 9 km sampai di tempat para gajah sekolah.
Usai parkir, kami celingak-celinguk, belum tahu lokasi, sedangkan informasi sangat-sangat minim. Beberapa petugas yang ada tidak proaktif memberikan penjelasan. Yang pertama mereka sodorkan bukan pengetahuan tentang TNWK tapi menawarkan naik gajah.
Naik gajah.
"Paket pertama jalan keliling halaman ini Rp. 10.000, atau paket yang lebih lama jalan sekitar 30 menit keliling lokasi Rp. 75.000, per orang. Ini harga turis lokal." Berarti ada harga lain untuk turis manca. Karena memang tidak tahu harus bagaimana dulu, ya aku memilih naik gajah. Jarak pendek saja ditemani Albert lalu Albert, Den Hendro dan bapak melanjutkan ikut paket keliling. (Ohya, aku jalan ke TNWK bersama Albert, Bernard, Den Hendro, Bapak Soeliham, Denmas Bejo, dan Pak David.)
Mana ya yang bisa dipih untuk oleh-oleh?
Sembari menunggu tiga orang itu keliling, kami yang tersisa juga keliling di sekitar lokasi. Ada kantor perhutani, ngobrol dengan polisi hutan yang kesanku kurang tahu tentang tempat tugas. Tidak ada brosur atau famlet yang bisa diminta. Minim informasi sugnguh. Ada beberapa kolam tempat mandi dan minum gajah. Ada barak para petugas, dekat calon bangunan rumah sakit gajah. Lalu lapangan luas tempat tidur gajah. Kalau malam, gajah-gajah itu akan digiring ke lapangan ini. Dirantai pada tonggak-tonggak dengan setumpuk dedaunan di dekatnya.
Kemudian juga para penjaja souvenir di satu sisi. Kami memborong boneka gajah harga Rp. 20.000 dengan tulisan di sisi badannya. Juga ada kaos, gantungan kunci dan stiker. Tidak banyak variasi, tapi cukuplah untuk kenang-kenangan pernah mengunjungi tempat ini.
Berpose di rumah gajah. Ada 66 gajah besar kecil tinggal.
Ohya, kami sempat melihat atraksi gajah. Ini tidak terjadi tiap minggu, maka kami termasuk beruntung bisa melihatnya di salah satu lokasi yang memang diperuntukkan bagi atraksi gajah. Tidak lama, hanya sekitar 30 - 45 menit, dengan membayar Rp. 10.000 per orang.
Dan tentu saja kami foto bersama gajah sangat-sangat banyak. Bisa foto sangat dekat karena sudah jinak dan terlatih bersahabat dengan manusia. Para petugas sangat ramah, jadi bisa minta tolong untuk diambilkan gambar.
Perjalanan pulang jam 16.30-an, kami mendapat bonus melihat monyet dan babi hutan yang ternyata masih sangat banyak di hutan-hutan lindung itu. Sesekali mereka merapat berkeliaran di jalanan, membuat kami heboh menuding dan melemparkan pisang-pisang muli yang kami beli di gerbang TNWK saat masuk lokasi ini. Sebagian kecil sih pisang yang dilempar ke mereka karena kebanyakan sudah kami makan sepanjang jalan. Hehehe.


Saturday, September 22, 2012

Hulu Penyedia Tak Terhingga

Saat bertemu air, Bernard akan mendekat. Seperti waktu di Gunung Betung beberapa waktu yang lalu, dia langsung berjongkok di sisi air pada kesempatan tercepat. Tangannya menyendok air, memainkannya, dan menciptakan keriap-keriap di air. Jika ada sesuatu di dalamnya, seperti kecebong, atau siput atau anggang-anggang, permainannya akan lebih menarik. Dan dia akan betah lamaaa sekali di sana.
Aku pun begitu. Hanya saja, aku punya ilusi yang lebih kompleks dibandingkan anak-anakku, dibanding Bernard, sehingga aku bisa mengaku kalau air tidak harus air. Bisa apa saja ku sebut air, kusebut sungai, kusebut sumur, kusebut laut, pada peristiwa, pada orang, pada benda, pada perjumpaan, pada apa saja.
Kini aku pun sedang jongkok di sisi airku, memainkannya dengan kedua tanganku, menyendoknya dan membuat gelombang atau percikan. Tentu saja ini sangat asyik. Dan kau tahu, teman, selalu ada hulu yang menyediakan air-air semacam itu untukku. Tak terhingga.

Friday, September 21, 2012

Otak Vs Hati

Ini PR yang tidak juga selesai kukerjakan. Bagaimana mengharmoniskan otak dan hati? Keduanya selalu menjadi kutub yang berlawanan. Jika sesekali ada persinggungan, maka yang ada adalah pertengkaran dan kemudian salah satu diantaranya akan merajuk tidak lagi mau bekerja. Apakah memang dua hal ini tidak akan pernah bisa akur dalam diri seorang Yuli? Orang yang mengenalku pasti akan mencap pernyatan ini lebay. Sedang yang tidak mengenalku akan memvonis omong kosong.
Hatiku termasuk bagian yang paling kuat dalam diriku. Dia dengan mudah menyetir kaki tanganku juga mata telinga bibirku dan bahkan otakku. Sangat mungkin melogikakan apa yang sudah dimaui oleh hati. Aku sangat pakar dalam hal ini. Otakku akan jadi hamba bagi hati yang sudah berkobar, entah karena marah, sedih, cinta, kecewa, gembira, dan sebagainya. Namun hatiku sangat mudah tergoda. Oleh keindahan, oleh perhatian, oleh kekosongan, oleh kecintaan, oleh apapun yang tersentuh oleh pancainderaku. Mudah sekali aku jatuh dalam percabangan karena hati.
Otakku seharusnya adalah bagian yang cemerlang  jika ditilik dari SD - SMA aku tidak pernah bergeser dari 3 rangking teratas di sekolah. Atau dengan melihat percikan pikiran cerdas sesekali di waktu yang tepat saat ada masalah. Tapi otakku juga bagian yang paling malas bekerja. Maka tak ayal aku pernah dapat E untuk matematika terapan, bidang pelajaran yang paling aku suka, saat aku kuliah (Setahun kemudian aku ulang dan aku dapat A!) Juga aku harus memaksa diri sangat keras beberapa kali hanya karena satu istilah dalam satu bab di buku yang kubaca. Bahkan aku sering tidak nyambung saat berbincang dalam sebuah diskusi.
So! Bagaimana mengharmoniskan hati yang kuat dan otak yang cemerlang, atau hati yang mudah tergoda dan otak yang malas dalam diriku? Aku menyadarinya sudah bertahun lewat, lalu menggelutinya dengan berbagai macam pertanyaan dan tindakan, juga tulisan berbagai versi. Kamu akan mudah menemukan tulisan tentang pergumulan otak dan hati dalam diriku lewat blog ini. Coba cek mulai dari yang terbaru sampai yang lama, misal di sini, serial Conspiracy 1 - 9 yang belum selesai di sini yang terakhir dan di sini yang pertama, masih bersambung mungkin tak pernah tamat, lalu tulisan-tulisan lain seperti di sini, di sini, di sini atau di sini. Atau bahkan semua tulisanku adalah gambaran tentang hal itu.
Namun belum juga selesai. Apakah urusan seperti ini memang tidak akan pernah selesai?

Thursday, September 20, 2012

Ketika Hati Menerima Dendam Sebagai Sahabatnya

“Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu…. Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu….” (Soe Hok Gie)

Jelas sekali aku mengingat kata-kata Soe di bagian awal buku harian yang kemudian diterbitkan sebagai : Catatan Seorang Demonstran. Kali ini kalimat itu aku ingat secara kuat. Semata-mata karena dendam sedang menggerus hatiku dengan kuku-kukunya yang tajam.
Awalnya marah yang mendahului, lalu dendam menyelinap masuk seolah hatiku adalah rumahnya. Dengan pongahnya dia duduk jigang memerintahkanku untuk mengangkat telunjuk menuding sembarang. Dia mengambil kendali pada mataku sehingga aku tidak bisa menyurutkan api dari sana. Jengkerut alis dan kelopak mata, yang biasanya meredam api itu, kini malah mengecilkan pupil hingga titik api tercipta menyedot jiwaku pada fokus yang sama.
Yang dibakar adalah diriku! Aku berteriak membentaknya supaya keluar. Tapi kekuatannya tak bisa kubendung. Tangan-tangannya yang berjuta menarik segala urat darahku. Kaki-kakinya tak terhitung kokoh menjejak segala sel tubuhku. Tanpa ampun, walau dia merasai basah air mataku telah bercampur darah. Bahkan lihat tertawa hatiku, dia sudah mulai bersahabat dengan dendam.
Tanganku mengepal mencoba menahannya agar tidak memagut aku lebih dalam. Kubuka telinga lebar-lebar untuk memasukkan jejal volume terkeras dari Slank. Aku berteriak bersama suara Kaka yang biasanya mampu melembutkan hati. Gagal!
Aku mematung di sudut ruang. Menata kakiku bersila, mendaraskan segala puji untuk Ilahi. Hanya bibirku yang bergerak. Hati, berpelukan dengan dendam, terbahak-bahak meleceh menyindir kemunafikanku.
Dendam mulai mengerahkan dayanya, membekukan hati, dan sebentar lagi akan mengeras menjadi batu.
Dan, aku melihat segala sekitarku hanya mencibir menertawai kepanikanku.

Wednesday, September 19, 2012

Nengok Kalkun Mitra Alam

Kalkun indukan, untuk menghasilkan telur-telur yang akan ditetaskan.
Sudah kepikir untuk nulis tentang kalkun sejak berkunjung ke lokasi peternakan Mitra Alam, di Sukoharjo Pringsewu, Lampung, hari Sabtu (15/9) lalu. Tertunda beberapa hari karena aku kehilangan catatan dan terlebih, kehilangan mood.
Tempatnya tidak terlalu jauh dari perempatan lampu merah Pringsewu, belok ke arah kanan kira-kira 3 atau 4 km, persis setelah melintasi Way Sekampung (way = sungai, dlm bahasa Lampung), belok ke kiri. Kira-kira 3 km juga, lalu belok ke kiri lagi ada jalan tak beraspal yang berujung di Mitra Alam.
Masuk ke sana langsung disambut bunyi,"Kluk, kluk, kluk,..." Ratusan kalkun. Pak Bambang, yang mengelola peternakan ini sudah menyiapkan hidangan kalkun yang sehat. Dipanggang, digoreng tepung dan disayur sop. Konon, daging kalkun yang lembut padat itu mengandung kolesterol sangat rendah, hampir 0%. Selain itu juga juga mengandung beberapa gizi lain yang dapat menyehatkan, mencegah beberapa penyakit dan untuk Mitra Alam, mereka promosikan : alami! 
Salah satu efek setelah makan kalkun adalah dapat tidur nyenyak. Ini terbukti saat perjalanan pulang, kami satu mobil kecuali sopir, pulas tidur. Hehehe... Tapi memang di dalam daging kalkun mengandung Tryptofan yang membuat orang dapat tidur nyenyak, dan alhasil dapat memulihkan kesehatan dan vitalitas. Hanya dengan mengkonsumsi 100 gram saja daging kalkun. Nah, aku kira kami makan lebih dari itu deh, makanya langsung molor begitu masuk mobil.

Ini dia kandungan gizi daging kalkun Mitra Alam
Dalam 100 gram daging kalkun segar, umur 4 - 5 bulan, hasil uji Lab Unila dan Balai Pengkajian Pangan dan Gizi UGM, Jogjakarta, 2010.

Sayang aku gak tahan untuk ikut rombongan mengelilingi peternakan. Bau pakan dan kotoran ternak jenis unggas selalu membuatku mual. Dari pada muntah, jadinya cuma ngintip-ngintip dikit di dekat kandang lalu ngacir ngobrol sama Bu Bambang dan kemudian mewawancarai Mbak Ratna di rumah Mitra Alam.
Ada beberapa kandang, mulai dari penetasan hingga penggemukan siap panen. Juga rumah potong dan dapur pengolahan. Semuanya dengan standar yang sudah ditetapkan. Mitra Alam ini menjadi pelopor untuk pembudidayaan kalkun di Pringsewu, bahkan sudah membuat MoU dengan Unila dan pemda setempat untuk menjadikan Pringsewu sebagai sentra kalkun. Tak heran kalau di beberapa kesempatan di lokasi ini diadakan pelatihan untuk para petani dari daerah sekitar untuk semakin menyebarkan kalkun di Sukoharjo maupun Pringsewu. Jika mau keterangan lebih lanjut klik saja blog mereka, di sini. Lalu datanglah ke mereka. Ada banyak teknologi sederhana ramah lingkungan yang diterapkan di sana, tidak sempat kucatat detail tapi moga-moga nanti ada yang menuliskannya secara lengkap.

Monday, September 17, 2012

Pasrah dalam Marah

Aku sedang marah. Hati yang marah sebaiknya tidak mengatakan apapun lewat media apapun, terlebih lewat media tulisan yang akan abadi setelah dibaca oleh banyak orang. Tapi aku tidak bisa menahan diri kali ini. Hanya mungkin tenang setelah melampiaskan kemarahan ini dengan cara yang sepantasnya. Lukisan perempuan sudah kehilangan satu mata, judul-judul cerpen sudah tertulis, curhat ngomel ngoceh sudah kulakukan, berteriak bersama Bon Jovi sedang kulakukan, tapi aku semakin terpuruk dalam kemarahanku.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang adalah memelototi monitor, menulis sedikit tentang hal ini, dan menelusuri musik dan bacaanku di dunia maya yang sekarang ini menjadi favoritku seperti gudang video musik, blognya Dhenok, tulisan Urip, tulisan para lesbian hebat, berita-berita di Yahoo.
Tapi ini tak akan lama aku lakukan. Pada saat yang tepat beberapa menit lagi, aku akan memejamkan mata di kursiku. Mematikan segala lagu. Menutup semua buku. Biar hanya nafasku yang mengalir dari semesta hingga aku bisa merosot mencium kaki energi. Merasai hakekat hamba dan merajai kemerdekaan hamba sahaja yang tak mungkin mendongak karena kemuliaan Penciptanya.

Wednesday, September 12, 2012

Monyet-monyet di Sidodadi, Kedaton, Bandarlampung

Di habitat para monyet.
Waktu ke Gunung Betung ketemu dengan monyet-monyet, tentu itu hal wajar. Di sana habitat monyet masih terjaga, kita ketemu karena kita yang nyatroni, alias bertamu pada mereka. Nah, kali ini, saat sedang di dalam Gereja St. Yohanes Rasul Kedaton, yang berada di dalam kota Bandarlampung, segerombol monyet muncul dan ikut menyelinap di atap, pepohonan bahkan masuk ke dalam gereja. Itu yang terjadi pada Minggu (2/9) lalu saat misa pagi.
Memang, beberapa minggu yang lalu anak-anakku sempat heboh berisik saat misa mengatakan melihat monyet, bayangan monyet, dll, sembari celingak-celinguk di jendela. Jadinya mengganggu banget. Dan aku tidak percaya, memaksa mereka duduk anteng sembari memvonis,"Berkhayal kalian itu. Mana ada monyet di gereja." Mereka protes dan ngotot memang melihat monyet. Aku lebih ngotot dan menarik mereka kembali duduk,"Tidak ada monyet dalam gereja!"
Nah kali ini benar-benar syok ketika aku melihat di kaca jendela bayangan monyet, satu, dua, eh tiga, monyet di antara pohon pinus, lalu di atap! Dan bahkan kemudian mereka melongok hingga terlihat bukan hanya bayangan tapi betul-betul monyet. Wah, dikunjungi monyet-monyet yang kasihan sekali, sangat kurus. Mereka mengunyah pucuk-pucuk pinus, jelas kelaparan.
Siangnya aku bertemu beberapa ibu yang minta air di halaman gereja mengatakan memang monyet-monyet itu turun dari bukit di Sidodadi Kedaton itu. Seringkali mereka masuk ke dapur atau rumah mengambil makanan.
Monyet ekor panjang yang cantik.
"Tahu mau digoreng hilang. Mereka yang ambil."
Tentu kekeringan melanda bukit itu sehingga tidak ada pasokan makanan di atas. Pohon-pohon tidak menyediakan buah untuk mereka makan. Dan mereka pun turun.
"Tidak boleh ada yang mengganggu mereka. Siapapun yang mengganggu nanti mendapat balasannya, celaka. Jadi biar saja mereka butuh makanan."
Mereka menyebut beberapa contoh. Intinya, pokoknya, warga tidak boleh membunuh monyet-monyet itu dan juga segala binatang yang turun dari bukit itu.
Aku langsung berpikir untuk menebarkan bibit-bibit pohon buah di bukit itu. Mungkin kersen/ceri, mangga, pisang, rambutan dll, sehingga pohon-pohon buah berkembang lagi di atas dan tidak perlu kuatir mendengar resiko yang dihadapi para monyet ini. Menghadapi manusia tentu menyeramkan bagi mereka. Bagaimana melakukannya ya? Siapa yang mereksa bukit itu ya? Siapa yang punya minat tentang hal ini ya?

Tuesday, September 11, 2012

Lukisan Tak Pernah Selesai

Lukisan perempuan.
Beberapa waktu lalu ibu di Kediri telepon. Di sela obrolan lain-lain, ibu mengatakan baru saja membereskan beberapa kanvas milikku yang tertimbun di kamarku di rumah Sembak, Grogol, Kediri, Jawa Timur sana. Kanvas-kanvas itu dipenuhi coretan, dan tidak satupun yang bisa dikatakan sudah jadi. Sehingga ibu bingung, kanvas-kanvas itu harusnya diapain. Dipasang di dinding tidak mungkin karena belum selesai, teronggok begitu saja juga merusak pemandangan, dibuang dibakar kok sayang.
Hmmm, itulah kebiasaan burukku. Di kantorku sekarang ini aku pun menyimpan dua kanvas, sekotak cat minyak dan kuas-kuasnya. Gambar pertama sudah kubuat mulai beberapa tahun lalu berupa lukisan seorang perempuan. Aku menorehkan cat sesekali di kanvas itu dalam hitungan jarang, sangat jarang, dan sekejab, hanya beberapa menit setiap kalinya. Kanvas kedua lebih kecil, tapi masih kosong. Bagiku, melukis adalah sarana terapi luar biasa bagi kegalauan atau ketidakkonsentrasian. Mencoret sebentar saja berefek luar biasa. Menjadi lebih tenang, menjadi lebih fokus.
Tidak adilnya, aku tidak memberikan kesudahan bagi lukisan-lukisanku. Aku tidak cukup fair untuk bertahan hingga lukisan itu selesai. Tidak pernah selesai (Aku pernah menjadikan tema ini sebagai bagian dari cerpenku dalam rangka memahaminya. Tapi tidak juga bertobat.). Aku mendapatkan energi dari lukisan-lukisanku, tapi aku tidak memberikan energiku bagi lukisan-lukisan itu. Sekarang belum bisa melakukannya, mungkin nanti, suatu saat nanti, aku akan lakukan. Mungkin.

Monday, September 10, 2012

Sentuhan Kekasih

seperti tabib,
sakit lukaku sembuh ketika tubuhku menghambur
pada lengan-lengan riaknya yang ritmis
keluhan melenyap berganti hanya desahan
menikmati siulnya memburai badan

apa adanya,
kekasihku membasahiku berlaksa ombak
selalu jadi ruang nyaman untuk penyembuhan

pun kali ini,
aku datang tidur di pangkuan permukaan
tanpa kata gerak hanya membiarkannya membelai menyentuh menyentak
untuk aku sembuh

(Mutun 9 September 2012, di atas rakit apung, tidur.)

Thursday, September 06, 2012

Bayi Perempuan, Lagi di Tahun ini

"Bu Yuli, jangan pulang dulu. Aku mau pamer sesuatu."
Aku yang sudah hendak beranjak seusai menghabiskan gelas minumku, kembali duduk. Menarik kata pamitku untuk si bapak, dan meladeni si ibu. Dia masuk ke dalam rumah, lalu beberapa detik kemudian sudah berdiri di depanku dengan seorang bayi di gendongan.
"Ini dia!"
Wajah ibu usia 53 tahun itu berapi-api.
"Aku dapat anak lagi. Perempuan. Cantik. Lihat."
Wah. Aku melihatnya sebentar bengong, tapi kemudian menyambut bayi usia 2,5 bulan itu di dadaku. Ringan. Kelihatan tubuhnya sedang mulai penuh gembung, sedang full dengan daya tumbuh. Dia menggeliat sebentar begitu di tanganku, tapi kemudian meneruskan lelap di dadaku.
"Ini anakku." Si ibu berujar bangga.
Tanpa peduli apapun, dia mencintainya. Jelas tergambar di wajahnya. Mungkin bukan dari rahimnya, mungkin tidak dikenal asal usulnya, mungkin berharu berpilu kisahnya, tapi ibu itu merengkuhnya jadi anak, menambah empat anak yang sudah dirawatnya terdahulu. Anak-anak dari rahim maupun bukan dari rahimnya sendiri.
"Dia anteng sekali, bu. Cantik." Aku memujinya dengan kobar yang sama. Terlihat bayi itu nyaman dalam pelukanku. Sesekali pembuluh-pembuluh susu dan rahimku bergelenyar. Rasa keibuan mengental spontan dalam keriaan tak berujung, tak beralasan, tak terperikan. Perasaan yang selalu muncul kalau aku menggendong bayi.
"Tapi jangan dibawa pulang ya." Gurau si ibu meledekku. Mungkin melihat wajahku penuh hasrat.
Aku mengelus rambut dan kepala bayi perempuan itu sembari mendengarkan si ibu bercerita tentang segala hal. Namanya Asa. Aku bersihkan belek di ujung-ujung matanya. Ada senyum samar mengambang di sela tidurnya.
"Asa, semesta alam memberkatimu." Ujarku dalam hati. Masih mendengarkan kisahnya, hingga bermenit-menit lama kemudian, dengan bayi di dadaku dan si ibu di sampingku, dan si bapak di ujung sana tersenyum mengamati kami, sesekali menimpali singkat.
"Ibu sungguh luar biasa." Ujarku dengan setulus hati pada si ibu.
Aku melupakan beberapa janji yang harusnya aku penuhi siang itu. Ah, ini bayi perempuan yang kesekian kalinya kutemui dalam tahun ini. Bayi-bayi hasil panen kehidupan. Akan hidup dan menghidupi kehidupan.
Aku beruntung pernah menggendong dan masih bisa menemuinya hingga nanti. Bahkan mungkin saat tidak lagi menjadi bayi.