Friday, May 15, 2009

Kelabu

Banyak kali aku merasakan kelabu, karena aku memang manusia kelabu. Tapi setiap kali sedang mengalaminya aku benar-benar...kelabu. Tanpa tangis di pelupuk terlihat tapi perih di dada, tepat di inti hatiku. Kelabu.

Conspiracy (5)

(Kisah sebelumnya.)
Aku adalah seorang putri. Seorang lady. Seorang ratu. Yang berkuasa atas tanah-tanah mimpi, pulau-pulau puisi, dan samudera seni. Aku berkuasa atas kaki langit dan puncak gunung. Dalam gaun perak aku bisa bergerak ke segala arah dengan kereta tujuh kuda. Kuda-kuda yang bersayap. Yang berwarna-warni.
Istanaku adalah segala manik perhiasan pecahan bintang yang diambil dari kantong-kantong bidadari. Hangat tanpa punya musim dingin beku. Bahkan hujan adalah keindahan.
Aku mempunyai laskar berlaksa berjuta yang mengabdi penuh dengan kepala tunduk hanya padaku. Mengurut jemariku mencipta nyanyian asmaradana, membimbing bibirku berteriak kegairahan, dan menyiram rambutku dengan minyak rindu.
Akulah penguasa seluruh alam dengan bala tentara air, tanah, api dan udara. Aku penguasa segala itu. Dan kini permintaanku cuma satu : Aku mau Dew!
...
Entah berapa kali Brain memimpin rapat-rapat itu. Aku sengaja menyisih di pojok tamanku, tidak mau bergabung dengan mereka. Laporan Brain aku tanggapi dengan kemarahan tidak sabar. Senyuman Heart aku masukkan ke keranjang sampah. Aku tidak butuh segala remahan itu. Aku mau kaki yang melangkah dan tangan yang bekerja.
"Putri, mereka berkianat..." Suara bisikan seperti siul di telinga. Itu angin, yang jutaan anak-anaknya diberi makan dan tidur di istanaku.
"Putri, mereka berkianat..." Siulan yang sama. Aku mengibaskan tanganku menyuruh mereka pergi. Mereka tidak punya telinga, tidak mungkin aku ajak bicara. Dan darimana bisa menuduh para panglimaku berkianat kalau mereka tidak punya telinga.
"Putri, mereka berkianat..." .... (Bersambung)

Wednesday, May 13, 2009

Gunung tanpa puisi

Gunung tanpa puisi? Itu tidak mungkin. Kaki-kaki gunung pun berpijak pada jutaan puisi, apalagi lereng dan puncaknya. Gunung selalu penuh puisi. Pasti!

Tuesday, May 12, 2009

Gunung Tanggamus


Kerinduan akan gunung terobati pada Gunung Tanggamus. Gunung setinggi 2.400-an m dpl ini terletak di Kabupaten Tanggamus, sekitar 80 km dari Kota Bandarlampung. Sebelum berangkat sudah ada beberapa cerita dari gunung ini. Selain merupakan gunung tertinggi kedua di Lampung, juga menjadi peternakan 'pacet', hiii...
Tapi okey saja, siap untuk jalan. Naik bis dari Jl. Pramuka, siap berdesak-desakan dalam bis ekonomi. Pilihan ini (dibandingkan naik bis ac yang nyaman) tetap merupakan pilihan yang asyik untuk sebuah rombongan. Sekitar 2 jam, turun di Pasar Gisting. Jalan ke pos dadakan pertama, yaitu rumah Pak Yakup, bapak dari seorang rekan. Pak Yakup terbengong sekilas melihat rombongan tanpa kabar ini tapi kemudian menyuguhkan tahu goreng dan teh hangat. Uah, tepat nian untuk perut yang lapar.
Istirahat sebentar lalu lanjut. Rencana akan berkemah di base camp Sonokeling, sekitar 1 jam perjalanan dari ujung jalan aspal. Jalan langsung mendaki, kanan kiri kebun sayur, kol, kopi, ketela, dan juga suara sapi atau kambing. Beberapa menit sempat terpaku karena suara gemuruh disertai segala bunyi binatang dari segala penjuru. Ada apa? Petani yang melintas mengatakan ada angin puyuh yang sedang lewat. "Mboten udan, kok. Namung angin niku." (Tidak hujan kok. Hanya angin itu.) Tapi ya serem.
Base camp merupakan lereng yang keren, dekat mata air pula. Di ketinggian 700 m dpl ini, pemandangan cantik nian. Terasa nyaman. Dingin sih, tapi rasanya aku akan betah di tempat ini hingga beberapa minggu, atau bulan... Dan, ada gubuh Mbah Di di dekat situ. Mbah Di ini merupakan bapak dan mbah para pendaki Tanggamus. Setiap pendaki pasti mampir. (Tuh, fotoku di atas itu saat ngelesot di sofa lincak depan rumah mbah Di yang semilir usai pendakian. Yang samping ini seluruh rombongan ditambah yang motret usai sarapan di base camp.)
Sebagian barang dititip pada mbah Di yang memberi pesan,"Berapa orang yang ndaki? Dua belas? Agamamu apa? Agama apapun doa dulu sebelum dan selama perjalanan. Nanti jika sedang jalan ada yang merasa dipanggil cek jumlah rombongan, jika lengkap jangan menjawab. Sering ada kejadian orang kesasar kalau menjawab panggilan seperti itu. Ya, hati-hati."
Hemm, harus diikuti. Terimakasih, mbah.
Jalanan menanjak dengan kemiringan antara 20 - 45 derajat (beberapa tempat bahkan bisa 70 derajat), membuat nafas cepat tersengal. Hutan rimbun, tapi alamak...betul, peternakan pacet. Habis kaki diserap binatang pengisap darah ini. Geli, jijik, ilang dah... karena gak ada pilihan. Sekitar 3 jam perjalanan tiba di shelter, sekitar 1.900 m dpl. Agak landai dengan dua jalur air yang sejuk sedikit berlumut. Ah, ya sekitar situ memang biasa disebut hutan lumut, yang lembab dan berlumut tebal di pohon dan tanah. Bisa beristirahat, makan, ngisi cadangan air dan mesti siap-siap pada jalur sesudahnya yang semakin miring terjal. Diperkirakan sekitar 30-45 menit lagi sampai puncak.
Ah, mendadak cuaca sangat buruk hujan angin gelap, waduh. Jalan semakin merambat, dan akhirnya menyerah pada satu titik (Kata Titis tinggal 10 - 15 menit lagi puncaknya. Tapi dalam cuaca seperti itu sangat berbahaya jika pun berada di puncak. Tidak mungkin juga berkemah di situ.). Maka menahan kecewa, kami pun turun dengan sangat hati-hati karena licin dan sesekali membungkuk melepas pacet yang menempel di kaki, hingga berdarah-darah. Apalagi kalau tidak sengaja mencari pegangan pada rotan-rotan yang berderet sepanjang jalan, salah-salah kena durinya.
Tapi sungguh, gunung ini sangat keren. Suatu saat pasti datang lagi kesana. "Demi puncak!!!" Gitu kata Albert. Oh ya aku mendaki dengan Den Hendro dan anak-anak. Albert dan Bernard, menjadi kesayangan seluruh tim dan pemacu semangat mereka. Ya, mereka yang 6 dan 8 tahun itu bisa berjalan dengan riang gembira, bertanya ini itu, bernyanyi tanpa capek, sedang yang tua-tua sudah tersengal bahkan Wati turun lagi setelah satu tanjakan. Andi yang sudah pucat pun turun di tengah jalan didampingi Sinto. "Anak-anakmu jan potensial pendaki, mbak." Gitu Keling berkomentar. Titis dan Tri pun yang biasa mendaki gunung memberi aplus pada dua anak ini karena bisa mengikuti gerak langkah dengan kecepatan yang sama dengan mereka tanpa mengeluh. "Bernard ae bisa. Jadi aku pasti bisa," tandas Matea dalam jatuh bangun. Dan Bernard di depan terus berteriak,"Ayo terus, usaha. Tetap semangat." Dan mereka melaju terus sambil tengok kanan kirim kagum melihat alam, serta menikmati kebebasan semesta. Ya iya, boleh kotor, boleh teriak, boleh hujan-hujanan,...
Pasti, suatu saat kami akan merencanakan lagi pendakian seperti ini. Mungkin ke Gunung Tanggamus lagi, ke puncaknya. Atau Gunung Pesagi, Betung, Rajabasa,... ah masih banyak gunung di Lampung yang harus didaki. Pasti...

Friday, May 08, 2009

Menjelma Bidadari

Aku bisa menjelma menjadi bidadari. Sungguh. Seseorang telah memasangkan sepasang sayap kecil yang selalu berkilauan ketika digerakkan. Sayap yang sangat kecil, dan indah. Desisnya ketika aku kepakkan adalah nyanyian penyejuk. Dan sangat kuat! Heran juga ya, bagaimana sayap sekecil itu bisa mengangkat tubuh setengah kuintalku hingga melayang. Membawaku pada petualangan rasa. Aduhai... Dan membuatku melihat sisi-sisi keajaiban mimpi. Astaga...

Hari Menyenangkan

"Dua hari ini Albert senang sekali, bu."
"Oh, kenapa?" Aku melihat dia sekilas.
"Tidak tahu. Kenapa ya?"
"Lha kok malah tanya."
"Ya, pokoknya senang."
Aku memang lihat mood dia sangat bagus. Seolah-olah aku sudah mempunyai anak yang dewasa. Dia bertindak dengan sabar, sok mengerti dan itu tadi, dewasa.
Aku bisa menduga sikap ini muncul sejak hari Rabu kemarin, ketika aku mendapat surat panggilan untuk menghadap guru wali kelasnya. Tentu aku sangat kaget, apa yang sudah dibuat Albert sehingga aku mesti datang ke sekolahnya di ruang BP. Malam itu juga aku, bapake dan Albert duduk melingkar, serius. Surat itu aku pegang dan aku tanya ke dia, kira-kira kenapa aku harus datang ke sekolah. Dia mengatakan beberapa alasan yaitu satu karena tulisannya jelek. Dua, karena menulisnya lambat. Tiga, karena beberapa kali tidak mengumpulkan tugas. Empat,...
"Mungkin...karena nilai Albert yang terakhir jelek."
Aku berkerut mendengar itu. Lalu kami bertiga membahas bersama hal itu. Albert mengemukakan beberapa alasan dan kemudian juga menawarkan solusi sendiri. Itu yang sekarang ini kami kerjakan.
Albert anak cerdas, aku tahu itu. Bu Ety, gurunya pun mengakui. Nilainya bagus. Soal tulisan aku cukup maklum deh, dia memang minatnya berlari, main bola, naik sepeda...ketimbang duduk di meja belajar. Tapi dia punya jawaban yang cerdas dan juga alasan yang orisiinil...asli, kadang lebih dewasa ketimbang aku.
Besoknya aku bertemu Bu Ety, dan syukurlah kami bisa ngobrol secara santai. Beberapa hal yang kemukakan Albert itu sebagian betul, dan Bu Ety bersedia membantu. Dia juga menjanjikan untuk bicara serius juga dengan Albert empat mata.
Aku kira ketika anak diperlakukan secara dewasa, dia juga akan berbuat secara dewasa. Dan itu membuatnya senang.

Jadi Cover Majalah


Apa yang harus dirasa kalau wajah 'menceng' kayak gitu dimuat untuk sampul sebuah majalah? Seorang sahabat mengirim softcopy ini setelah majalahnya sendiri sudah aku simpan di satu pojok sejak beberapa bulan yang lalu. Kiriman ini mengingatkan aku kalau pernah jadi 'covergirl' dadakan. Ini salah satu dari koleksi topengku. Mau apa...

Saturday, May 02, 2009

Ibu Palsu

Hari buruh.
Setelah berhari-hari berbusa-busa menjadi provakator di banyak tempat banyak orang, hari ini aku tafakur, tunduk terdiam mengabadikan simbol.
Hari Buruh Internasional hanyalah moment menyematkan simbol.
Perjuangan buruh bukan pada hari ini.
Hari ini hanyalah lengkingan sekarat : mayday, mayday, mayday...
Semakin sayup, namun sempat aku abadikan : dalam doa jumatku dalam tulisanku dalam kameraku dalam ragaku dalam hatiku.

Rambutku aku babat cepak. Aku katakan pada semua orang,"Sebagai simbol penggundulan hak buruh!!" Pemanfaatan moment.
Di rumah anak-anakku protes.
"Ibu aneh deh." Kata Albert. Dia menatapku sambil melotot.
"Ini pasti ibu palsu." Kata Bernard sambil mengamat-amati wajahku. "Coba buka mulut, Bu. Coba bilang : aaaa... Nah, kan, beda. Ini ibu palsu, Mas!!! Pasti dia menyembunyikan ibu kita yang asli. Ayo kita lawan, Mas!!!" Dikeroyok dua cowok ini mana tahan.
Ampun deh.
Malam sebelum tidur, Bernard berkomentar lagi : "Bagus sih, Bu, tapi tidak cantik." Sambil mengelus-elus rambutku. Lalu lelap tak mau melihat cemberutku.
Pagi bangun tidur dia komentar lagi :"Cantik sih, Bu, tapi tidak bagus." Aduh...
Setelah aku suapi, dan aku bantu membereskan tasnya, aku laporkan komentar itu ke bapaknya buru-buru dia beri tanggapan baru. "Nggak, ah. Ibu salah dengar. Cantik, bagus." Terpaksa aku harus membenamkan bibirku ke seluruh wajahnya.
Aku tahu mereka sayang aku apapun bentuk rambutku. Tapi memang aku harus berusaha untuk menjadi 'ibu asli' bagi mereka berdua.