Thursday, December 10, 2020

LHHH (9): Bukit Camang, Keindahan Alam yang Terselip di Bandarlampung

Lampng Hash House Harriers (LHHH) biasanya mendapatkan rutenya pada hari Jumat sebelum jadwal hash hari Minggu. Sekelompok senior akan mencari rute dan menaburkan potongan kertas dan tanda-tanda pada hari Jumat tersebut. Selain potongan kertas, tanda lain yang memudahkan untuk mengikut rute hash adalah tanda panah dengan cat warna merah disertai tiga titik merah, bisa di pohon, batu atau benda permanen yang ada di rute tersebut.

Untuk kelompok yang sudah puluhan tahun melakukan hash tiap hari minggu, tentu saja LHHH mesti mengulang rute yang sama beberapa kali. Artinya kalau sekarang ini aku baru ikut dan baru tahu ada rute tertentu, bisa jadi para senior sudah pernah mengikuti atau melalui rute tersebut beberapa kali. Bahkan bisa jadi tidak hanya dalam kelompok minggu, tapi mungkin di hari lain mereka jalan atau lari sendiri menggunakan rute tersebut.

Minggu 6 Desember 2020, rute hash di daerah perbukitan dalam kota. Bukit Camang, itu mereka sebut. Parkirnya menggunakan area parkir Perumahan Bukit Alam Surya di daerah Tanjunggading, Kedamaian. Ini untuk kali pertama saya masuk area itu dan sungguh  underestimed awalnya.

1. Nampaknya gersang

2. Tak ada pemandangan bagus.

Saat masuk area untuk parkir, pikiran itu masih melekat di otak. Tapi tak lama. Segera setelah aku meletakkan helm, lalu tengak tengok di sekitar sambil menyapa teman-teman hash yang sudah hadir, pikiran itu segera berubah. Di menit pertama saja aku menarik Mas Hendro untuk foto di salah satu sudut.

Dan setelah usai senam bersama, start jalan lewat jalan setapak wahhh... aku sudah langsung berkobar-kobar. Udah langsung nanjak, lalu turun dengan curam, landai masing mengikuti jalan setapak, memutari bukit, lalu nanjak lagi, sesekali cukup ekstrem, lalu turun lagi, masuk ke bukit selanjutnya, nanjak lagi, turun lagi, begitu seterusnya. Lewat tanjakan-tanjakan yang membuat ngos-ngosan tapi asyik banget karena begitu sejuk. Masih banyak pepohonan dan semak, panas matahari tidak terlalu terik.

Beberapa tempat ada penambangan yang menggerus bukit-bukit. Tampaknya kalau difoto itu sangat indah. Tapi itu bagian sedihnya. Tempat yang begitu indah, sangat dekat dengan kota, eh malah dalam kota, jangan sampai hancur oleh kepentingan bisnis ekonomi. Jangan sampai rusak karena menggerus kekayaan alam itu.

Tidak jauh rute kali ini, dengan segala  pikiran, perasaan, juga pegel kaki karena tanjakan dan turunan, aku didominasi oleh rasa syukur. Bahkan di turunan terakhir aku terguling, setelah terpeleset, aku tetap dipenuhi rasa syukur.

Wednesday, December 02, 2020

LHHH (8): Bumi Kedaton Resort dan Seluruh Kesegaran

Hash kali ini tiba-tiba menjadi rahmat bagiku. Awalnya aku udah pesimis untuk ikut karena melihat jadwal di buku agendaku yang sudah full dengan aktifitas sampai menjelang Natal. Tiba-tiba Sabtu sebelumnya ada WA masuk yang membatalkan kegiatan hari minggu. Maka, Minggu 29 Nopember 2020, pagi-pagi sekali aku dengan gembira mandi dan bersiap otw ke Bumi Kedaton Resort untuk ikut hash. Sangat gembira dan segar. 

Hash kali ini agak berbeda karena ada komunitas lain yang hadir juga di basecamp, diawali dengan senam bersama yang sudah membuat mandi keringat. Sudah banyak kalori yang dibakar oleh senam. Rute jalan hanya ada rute pendek di sekitaran Bumi Kedaton. Bagi banyak orang ini tak istimewa, tapi bagiku ini sangat menyenangkan. Setelah beberapa minggu tak bisa ikut hash, walau hanya jarak pendek dengan pemandangan kebun dan rumah tetep saja menyenangkan dan membuat segar.

Jam 10an semua sudah beres. Di taman bermain Bumi Kedaton dengan diem-diem saja bersama Mas Hendro yang sarapan heboh dengan mi goreng, sambil lihat kanan-kiri menambah kesegaran itu. Aku benar-benar merasa fresh, terlingkupi oleh kegembiraan tanpa alasan.







Tuesday, December 01, 2020

Ayu Permata Sari (2): X antara Tanah dan Langit

Seperti niatku awal, tulisan ini kugunakan untuk mengingat percikan-percikan inspirasi yang muncul lewat pementasan X oleh Ayu Permata Sari, Teater Satu, 28 Nopember 2020. Aku ndak mau lupa akan kekayaan yang sudah kudapat lewat kesempatan ini. 

Saat aku membayangkan pentas ini di ruang privat, aku mengandaikan si penari melakukannya dengan kostum telanjang, menunjukkan tubuhnya secara utuh dengan kekuatan gerak hidup yang dimilikinya. Pak Iwan Nurdaya yang duduk di sebelahku saat diskusi usai pentas langsung mengingatkan soal estetika Islam yang tidak memungkinkan hal itu dilakukan dalam pentas, walau kemudian semerta ingat kalau yang kuucapkan adalah di ruang privat.

Tapi sebenarnya aku juga berpikir kalau ruang privat itu bisa juga diambil untuk pentas. Misalnya seperti yang pernah dilakukan oleh Marina Abramovic dengan tubuhnya. Aku merespon pak Iwan: "Tergantung kesiapan penontonnya. Kalau penontonnya siap, itu tak apa-apa." Kukira pak Iwan tak sependapat dengan pikiranku itu. Itu bisa didiskusikan lanjut entar oleh siapa pun. Tapi yo mikir soal penonton yang siap itu kan bukan perkara mudah. Hehehe. Wong diminta untuk fokus saat nonton teater, tari atau musik saja juga susah kok. 

Ayu mengambil satu gerakan dari Sigeh Penguten yang disebut gerak Samber Melayang. Aku tak paham tari ini dan mendapatkan dari pencarian Google bahwa gerak samber melayang adalah gerak penghubung dari satu gerak ke gerak lainnya yang tidak mempunyai makna tertentu. Tapi toh gerak 'hampa makna' ini harus ada karena kalau tidak ada maka seluruh tarian Sigeh Penguten tidak akan terbentuk.

Ayu mewujudkannya dalam gerak gesekan-gesekan, yang berulang, dari yang paling lembut nyaris tak terlihat hingga sampai pada gerak gesekan yang berbunyi, menghasilkan bunyi dari telapak tangannya, yang beradu dengan telapak tangan yang lain, atau bagian tubuh yang lain. Bunyi itu semakin kuat dibarengi dengan bunyi nafas, yang ritmis terulang. Andai aku tidak fokus, 'gerak hampa' ini bakal membuatku bosan. Ah tidak, aku memang bosan di beberapa bagian karena inderaku sudah terbiasa menuntut gerakan 'luarbiasa' yang memungkinkan bibir bersuara untuk berdecak kagum. Aku tidak sabar menunggu untuk berdecak, berkomentar atas gerak 'hampa' ini. Kalau aku tidak sabar menyelesaikannya bisa jadi yang muncul adalah decak melecehkan: "Tari kok kayak gitu."

Setelah gerak monoton yang sangat panjang, akhirnya Ayu menggerakkan kakinya, tubuhnya, dan gaun yang awalnya kusebut sebagai pengganggu akhirnya membantuku untuk memahami jati dirinya. Awalnya gerak gaunnya itu menutup gerak asli otot-otot kakinya, tapi kemudian lambaian gaunnya itu memperindah otot-ototnya yang bergerak. Dan kubilang ini bukan soal estetika Islam, Katolik atau pagar agama, budaya, dll manapun. Inilah manusia. Manusia yang beruntung dipinjemi tubuh yang mampu bergerak seumur hidupnya lewat hasrat yang terus-menerus ingin berkembang menjadi indah.

Aku terpaku saat Ayu semakin mendekat pada lantai, pada tanah, pada bumi. Sayang gerak ini tidak dieksplore lebih lama sehingga tubuhnya menyatu dengan bumi. Hal itu dilakukan pada bagian-bagian akhir sebelum kembali tegak ingin menyentuh langit dengan jari-jarinya. Kukira kalau gerak 'melekat' pada bumi ini diperkuat, aku pun akan sampai pada klimaksku dibantu oleh pentas ini. Tapi yo ra popo sih. Justru inilah realitas manusia yang diwakili oleh Ayu. Realitas manusia yang selalu pongah padahal lemah, merasa di atas walau terbatas. 

Baik sekali pentas ini ditutup dengan perbincangan santai. Mendengarkan banyak pendapat yang muncul dalam perbincangan membuatku semakin kaya dengan energi. Aku merasa sangat penuh sekaligus sangat kosong di bagian ini. Merasa senang bersyukur bisa mendapatkan kesempatan hadir di tempat itu. Itu yang kuungkap ke pengundang, Desi dan teman-teman Teater Satu, juga ke Ayu dan kawan-kawan. Walau ada beberapa titik yang kurasa tidak sesuai dengan ekspektasiku sebelum nonton, tapi aku sama sekali tidak merasakan kekecewaan. Semua terjadi secara tepat, dan membuatku bersukacita.

Dalam kesempatan lain, mungkin bukan Ayu yang akan menolongku untuk memahami yang belum terpahami dalam pentas ini. Atau bisa jadi aku akan bertemu Ayu lagi dalam bentuk pentas yang lain. 

Karena itulah aku tak mau lupa tentang pentas kali ini, sebagai tambahan pengalamanku sebagai bagian pembelajaranku. (End)