Friday, December 20, 2013

Pamit

Hai, hai, jangan menangis dulu. Ini pamit tahunan seperti biasa. Menjelang libur akhir tahun aku akan mengambil waktu untuk pamit, menikmati tepukan tangan dari anda sekalian atau kalau bukan tepukan, aku akan tetap membungkuk takzim untuk anda sekalian.
Ini hari terakhir aku menulis di blog untuk tahun 2013 ini. Hari pertama aku menulis di tanggal 3 Januari lalu, aku menulis tentang misi pribadiku sepanjang tahun yaitu : memurnikan motivasi. Misi inilah yang akan aku bawa untuk aku renungkan sepanjang perjalanan akhir tahun hingga pergantian tahun nanti.
Jadi jangan sedih. Secepat mungkin, pada kesempatan pertama di awal tahun aku terakses internet, aku akan segera menulis untuk blog ini lagi. Mau tahu perjalananku akan sejauh apa? Aku pasang clue saja ya : Lampung - Jakarta - Kediri - Lumajang - Jember. Mungkin akan tambah beberapa kota lain yang berdekatan misal Surabaya - Malang - Jogjakarta - Bandung. Tapi itu hanya bonus saja. Kisahnya aku akan tulis nanti, seperti biasa.

Thursday, December 19, 2013

Kehilangan Pagi

Ini sudah dimulai dari kemarin, bahkan kemarin lagi, dan lagi. Saat siang lalu senja, boleh saja kuterima. Suaranya tersamar dengan seluruh hiruk pikuk jalanan dan juga teriakan anak-anakku. Tapi ketika jalanan mulai terlelap dan anak-anakku mulai masuk ke alam mimpi, suaranya yang  tak berhenti itu sungguh menjengkelkan. Aku sama sekali tak bisa memejamkan mata, terseret gelombangnya.

Awalnya aku mengira suara itu adalah alunan keluhan. Seperti sayup-sayup berdendang di sela-sela gerimis yang tak ada sela. Kadang-kadang aku malah bisa menganggapnya sebagai lagu ninabobo yang tak tahu waktu. Mengalun, mengayun, mengalir tiada henti, kadang dalam suara rendah, kadang bernada tinggi.

Namun suaranya sama sekali bukan lagu. Suatu saat berubah menjadi lengkingan, lalu raungan, dan di malam yang senyap, suara itu bukan lagi alunan, tapi menjadi sentakan, hentakan. Jadi aku memutuskan untuk mendatanginya, memastikan apa yang dia tangisi berhari-hari, tanpa henti di seluruh putaran waktu, di dalam rumahnya sendiri.

Saat aku datang, rumahnya terkunci. Bunga kemuning samping rumahnya sudah merontokkan seluruh kelopaknya, dan bibit-bibit mawar di halaman depan seperti tonggak-tonggak penuh duri-duri, tanpa daun tanpa bunga. Aku sudah hendak mengetuk pintunya, ketika perempuan itu, ternyata perempuanlah suara itu, sedang mengencangkan raungannya. Suaranya serak dan basah. Ah, hentikan sebentar, perempuan. Hentikan sebentar tangismu itu. Hatiku berbicara, tapi suaraku tak muncul, termangu di depan pintunya, ikut dalam tangisannya yang pilu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku sama sekali tak menduga dia akan membuka pintu, dan berdiri persis di depanku. Suaranya saat berbicara sama sekali bukan suara manusia, walau dia tetaplah perempuan. Mungkin sama sekali bukan suara, tapi semacam erangan dalam nada bariton, yang sangat dalam dan sangat basah.

Matanya adalah mata tercekung yang pernah kulihat. Begitu basah tapi tanpa kilat. Lampu jalanan membantuku melihat titik-titik air di seluruh wajahnya, juga lengannya, juga jemarinya. Matanya, ya, matanya, adalah sumur tergelap dengan aliran yang tak habis-habisnya. Lihat, bahkan saat kemarahan membungkus, pun sudut-sudut matanya mengalirkan kedukaan.

Aku hendak mengatakan kalau aku terganggu oleh suara tangisannya, tapi matanya tak mengijinkan aku bersuara. Tubuhku gemetar merasakan kehadirannya di depanku dengan rongga-rongga seluruh tubuhnya yang rapuh. Dia memandangku dengan tangisan. "Aku kehilangan seluruh pagi yang harusnya kumiliki! Kau pikir aku tak boleh menangisinya?"
Perempuan itu membalikkan badan. Pundaknya lapuk dalam lengkung, dan sepasang betisnya yang timpang menyeret tubuhnya kembali ke balik pintu. "Kau pun akan kekal dalam duka kalau kau kehilangan pagimu!" Telunjuknya menudingku sebelum dia membanting pintu, kembali terkunci.

Lalu sedu sedan itu kembali melagu. Sesekali ada lengkingan dan raungan. Oh, perempuan, betapa besar hatimu terkoyak. Kemana perginya pagimu? Aku basah kuyup di terasnya, dalam gerimis yang tiba-tiba menjadi hujan lebat.

Wednesday, December 18, 2013

Hanya Gerimis

Ini lebih berat dari yang kusangka, sahabat.
Aku tak mengira gerimis datang terus-menerus.

Kertasku basah, tintaku basah, bajuku basah,
dingin dan luntur. Rambutku basah, dadaku basah,
rotiku basah, pasi dan melumpur. Langkahku basah,
nyanyiku basah, hatiku basah, lesi dan hancur.

Ini terlalu berat dari seharusnya, sahabat.
Aku tak mengira gerimis bisa bertahan berjam-jam.

Sulit mengikuti langkah panjang kesatria
di jalanan licin tanpa pegangan. Mata buta
oleh gumpalan hasrat di pojok ruang.
Tak akan sempat, tak akan ada saat.

Ini terlalu berat. Tak ada pilihan. Hanya gerimis.
Terus menerus. Berjam-jam. Terlalu berat.

Tuesday, December 17, 2013

Conspiracy (12) Tamat

Kisah sebelumnya.

Sebisa mungkin aku menahan kantukku. Heart berayun-ayun dalam tubuhnya yang tambun. Tangannya kini tak lagi memijitku, tapi mengurai rambutku, memainkannya, sembari matanya terpejam.
"Heart, bisakah aku melupakan Dew? Apakah menurutmu aku bisa melakukannya?"
Prince of Heart yang biasa lentur berayun luwes gemulai, spontan tegak dalam gerak kaku. Tangannya ditarik dengan cepat dari rambutku sehingga aku terpekik karena beberapa rambutku tercabut olehnya. Tapi aku segera melupakannya dan tak peduli ketika Heart menunduk hormat beberapa kali untuk meminta maaf.
"Bisakah, Heart sayang?"
Heart memandangku tak percaya.
"Lady, apakah Lady akan menyerah?"
"Tidak."
Aku menggeleng-geleng sembari mencoba merangkul badannya yang mulai hangat. "Heart, kau tahu aku bukan orang yang mudah menyerah."
Sekarang dia yang menggeleng-geleng, dengan wajah yang sulit diduga antara gembira atau berduka.
"Kau tak akan berhasil, Lady. Dew telah merasuk seluruh tubuhmu, mana mungkin kau berniat melupakannya. Kau tak akan berhasil."
"Minimal, Heart, kalian akan kembali dalam harmoni. Aku capek melihat kalian selalu bertengkar. Brain semakin tua akhir-akhir ini, dan kau terus mengoloknya. Juga lihat Eyes yang sudah bengkak matanya, Noses yang tak henti-hentinya kena flu, Mouth yang semakin tajam suaranya, Ears yang semakin menjuntai dan Skins, ah Skins sungguh kasihan selalu menjadi tumbal, merana."
Heart terdiam. Pandangannya menjauh dari istana, menangkap dua pasang kutilang di pohon Gayam, dekat mata air taman.
"Memang, Lady. Kami pun capek."
"Sekarang bergegaslah, Heart. Panggil Brain segera, apapun yang dia lakukan, suruh berhenti dan kesini. Aku akan mengatakan supaya upaya pencarian Dew dihentikan. Kalau dia kembali, aku akan mendapatkan kegembiraanku yang utuh. Jika dia memang akan terus pergi, paling tidak kalian bala tentaraku, hidup damai dalam harmoni."
Heart beranjak dari sisiku, berjalan pergi. Air mataku menitik dalam rintik yang tak terukur. Aku memandang kepergian Heart dengan kedukaan dan kesepian. Tapi tak ada gerak yang kuperlukan.
Lamat-lamat dalam pendengaran semu, dan khayalan maya datang berwarna, aku merasakan langkah Dew di halaman luar, selangkah-selangkah menuju pintuku, terus...tanpa batas waktu, entah, ...kapan dia akan sampai. (Tamat)

Imajiner

Persamaan dari senja adalah kepastian yang
diturunkan dari rumus kompleks matematika.
Tak ada yang bisa mengembangkannya
tanpa mengacu sumbu gelombang pasang.
Lucunya saat dia berdiri seorang saja
antara jaman purba dan kekinian yang nisbi
kakinya membengkok dalam angka imajiner
hanya bisa dihitung oleh akar pangkat negatif
tanpa hasil yang memuaskan hati, terlebih
saat matahari tanpa senyum masuk dalam
selimut dingin, mengabaikan tangan melambai.

Kalah


Bagaimana kembali pada kemenangan
sedang aku tersuruk dalam tudingan
yang mengikat hatiku di kursi sudut
bahkan tak bisa menggerakkan sehelai rambut
secara merdeka?

Aku meletakkan bibir di dalam kenangan
yang masih akan kuulang andai
kesempatan menjadi lantai landai
bagi tubuh berselancar tanpa penghalang.

Saturday, December 07, 2013

LEKAT

Ini terlalu mudah, sayang.
(Aku mengatakan untuk menghiburmu,
juga untuk menghiburku.)
Tak perlu dicatat,
tak perlu dikerat.

"Aku mau semangkuk kaldu." Suaramu mirip rayu.
(Kau telah memintaku menggeser pintu,
menyodorkan mangkuk porselen Tiongkok berhias biru kobalt,
mangkuk kuat, dalam denting renyah yang separoh berisi kuah.)

Tunggu sebentar, sayang.
(Terpaksa kukatakan ketika tanganmu terlalu cekatan,
menarik grendel hingga menguakkan udara pejal
serba tergesa.)

Tunggu, pakai kasutmu!
Tak usah diikat,
tak usah dibebat.

"Aku mau tanpa cendawan." Kali ini suaramu tanpa tawa.
(Tanganmu di atas tanganku mencabut benih-benih jamur tiram putih,
serupa batang liat, dengan akar kenyal bertumpu petang,
yang selalu rawan.)

Air telah mendidihkan belulang, sayang.
Pilihannya adalah mendekat,
melangkah tanpa syarat.

"Aku mau..." Hanya bisikan yang nyaris tak terdengar.
(Tapi tak seorangpun akan menolaknya sebagai puisi atau prosa
sesaat, untuk tanpa ragu di sepanjang hayat.)

Sunday, December 01, 2013

Kasus

Pulang sekolah sore, dua cowokku berderap hingar bingar hingga depan pintu rumah, lalu tak ada suaranya. Aku diam juga sedang mengaduk ayam pada bumbu, sembari menunggu wajan panas. Aku tahu mereka mengendap-ngendap di belakangku.
"Bu, Bernard kena kasus di sekolah." Albert berbisik dekat kuping.
Weih. Aku taruh mangkok ayam. Bernardnya sendiri santai-santai saja membuka kulkas tanpa melihat padaku. "Kenapa, dik?"
"Hush, pelan, bu. Ini rahasia. Di kamar saja. Biar bapak gak dengar." Albert lagi yang bicara. Bernard asyik mencongkel freezer.
Wah, serius nih.
"Tapi ibu masukin ayam dulu ya. Sambil nggoreng."
"Iya, aku juga masih ngambil es." Bernard yang bersuara.
"Iya, aku juga mau pipis dulu." Albert ikut menambah.
Okey, lalu kami masuk kamar setelah aku mengedip pada bapaknya yang mau protes.
Lalu pintu ditutup. Albert rupanya sudah diangkat jadi juru bicara sehingga Bernard hanya mondar-mandir mencecap es balon, sedangkan Albert duduk di depanku, bicara.
"Tadi sore, habis aku les, aku ke kantin. Makan nasi goreng sisa, dikasih sama mbak kantin. Mereka kan selalu bagi-bagi nasi goreng yang gak kejual." Huft, sabar-sabar. Aku melihat tanpa komentar. Sabar.
"Lalu adik datang. Aku tawari nasi goreng gak mau. Padahal nasi gorengnya enak, pedes." Astaga, Albert, jadi kasusnya apa? Kok malah tentang nasi goreng lho.
"Dia cerita habis mecahin pot." Oh, itu. Aku melihat Bernard.
"Iya, Nard? Pot yang mana? Di lantai atas? Kena orang? Dimarah bu Yohana?"
"Ndak. Tenang saja sih, bu." Bernard menjawab masih dengan esnya.
Albert lagi yang menjelaskan,"Bu Yohana sudah tahu. Tapi Bernard gak dimarahin. Tapi waktu aku dulu jadi saksi saat temanku mecahin layar monitor, ibu dipanggil kan sama guru? Disuruh ngganti juga kan? Nah, dik, bisa jadi besok ibu dipanggil bu guru."
Oalah. Aku mulai tahu duduk soalnya. "Jadi pot mana, Nard?"
"Pot depan kantor. Bukan di lantai atas. Gak kena orang juga kok. Aku lari-lari pas istirahat, gak sengaja. Tapi bu Yohana melihat kok. Ndak marah."
"Okey, lihat besok ya. Kalau memang bu Yohana mau ketemu orang tua, kasih tahu ibu. Kalau memang harus diganti, ya diganti." Saat aku keluar kamar, mereka memastikan aku janji tidak mengatakannya pada bapak. "Ini rahasia, kasus rahasia." Okeylah. Hehehe...

Wednesday, November 20, 2013

Takut Tai Ayam

Yo, aku, di umur 3 tahunan.
Salah satu yang kuingat dari masa kecilku adalah aku takut pada tai ayam. Jika aku sedang berjalan, aku kira di usia 1 - 4 tahun, lalu tiba-tiba di depanku ada telek lencung, tai ayam, aku akan mendadak terpaku. Diam, lalu berteriak sekuat-kuatnya,"Ana teyek!!!" (Ada tai!!!) Lalu ibu, atau bulik atau mbah, atau mak, akan datang, membersihkannya, baru aku bisa bergerak. Biasanya siapa saja yang membersihkan tai ayam itu sambil ngoceh. "Mbok diloncati, opo lewat kono, belok sitik. Yo, yo,..." (Kan bisa diloncati, atau lewat sana, belok dikit kan bisa. Yo, Yo..." Yo adalah panggilan sayang untukku di masa aku masih kecil. (Sekarang hanya beberapa yang memanggilku demikian.) Kalau diinget-inget kok ya aneh lucu to, masak takut sama tai ayam. Hmmm, kenapa ya?

Tuesday, November 12, 2013

Lampost, 10 Nopember 2013

Kisah yang Rapi dari Pencerita yang Baik

Data buku
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi
Kuntowijoyo
Kompas, Jakarta
I, September 2013
xviii + 150 hlm.


CERITA pendek ang termaktub dalam kumpulan cerpen ini merupakan cara komunikasi Kuntowijoyo yang mudah sekali menggelitik perasaan para pembacanya. Bahasa yang digunakan sangat lugas, mengalir dengan terus terang apa adanya. Sebelum sampai pada kedalamannya, orang yang membaca dengan mudah dapat terkecoh menyangka tulisan ini semacam kisah nyata yang dialami sendiri oleh penulis, terlebih di beberapa tulisan, Kuntowijoyo, sang penulis, mengungkapkan jati dirinya.

Dalam cerpen Pistol Perdamaian, Kuntowijoyo memakai gaya bertutur dari sudut pandang orang pertama: saya. Di salah satu paragraf bagian terakhirnya tokoh saya ini diungkap sebagai seorang ahli sejarah, seperti si Kuntowijoyo sendiri yang memang seorang ahli sejarah, pengajar sejarah dan menelurkan banyak buku ilmu sejarah.

“Dalam rapat kelurahan, setelah soal KTP dan PBB selesai dibicarakan, Pak Lurah membuka kertas koran dan berkata tanpa interupsi. ‘Sebaiknya barang ini saya serahkan pada teman kita yang ahli sejarah.’ Dia memberikan bungkusan itu pada saya, sebuah pistol, masya Allah. Jadi, pistol yang saya buang ke kelurahan juga jatuhnya.” (hlm. 24)

Hal yang sama juga muncul di cerpen-cerpen lain seperti di cerpen paling akhir dalam buku ini, RT 03 RW 22 Jalan Belimbing atau Jalan Asmaradana. Di paragraf kedua halaman 140, ditulis identitas Kuntowijoyo sendiri, walau hanya sedikit. “Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya ketua RT berijazah S-3 dari universitas papan atas di Amerika.”

Tentu saja ungkapan-ungkapan itu tidak bisa dianggap sebagai fakta karena memang ke-15 tulisan itu dibuat sebagai cerpen, fiksi. Jadi semuanya memang karangan semata dan bukan kisah nyata, walau sang penulis memang merupakan ahli sejarah, doktor sejarah lulusan universitas terkenal di Amerika Serikat dan mengajar di universitas terkemuka di Indonesia.

Namun, ketika kita mulai mengulik sedikit kehidupannya melalui sumber-sumber di berbagai tempat mau tidak mau pembaca akan mengaitkan Kuntowijoyo dengan peran lain yang dimilikinya di dalam kampus, masyarakat khususnya Islam, dan negara. Pembaca tidak bisa lagi mendirikannya hanya semata cerpenis atau novelis. Di pengantar buku ini, Bakdi Soemanto menulis soal apakah Profesor Doktor Kuntowijoyo ini seorang sejarawan yang menulis fiksi, atau dia adalah penulis fiksi yang suka sejarah.

Dia memang seorang akademisi, pakar sejarah, sangat lazim Kuntowijoyo berpikir dan bertutur secara ilmiah. Dia telah membuktikan itu dengan menulis banyak sekali dan tulisan sejarah, misalnya Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985) atau Pengantar Ilmu Sejarah (1995).

Buku ini berisi 15 judul cerpen yang pernah muncul di Kompas pada 1990—2000-an. Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi yang menjadi judul buku ini merupakan judul cerpen yang ke-14 dalam buku terpasang di halaman 125. Namun, bisa dikatakan judul ini membingkai seluruh tema cerpen yang ada dalam dalam buku ini. Dan baik juga jika judul ini menjadi ajakan atau anjuran bagi para calon politisi. Sederhananya, baca dulu buku ini sebelum menjadi calon politisi untuk kemudian menjadi politisi.

Bagaimana pembaca dapat menangkap pesan yang disampaikan Kuntowijoyo lewat cerpen-cerpennya? Inilah keunikan yang berikutnya. Judul pertama yang dipasang dalam buku ini, Laki-laki yang Kawin dengan Peri, menyodorkan paragraf pertama dengan sebuah pertanyaan setengah meledek, ”Mau jadi anggota DPR? Boleh, asal dengarkan cerita ini.” Paragraf pendek, dengan dua kalimat pendek.

Setelah itu, Kuntowijoyo sama sekali tidak menyinggung tokoh tentang anggota DPR atau calon anggota DPR, tetapi kisah tentang Kromo, seorang laki-laki berbau busuk, yang tinggal di sebuah desa, yang terusir dari kampungnya karena bau busuknya itu, lalu konon menikah dengan peri, dan saat mati berbau harum. Baru kemudian di bagian akhir kisah ini, Kuntowijoyo kembali menarik pembaca supaya merenung untuk menangkap pesannya dalam satu paragraf pendek, lagi. “Demikianlah cerita itu. Ibaratnya, jangan disia-siakan orang lemah, dia akan bekerja sama meski dengan siluman sekalipun.”

Kuntowijoyo menawarkan kaca pembesar untuk melihat detail kemanusiaan dalam sekup yang sangat kecil, kadang dianggap remeh. Mudah disetujui bahwa seorang pemimpin harus menyiapkan syarat itu sebelum menjadi pemimpin. Mereka dituntut untuk jeli, peka terhadap situasi orang-orang biasa, sederhana, yang dianggap lemah dan seluruh dinamika yang melingkupinya. Mata dan hati Kuntowijoyo mampu menangkap hal-hal remeh temeh yang terjadi di keseharian, khususnya di lingkungannya sendiri, entah di Jawa atau saat dia tinggal di Amerika Serikat, untuk kemudian mengolahnya menjadi cerpen.

Kuntowijoyo memang salah satu penulis terbaik di Indonesia dan Asia Tenggara.

Yuli Nugrahani, cerpenis.

Friday, November 08, 2013

Keinginan yang Tidak Merugikan Dunia

Hari ini aku menjemput Albert pulang sekolah. Dia sudah menunggu satu jam lebih karena seharusnya dia pulang jam 11.00 sedang aku jam 12.00 dari kantor di hari Jumat ini. Begitu bertemu di gerbang sekolah dia cerita kalau pisang goreng yang dia jual masih sisa separo. Hari ini dia memang jualan pisang goreng, seharga Rp. 500,- yang aku buatkan pagi-pagi, sesuai ajakan guru IPSnya, bu Atun. (Konon, Albert bercerita, pada pelajaran IPS, guru tercintanya ini mengajak murid-murid untuk membawa bekal makanan yang lebih, yang bisa dijual untuk teman-temannya. Hasil penjualan bisa untuk menambah tabungan. Aku sangat mendukung ide ini. Dan untuk jualan pertama, Albert membawa 14 biji pisang goreng. Kalau laku separo, berarti dapat Rp. 3.500,-. Hehehe...)
Nah, di jalan yang mendung, dia mengatakan ingin melihat hujan salju sekarang ini.
"Pasti asyik kalau ada hujan salju di Indonesia. Bukan hanya sesekali tapi sering. Seperti memang musimnya gitu, tidak hanya musim penghujan dan kemarau."
Aku mengingatkan kalau Indonesia itu ada di garis katulistiwa. Tidak ada salju, kecuali di tempat yang sangat tinggi.
"Namanya kan keinginan, bu. Jadi kan asyik bisa lihat salju."
"Tapi tanaman di Indonesia tidak akan tahan pada salju, Bet. Bisa mati semua. Juga hewan dan orang-orangnya."
"Hmmm, masak sih."
"Dan lagi kalau di Indonesia yang tropis ada hujan salju, gimana nanti yang negara-negara subtropis atau di dekat-dekat kutub sana. Tambah dingin dong."
"Tapi kan ini keinginan, bu. Boleh saja kan."
"Boleh sih, tapi itu akan mengubah dunia. Mungkin malah merusak dunia. Ganti keinginan saja deh, Bet."
"Yaaa, penginnya lihat salju kok."
"Diubah kan bisa. Pengin lihat salju di Jepang, atau mana gitu. Kan mungkin saja Mas Albert sekolah atau kerja di sana suatu ketika."
"Iya deh."
"Dan itu tidak merugikan siapa-siapa. Tidak merusak dunia dan semesta."
"Iya, deh, bu. Iya."
Hehehe, nadanya sudah agak jengkel. Hmmm, jangan merasa aku membatasi mimpimu. Aku hanya ingin kau melihat orang lain jika punya keinginan. Dan jangan merugikan mereka semua. Ya?

Sebentar Sempurna

Duduk santai, di tengah kehijauan, segar, indah, merasa gembira, itulah sempurna, sebentar sempurna.
Tapi aku juga tak bisa menghilangkan pagi ini. Saat pagi sibuk dengan gerakan, teriakan, bergegas, penuh marah, tidak sabar dan hasrat. Ini juga sebentar sempurna, ketidak sempurnaan sebentar yang sempurna.
Tapi aku juga tak bisa melupakan, kekacauan sekitarku di lalulintas berantakan, yang berhasil kulalui dengan sumpah serapah, pada asap, ketidaktaatan, penipuan, basa basi resmi, mobil polisi, dan inilah sempurna.
Sebentar yang sering, kekacauan yang sempurna,
di negeri ini.

Sunday, November 03, 2013

Benang Laba-laba

Rajutan yang kau buat begitu remeh menjuntai
hanya benang tipis terlempar dari mulut seri.
Mudah terayun angin atau gerakan ranting 
bahkan bisa dikoyak tanpa perkosa.

Kaki yang kurang ajar menjadikannya mainan,
tak disangka kekuatannya berjuta lipat ketika berbeban,
menempel semakin erat di setiap gerak badan.

Getaran mungkin sudah kau sangka,
lama kau intai dari balik daun palma,
matamu telah memilin dari kejauhan,
bibirmu telah meremas dalam semburan,

jika bergerak, benang laba-labamu semakin menjerat
jika bergerak, kau melangkah semakin dekat,
jika bergerak, ludahmu membuncah siap melumat.

Pemimpi ingin masuk ke mulut pemangsanya,
merasakan bukan gigitan tapi enzimnya yang pelan,
akan menghancurkan daging dan tulang,
hingga hanya ada kenangan.

Pemimpi memilih bergerak,
mengundang pemangsa berderak,
mendekat,
lekat.

Thursday, October 31, 2013

Melihat aku, lagi.


Klik sini untuk melihat tulisan di bulan Agustus lalu tentang aku sebagai embun. Semalam aku mendapat cahaya baru tentangnya. Okey, rumusan singkatnya seperti ini :

Bukan masalah, kalau embun memang harus terjun mengikuti kepastian gaya gravitasi. Dia tidak harus ketakutan. Itu bukan urusannya lagi, entah dia akan langsung diserap tanah, atau masih mampir di daun-daun kemuning, atau kelopak-kelopaknya. Yang jelas, dia punya waktu! Menggayut di ujung daun adalah sesaat yang berarti, karena embun bisa menangkap cahaya, membiaskan, memantulkan, atau sekedar menikmati suhu yang mengubahnya menjadi beku, atau uap. Itulah waktu yang menggembirakannya, sebelum dia lenyap melalui misteri.

Saturday, October 26, 2013

Selamat ulang tahun, Bernard.

Sepuluh tahun lalu, kekuatanmu yang merobek rahimku.
Aku masih selalu heran dan kagum pada keperkasaan bayi,
dirimu, Bernard.
Hingga sepuluh tahun berlalu, keherananku terus bertambah,
kekagumanku semakin meruah.
Bukan hanya tubuhmu yang merobek rahimku,
tapi seluruh jiwa-raga, yang kau lontarkan
dalam gerak, dalam kata, dalam rupa.

"Ini aku, ibu. Seseorang yang mau numpang,
numpang makan, numpang tidur, numpang hidup."
Itu persis katamu saat mengetuk pintu rumah,
rumah kita, sore hari saat kau pulang sekolah.
Aku saling pandang dengan bapakmu, hanya, terpana,
ingat?
Mana mungkin kutolak orang yang akan numpang,
apalagi itu adalah Bernard yang pernah ada dalam tubuhku,
masih terus akan ada dalam hatiku, jiwaku?
"Tentu saja boleh. Tapi tidak bisa selamanya. Mungkin,
kami akan sediakan tumpangan hanya sampai umurmu
yang ke 21. Atau lebih beberapa tahun. Tapi tidak
seumur hidupmu. Masuklah!"

Dia masuk rumah dengan baju seragam merah putih, sepatu hitam,
tas sekolahnya yang super berat, dan senyum nyengirnya,
yang memang nakal.
Apa adamu, Bernard, kau boleh menumpang,
boleh merepotkanku,
boleh menuntutku.

Aku mencintaimu, Bernard.
Selamat ulang tahun.


Thursday, October 24, 2013

Nego

Langkahku semata penari,
dalam rancak musik calung,
bahkan hujan panas kuabai,
terserap dalam tepuk riung.

Itulah rayu yang ditolak katup mimpi,
terbelit geliat bangun tidur,
merupa jari telanjang tanpa taji,
seketika membebaskan aku dari lumur.

Kalau pagi seberuntung ini,
selongsong peluru akan kosong,
tidak ada ledakan lagi nanti,
di tengah siang merongrong.

Jadi, kupastikan artimu bisa kutawar,
rendah atau tinggi menjulang,
tergantung matahari mana bersinar,
dan hujan siapa mengalang.

Bukan pada tubuhmu,
yang menyusup dadaku,
tapi tunas di kepalaku,
akan menahanmu.

Wednesday, October 23, 2013

Empty

Pagi yang kosong
mendorongku ke ruang tamu
menandai sebagai orang asing,

hanya sebagai orang asing
duduk dengan malu
tanpa baju.

Siang tak perlu penyambutan.
Bisakah tinggalkan aku sejenak,
rindu? Biar kuselesaikan waktu.

Tuesday, October 22, 2013

Crying

Malam, biasanya menjadi teman
kini menggumpal dalam selongsong
peluru Charlos Hathcock di ladang perburuan.

Aku yang mengincarnya dengan teropong
senjataku, namun aku yang dibunuhnya.

Malam telah berkhianat.
Carlos Hathcock

Sumber: http://www.unikgaul.com/2012/04/10-penembak-jitu-paling-terbaik-di.html
Konten ini memiliki hak cipta

Sunday, October 20, 2013

Be a Mom

Dalam berbagai kesempatan, aku sering bertemu perempuan-perempuan 'ibu' yang luar biasa. Ya, kesempatan ini sangat sering karena aku sendiri juga seorang ibu. Mengantar anak dalam satu kegiatan akan ketemu ibu-ibu, ke pesta kondangan ketemu dengan ibu-ibu, ke sekolah ya ketemu ibu-ibu, keluar rumah di halaman rumah, di pasar dan sebagainya.
Sebagian dari ibu-ibu bisa menjadi teman ngobrol yang sungguh asyik. Sebagian dari mereka itu yang terlihat di foto. Mereka itu biasa aku sapa dengan Mbak Neni (tengah) dan Bu Pur (kanan). Aku tidak terlalu sering bertemu dengan mereka, tapi kalau ada kesempatan bertemu pasti menjadi perjumpaan yang asyik. Dan yang penting, nyambung (Soal nyambung ini memang agak susah ditemukan dengan sembarang ibu-ibu. Aku selalu merasa punya dunia yang berbeda sehingga ada banyak minatku yang tidak bisa mereka pahami, sedang minat mereka tidak aku pahami.)
Dua ini termasuk yang bisa kupahami, karena mungkin aku punya kesabaran mendengarkan mereka dan kami saling menaruh respek satu sama lain. Keduanya punya kesamaan. Mereka perempuan-perempuan yang mandiri. Punya keinginan dan mereka usahakan hal itu. Tapi mereka juga orang-orang yang larut dalam perannya yang kuat bersama anak-anak mereka. Bagian yang inilah yang sering aku gali dari mereka. Kebetulan bu Pur punya 4 anak yang usianya sudah di atas usia anak-anakku. Aku belajar darinya tentang masalah-masalah yang muncul dalam perkembangan anak-anak. Tentang mbak Neni aku belajar tentang komitmennya dan kerja kerasnya.
Hmmm, menjadi ibu bukan perkara sulit, tapi juga bukan perkara yang mudah. Hingga Albert usia 12 tahun dan Bernard 9 tahun, aku masih harus sering belajar untuk menjadi ibu, khususnya menjadi ibu yang baik. Dekat  dengan ibu-ibu hebat macam mereka membuatku belajar lebih cepat. Matur nuwun nggih...

Friday, October 18, 2013

Choice

Tapi, aku tidak bisa menghentikan,
ketika salah satu kakiku
menapak, dan yang lain
menggantung.

Sunday, October 13, 2013

Teman Tengah Malam

Malam tak pernah bisa berlari
kaki-kakinya adalah udara basah
yang menghablur di ujung daun.

Darinya aku mengambil kunci
dari kantung-kantung rahasia
yang tergantung di hening langut.

Aku tak bisa merasakan sepi
apalagi setelah menyentuh sisi nampan
yang disodorkan oleh beda waktu.

Ini hanya sisi lain letak matahari
kita berada di waktu yang sama
sedikit beda karena kau di siangmu

dan aku di malamku.


Saturday, October 12, 2013

Non Est Personarum Acceptor Deus



Mgr. Yohanes Harun Yuwono, Uskup baru untuk Keuskupan Tanjungkarang sudah dipilih dan diangkat oleh Paus Fransiskus. Pengumuman disampaikan secara resmi oleh Tahta Suci Kepausan Vatikan pada Jumat, 19 Juli 2013 pukul 17.00 WIB (12.00 waktu Roma). Uskup baru ini menggantikan Mgr. Andreas Henrisoesanta yang sudah disetujui pengunduran dirinya oleh Vatikan pada 7 Juli 2012.
Uskup Keuskupan Tanjungkarang ditahbiskan oleh Mgr. Aloysius Sudarso, Uskup Keuskupan Agung Palembang di Kompleks Sekolah Xaverius dan Fransiskus, Pahoman, Bandarlampung pada Kamis, 10 Oktober 2013, dimulai pada pukul 09.00 sampai selesai. Ekaristi pentahbisan ini dihadiri Duta Besar Vatikan Antonio Guido Filipazzi, para uskup dari 36 keuskupan di Indonesia, para pejabat pemerintahan Lampung, para undangan serta sekitar 7000 umat dari 21 paroki yang ada di Keuskupan Tanjungkarang. Dalam pentahbisan ini, para uskup yang hadir menumpangkan tangan pada uskup terpilih Keuskupan Tanjungkarang dan menerimanya sebagai rekan.
Motto uskup adalah “Non Est Personarum Acceptor Deus (Allah tidak membedakan orang.)  Kis, 10 : 34. Motto ini menjadi ajakan bagi umat Keuskupan Tanjungkarang untuk menyadari kehadirannya di “Sai Bumi Ruwa Jurai” Lampung sebagai orang beriman Katolik dan sekaligus sebagai bagian dari seluruh masyarakat. “Siapa pun mereka dan dari mana pun asalnya dibimbing, dituntun dan diajak untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian. Inilah persaudaraan sejati dalam perziarahan menuju keselamatan berdasarkan iman akan Allah yang menghendaki semua orang selamat.”

Tuesday, October 08, 2013

Kopi (Pagi) yang Terlalu (Tidak) Manis

Rencananya, pagi akan mengundang kita berdua
duduk berhadapan di meja bundar angkasanya
dengan secangkir kopi di masing-masing sisi
sebelum berbincang tentang angin salah musim,
kemarin.

Sayang, pagi salah menimbang gula beda takar
yang disadari saat lidahnya mengecap kelakar
iseng tanpa praduga tapi lalu rusak jadi marah
tak ada lagi yang sisa selain tangisan tumpah,
batal.

Jadi, jangan harap ada perjumpaan sekarang
sampai pagi mampu membenahi seluruh ruang
jangan tanya angin hujan atau kesalahan cuaca
karena kita tak akan berjumpa tanpa undangan,
pagi.

Atau, mari santai dulu menunggu seseorang lain
membakar kemenyan dan merangkai sesaji
dapat kita runut asapnya sampai di hulu bara
di situ pasti ada perjumpaan di arang terbakar,
mesra.

Saturday, October 05, 2013

Haruki Murakami : Norwegian Wood

Judul : Norwegian Wood (Noruwei no Mori)
Penulis : Haruki Murakami
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh : Jonjon Johana
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun : 2013
Isi : i + 423
Ukuran : 13,5 cm X 20 cm
ISBN : 978-979-91-0563-9


Setelah beberapa lama hanya tersuruk di rak, aku bisa menyelesaikan buku ini hanya dalam 3 hari di sela-sela kegiatan-kegiatanku. Karena sebelum buku ini aku membaca Wally Lamb yang I Know This Much is True, spontan perbandingan muncul di otakku.

Okey, persamaannya dulu ya. Pertama, sama-sama memakai sudut pandang orang pertama. Aku-nya Wally adalah Dominick, sedang aku-nya Haruki adalah Wanatabe. Kedua, sama-sama menyodorkan tokoh utama, orang terdekat, yang menderita suatu 'gangguan kejiwaan'. Pasangan Dominick adalah Thomas, kembarannya, yang masuk Rumah Sakit Jiwa Hatch, sedang pasangan Watanabe adalah Naoko, yang masuk ke tempat rehabilitasi Asrama Ami. Ketiga, sama-sama menyajikan relasi manusia yang sangat jujur, kadang membuatku sebal karena kelewat vulgar. Ketiga, mereka sama-sama detail.

Perbedaannya jelas juga. Pertama, buku Wally sangat tebal, si Haruki hanya separonya. Waktu membacanya pun aku butuh waktu lebih dari dua kali lipat ketika aku membaca Haruki ini. Kedua, settingnya dan warnyanya jelas beda. Satu di Amerika, satunya di Jepang, walau Haruki sepertinya sangat terpengaruh Amerika juga. Ketiga, aku merasakan 'sesuatu' yang sangat kuat saat membaca Wally. Bahkan di bagian akhirnya, ketika dia mulai melembut untuk sebuah happy ending, aku menangis sampai terguguk pagi-pagi sendirian di kantor. Dengan Haruki, aku tidak merasakan perasaan yang kuat. Entah mengapa, rasanya terlalu biasa. Bahkan aku nyaris putus asa hingga 2 per tiga halaman aku belum mendapat sesuatu yang cukup kuat. Apa pengaruh terjemahannya ya? Entah. Keempat, endingnya Wally sangat jelas, sedang si Haruki membiarkannya menggantung, menawarkan beragam imajinasi.

Norwegian Wood ini kisah tentang seorang remaja beranjak dewasa di tahun 60-an. Ini semacam kilas balik di saat usianya 37 tahun, yang mengingat kembali seorang gadis masa lalunya karena lagu Norwegian Wood dari Beatles yang mengalun dari pesawat yang sedang mendarat. Naoko adalah seorang gadis mantan pacar temannya yang sangat dekat dengan si penutur, Watanabe, dalam relasi yang mendalam, tapi tak bisa berkembang dalam relasi yang normal karena gangguan kejiwaan yang diderita Naoko, yang juga kemudian membuat gadis itu bunuh diri. Novel ini begitu jelas mengungkap kehidupan seks bebas di Jepang pada tahun itu di kalangan remaja dan dewasa. Jika berharap ada warna tradisional atau Asia semacam film atau buku lain dari Jepang yang pernah kulihat atau kubaca, jangan harap hal itu muncul dalam novel ini. Kisah ini begitu modern dan ... hmmm, begitu Barat. ***

Monday, September 30, 2013

The Temptation

Hanya langit.
langit sudah menyediakan waktu
satu perjanjian disodorkan padaku
"tidak ada makan, tidak ada minum
tidak ada tidur, tidak ada cium"

pilihanku adalah setuju
mengangkat palang pintu
menarik suaramu syahdu

beberapa menit berlalu
aku tahu aku mengapung

sesaat dalam rayu

Monday, September 23, 2013

Wally Lamb : I Know This Much is True

Judul asli      : I Know This Much is True
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul :Sang Penebus
Penulis         : Wally Lamb
Alih Bahasa : Esti A. Budihabsari
Isi               : 951 hlm.
Cetakan      : I, November 2007
Penerbit      : Qanita, Bandung
ISBN         : 979-3269-66-5



Setelah bekerja keras untuk penyuntingan Majalah Nuntius edisi bulan ini, rasanya aku berhak mendapatkan hadiah. Hadiah itu dibeli sendiri di Toko Buku Bandung (hehehe...) minggu lalu dengan harga Rp. 78.000,- setelah diskon dan dapat bonus sampul plastik (Salah satu keuntungan beli buku di toko ini buku bisa langsung disampul. Kalau mengerjakan sendiri bisa-bisa nunggu setahun baru selesai sampulnya. Hehehe...)

Hingga sekarang, aku baru sampai pada halaman 184 dari 951 halaman yang ada. Buku ini sangat tebal, nyaris 5 cm tebalnya. Okey, jadi aku memang belum tahu alur ceritanya secara lengkap. Tapi sejauh ini, aku melihat betapa Wally bercerita dengan sangat kompleks dan sangat 'tega' pada tokoh-tokohnya.

Lihat saja. Tokoh sentral adalah Thomas dan Dominick, pasangan kembar identik yang lahir tepat pergantian tahun. Yang pertama lahir di tahun yang lama, dan yang lain lahir di tahun yang baru. Ibunya seorang sumping, hingga pada halaman ini belum ketahuan siapa ayah kandung mereka tapi mereka punya bapak angkat bernama Ray, yang sangat keras dan ringan tangan.

Thomas harus dimasukkan dalam rumah sakit jiwa karena tindakannya yang tidak biasa. Dia kecanduan Yesus dengan cara yang membahayakan. Matius 5 : 29 - 30 "Dan jika matamu yang kanan menyesatkanmu, cungkillah dan buanglah itu... Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu daru anggota tubuhmu binasa, daripada tubuhmu secara utuh dicampakkan dalam neraka."

Maka Thomas mengiris tangan kanannya hingga putus dan dilemparkannya di lantai perpustakaan, dan karenanya dia mendapat penanganan khusus di rumah sakit hingga akhirnya harus masuk dalam rehabilitasi sakit jiwa.

Dominick malah cenderung tidak percaya Tuhan dan mengolok-olok keberadaan Yesus. Namun dia bertanggungjawab penuh atas kakak kembarnya terlebih sejak ibunya meninggal. Salah satu warisan ibunya adalah kisah kakeknya yang ditulis dalam bahasa Italia. Kakeknya selalu menjadi orang paling top bagi ibunya.

Aku belum tahu kelanjutannya, tapi aku kira kisah sang kakek ini akan menjadi pembuka banyak kisah lain dalam cerita Wally ini. Dengan berbagai kesibukanku akhir-akhir ini entah berapa lama hampir 1000 halaman ini bisa kuselesaikan. Tapi santai saja, aku pasti bisa mengambil waktu-waktu di sela-sela itu. Wally akan jadi temannu hingga beberapa hari mendatang, pasti menyenangkan. ***

Friday, September 20, 2013

A part of Sri Lanka 7 : Here Now

(Kisah sebelumnya)

Bandaranaike International Airport
Perjalanan 8 hari sudah selesai. Aku lelah dengan berbagai dinamika naik turunnya perasaanku selama di Sri Lanka. Di hari terakhir aku sungguh berharap ingin segera sampai rumah dan tidur nyenyak. Tidur nyenyak hanya bisa terjadi di rumah (Hmmm..., lain waktu mesti mbahas soal 'rumah'.).  Tapi mana bisa? Enak saja pergi gratis semata grace dibayari orang lain kok kemudian mau enak-enak tidur nyenyak.

Lihat saja. Begitu tiba di Bandaranaike subuh buta (Malam sebelumnya tidur di salah satu hotel dekat bandara karena penerbangan balik Jakarta sangat pagi, jam 07.15. Jam 04.00 mobil hotel sudah menunggu di depan hotel untuk ngantar.) setelah urusan boarding pass dan imigrasi beres, duduk manis di ruang tunggu. Masih ada waktu sekitar 2 jam. Beberapa ribu rupee Sri Lanka aku habiskan di gerai Odel yang ada di bandara untuk tiga kaos hitam buat para kekasihku, beberapa batang pensil (hehehe) dan sebuah hiasan dinding. Rupee Sri Lanka gak akan laku di Indonesia, jadi lebih baik tidak dibawa pulang kecuali beberapa recehan untuk kenang-kenangan.

Segera aku dapat mengenali rombongan-rombongan dari Indonesia atau menuju Indonesia. Dan jika mereka berada dalam rombongan seperti itu, bisa dipastikan mereka adalah tenaga-tenaga kerja dari Indonesia yang sedang transit. Dalam pesawat ada lebih 20 perempuan dari Indonesia yang sedang pulang kampung dari berbagai negara di daerah Arab.

"Belum habis kontrak, bu. Tapi mau pulang saja," ujar seseorang yang mengaku dari Indramayu. Dia bekerja di Abu Dabi sekitar 6 bulan, dan ternyata gaji yang dia terima tidak cocok dengan yang dijanjikan. "Katanya digaji 800, ternyata hanya diberi 60 sama majikan. Tidak kerasan."

Seorang lain dari Kerawang, masih muda sekitar 20-an tahun sudah 2 tahun bekerja di Oman (Oman tuh mana ya? Entar aku cek di peta.) Dia kelihatan segar dan gembira. "Kangen rumah, bu. Ini baru habis kontrak dan pengin pulang dulu. Nanti mau pergi lagi, tapi penginnya ke Taiwan atau Hongkong saja. Katanya di sana gaji lebih besar dan enak."

Kebanyakan para tenaga kerja ini perempuan walau aku melihat ada beberapa bapak atau pemuda yang berada dalam rombongan. Beberapa di antara mereka kelihatan tegak percaya diri tapi sebagian dengan wajah kuyu capek. Kita bisa menduga cerita di belakangnya dari wajah-wajah mereka itu.

Begitu tiba di Indonesia, berita-berita baru mulai masuk telinga. Anak si Dani yang menabrak hingga menewaskan orang, Vickinisasi yang tengah heboh, Wilfrida yang sedang menunggu hukuman gantung di Malaysia, pilgub Lampung yang entah, dll dll, dll. Jadi, tak ada waktu untuk tidur nyenyak. Berjuang! Jaringan termasuk jaringan Asia - Pasifik akan mempunyai peran nanti entah seberapa besar.

Ohya, tentu saja aku punya lebih banyak oleh-oleh selain yang sudah aku tulis di blog ini. Sebagian akan aku sebar dalam puisi-puisi romantis melankolis sok dalam, sebagian akan muncul di cerpen-cerpen tertentu, sebagian lagi jadi bahan cerewet untuk orang-orang kasihan yang kebetulan ada di sekitarku, dan sebagainya. Jika ada yang ingin aku bagi lagi, tentu juga akan muncul di blog ini lagi suatu ketika nanti. Aku akan merindukan Sri Lanka bahkan juga dengan kari-karinya. Sungguh. *** (Selesai)

A part of Sri Lanka 6 : Gaudium et Spes

(Kisah sebelumnya)

Bulan lalu dalam pertemuan Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) ke 15 di Semarang, dalam salah satu sesi ada study tentang Konsili Vatikan II. Dari sana yang nyantel di hatiku tentang Rerum Novarum. Dokumen tua milik Gereja Katolik ini tak sudah juga menjadi kekayaan yang konkret. Sebagian besar masih disimpan saja dalam peti emas pemikiran para pakar Gereja. Juga dokumen-dokumen turunannya, baru sedikit sekali diketahui, dipelajari apalagi dihayati, dihidupi, dikonkretkan.

Dalam JP Workers Asia Pasific Forum ke 9 kali ini di Sri Lanka, ada kesempatan setengah hari belajar tentang Konsili Vatikan II. Kali ini yang nyantol di hatiku adalah Gaudium et Spes, sesuai dengan tema yang diangkat dalam berbagai perbincangan. "KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga." (GS 1)
Salah satu slide yang ditampilkan Ruki.


Fr. Reid Shelton Fernando membantuku melihat beberapa hal menarik yang sekaligus menusuk hati. Betapa mimpi dari Konsili Vatikan II sangat tepat dirumuskan dan diteruskan dalam banyak dokumen Gereja. Jika orang-orang yang ada di dalamnya punya waktu sedikit saja untuk mencermatinya, tidak melulu berada di dekat altar di dalam gereja yang indah itu, kita semua akan mendapatkan pencerahan bagi dunia yang lebih indah. Sehingga sugesti dari "di atas bumi seperti di dalam surga" bisa lebih cepat terpenuhi.

Sayang sekali tidak banyak yang percaya pada dokumen-dokumen ini selain sebagai kebanggaan akan kekayaan pemikiran. Tentu saja! Tuntutan dari Konsili Vatikan II ini berat, bro! Tuntutannya adalah terlibat bersama orang miskin dan tertindas. Emang enak bersahabat dengan mereka? Orang miskin itu repot dan merepotkan, kotor dan bau! Hooo, lebih enak bersahabat dengan orang punya duit punya mobil, ndak repot. 

Tuntutan-tuntutan lain banyak. Jika mau mulai tahu, baca dulu dokumennya. Yang awal baik juga dengan membaca Gaudium et Spes ini. Ini salah satu link yang bisa diklik untuk bahasa Indonesia. Dan yang ini in English.  *** (Bersambung)

Thursday, September 19, 2013

A part of Sri Lanka 5 : The Remaining Victims

(Kisah sebelumnya)


Perang selalu memunculkan korban. Tidak hanya saat peristiwa itu terjadi tapi juga lama setelahnya. Peristiwa konflik suku Tamil terjadi 3 atau 4 yang lalu. Saat itu tak terhitung orang yang meninggal atau hilang.

Namun korban dari peristiwa kekerasan itu bukan hanya mereka yang hilang atau meninggal. Hingga kini korban-korban yang selanjutnya terus ada. Para perempuan di Mannar, di bagian Utara Sri Lanka, menunjukkan hal itu padaku. Kunjungan di sana terasa sangat mencekam di hatiku, ah tidak, juga di jiwaku. Setiap kali mereka berbicara tentang orang-orang yang dikasihinya, yang tidak ketahuan bagaimana nasibnya, aku semakin terpaut pada mereka. Pelukanku tak akan pernah mencukupi bagi mereka.

"Anakku pergi ke warung untuk membeli sesuatu pada hari itu. Dan dia tak pernah kembali hingga kini." Kisah seorang ibu. Tampak keras wajahnya menahan air mata sambil memegang erat foto anaknya itu. Itulah salah satu tanda bahwa anaknya pernah dilahirkannya dan pernah hidup sebagai anaknya. Dan dekat kami berbincang, di situlah peristiwa itu terjadi.

Perempuan yang lain tidak bisa menahan air mata. Duduk di pojok agak tersembunyi di sebelah Fr. Nehru, dia berkisah dengan suara pelan. Aku mendengar sekilas Fr. Nehru mengatakan lembut,"Silakan datang ke pasturan jika ada masalah." Aku yakin suara lembut pastur itu cukup meredakan air matanya. Perempuan itu kehilangan suami dan dia bersama anak-anaknya tinggal di keluarga suaminya. Keluarganya sendiri jauh dari tempat tinggalnya itu.

Itu situasi yang sulit. Bagaimana mereka hidup dengan kuat dalam ketidakpastian itu? Mereka masih punya pengharapan bahwa suatu ketika akan ada berita tentang keluarganya yang hilang, entah mati atau hidup. Sejauh ini mereka berjuang keras mengolah air mata dan bertahan hidup dengan tenaga yang tersisa.

Lihat! Perang hanya akan memunculkan korban, dan dendam, dan kemarahan, dan kesedihan, dan terus menerus. Sangat mahal harga untuk penyembuhannya. Kunjunganku, telingaku, pelukanku, empatiku, sama sekali tidak cukup. Tangisan mereka minta kepedulian yang lebih, tindakan yang lebih. *** (Bersambung)

A part of Sri Lanka 4 : Transportation

(Kisah sebelumnya)

Aku berangkat ke Sri Lanka dengan memakai maskapai mereka. Pesawat Mihin Lanka ini terbang langsung dari Jakarta dan Medan. Tapi aku agak serem ngomongin pesawatnya. Bagiku pesawat selalu masih menjadi alat transportasi yang mahal entah seperti apapun bentuknya. Naik maskapai mana saja ya okey saja asal harganya yang paling murah, jadi aku tidak punya pilihan soal pesawat yang nyaman atau tidak.

Yang menjengkelkan dari pesawat Jakarta ke Colombo ini adalah penumpangnya yang tidak tahu keamanan penerbangan. Lah, aku setiap naik pesawat terus menerus doa tak henti-henti, dan hati-hati berlaku apapun, mereka ini (Sebagian adalah para tenaga kerja asal Indonesia dengan tujuan Kuwait, Dubay, Oman, Abu Dabi dan sebagainya. Sebagian yang lain wajah-wajah Sri Lanka dan India. Sisanya orang-orang macam aku.) Sudah diingatkan berkali-kali oleh pramugari soal HP, penutup jendela, sandaran kursi dan sebagainya sebelum take off, tetap saja mereka kekeh. Begitu pramugari pergi tulat tulit lagi padahal pesawat sudah nyaris terbang. Payah.
Super driver...

Okey deh, berikutnya bicara soal alat transportasi darat saja.

Pertama, bis umum. Yang banyak terlihat bis 'kotak-kotak' kayak bis yang sudah tua. Dari Bandaranaike International Airport, bis bisa jadi pilihan untuk menuju kota Colombo, tapi tidak untuk yang baru tiba di bandara petang dan malam. Bis semacam ini juga menghubungkan kota-kota yang ada di Sri Lanka, menjadi alat transportasi murah meriah bagi umum. Ohya, sopir di negara ini hebat-hebat. Gas pol, rem pol. Pertama kali naik aku pegangan erat, merem dan doa. Ngebut nian.

Pilihan kedua untuk menjangkau kota-kota di Sri Lanka adalah kereta api. Aku lihat rel-rel kereta api menjadi sarana untuk ini dan terus di bangun oleh pemerintah setempat hingga daerah pelosok. Misalnya waktu jalan ke Madhu dan Mannar, di beberapa tempat sedang disiapkan atau tengah dibangun rel kereta api ini.

Pilihan ketiga untukjarak pendek adalah three wheels alias bajaj. Di jalanan manapun kendaraan roda tiga ini aku lihat sedang jalan atau parkir. Aku curiga kendaraan ini bukan hanya untuk umum tapi sebagai kendaraan pribadi karena aku lihat banyak parkir juga di tempat-tempat yang bukan umum. Sayang aku lupa tanya.

Selebihnya, kendaraan pribadi berupa mobil cukup banyak di daerah perkotaan, tapi di pedesaan jarang banget kelihatan. Juga sepeda motor. Sangat jarang. Sepeda ontel atau jalan kaki masih sangat biasa dilakukan khususnya di pelosok-pelosok, dan ini sangat menyenangkan dilihat. Jalanan yang sempit tidak terasa menyulitkan karena memang masih sepi. Semoga mereka tidak berkembang seperti Indonesia yang komsumtif dan egois. Semoga mereka tetap fokus pada kendaraan massal macam bis dan kereta api sehingga tidak perlu macet dan banyak polusi. *** (Bersambung)

Tuesday, September 17, 2013

A part of Sri Lanka 3 : Hoppers and curry

2 ps hoppers with fried rice noodle, spicy chicken, etc.
 (Kisah sebelumnya.)

Apa makanan yang paling aku suka di Sri Lanka? Jawabannya : hoppers atau appa. Ini kalau di Jawa semacam apem atau serabi. Dibuat dari tepung beras dengan ragi, dipanggang di atas arang. Rasanya agak gurih sedikit, sangat enak dimakan dengan spicy chicken, fried rice noodle and sayuran macam salad atau acar. Kalau pun hanya ditemani telur ceplok atau sosis goreng pun mantap. Bahkan tanpa tambahan apa-apa pun sangat okey. Hmmm, sedap.

Apa makanan yang paling tidak aku suka? Tidak ada. Seperti biasanya aku suka makan apa pun yang tersedia, yang memang bisa dimakan. Tapi sejujurnya aku agak bermasalah setelah beberapa hari ada di Sri Lanka soal spicy curry yang muncul di semua menu. Tentu saja aku suka kari. Makanan dengan bumbu kari itu nendang banget deh. Kental, kaya akan rempah, sangat berasa n bau yang sangat kuat tajam. Tapi kalau setiap kali kecium bau kari, rupanya dampaknya tidak terlalu bagus buat perut. Hehehe...

Bahan makanan di Sri Lanka sangat variatif. Karena letaknya di garis equator, sama seperti di Indonesia, banyak nian variasi tanaman yang bisa disantap. Sayuran dan buah bisa ditemukan dengan mudah. Mereka sangat suka rasa pedas. Ini bisa terasa di hampir semua masakan. Setelah beberapa hari, jenis tumis pedas inilah yang jadi pilihan untuk ambil dengan menyisihkan kari. Jika tidak ada dan hidung sudah dijejali bau kari, yang paling ok adalah makan buah sebanyak-banyaknya dan kalau untung bisa mengambil roti tawar jika tersedia. Untuk menjaga stamina, sarapan segelas susu wajib hukumnya. Ini membuatku bugar terus selama perjalanan.

Beberapa jenis snack dari umbi atau tepung sangat mirip dengan di Indonesia. Tapi lagi-lagi, mereka suka sekali dengan rasa pedas dan rempah-rempah. Sehingga donat pun aku sebut rasa kari karena irisan bawang, cabe dan kumpulan bumbu rempah di dalamnya. Huft...

Harga makanan? Aku kira sebanding dengan harga di Indonesia. Tidak lebih murah tidak lebih mahal. Jika memang harus lama di Sri Lanka, aku kira aku masih bisa makan nasi gorengnya, nasi briyani, terung pedas, ayam goreng pedas selain segala jenis buah yang bisa ditemukan dengan mudah. Pilihan lain : bawa mi instan dari Indonesia untuk dimakan kalau sudah bosan dengan kari. Hehehe... (Bersambung)

A part of Sri Lanka 2 : Saree

Kisah sebelumnya

Masuk ke pesawat Airbus A321 milik Mihin Lanka airlines, anak perusahaan Srilankan Airlines serasa sudah masuk ke Negara Republik Sosialis Demokratik Srilanka sendiri. Pesawat ini sudah menyodorkan Sri Lanka dengan penampilan para pramugarinya. Mereka memakai baju model sari (saree) warna biru, rambut digelung cepol, dan senyuman yang Srilankan banget deh.


Begitu masuk Bandaranaike International Airport di Colombo sari menjadi pemandangan khas di sana sini. Begitupun di sepanjang jalan mulai dari bandara hingga Kandy. Para gadis dan ibu mengenakannya dalam berbagai model. Di jalanan mereka mengenakannya dengan santai banget, ndak kelihatan ribet. Namun apapun warnanya dan siapapun yang mengenakannya, aku selalu menganggap sari membuat anggun pemakainya.

Di kesempatan pertama besok harinya di Kandy City, aku pun hunting sari. Pengin banget punya dan memakainya. Acara masih akan dimulai petang hari, jadi ada cukup waktu untuk mendapatkan minimal satu sari untuk diriku sendiri. Di sebuah toko aku mendapatkan sari dengan warna yang kusuka dan harga yang sangat murah, sekitar LKR 1.000 untuk selembar sari dan sepotong baju atasannya. Jika dikurskan ke rupiah tidak sampai 100 ribu RP. 1 LKR = 130 RP.

Pelayan toko dengan senang hati mengajariku cara memakai sari.
Mula-mula pakai dulu baju atasan dan jangan lupa memakai rok dalam, legging atau celana pendek. Atasan biasanya shirt ketat yang pendek hanya menutup dada dan pundak. Jelas akan kelihatan bagian perut dan punggung. Tapi baju atasan ini bisa juga menggunakan macam-macam model. Aku lihat perempuan-perempuan menggunakan banyak variasi untuk ini. Di bagian ujung lembaran sari yang dibeli biasanya ada sekitar 1 meter kain yang bisa dipotong untuk membuat atasannya  sehingga dapat serasi dengan sarinya.

Tahap kedua, lilitkan kain sari, ikat kuat di pinggang, buat lipatan-lipatan (bisa 7 atau 9 lipatan kata si pelayan toko) lalu selipkan di bagian perut. Sisanya lilit sekali ke belakang lalu disampirkan ke bahu seperti selendang. Bisa dirapikan tertumpuk di pundak, atau dibiarkan lebar atau bisa juga dipakai sebagai kerudung.

Lihat hasilnya. Walau kurang rapi, kelihatan anggun kan? Hehehe...maksa. (Bersambung)

Saturday, September 14, 2013

A part of Sri Lanka 1 : Preparation

Aku mesti menulisnya karena ini akan jadi kenangan penting dalam hidupku (ceile). Jadi aku memulainya hari ini. Akan aku bagi dalam beberapa bagian dengan menampilkan detil-detil. Of course pertama-tama bukan untuk kepentingan orang lain tapi untuk diriku sendiri. Seperti yang kukatakan, perjalanan ini adalah kenangan penting dalam hidupku.

Munculnya kemungkinan adanya perjalanan ini adalah undangan dari ACPP Hongkong pada bulan Juli lalu lewat emailku. Mereka berharap kehadiranku atau wakil dari organisasiku atau wakil dari jaringanku untuk kegiatan mereka di Sri Lanka. Jadi sebetulnya kesempatan ini bukan semata-mata untuk diriku sendiri. Tapi dari awal aku sudah memilih untuk mengambilnya bagi diriku sendiri walau aku belum memastikannya lebih dari 50 % karena hal-hal teknis yang menyertai.

Yup! Sri Lanka! Ini tujuan yang tidak biasa. Sangat jarang orang menyebutnya sebagai tujuan wisata atau rekreasi. Aku sendiri sangat terobsesi India karena Rm. Mangun, Mdr. Teresa, Shah Rukh Khan dan Arundati Roy dan aku berpikir Sri Lanka sangat dekat dengan India dari sisi apapun. Jadi ini langkah pertama untuk mendekati India.

Persiapan pertama adalah lobbying ke banyak pihak. Lembagaku tidak punya dana untuk ini dan aku paham aku tidak akan mendapat support. Jadi aku jujur pada ACPP tentang situasi ini. Saat aku kirim ke mereka juga aku sertakan perkiraan dana yang dibutuhkan untuk perjalanan semacam itu PP Lampung - Jakarta - Colombo. Kejutannya, jawaban ACPP sangat positif. Mereka tidak memintaku untuk membayar akomodasi sedikitpun, dan seluruh tiket PP Jakarta - Kolombo akan mereka cover. Ini menambah peluangku untuk pergi.

Kedua, aku mulai lobbying pihak-pihak lain untuk mengatasi biaya-biaya lain seperti visa, airport tax, penerbangan domestik, transport lokal, kemungkinan menginap tambahan di Colombo jika diperlukan dan sebagainya. Aku lagi bokek berat dan tidak mungkin memakai uang keluarga untuk kepergian sendiri semacam ini. Bersamaan dengan itu aku mulai browsing segala hal tentang Sri Lanka. Mungkin ini akan jadi perjalanan sendirian yang bisa jadi menyesatkan. (Terimakasih untuk Sister Aquina yang amat sangat mendukungku. Thank you very much, sister.)

Ketiga, mulai booking tiket Jakarta - Colombo PP, konsultasi dengan ACPP karena mereka gak akan biayai lebih dari 700 USD sembari ngurus visa. Sejak tahun ini WNI mesti apply visa di Indonesia jika mau ke Sri Lanka (dulu bisa visa on arrival). Urusan ini ternyata sangat mudah. Mihin Lanka anak penerbangan Srilankan Airlines menyediakan penerbangan budget rendah seharga 669 USD untuk Jakarta - Colombo PP. Jadi masuk dalam anggaran ACPP dan mereka ok. Raptim membantuku untuk urusan ticketing ini dengan sangat rapi. Sedang pengurusan visa aku bisa lakukan dengan masuk ke www.eta.gov.lk secara online dan untungnya pembayaran bisa dilakukan dengan debit card yang kupunya (awalnya aku kuatir karena aku tidak punya kartu kredit).

Keempat, mulai persiapan tiket Lampung - Jakarta PP, browsing detil-detil yang diperlukan, dan yang paling utama menyiapkan makalah dua halaman tentang hak asasi manusia berdasarkan ASG dan realitanya. Hanya sharing pendek yang mereka harapkan bisa aku presentasikan saat di Sri Lanka. Bahasa Inggrisku yang kacau kampungan mesti kupamerkan dengan rendah hati. (Saat kukirim, kusertai catatan pendek meminta panitia untuk mengeditnya. Tapi mereka menjawab tidak ada masalah apapun, semua bisa dipahami walau grammarnya berantakan. Hehehe...)

Kelima, bagian akhir persiapan adalah nyiapin rumah bersama Den Hendro, Albert dan Bernard tentang makanan dan ini itu selama aku pergi. Juga menukar rupiah ke dolar Amerika yang sedang melambung tinggi (1 USD = Rp. 11.600,-). Bangkrut pokoke. Aku hanya membawa 300 USD. Itu cukup untuk pegangan dan tidak niat untuk dibelanjakan. Juga menulis alamat-alamat penting yang mungkin dibutuhkan. Ini wajib dikerjakan karena di sana nanti aku akan mandiri sendiri gak bisa bergantung pada orang lain. Dan bagian terakhir, packing. Hanya perlu 1 ransel yang biasa menemaniku. 8 baju atasan untuk 8 hari, 1 celana panjang, 1 celana selutut, 1 rok, satu stel baju tidur, handuk, dan baju dalam 16 stel. Plus 1 pak pembalut, 2 pak tisu kering, 2 pak tisu basah dan alat kebersihan lengkap. Karena panitia sudah mengatakan tidak ada acara resmi aku hanya membawa kostum santai, dan sepatu gunung.

Okey, ini harus menjadi perjalanan nyaman. Dan sebelum Sriwijaya Air menerbangkanku dari Raden Inten II, aku sungguh merasa nyaman. ***(bersambung)

Monday, September 09, 2013

Play No Game

hujan pagi hanya mendatangkan rindu
pada sebentuk kulum rayu di kamar sebelah
beberapa menit untuk membuktikan
bukan permainan tapi asyik dimainkan
pada tanganmu, pada tubuhmu, pada wajahmu
pada bibirmu, pada bukan hatimu

bisa jadi akan datang gerimis lain
di kemudian hari siapa bisa sangka
ini bukan permainan
hanya asyik dimainkan
di letihnya perjalanan

(Kandy, 9 September 2013, untuk seseorang di kamar sebelah)

Saturday, August 24, 2013

Hanya Pekerja

Kita tak dapat melakukan segala sesuatu,
dan ada perasaan yang memerdekakan kala kita memahaminya.
Hal itu memampukan kita melakukan sesuatu,
dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Mungkin tidak lengkap, namun itulah suatu awal,
sebuah langkah sepanjang perjalanan,
suatu peluang supaya rahmat Allah bisa merasuk,
dan melakukan selebihnya.
Kita mungkin tak akan melihat hasil akhirnya,
tetapi itulah perbedaan antara
Pencipta dan pekerja.
Kita adalah pekerja, bukan Pencipta,
pelayan bukan Mesias.


† Uskup Agung San Salvador Oscar Romero-

Friday, August 23, 2013

Bulan Duduk

andai aku tidak pernah dicemari
aku yakin bahwa bulan sedang duduk di pohon pisang
dengan senyum bulat memutar pedal
membuat arum manis
yang ditawarkan padaku
juga ditawarkan padamu
andai saja kita mau memandang
ke atas, ke langit malam ini.

Tuesday, August 20, 2013

Melihat Aku

dalam embun setitik
bergayut di ujung daun
gemetar menatap tanah kering
yang siap menyerap.

Wednesday, August 14, 2013

Mimpi Bau Kemuning

Dari jendela kamar ini tanah berembun di bawah sana tak terjangkau.
Kegelisahan dimulai saat helai kemuning pertama rontok oleh angin berayun.
Jika aku bisa membuka jendela, loncatan pasti membuat kakiku patah,
sebelum menyeret tubuh menangkap helai kedua atau mungkin kesejuta.

Aku memastikan dompet sudah di saku dan kerudung menutup kepala.
Gerendel jendela hanya setinggi hidung dengan lumas yang menetes.
Tak ada derit, hanya angin awal musim penghujan masuk menyertai sibakan.

Seseorang di seberang jalan melambai dan menunjuk pada kemuning.
Dia sahabat pertama yang tersenyum tanpa janji menopang tubuhku.

Jika aku tidak jatuh saat ini, yang kudapat hanya ruang mati
dan diriku sebagai orang asing.