Judul : Norwegian Wood (Noruwei no Mori)
Penulis : Haruki Murakami
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh : Jonjon Johana
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun : 2013
Isi : i + 423
Ukuran : 13,5 cm X 20 cm
ISBN : 978-979-91-0563-9
Setelah beberapa lama hanya tersuruk di rak, aku bisa menyelesaikan buku ini hanya dalam 3 hari di sela-sela kegiatan-kegiatanku. Karena sebelum buku ini aku membaca Wally Lamb yang I Know This Much is True, spontan perbandingan muncul di otakku.
Okey, persamaannya dulu ya. Pertama, sama-sama memakai sudut pandang orang pertama. Aku-nya Wally adalah Dominick, sedang aku-nya Haruki adalah Wanatabe. Kedua, sama-sama menyodorkan tokoh utama, orang terdekat, yang menderita suatu 'gangguan kejiwaan'. Pasangan Dominick adalah Thomas, kembarannya, yang masuk Rumah Sakit Jiwa Hatch, sedang pasangan Watanabe adalah Naoko, yang masuk ke tempat rehabilitasi Asrama Ami. Ketiga, sama-sama menyajikan relasi manusia yang sangat jujur, kadang membuatku sebal karena kelewat vulgar. Ketiga, mereka sama-sama detail.
Perbedaannya jelas juga. Pertama, buku Wally sangat tebal, si Haruki hanya separonya. Waktu membacanya pun aku butuh waktu lebih dari dua kali lipat ketika aku membaca Haruki ini. Kedua, settingnya dan warnyanya jelas beda. Satu di Amerika, satunya di Jepang, walau Haruki sepertinya sangat terpengaruh Amerika juga. Ketiga, aku merasakan 'sesuatu' yang sangat kuat saat membaca Wally. Bahkan di bagian akhirnya, ketika dia mulai melembut untuk sebuah happy ending, aku menangis sampai terguguk pagi-pagi sendirian di kantor. Dengan Haruki, aku tidak merasakan perasaan yang kuat. Entah mengapa, rasanya terlalu biasa. Bahkan aku nyaris putus asa hingga 2 per tiga halaman aku belum mendapat sesuatu yang cukup kuat. Apa pengaruh terjemahannya ya? Entah. Keempat, endingnya Wally sangat jelas, sedang si Haruki membiarkannya menggantung, menawarkan beragam imajinasi.
Norwegian Wood ini kisah tentang seorang remaja beranjak dewasa di tahun 60-an. Ini semacam kilas balik di saat usianya 37 tahun, yang mengingat kembali seorang gadis masa lalunya karena lagu Norwegian Wood dari Beatles yang mengalun dari pesawat yang sedang mendarat. Naoko adalah seorang gadis mantan pacar temannya yang sangat dekat dengan si penutur, Watanabe, dalam relasi yang mendalam, tapi tak bisa berkembang dalam relasi yang normal karena gangguan kejiwaan yang diderita Naoko, yang juga kemudian membuat gadis itu bunuh diri. Novel ini begitu jelas mengungkap kehidupan seks bebas di Jepang pada tahun itu di kalangan remaja dan dewasa. Jika berharap ada warna tradisional atau Asia semacam film atau buku lain dari Jepang yang pernah kulihat atau kubaca, jangan harap hal itu muncul dalam novel ini. Kisah ini begitu modern dan ... hmmm, begitu Barat. ***
No comments:
Post a Comment