Friday, December 20, 2013

Pamit

Hai, hai, jangan menangis dulu. Ini pamit tahunan seperti biasa. Menjelang libur akhir tahun aku akan mengambil waktu untuk pamit, menikmati tepukan tangan dari anda sekalian atau kalau bukan tepukan, aku akan tetap membungkuk takzim untuk anda sekalian.
Ini hari terakhir aku menulis di blog untuk tahun 2013 ini. Hari pertama aku menulis di tanggal 3 Januari lalu, aku menulis tentang misi pribadiku sepanjang tahun yaitu : memurnikan motivasi. Misi inilah yang akan aku bawa untuk aku renungkan sepanjang perjalanan akhir tahun hingga pergantian tahun nanti.
Jadi jangan sedih. Secepat mungkin, pada kesempatan pertama di awal tahun aku terakses internet, aku akan segera menulis untuk blog ini lagi. Mau tahu perjalananku akan sejauh apa? Aku pasang clue saja ya : Lampung - Jakarta - Kediri - Lumajang - Jember. Mungkin akan tambah beberapa kota lain yang berdekatan misal Surabaya - Malang - Jogjakarta - Bandung. Tapi itu hanya bonus saja. Kisahnya aku akan tulis nanti, seperti biasa.

Thursday, December 19, 2013

Kehilangan Pagi

Ini sudah dimulai dari kemarin, bahkan kemarin lagi, dan lagi. Saat siang lalu senja, boleh saja kuterima. Suaranya tersamar dengan seluruh hiruk pikuk jalanan dan juga teriakan anak-anakku. Tapi ketika jalanan mulai terlelap dan anak-anakku mulai masuk ke alam mimpi, suaranya yang  tak berhenti itu sungguh menjengkelkan. Aku sama sekali tak bisa memejamkan mata, terseret gelombangnya.

Awalnya aku mengira suara itu adalah alunan keluhan. Seperti sayup-sayup berdendang di sela-sela gerimis yang tak ada sela. Kadang-kadang aku malah bisa menganggapnya sebagai lagu ninabobo yang tak tahu waktu. Mengalun, mengayun, mengalir tiada henti, kadang dalam suara rendah, kadang bernada tinggi.

Namun suaranya sama sekali bukan lagu. Suatu saat berubah menjadi lengkingan, lalu raungan, dan di malam yang senyap, suara itu bukan lagi alunan, tapi menjadi sentakan, hentakan. Jadi aku memutuskan untuk mendatanginya, memastikan apa yang dia tangisi berhari-hari, tanpa henti di seluruh putaran waktu, di dalam rumahnya sendiri.

Saat aku datang, rumahnya terkunci. Bunga kemuning samping rumahnya sudah merontokkan seluruh kelopaknya, dan bibit-bibit mawar di halaman depan seperti tonggak-tonggak penuh duri-duri, tanpa daun tanpa bunga. Aku sudah hendak mengetuk pintunya, ketika perempuan itu, ternyata perempuanlah suara itu, sedang mengencangkan raungannya. Suaranya serak dan basah. Ah, hentikan sebentar, perempuan. Hentikan sebentar tangismu itu. Hatiku berbicara, tapi suaraku tak muncul, termangu di depan pintunya, ikut dalam tangisannya yang pilu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku sama sekali tak menduga dia akan membuka pintu, dan berdiri persis di depanku. Suaranya saat berbicara sama sekali bukan suara manusia, walau dia tetaplah perempuan. Mungkin sama sekali bukan suara, tapi semacam erangan dalam nada bariton, yang sangat dalam dan sangat basah.

Matanya adalah mata tercekung yang pernah kulihat. Begitu basah tapi tanpa kilat. Lampu jalanan membantuku melihat titik-titik air di seluruh wajahnya, juga lengannya, juga jemarinya. Matanya, ya, matanya, adalah sumur tergelap dengan aliran yang tak habis-habisnya. Lihat, bahkan saat kemarahan membungkus, pun sudut-sudut matanya mengalirkan kedukaan.

Aku hendak mengatakan kalau aku terganggu oleh suara tangisannya, tapi matanya tak mengijinkan aku bersuara. Tubuhku gemetar merasakan kehadirannya di depanku dengan rongga-rongga seluruh tubuhnya yang rapuh. Dia memandangku dengan tangisan. "Aku kehilangan seluruh pagi yang harusnya kumiliki! Kau pikir aku tak boleh menangisinya?"
Perempuan itu membalikkan badan. Pundaknya lapuk dalam lengkung, dan sepasang betisnya yang timpang menyeret tubuhnya kembali ke balik pintu. "Kau pun akan kekal dalam duka kalau kau kehilangan pagimu!" Telunjuknya menudingku sebelum dia membanting pintu, kembali terkunci.

Lalu sedu sedan itu kembali melagu. Sesekali ada lengkingan dan raungan. Oh, perempuan, betapa besar hatimu terkoyak. Kemana perginya pagimu? Aku basah kuyup di terasnya, dalam gerimis yang tiba-tiba menjadi hujan lebat.

Wednesday, December 18, 2013

Hanya Gerimis

Ini lebih berat dari yang kusangka, sahabat.
Aku tak mengira gerimis datang terus-menerus.

Kertasku basah, tintaku basah, bajuku basah,
dingin dan luntur. Rambutku basah, dadaku basah,
rotiku basah, pasi dan melumpur. Langkahku basah,
nyanyiku basah, hatiku basah, lesi dan hancur.

Ini terlalu berat dari seharusnya, sahabat.
Aku tak mengira gerimis bisa bertahan berjam-jam.

Sulit mengikuti langkah panjang kesatria
di jalanan licin tanpa pegangan. Mata buta
oleh gumpalan hasrat di pojok ruang.
Tak akan sempat, tak akan ada saat.

Ini terlalu berat. Tak ada pilihan. Hanya gerimis.
Terus menerus. Berjam-jam. Terlalu berat.

Tuesday, December 17, 2013

Conspiracy (12) Tamat

Kisah sebelumnya.

Sebisa mungkin aku menahan kantukku. Heart berayun-ayun dalam tubuhnya yang tambun. Tangannya kini tak lagi memijitku, tapi mengurai rambutku, memainkannya, sembari matanya terpejam.
"Heart, bisakah aku melupakan Dew? Apakah menurutmu aku bisa melakukannya?"
Prince of Heart yang biasa lentur berayun luwes gemulai, spontan tegak dalam gerak kaku. Tangannya ditarik dengan cepat dari rambutku sehingga aku terpekik karena beberapa rambutku tercabut olehnya. Tapi aku segera melupakannya dan tak peduli ketika Heart menunduk hormat beberapa kali untuk meminta maaf.
"Bisakah, Heart sayang?"
Heart memandangku tak percaya.
"Lady, apakah Lady akan menyerah?"
"Tidak."
Aku menggeleng-geleng sembari mencoba merangkul badannya yang mulai hangat. "Heart, kau tahu aku bukan orang yang mudah menyerah."
Sekarang dia yang menggeleng-geleng, dengan wajah yang sulit diduga antara gembira atau berduka.
"Kau tak akan berhasil, Lady. Dew telah merasuk seluruh tubuhmu, mana mungkin kau berniat melupakannya. Kau tak akan berhasil."
"Minimal, Heart, kalian akan kembali dalam harmoni. Aku capek melihat kalian selalu bertengkar. Brain semakin tua akhir-akhir ini, dan kau terus mengoloknya. Juga lihat Eyes yang sudah bengkak matanya, Noses yang tak henti-hentinya kena flu, Mouth yang semakin tajam suaranya, Ears yang semakin menjuntai dan Skins, ah Skins sungguh kasihan selalu menjadi tumbal, merana."
Heart terdiam. Pandangannya menjauh dari istana, menangkap dua pasang kutilang di pohon Gayam, dekat mata air taman.
"Memang, Lady. Kami pun capek."
"Sekarang bergegaslah, Heart. Panggil Brain segera, apapun yang dia lakukan, suruh berhenti dan kesini. Aku akan mengatakan supaya upaya pencarian Dew dihentikan. Kalau dia kembali, aku akan mendapatkan kegembiraanku yang utuh. Jika dia memang akan terus pergi, paling tidak kalian bala tentaraku, hidup damai dalam harmoni."
Heart beranjak dari sisiku, berjalan pergi. Air mataku menitik dalam rintik yang tak terukur. Aku memandang kepergian Heart dengan kedukaan dan kesepian. Tapi tak ada gerak yang kuperlukan.
Lamat-lamat dalam pendengaran semu, dan khayalan maya datang berwarna, aku merasakan langkah Dew di halaman luar, selangkah-selangkah menuju pintuku, terus...tanpa batas waktu, entah, ...kapan dia akan sampai. (Tamat)

Imajiner

Persamaan dari senja adalah kepastian yang
diturunkan dari rumus kompleks matematika.
Tak ada yang bisa mengembangkannya
tanpa mengacu sumbu gelombang pasang.
Lucunya saat dia berdiri seorang saja
antara jaman purba dan kekinian yang nisbi
kakinya membengkok dalam angka imajiner
hanya bisa dihitung oleh akar pangkat negatif
tanpa hasil yang memuaskan hati, terlebih
saat matahari tanpa senyum masuk dalam
selimut dingin, mengabaikan tangan melambai.

Kalah


Bagaimana kembali pada kemenangan
sedang aku tersuruk dalam tudingan
yang mengikat hatiku di kursi sudut
bahkan tak bisa menggerakkan sehelai rambut
secara merdeka?

Aku meletakkan bibir di dalam kenangan
yang masih akan kuulang andai
kesempatan menjadi lantai landai
bagi tubuh berselancar tanpa penghalang.

Saturday, December 07, 2013

LEKAT

Ini terlalu mudah, sayang.
(Aku mengatakan untuk menghiburmu,
juga untuk menghiburku.)
Tak perlu dicatat,
tak perlu dikerat.

"Aku mau semangkuk kaldu." Suaramu mirip rayu.
(Kau telah memintaku menggeser pintu,
menyodorkan mangkuk porselen Tiongkok berhias biru kobalt,
mangkuk kuat, dalam denting renyah yang separoh berisi kuah.)

Tunggu sebentar, sayang.
(Terpaksa kukatakan ketika tanganmu terlalu cekatan,
menarik grendel hingga menguakkan udara pejal
serba tergesa.)

Tunggu, pakai kasutmu!
Tak usah diikat,
tak usah dibebat.

"Aku mau tanpa cendawan." Kali ini suaramu tanpa tawa.
(Tanganmu di atas tanganku mencabut benih-benih jamur tiram putih,
serupa batang liat, dengan akar kenyal bertumpu petang,
yang selalu rawan.)

Air telah mendidihkan belulang, sayang.
Pilihannya adalah mendekat,
melangkah tanpa syarat.

"Aku mau..." Hanya bisikan yang nyaris tak terdengar.
(Tapi tak seorangpun akan menolaknya sebagai puisi atau prosa
sesaat, untuk tanpa ragu di sepanjang hayat.)

Sunday, December 01, 2013

Kasus

Pulang sekolah sore, dua cowokku berderap hingar bingar hingga depan pintu rumah, lalu tak ada suaranya. Aku diam juga sedang mengaduk ayam pada bumbu, sembari menunggu wajan panas. Aku tahu mereka mengendap-ngendap di belakangku.
"Bu, Bernard kena kasus di sekolah." Albert berbisik dekat kuping.
Weih. Aku taruh mangkok ayam. Bernardnya sendiri santai-santai saja membuka kulkas tanpa melihat padaku. "Kenapa, dik?"
"Hush, pelan, bu. Ini rahasia. Di kamar saja. Biar bapak gak dengar." Albert lagi yang bicara. Bernard asyik mencongkel freezer.
Wah, serius nih.
"Tapi ibu masukin ayam dulu ya. Sambil nggoreng."
"Iya, aku juga masih ngambil es." Bernard yang bersuara.
"Iya, aku juga mau pipis dulu." Albert ikut menambah.
Okey, lalu kami masuk kamar setelah aku mengedip pada bapaknya yang mau protes.
Lalu pintu ditutup. Albert rupanya sudah diangkat jadi juru bicara sehingga Bernard hanya mondar-mandir mencecap es balon, sedangkan Albert duduk di depanku, bicara.
"Tadi sore, habis aku les, aku ke kantin. Makan nasi goreng sisa, dikasih sama mbak kantin. Mereka kan selalu bagi-bagi nasi goreng yang gak kejual." Huft, sabar-sabar. Aku melihat tanpa komentar. Sabar.
"Lalu adik datang. Aku tawari nasi goreng gak mau. Padahal nasi gorengnya enak, pedes." Astaga, Albert, jadi kasusnya apa? Kok malah tentang nasi goreng lho.
"Dia cerita habis mecahin pot." Oh, itu. Aku melihat Bernard.
"Iya, Nard? Pot yang mana? Di lantai atas? Kena orang? Dimarah bu Yohana?"
"Ndak. Tenang saja sih, bu." Bernard menjawab masih dengan esnya.
Albert lagi yang menjelaskan,"Bu Yohana sudah tahu. Tapi Bernard gak dimarahin. Tapi waktu aku dulu jadi saksi saat temanku mecahin layar monitor, ibu dipanggil kan sama guru? Disuruh ngganti juga kan? Nah, dik, bisa jadi besok ibu dipanggil bu guru."
Oalah. Aku mulai tahu duduk soalnya. "Jadi pot mana, Nard?"
"Pot depan kantor. Bukan di lantai atas. Gak kena orang juga kok. Aku lari-lari pas istirahat, gak sengaja. Tapi bu Yohana melihat kok. Ndak marah."
"Okey, lihat besok ya. Kalau memang bu Yohana mau ketemu orang tua, kasih tahu ibu. Kalau memang harus diganti, ya diganti." Saat aku keluar kamar, mereka memastikan aku janji tidak mengatakannya pada bapak. "Ini rahasia, kasus rahasia." Okeylah. Hehehe...