Friday, February 28, 2020

Kebodohan itu Malapetaka

Coba, aku aku nulis judul seperti itu: Kebodohan itu Malapetaka. Apa yang kalian pikir? Langsung ingat 10 orang anak SMP Turi yang meninggal itu kan? Itu karena aku tulis saat ini, saat berita tentang 10 pelajar yang tewas saat susur sungai dalam acara Pramuka.

Kejadiannya sendiri terjadi pada ... Diikuti oleh lebih dari 200 pelajar tanpa persiapan yang memadai, tanpa perlengkapan yang menunjang dan tanpa pengetahuan yang cukup. Dan saat malapetaka itu terjadi, hanya 4 orang pendamping yang bersama mereka.

Pelajaran apa yang diambil oleh anak-anak itu?
Selain kebodohan, apa lagi yang bisa kukatakan tentang penyebab malapetaka itu? Karena hujan? Karena pasang sungai? Karena mereka ndak bisa berenang? Karena mereka ndak tahu apa-apa tentang sungai? Karena mereka takut melawan guru? Aduhhhh...

bodoh » ke.bo.doh.an

  1. n perihal bodoh; ketidaktahuan
  2. n kekeliruan; kesalahan

Di dalam kamus bahasa Indonesia, dikatakan kalau kebodohan itu artinya perihal bodoh, atau ketidaktahuan. Lalu juga bisa diartikan kekeliruan atau kesalahan. Dan itulah yang menjadi penyebab 10 orang meninggal dengan cara yang mengenaskan. Sekolah yang diwakili para guru pendamping Pramuka itu melakukan perihal bodoh, tidak tahu apa-apa tentang yang akan mereka lakukan. Dan mereka melakukan kekeliruan atau kesalahan saat itu. 

Inget apa lagi kalau mbaca judul di atas tuh? Inget Bu Sitti? Iya, Sitti dengan t doble dari KPAI. Membayangkan omongannya yang ngawur itu auhhhh... malapetaka super dah. Atau ingat hal-hal lain?

Inget apa lagi jallll? 

Thursday, February 27, 2020

Rabu Abu untuk Mulai Puasa 40 Hari

Rabu Abu tahun 2020 terjadi pada Rabu, 26 Februari 2020. Hari ini sangat spesial bagi umat Katolik, aku termasuk di dalamnya. Hari Rabu Abu biasanya aku sambut dengan perasaan yang 'kosong', 'telanjang', seperti orang yang menanggalkan bajunya untuk mandi. Suasana hati yang mendominasi adalah senyap, antara senang karena 40 hari lagi akan mengalami Paskah, namun juga merasa meriyang kayak orang yang rindu dendam memendam segala rasa tanpa bisa dijabarkan.Hehehe, pasti ini gambaran yang lebay. Tapi memang yang muncul seringkali seperti itu.

Praktisnya, sehari sebelum Rabu Abu pasti ada percakapan dengan seluruh anggota keluarga tentang cara kami akan menjalani puasa dan pantang. Tentu saja kami memakai patokan Gereja, tapi Gereja juga memberi keleluasaan untuk memilih model puasa yang akan kami jalankan.

Tahun ini nyaris sama dengan tahun-tahun lalu, pantang daging kaki empat dan unggas kecuali pemberian. Iyalah, karena kami juga pantang membuang makanan. Kami juga pantang hidup hedonis. Artinya kami akan menikmati mati raga dan lelaku ugahari. Makan kenyang satu kali dalam sehari juga akan diterapkan sekuat mungkin. Jajanan akan dikurangi, pikiran untuk bernikmat-nikmat dihilangkan, lalu mengumpulkan hasil 'penghematan' karena puasa dan pantang sebagai sarana amal.

Aku sendiri terlalu sibuk menjelang Rabu Abu ini sehingga masih berpikir pengin beli ini itu dulu sebelum puasa sebagai persediaan, juga untuk beberapa kebutuhan. Pun ditambah dengan kesempatan libur satu hari yang kuambil saat Rabu Abu sebagai kesempatan untuk kencan berkualitas dengan Bernard. Saat menerima abu di Gereja pun aku terganggu oleh pikiranku sendiri yang terlalu sibuk memikirkan ini itu, belum lagi gerimis menimpa kepalaku karena ndak kebagian kursi di dalam Gereja (Gereja Katolik di kota Bandarlampung tak pernah cukup menampung seluruh umatnya walau sudah dibikin jadwal ibadat beberapa kali dalam sehari. Negara menjamin kami semua punya tempat ibadat yang memadai? Huh.)

Menanggalkan baju kotor, mandi dan menjadi bersih.
Hiruk pikuk pikiranku juga tentang kisah-kisah yang terakhir-terakhir ini sampai kepadaku tentang Bangun Samudra, Steven, Felix, Irene Handono, dan seterusnya dan seterusnya. Huuuu.... tidak. Aku tidak terganggu oleh mereka. Tapi agak serem melihat respon para penyanjung mereka yang tak bisa melihat beberapa bagian bohong yang sudah dikatakan oleh para mualaf ini dengan nada percaya diri pada jelas-jelas salah.

Ambil satu contoh saja dari Bangun Samudra. Misal: Bangun mengatakan Dewan Gereja Indonesia lapor ke Vatikan tentang 'mobil enak' yang disukai seorang pendeta. Lha yo apa hubungannya Dewan Gereja Indonesia dengan Vatikan? Itu lain lembaga, lain agama, lain urusan. Hadeh. Belum lagi kalau mereka menyitir cuplikan-cuplikan Alkitab. Hampir semuanya salah, salah blas blas blas. Lagian apa efeknya sih ngambil cuplikan Alkitab itu bagi mereka? Menguatkan iman mereka kah? Belum lagi kebohongan (pasti bohong) soal tahapan sekolah yang pernah dilaluinya. Hal-hal semacam itu pasti dikatakan oleh orang yang ndak ngerti kalau tahapan menjadi pastur lewat seminari, sekolah tinggi juga tahun pastoral dan sebagainya. Belum lagi soal gaya hidup yang ada di sana. Lha para calon pastur itu dilatih untuk ekstreem dalam penerapan ketaatan, kemurnian dan kemiskinan lho. Dengarkan kisah para mantan seminaris atau para pastur betulan bagaimana mereka harus disiplin ikut aturan dan makan makanan yang sederhana pada masa pendidikan. Hadehhhh...

Huh, sebenarnya aku ndak harus mikir hal-hal kayak gitu sih apalagi ini masuk dalam pra paskah, masa puasa. Tapi kalau banyak yang share video atau tulisan tentang hal itu dan jelas-jelas salah tapi malah dipuji-puji oleh pengikutnya kok ya rasaku jadi sebel banget nget nget nget.

Sekarang masa puasa bagi umat Katolik. 40 hari berpuasa dan berpantang. Tapi tak harus takut atau segan, karena kami melalui masa ini dengan biasa. Eh, jelas akan bertambah jam-jam doa kami misal pada hari Jumat ada Jalan Salib lalu pada hari-hari tertentu ada pertemuan APP (Aksi Puasa Pembangunan). Tapi selebihnya ya biasa saja.

Monday, February 24, 2020

Menari Mengikuti Vibrasi Semesta

Harusnya ini kutulis bulan Januari lalu saat pikiranku masih segar usai mengikuti Srawung Seni Sawah di Merbau Mataram Lampung Selatan, 9 Januari 2020. Tapi beberapa pikiran, kesibukan ragawi, juga rasa yang masih hilir mudik membuatku abai pada kekayaan-kekayaan yang kudapatkan dari moment sederhana itu.

Tentang acara itu sendiri bisa kuceritakan kalau aku mendapat flyernya dari salah satu yang punya gawe, Kang Agus dari Sanggar Sangisu. Di antara ucapan Natal, Kang Agus menyertakan info acara Srawung Seni Sawah. Aku mengingatnya dengan baik karena kemudian iklan-iklan acara ini berkeliaran diantara postingan teman-teman di IG sehingga beberapa hari sebelum acara aku kontak GB untuk melihat kemungkinan nebeng motornya. Aku ndak yakin mampu membawa motor sendiri ke lokasi itu tanpa keluhan sakit pinggang, masuk angin atau apalah-apalah.

Seluruh rangkaian itulah yang membantuku sampai di Merbau Mataram. Keramaian membuatku terpojok di keheningan sawah, di pinggir 'kalangan' yang disiapkan sebagai arena menari. Dan di situlah aku menikmati seluruh acara berjalan.

Secara pelahan aku mempunyai ingatan tentang Mbah Prapto yang sudah meninggal beberapa minggu sebelum acara ini digelar. Tidak, aku tidak kenal langsung dengan penari gaek itu. Tapi aku tak asing dengannya dan rasanya aku mencicip sedikit dengan yang disebutnya sebagai joget amerta.

Dalam keheningan sawah yang ramai itu, aku mengingat pada suatu masa dulu, saat aku masih belum menikah, SMA di tahun terakhir lalu saat mahasiswa dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, aku mulai menganggap tari sebagai terapi. Ini kuyakini karena tarian yang kulakukan sebebas hatiku itu berdampak sangat baik bagi seluruh harmoni tubuhku. Membuat jiwaku 'memuai' memenuhi semesta dan berdenyut dalam vibrasi yang harmoni.

Salah satunya ketika aku berada di Kampung Engkurai bersama suku Dayak di Kalimantan Barat. Waktu itu mereka mengajarku tarian sederhana yang berulang-ulang dengan musik yang memakai nada itu-itu saja. Gerak tari ini membuatku mengalami rasa yang sebelumnya hanya bisa kudapat dari meditasi.

Saat itu, gerakan sederhana itu kemudian kumunculkan saat aku berjalan di pematang dari satu kampung ke kampung lain. Saat menginjak tanah basah sebelum mencebur ke sungai. Gerak-gerak bebas pun kubuat dalam sadar untuk merasai daun, batang kayu, tanah, udara, batu, dan sebagainya. Kesadaran yang indah. Itulah kesimpulanku saat itu.

Aku sempat pernah melupakan hal ini di awal-awal pernikahan hingga anak-anak sedang bertumbuh di masa kanak-kanak. Lalu kerinduan akan gerak itu muncul saat bangun pagi lihat kucing di dekat pintu. Kucing? Ya, kucing. Pernah lihat kucing molet kan? Dia merenggangkan seluruh tubuhnya, bahkan lidahnya menjulur, menguap, ... Gerak tubuh yang sangat alami. Itulah yang ingin kuulang lagi mulai beberapa tahun yang lalu.

Nah, Mbah Prapto mengingatkanku akan hal-hal semacam itu. Aku punya visi yang sudah mulai kutemukan saat aku masih kuliah dulu. Dan seluruh denyut semesta sebenarnya sudah membantuku sepenuh daya supaya aku mencapainya. Hal menyenangkan itulah yang kurasakan saat bersama dengan banyak orang dalam keriuhan Srawung Seni Sawah. Aku menemukan hal-hal person yang tersambung dengan segala hal.

Obrolan dengan beberapa teman dalam event itu seperti dengung lebah di sekitarku. Menumbuhkan cintaku pada tubuhku. Tubuh yang sempurna yang membantuku secara luar biasa sehingga dapat terhubung dengan seluruh semesta ini. Mulai dari relasi yang terbatas karena aku menyentuhnya, mendengarnya, menciumnya dan sebagainya. Hingga bisa merasai denyut yang begitu jauh dari panca indera, namun benar-benar dapat kuraakan vibrasinya.

Aku kira inilah yang bisa kuambil dari perjalanan ini, supaya aku tidak menghentikan peziarahanku untuk terus mengasah 'awareness', kesadaran,... terus berjalan... sampai entah.

Thursday, February 20, 2020

Libur Pergantian Tahun 2019 (9): Harus Kembali Juga pada Lampung Tercinta


Kami sudah memesan tiket Kediri - Bandung memakai Kereta Api Malabar pada 2 Januari 2020. Dari Bandung kami akan naik bis Kramat Jati sore hari pada 3 Januari 2020. Lalu dari pagi hingga sore ngapainnn???? Tidak tahu.

Sepanjang perjalanan di kereta aku memancing obrolan tentang hal itu tapi tak ada satupun dari antara para cowok itu yang berminat membahasnya. Mereka semua menjawab seragam:

"Pikir nanti saja deh bu."

Astaga. Aku mana bisa gitu. Jadi aku melihat beberapa kemungkinan:

1. Ke kost Albert (ditolak oleh Albert)

2. Ke Trans Studio (disetujui oleh Albert dan Bernard)

3. Tidur di Nice Hotel, dan langsung kontak pengelolanya (mereka semua bilang, ngapain.)

Jadi, akhirnya aku browsing saja penginapan murah di sekitar Stasiun Kiaracondong. Aku ndak mau hanya nongkrong tak jelas di stasiun atau di suatu tempat. Pengin tidur minimalnya meluruskan badan,

Sampai di Kiaracondong mereka masih tak jelas juga. Jadi kuajak mereka jalan ke D'Papaya Garden, penginapan murah sekitar 900 m dari stasiun. Jalan dikit tak apa, usai itu kan tidur. Hehehe... Di hotel ini kami menghabiskan bekal dari Kediri, rasa capek dari perjalanan sekian lama, ... dan bisa menikmati bis Bandung-Lampung dengan segar plus sekotak nasi Hokben yang panas saat bis mulai keluar dari halaman parkir.

Rasanya aku siap menghadapi apa pun selama tahun 2020 setelah liburan yang luar biasa ini. (Ada beberapa yang belum kutulis soal wisata kuliner dan perjumpaan dengan saudara-saudari. Itu kutulis nanti2 saja. Paling tidak aku punya catatan untuk mengingat segala hal luar biasa yang sudah kami lakukan di akhir tahun. Total seluruh pengeluaran kami mulai dari 22 Desember 2019 hingga 4 Januari 2020 adalah Rp. 6.350.000,-. Selama 13 hari liburan meliputi Lampung - Bandung - Jogja - Kediri - Pare - Dampit - Lumajang - Blitar - Kediri - Bandung - Lampung) Puji Tuhan.

Libur Pergantian Tahun 2019 (8): Kampoeng Anggrek diNgancar Kediri

Turun dari Gunung Kelud, masih menjelang pergantian tahun, lewat Google Map aku melihat banyak sekali ampiran di daerah situ. Pilihan kami akhirnya mengarah pada Kampoeng Anggrek. Lokasinya tidak terlalu jauh menyimpang dari jalan pulang dan gambar-gambar yang dipamerkan lewat berbagai media cukup menarik.

Lagi-lagi ada tiket masuk. Seperti beberapa lokasi wisata lain yang buanyak tersebar di Kediri. Kayaknya Kediri lagi membangun sarana wisata yang serius di banyak titik. Kulihat ada Kampoeng India, Korea, Jepang, juga macam-macam lagi di berbagai daerah. Masuk ke Kampoeng Anggrek ini ndak hanya berjumpa dengan anggrek mulai dari pembibitan di lab hingga mekar cantiknya anggrek, tapi juga ada bunga-bunga lain, juga kafe dan rumah coklat.

Target kami sih memang hanya bersantai, sembari foto-foto sedikit. Heran juga aku ndak terlalu suka foto di tempat seperti ini. Kayak terlalu rekayasa gitu. Jadi ya foto sesukanya saja, sambil menikmati yang bisa dinikmati. Empat cowok dalam rombongan menjadi bodyguard yang kukuh bagiku. Hehehe... serasa dikawal oleh para penjaga yang keren.

Macem2 pula tingkah keturunan Pak Soeliham itu. Ini contohnya, Albert dengan bunga cantik putih.


Nah, lihat. Bener kan. Seperti dikawal bodyguard keren ke mana-mana si inces nih.

Kru capek memenuhi bangku tanpa menyisakan untuk Inces cantik. Dari ujung: Denmas Hendro, sopir dan tukang poto. Albert, tukang pukul. Erlo, tukang makan dan negosiator ulung. Bernard, si penghibur nan lembut hati. Heheheh...

"Ibuuuu, itu tidak dijual. Jangan dipilih."
"Waduh, tannnn... jangan itu yang diminta."
Padahal aku cuma nunjuk-nunjuk doang. Huh.

Tukang poto ingin juga sekali-kali berpose dipoto.

Libur Pergantian Tahun 2019 (7): Gunung Kelud yang Selalu Berubah

Banyak kali kami pergi ke Gunung Kelud, dan setiap kali ke sana selalu tak pernah sama. Dulu ada terowongan, ada permandian air panas, lalu meletus, beberapa kali hingga banyak perubahan terjadi. Kali ini pun menjelang akhir tahun (31 Desember 2019), kembali kami mengunjungi Kelud.

Kelud tampak teduh hari itu, gagah, tapi malu-malu berselimut kabut dan mendung. Semakin kami mendekatinya semakin turun mendung tebal hingga menjadi hujan deras. Antrean panjang kendaraan di post terakhir sebelum kawahnya.

"Kita parkir sini saja yukkk." Usulku ragu-ragu. Aku sendiri sangat ingin sampai ke kawahnya, tapi hujan deras membuatku kuatir. Lebih baik berhenti dan menikmatinya di situ.

Maka Mas Hen memutar mobil dengan bantuan petugas parkir, lalu memarkirnya di depan warung. Hujan deras dan dingin. Anak-anak langsung pesan makanan hangat beberapa saat setelah pantat kami menempel di tikar pandan di warung itu. Ada bakso tusuk, ada mi instan dan kopi. Juga gorengan. Albert dan Erlo memesan mi doble plus telur. Beberapa saat kemudian satu pesanan datang. "Kok dikit amat, kami minta doble kok." Denmas Hendro senyam senyum menerima mangkok mi. Rupanya sebelum semuanya pesan, dia udah duluan menemui tukang warung minta mi dan kopi. Ealahhhh...

Bernard bersantai dengan bakso tusuknya sambil nongkrong dengan bayi salah satu pengunjung yang juga berteduh di warung itu. Aku bergembira mencicip dari satu mangkok ke mangkok lain, juga sebuah besar buah naga merah yang segarrr.... Kelud merangkumkan lengan-lengannya yang dingin, membuat kami hanya bergembira menikmati. Aku tahu Mas Hen masih penasaran pengin mendekati kawah Kelud, tapi kekuatan batinku (hihihi) menolaknya. Pikirku terlalu bahaya dalam kondisi cuaca seperti itu. Dan rasanya duduk begini di warung pun sudah sangat nikmat.

Usai dari sana kami mencari nanas yang murah meriah disodorkan oleh pedagang-pedagang di sepanjang jalan. Bahkan dijual sangat murah. Tapi sebelum mendapat nanas kami malah mendapatkan duren. Huaaaa... nikmat banget nongkrong di pinggir jalan menikmati duren yang legit (walau harganya mihilll).

Sampai kami jauh dari kawah Kelud, semuanya serba kelabu dengan mendung tebal dan basahhh....

Wednesday, February 19, 2020

Libur Pergantian Tahun 2019 (6): Gua Tetes yang Membuat Basah Kuyup

Usai dari Candi Penataran, 26 Desember 2019, kami melaju ke arah Malang Selatan untuk lanjut ke Lumajang lewat Dampit, Pronojiwo dan seterusnya. Hujan menyertai kami. Kupikir-pikir kenapa kami ndak menginap di suatu tempat lalu melanjutkan perjalanan besok pagi? Tapi kemana? Tetiba kepikiran Pakde Pahar. Pakde Pahar ini kakaknya bapak Soeliham yang tinggal di Sumbertangkil, Dampit.

"Jauh ndak dari jalan besar?"Tanyaku ke Pak Sopir Hendro.

"Ndak, aku dulu pernah jalan kaki dari rumah Pakde untuk nyegat bis."

Okey, jadilah aku kontak Farah lewat maminya yang di Taiwan. Hihihi, komunikasi yang mantul deh pokoknya. Pesanku ke Farah: kami mau makan enak setiba di rumah. Tapi yang ada hanya nasi, tan. Hehehe... oke. "Kami bawa lauknya. Kau siapin nasi." Jadilah begitu.

Maka begitu sampai Dampit, udah hampir jam 8 malam, kami mampir beli sate, ingat kalau ada telur hangat di kotak dari Mbah Mun. Cukuplah itu.

Farah kuminta untuk share lokasi ke rumah Pakde Pahar. Dan ternyata saudara-saudara, yang dikatakan oleh Pak Sopir Hendro sebagai dekat itu adalah 18 km. Huaaaa.... kami melewati jalan berliku, terjal dan gelap. Dan jam 9 lewat kami baru sampai di rumah Pakde, makan puas, mandi bablas (yang kemudian kusesali karena rupanya kutahu kemudian kalau daerah itu sedang kekurangan air) dan tidur pulas.

Eh, sebentar tentang Gua Tetesnya ya. Gua Tetes itu kami datangi setelah sehari di Senduro, setelah dari Pakde Pahar. Pas pulang dari Lumajang itulah kami mampir Gua Tetes yang kukenal sejak dahulu kala itu. Sayangnya aku ndak dapat info cukup sebelumnya gegara males sehingga jadilah kami datang ke Gua Tetes itu dengan kering kerontang, namun saat pulang jadi basah kuyup. Karena yang disebut Gua Tetes itu bukannya gua dengan tetesan air tapi dengan grojogan air berundak-undak. Kalau hanya diem di bawah saja melihatnya ya rugi banget, jadi kami naik meliwati tangga air, berbasah-basah memakai celana jeans dan baju rapi. Denmas Hendro itulah yang paling bertanggungjawab atas hal ini, tapi dia santai saja. Huhuuuuuu..

Dan sungguh, tidak rugi datang berbasah-basah di sini. Ini tempat yang indah banget terletak di perbatasan Lumajang dan Malang Selatan. Indahhhh....





Libur Pergantian Tahun 2019 (5): Candi Penataran yang Romantis





Tanggal 25 Desember 2019 adalah Natal yang hingar bingar di rumah Sembak. Pertama, tentu saja karena banyak tamu yang datang dari sekitar rumah dari segala umur seperti biasa. Kedua, aku punya kesempatan untuk sowan para sepuh dan menikmati jajanan-jajanan. Hehehe. Dan ketiga, ini yang penuh syukur bisa kami lewati adalah Sembak dan sekitarnya keterjang angin puting beliung. Kehebohan puting beliung di sore hari ini memang menghentikan aliran tamu karena semua orang fokus pada pembenahan rumah. Kebanyakan yang rusak adalah genteng rumah. Rumah ibu hanya 2 buah genteng yang jatuh, tidak parah. Tapi air sempat masuk ke rumah juga jadi sore itu para cowok khususnya Albert, Bernard dan bapake kerja bakti mengepel ruang tamu, teras dan dapur. Tiga bagian itu yang basah kuyup plus kotor banget karena puting beliung.

Nah, tanggal 26 Desember rumah pun masih sepi. Kukira semua orang fokus pada rumahnya masing-masing sehingga tidak banyak yang bertandang untuk Natalan. Aku dan mas Hen membuat rencana kilat setelah segala kemungkinan untuk mengumpulkan keluarga Soeliham tidak mendapatkan titik temu. Jadilah kami membuat rencana perjalanan singkat ke Lumajang, pinjam mobil bapak, diawali dengan kunjungan singkat ke Mbah Mun di Pare. Jadilah kami berangkat beriringan dengan Bulik Sri sekeluarga yang akan balik Malang.

Usai dari Mbah Mun, mendapatkan sekotak telur asin dan telur ayam kampung yang masih hangat (hehehe, mantap pokoknya), kami berpisah rombongan dengan Bulik Sri, lanjut ke Lumajang lewat Blitar. Nah, perjalanan ke Blitar ini rupanya sangat asyik. Banyak banget yang ternikmati, salah satunya adalah Candi Penataran. Wowowwww....

Menjelang sore kami sampai di Penataran, agak kebablas dikit, tapi sampai juga di pelataran candi. Gerimis, dan sudah redup sore, membuat kami menikmati ngebolang romantis hingga di puncak candi. Fokusnya hanya foto-foto, dan buanyak foto kami buat. Ini kupasang sedikit saja deh. Pokoknya asyik.

Tak ada tiket masuk candi. Petugas hanya meminta kami mengisi buku tamu dan dana perawatan seiklasnya. Padahal ini kekayaan budaya lho. Bagaimana mereka bisa merawat kelanggengan candi ya? Maka aku sangat iklas memberikan dana itu.

Tentang Candi Penataran lihat Wikipedia saja ya. Pokoknya kalau ada di sekitaran Kediri - Blitar, tengoklah warisan leluhur untuk masa depan ini. Ini tempat yang indah.

Libur Pergantian Tahun 2019 (4): Bukit Dhoho Indah alias BDI

Kebetulan sekali tanggal 23 Desember itu Atik dan keluarganya datang dari Sidoarjo, jadi kami manfaatkan kesempatan menyenangkan itu untuk berkunjung ke BDI atau kepanjang dari Bukit Dhoho Indah. Tempat wisata ini terletak di Tiron, kecamatan Banyakan, kabupaten Kediri. Lokasinya sangat dekat dengan rumah. Beberapa tahun lalu aku pernah juga datang ke sini saat wahana-wahananya belum terlalu banyak dan memang belum selesai pembangunannya.

Saat ini pun tempat ini belum selesai. Masih tampak kalau BDI sedang dikembangkan menjadi pusat wisata yang besar. Waktu itu satu lokasi berisi wahana seperti taman hammock, motor ATV, permainan-permainan untuk anak-anak, juga ada wisata kuliner di dalamnya. Kali ini kami mengunjungi kebun agrowisata yang sedang dikembangkan dengan beberapa tanaman buah. Saat kami datang ada jambu biji dan alpokat yang bisa dipanen. Kami bisa ambil sepuasnya di kebun, lalu ditimbang dibeli untuk dibawa pulang. Namun selain jambu dan alpokat ada buah lain yang juga dijual di penimbangan walau kami tidak petik sendiri yaitu buah naga dan durian. Jadilah kami santap juga buah-buahan itu di pondok depan.

Hmmm.... mungkin suatu ketika nanti ini bakal jadi tempat wisata yang ok. Tapi untuk saat ini ya masih terasa panas n kurang nyaman. Tiket masuk 5000 per orang plus untuk parkir mobil rasanya terlalu mahal, apalagi kami memang tidak berniat mengunjungi wahana-wahana lain. Mungkin nanti kalau sudah jadi, benar-benar jadi bisalah dicoba lagi untuk datang ke mari.

Yang paling menggangguku sebenarnya bukan perkara mahal atau tidak nyamannya tempat ini. Tapi aku datang dengan agak sedih. Lahan berhektar-hektar ini dulunya adalah milik penduduk setempat. Dulu ketika aku masih kanak-kanak beberapa kali bersepeda ke arah sini karena teman-teman SMP ku banyak yang berasal dari Tiron. Namun sekrang tanah ini bukan lagi milik rakyat kebanyakan. Mereka sudah menjualnya pada pemilik modal BDI, yaitu anak perusahaan Gudang Garam. Lahan beratus-ratus hektar entah berapa tepatnya ini akan nyambung juga dengan bandara yang akan dibangun di situ. Gudang Garam sudah berhasil mengambil tanah subur sekian hektar itu dari rakyat Kediri. Ckckck... Kesedihanku ini berbalut dengan berbagai kisah yang kudengar seputaran peralihan kepemilikan ini. Kisah lucu, gembira, sedih, tragis, semuanya ada. Bagiku sendiri: sedihlah yang dominan. Aku pribadi lebih suka lahan itu dimiliki oleh ratusan rakyat daripada dimiliki oleh segelintir orang.

Mestinya ada beberapa foto yang kami buat saat berkunjung di BDI, tapi nanti saja deh.

Libur Pergantian Tahun 2019 (3): Bertemu Bunda Maria di Pohsarang

Hanya ini foto yang sempat dibuat. Di halaman dekat parkir.
Gua Maria Pohsarang merupakan salah satu tempat di Kediri yang paling sering kami kunjungi. Setiap pulang kampung, rasanya selalu ingin pergi ke tempat ini. Seringnya, inilah yang kami lakukan: datang dengan gembira, jalan pelan-pelan mulai dari tempat parkir, komentar ini itu pada para penjual yang banyak di sana (tidak beli apa pun, hehehe), mengelus saja kepala anak-anak penjual lilin, lalu berdoa singkat di  depan Bunda Maria yang berkain berkonde di samping gereja. Usai itu lanjut jalan pelan ke arah Gua Maria yang besar, mencuci kaki tangan dan muka serta minum sedikit airnya, lalu duduk-duduk ngadu di depan Bunda Maria yang besar di atas. Letak Bunda Maria di gua yang besar ini tidak tepat menurutku, membuatku mendongak, terasa jauhhhhh.... Jadi aku tetap suka di dekat Bunda Maria yang kecil sederhana dan bisa disentuh. Selebihnya, biasanya kami duduk-duduk saja depan gua, diem-diem beberapa saat di situ, tidak melakukan apa-apa.

Begitu pun hari itu, setelah mengunjungi Selomangleng, lalu duduk di Gua Maria membuatku merasa tenangggg.... Seperti inilah 'rumah', entah di mana pun itu. Hanya duduk, mendengarkan suara beririk dari para pengunjung namun tak cukup konsentrasi untuk menangkap mereka bicara apa. Sesekali ada burung tertentu yang melintas dengan suaranya. Daun-daun yang tak punya mulut pun bisa menguarkan suaranya yang syahdu, kadang bergemuruh.

Wajah Bunda Maria menatap jauh. Bagusnya, Bunda Maria besar ini memiliki paras yang sangat keibuan, berahang bulat kukuh seperti menggambarkan ketabahan, mirip dengan wajah-wajah para ibu di Pedesaan Pohsarang yang sejak awal sudah biasa bekerja keras di antara bebatuan. Dan seperti itulah memang seorang ibu. Bekerja dengan kaki tangan hati dan pikirannya, dengan suara yang kadang lembut kadang keras kadang tak muncul. Badan otomatis tidak langsing kurus seperti para model, tapi berisi, berotot, tentu saja dengan lemak di bagian-bagian tertentu menandakan kesuburan.

Nah, mengunjungi Pohsarang dengan cara itu membuatku tenang. Tak usah buru-buru, pun tidak memaksakan diri untuk berdoa sepanjang Jalan Salib atau hal-hal lain yang direkayasa. Tenangggg...

Bunda Maria, doakanlah kami anak-anakmu yang masih berziarah di dunia ini dalam suka dan duka.