Wednesday, December 17, 2008

Menutup Tahun

Hari ini menjadi hari terakhirku pada tahun ini di depan komputer. Besok hingga tahun baru nanti tidak akan ada komputer apapun di depan mataku dan jariku. (Jadi teman, jangan berharap ada tulisan apapun yang baru dalam blogku, hingga tanggal 2 Januari nanti. Tanggal 1 Januari pasti aku tidak akan sempat menulis apa-apa selain meniup terompet). Hari ini jadi kesempatan emas bagiku untuk melihat kembali perjalanan satu tahun sepanjang 2008.

Aku ingat misiku tahun ini adalah menjadi cerpenis. Hah, susah. Aku terjungkal-jungkal dalam misi ini. (Aku ingat tahun 2007 misiku adalah menjadi cantik. Dan pada akhir tahun aku hanya menghasilkan jutaan senyum. Belum juga cantik.) Setahunku terakhir aku merenda jutaan kata. Segala cerpen aku lempar kemana-mana. Tapi hingga kini, di penghujung tahun, aku belum jadi cerpenis. Yang menyenangkan, tahun ini memberiku sangat banyak pengalaman baru. Pertemanan baru. Dan tentu saja kerjaan baru. Tahun yang dinamis, katakanlah begitu. Karena tahun ini aku bisa berjalan cepat, berjalan lambat. Berteriak marah, bicara lantang, menangis keras, diam seribu bahasa, bergerak, terpaku, terbengong, terkejut, ...pokoknya segala ekspresi segala rasa. Yang paling penting adalah aku menemukan kesadaran-kesadaran baru yang mengatasi segala pagar yang selama ini melingkupiku. Semoga inilah caraku menjadi dewasa.

Aku belum menentukan misiku di tahun 2009. Sembari pamit sementara, aku meminta masukan anda sekalian, teman-teman. Apa misi yang cocok bagiku untuk tahun 2009? Ya, jangan kuatir. Seperti setiap tahun, misi yang ditetapkan akan jadi fokus dalam tahun itu tapi perjalanan misi itu akan berjalan sepanjang segala abad. Ini caraku menuju keabadian. Maka menjadi cantik, menjadi cerpenis, tetap dijalankan hingga tercapai suatu ketika nanti. Ah, ya teman, seperti layaknya pada setiap penutupan babak, aku membungkukkan badan pada kalian semua. Terimakasih dan maafkan! Jika sempat, bertepuk tanganlah untukku. Atau lemparkan botol bekas, tomat, telur, batu, apapun, kepadaku. Sehingga babak selanjutnya aku bisa tampil lebih baik. Salam!

Selingkuh

Aku mengabarkan kepada semua orang, dengan keras dan lantang. Ini pengakuanku : "Aku telah selingkuh!"

(Adakah keterangan lain yang memadai untuk menjelaskan pengakuanku ini? Tidak ada. Tidak ada yang ingin aku katakan.)

Tuesday, December 16, 2008

Ramalan

Kekuatan hasrat itu seperti ramalan. Kalau aku bilang 'mungkin akan ada nanti...', lalu aku menghasratinya, wah kejadian sungguh. Aku pernah bilang "Mungkin anak-anak liar sudah bersemayam dalam tubuhku." Kapok deh, benar-benar berendeng-rendeng anak-anak liar meluncur dari ruapan rambutku. Lalu berbaris minta disapa, ditegur. Setelahnya mereka akan beranak pinak dan reproduksi kilat. Dan kini ada jutaan menari-nari di seluruh inderaku.
"Lain kali hati-hati dengan pikiran ya, Yuli. Dan lebih hati-hati lagi dengan lidahmu. Keterlaluan jika menyangka diri sebagai pahlawan seolah dunia tak akan berputar tanpamu. Memang tangan dan kakimu ada berapa?"
Ah ya. Memang parah jadinya. Tak bisa lari juga. Apalagi dengan bekas-bekas pengembaraan yang abadi di seluruh ragaku. Serpihan ludah asing di bibirku, memar di pahaku, romansa di ingatanku, perih tarikan nafas rindu, tertawa di atas bantal empuk, kehangatan ... mana bisa menghilang begitu saja tanpa mengolahnya dulu menjadi indah.

Candu Manusia

Kita bisa kecanduan seseorang. Cara kerjanya ya seperti candu seperti biasa itu. Kalau tidak dapat mencicip maka tidak akan bisa melakukan apa-apa. Tergantung pol. Bahkan kalau tidak cepat diberikan pula, bisa sakauw, kesakitan menderita. Beberapa bisa mati juga.
Gimana cara melepaskan diri dari kecanduan seseorang seperti ini? Aku kira seperti juga yang dilakukan pada pecandu obat atau narkoba. Melepaskan diri, melakukan rehabilitasi, mencari teman yang bersih dll.
Bagaimana kalau tidak mau menghentikannya? Ya, harus dicari terus. Nah ini mahal, teman. Bahkan orang bisa melakukan tindak kriminal karena kecanduan. Melakukan segala trik dan intrik untuk mendapatkannya. Ya lah, karena sakauw itu tidak enak. Sakit. Menderita.

Gender dalam Media Massa

Siang tadi kurang lebih dua jam aku bersama mahasiswa Fisip Unila semester 3, bicara tentang peran media massa upaya adil gender. (Dikerjain si Indri, untuk menutup kuliahnya pada semester ini.) Aku siapin satu tulisan tidak ilmiah sama sekali. Ya, mohon maklum, memang bukan ilmuwan.
Aku mengawali dengan mengajak mereka membuat 'sinetron'. Dalam kelompok mereka bekerja membuat karakter dua orang suami istri, plus settingnya. Dan terutama adalah satu babak cerita, apa yang dilakukan dua orang itu pada hari Senin pukul 10.00 - 11.00.
Hasil kelompok persis seperti yang aku duga.
- Perempuan dengan karakter yang seperti di sinetron-sinetron itu. Cerewet, nangis, marah, menuntut dll.
- Yang laki-laki digambarkan dalam tokoh yang santai, marah karena dituntut, pengusaha kaya, selingkuh dll.
- Alur ceritanya ya begitulah. Salah satu kelompok mengatakan tokoh suami pada jam 10.00 minum kopi, istrinya menjemur pakaian, lalu anaknya datang minta duit, suami marah, istri jadi cerewet hingga kebentur pintu, lalu suami pergi gak tahan lihat istrinya.
Persis seperti itulah media mempengaruhi otak penikmatnya.
Lalu aku tanya : "Adakah penindasan pada perempuan dalam kisah-kisah itu? Seperti apa?"
Wow, satu bilang tidak ada, satu bilang ada penindasan tidak langsung, satu lagi ada dll.
Lalu aku tanya lagi :"Kalau perempuan maju, apakah laki-laki bisa lebih maju juga? Bagaimana?"
Hehehe...diskusi lagi mereka. Aku tinggal tarik beberapa benang merah. Makalahku tidak aku baca, biar mereka baca sendiri.
Beberapa penekanan aku ungkapkan :
- Perjuangan adil gender bagi perempuan tercapai ketika perempuan bisa menentukan pilihannya sendiri secara bebas. Tidak hanya ditentukan oleh ortu ketika kanak-kanak, oleh suami ketika sudah menikah, dan oleh anak ketika sudah renta.
- Jadi ibu rumah tangga sangat mulia, tapi jika ini bukan paksaan maka akan membentuk ibu rumah tangga yang profesional. (Ceilaaa...) Begitu juga ketika pilihannya menjadi pekerja atau yang lainnya.
- Semua akan harmonis kalau pria dan perempuan saling melengkapi, dengan peran gender yang adil. Memasak tidak memakai alat kelamin, jadi bisa dilakukan oleh laki atau perempuan. Menyusui memang harus dilakukan oleh perempuan karena perempuan yang punya susu. (Mata mereka terlolong tak tertolong karena aku vulgar berat. Hehehehe...biarin.)
- Jadi, mari menuju keadilan gender. Anti diskriminasi. Media massa bisa menjadi salah satu alat penyebarannya.
Begitulah.

(Usai itu aku ditraktir mi sosis di kantin Unila. Hujan deras, jadi ngobrol ngalor ngidul sama Indri. Masih harus ke kantor lagi, karena kerjaan belum kelar. Kini ada di kantor malah ngeblog, sudah hampir jam 19.00. Aku akan kerja lembur nanti di rumah. Jadi aku akan siapin bahan-bahan di flashdisk untuk dibawa pulang.
Ah ya ada beberapa hal dari obrolan dengan Indri yang nyangkut di otak dan hatiku, bahwa setan bekerja dengan cara memanipulasi otak manusia. Seolah sesuatu bisa benar dan baik, lalu manusia pelan-pelan digiring ke neraka. Nah lo memang kami ngobrol tentang apa sampai nggosip tentang setan? Hehehe...ada deh. Ini aku tulis supaya aku tidak lupa pernah ngobrol begitu dengannya. Nanti kapan-kapan aku buat laporan lengkapnya.)

Monday, December 15, 2008

Mimpi Atau Nyata, Berbeda?

Pernahkah engkau mimpi sesuatu yang rupanya nyata? Aku pernah, teman. Mimpi yang menyambar tidak sampai dua jam. Cukup lama untuk meyakininya ada, tapi terlalu cepat untuk memastikannya. Benar terjadi. Wong kaki-kakiku sungguh mengambang, dan tangan-tanganku terentang. Seluruh poriku menghisap kehangatan, seluruh pori dalam tubuh. Hingga mekar, berdenyut.

Jangan tanya bagaimana rasanya. Kau pernah sangat lapar, lalu menemukan sepotong singkong di atas bara yang menyala, dan saat kau memakannya turun gerimis, teman? Itulah rasanya. Tentu saja sangat dingin seluruh badan karena percikan jarum-jarum hujan temaram. Tapi juga ada hangat di rongga mulutmu karena mengunyah singkong bakar. Dan kemudian perutmu pelan-pelan mencerna dan menyerap saripatinya. Itulah rasanya. Mungkin setelahnya perut jadi kembung, tapi kenyang. Ingin nambah, nambah dan nambah.

Mau yang lebih konkret? Begini. Seseorang dalam sebuah kamar, tiba-tiba menarikmu dalam pelukan kencang, lalu mendaratkan ciuman bertubi-tubi tepat di bibirmu. Dan kau tidak bisa mengatakan apa-apa karena kau juga menikmati itu bahkan kemudian juga membalasnya. Setelah itu menginginkannya lagi, lagi dan lagi. Itu konkretnya.

(Yach, kalau belum jelas juga, apa boleh buat teman. Dari sana aku cuma mau beri kesimpulan ngawurologi : kadang mimpi dan nyata sulit dibedakan, karena kadang keduanya tidak berbeda. Tinggal bagaimana kita mau melihatnya. Dengan mata atau dengan bukan mata. Mau bangun atau tidak bangun. Terserah pilih yang mana.)

Memungut Pertanda

Hari ini ada beberapa orang yang datang ke kantor. Dengan berbagai urusan. Sore kantor sangat penuh, 9 orang. Iya, soalnya aku mengundang mereka untuk rapat Nuntius. Ada beberapa hal yang terlontar dalam rapat ini. Cukup lumayan setelah beberapa lama nyaris tidak ada percakapan tentang majalah ini seolah-olah akulah yang 'mbaurekso' tunggal, terserah mau njungkir atau mau mbalik, tidak ada urusan.
Aku duduk di salah satu sudut meja (Sebenarnya mejanya bundar tidak bersudut, tapi rasanya aku ada di sudut. Terserah aku dong.)
Sebelah kiriku adalah para penatua Nuntius, tiga orang bapak dan seorang romo. Orang-orang yang dari awal aku harapkan menyokong semangat penerbitan, menelurkan dan menjaga visi dan misi serta menjadi teman dalam pengerjaan operasional majalah ini.
Sebelah kananku adalah para muda Nuntius, satu orang bujang, dua orang gadis, dan satu orang istri (belum ibu). Mereka orang-orang yang bekerja konkret secara teknis membantu urusan redaksi hingga distribusi.
Pembahasan berakhir dengan beberapa rekomendasi, yang cukup membesarkan hati. Intinya : Maju terus pantang mundur!

(Ya bagaimana lagi, aku toh tetep saja akan menjadi nenek-nenek bongkok yang mondar mandir di tepi pantai, bekerja giat sambil melihat ombak dan pasir, namun toh sampah selalu ada di sana ditinggalkan orang. Pokoke bekerja dan ada keindahan di sana-sini untuk dinikmati. Inilah rahmat bagiku.)

Melihat mulut?

"Kok ibu bisa melihat mulut?"
Aku terkaget, melempar Alkemis dari tanganku, dan menatap wajah polos Bernard di depanku. Wajah segar, usai sikat gigi, siap berdoa dan mendengarkan dongeng dariku, sembari digarukin punggungnya sebelum tidur. Tanpa peduli dia mengatur diri di bantal dan memeluk guling.
"Apa Nard? Melihat mulut?"
"Iya, ibu bisa melihat mulut semua orang."
Aku terbengong-bengong menafsirkan kata-kata Bernard. Anak keduaku ini luar biasa kreatif dan sensitif. Apa yang sudah dilihat atau dipikirnya sehingga muncul kata-kata seperti itu? Aku mulai berdebar-debar.
"Apa sih Nard? Ibu gak ngerti."
"Ibu bisa gitu melihat mulut semua orang, mana yang sudah sikat gigi atau belum."
Oo, aku tahu konteksnya apa. (Beberapa menit yang lalu Albert dan Bernard menyikat gigi, dan kebiasaan keduanya meringis penuh busa odol untuk menunjukkan giginya sudah bersih atau belum. Heheheh...kirain apaan) Aku mengikik sendiri geli. Mencium pipinya dan mulai membaca Mitiriwu, dongeng dari Papua untuknya, dengan tangan di punggungnya.
"Ibu ini bisa membuat orang tidur."
Bernard membalik tubuhnya. Saat aku selesai membaca, aku lihat dia sudah pulas meringkuk, menghadap dinding. Penuh gembung kepalanya dengan mimpi.

Petualangan Dalam Situs Dunia

Baru saja aku mengunjungi situs dunia. Luar biasa. Seharian penuh pada akhir pekan kemarin, dari pagi hingga malam. Nah ini hasil browsingku dalam petualangan itu.

Pertama, adalah menu tentang Krishna.
Sesekali bisa dipahami Krishna adalah Batara Guru Sang Manikmaya
di depan Umayi ya Durga Umayi, di atas kasur-kasur lembut hamparan awan.
Menderu-deru Sang Manikmaya menghisap ragawi, merentang, mengerinyut, mengejang.
Menarikan hasrat dalam seluruh tubuhnya hingga jatuh terguling-guling.
(Umayi yang satu ini cukup pencemburu, menyimpan sekantong penuh tanda tanya. Ada 'tidak' digenggam kirinya, selagi belum menemukan jawaban atas segala tanya. Tapi juga punya 'ya' atas segala rupa, yang dihidupinya alami.)

Kedua, adalah menu tentang wajah rasa.
Sarapan pagi yang super cepat kilat.
Aku menjilat bara dari bibirnya.
Membakar aku dalam percakapan renjana.
Nyaris tanpa tanpa suara.
Pun ketika aku menegang dibelit logika.
Parahnya, tubuhku merindu pemenuhan.
(Harusnya aku tampar diriku sendiri, yang berharap mimpi jadi abadi. Untung aku sempat mematri seluruh paras inspirasi lewat ujung jariku. Juga mencium seluruh aroma lekuk dan kuduknya. Sungguh!)

Ketiga, adalah menu tentang personalita
Ada sunyi antara aku dan secangkir kopi
Ada gelisah antara aku dan sepotong donat.
Ada yang melayang antara aku dan rel kereta Gambir.

Keempat, adalah menu tentang ...
Entah bagaimana menyebutnya ya, tapi ada gairah yang pelan-pelan muncul. Memenuhi lingkar baru keselarasan yang kini terbentuk di sekitarku. Keselarasan lain yang agak aneh. Mestinya harus diadaptasi dulu, hati-hati, karena keselarasan yang satu ini bisa membungkus tebal suara hati.

Kelima, adalah menu tentang dunia ini sendiri.
Ini porsi terbesar dalam petualangan seharian. Ada banyak point. Aku akan menulisnya menyusul nanti. Sungguh rahmat yang hebat. Menyegarkan kembali baling-baling bambuku yang mulai reyot sana-sini. Terimakasih untuk semua.

Friday, December 05, 2008

Melankolis

Tak tahu nih, bawaanku kelabu saja akhir-akhir menjelang pergantian tahun ini. Mati-matian aku mengkianati Logika, tapi bahkan Kesempatan juga tak mau datang mengunjungiku. Yang menemaniku sih banyak, ada Penantian dan Kerinduan. Dan tentu saja ini yang tak mau melepaskan rangkulannya pada tubuhku, Hasrat.

Wednesday, December 03, 2008

Demam

Aku demam parah. Sungguh, secara fisik suhu badanku naik turun. Kadang hangat, panas. Hingga leherku terasa terbakar. Namun kadang dingin, beku. Sampai seluruh lendir tubuhku memadat. Secara psikis, demamku lebih berat. Perputaran keras antara hati, rahim dan otak. Berputar ke segala ruas.
Aku tanya apa yang bisa menyembuhkanku?
"Ada satu resep. Sublimasi."
Tapi itu masih sangat teori bagiku. Bagaimana mendalaminya?
"Tidak ada yang tahu dan memberitahumu. Carilah."
Aku tidak bisa berpikir untuk melangkah kemanapun.
"Menulislah terus. Jangan berhenti."
Aku kira aku masih akan demam jika itu yang harus aku lakukan. Jari-jariku beku dan terbakar dalam waktu yang sama. Begitu juga seluruh inspirasi yang mungkin bisa aku gali. Beku dan terbakar.

(Mungkin aku perlu tidur sementara waktu.)