Friday, August 24, 2007

AKU


aku adalah bayi
yang menyusu
gelenyar riak ombak
di puting subur pantai

Naik Pesawat

Waktu aku masih kecil, pesawat adalah sebuah mimpi. Dia itu seperti salah satu benda langit yang bisa dilihat namun tidak bisa dipegang. Semacam bulan, bintang, awan, matahari, pelangi. Kalau sebuah pesawat terlihat dengan gemuruhnya, aku dan juga banyak orang lain akan keluar rumah, menyorakinya. Juga melontarkan banyak keinginan :"Njaluk duite!!!"
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!

Thursday, August 23, 2007

kubunuh kau tuhan!!

kubunuh kau tuhan!!
yang sudah melemparkan api dalam dada terbatas ini
baranya menyengat, bukan aku ragawi
tapi membakar seluruh naluri
mengerinyut mengejang hingga tak lagi rasa
selain bakaran cinta, dan hasrat

kubunuh kau tuhan!!
jika aturan pembatas ini kau yang ciptakan
kubunuh kau tuhan!!j
ika kau syaratkan aku harus mengatur cinta
.....

Aku tulis puisi ini spontan bersumber dari banyak kata yang sudah aku baca hari ini. Gara-gara Niko lewat milist cerita dengan mengutip lengkap surat dari Lan Fang, seorang penulis. Surat ini ditujukan sebagai protes untuk Pikiran Rakyat. Aku cuplik sedikit surat itu dengan tambahan dalam kurung dariku sendiri :
......
MALAIKAT (Ditulis oleh Syaeful Badar)
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa “ternganggu” dengan dimuatnya puisi ini (dimuat di Pikiran Rakyat) karena memiliki tafsir yang berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini “berbahaya” karena meremehkan/melecehkan esensi malaikat sebagai sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang berefek Bpk. Rahim Asyik (yang mengasuk rubrik Khazanah) diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
....

Ah, sedih berurai air mata aku di pojokan sini. Puisi! Bahkan ruang paling pribadi ini mau diotak-atik. Puisi menurutku tidak harus pakai agama, tidak mesti pakai etika atau logika. Puisi, itulah ruang dimana keliaran bisa hidup. Puisi, itu hak asasi. Puisi, deretan yang setiap manusia boleh pilih mau pakai huruf atau kata yang mana dan disusun bagaimana. Jika ada yang salah menafsirkan sebuah puisi, bukan pembuat puisi itu yang salah. Puisi mendapatkan kedalamannya hanya oleh sang pembuat. Orang lain gak usah mikir deh. Cukup rasakan! Siapa tahu bisa belajar dari sana!

Lesbi

Lesbi atau lesbian. Tema ini jarang sekali masuk dalam tema perbincangan (ku) sehari-hari. 4 -5 hari ini mengherankan, kata ini terus menerus mengusik. Aku berpikir tentang lesbi. Tentang X dan X.
Aku pengagum perempuan. Jika aku berbincang dengan seorang perempuan, aku pasti menemukan titik kecantikannya. Siapapun dia, tua atau muda, tidur atau bekerja, diam atau berbicara, tertawa atau menangis. Beberapa mempunyai porsi kecantikan yang lebih, seperti ketika aku bertemu Magdeline tadi pagi. Dia ini biarawati, dengan postur peragawati, wajah foto model. Senyumnya yang merebak mempertegas garis kecantikannya. Tapi aku juga melihat kecantikan ketika tawar menawar dengan Bik Darmi, bibi penjual sayur keliling. Tubuh gembrotnya, dengan mulut mecucu mempertahankan 6500 rupiah harga setengah kilo ikan selar, terlihat cantik dalam matahari pagi.
Aku jarang mengagumi laki-laki. Dulu aku sebut : satu-satunya kelebihan lelaki adalah bahwa dia, mereka bisa kencing di sembarang tempat. Tidak ada kelebihan lainnya. Puhh...
Idola pernah ada, misal Lupus, aku idolakan ketika aku remaja. Ketika sadar Pri pacar pertamaku tidak mirip Lupus, aku putusin dia. Sin lebih mirip, tapi polahnya tidak. Maka aku diputusin. Hehehe... Dekade berikutnya aku mengidolakan Iwan Fals. Maka aku jatuh kepayang pada Opi, yang rambutnya mirip Iwan. Ketika rambutnya digundul, ya... putus dong. Wong cuma mau mainan rambut doang. Lalu untung aku juga mengidolakan Yesus. Maka aku berani ambil keputusan soal Hendro sebagai suami, sehidup semati. Bukan karena dia mirip Yesus. Tapi karena aku yang mau seperti Yesus. (Heih, mimpi!) Aku pikir-pikir mereka yang pernah aku idolakan adalah lelaki berambut panjang, dengan raut yang lembut. Ciri yang juga dipunyai perempuan kebanyakan.
Aku yakini aku bukan lesbi. Aku merasakan kepenuhan hati, jiwa dan raga bersama Hendro. Apakah aku juga lesbi? Jika dikatakan lesbi adalah orientasi seksualnya, maka aku pasti bukan lesbi. Tapi orientasi cintaku tidak pernah melihat jenis kelamin. Maka, karena aku mengagumi perempuan lebih banyak, maka aku mencintai perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Melihat perempuan sama dengan melihat diriku sendiri.
Apakah lesbi itu ada di setiap perempuan? Aku tidak yakin. Juga kalau aku ditanya apakah aku pernah lesbi. Apakah lesbi ini kata sifat yang bisa berubah menurut masa? Apakah aku bisa menjadi lesbi ketika aku mencintai perempuan? Apakah kalau menjadi lesbi maka bukan lagi perempuan, atau menjadi selalu perempuan?
Jika aku melihat X dan X, aku tidak melihat ketidakwajaran. Mereka manusia yang berkualitas dengan level yang tinggi. Mereka juga membantu banyak orang untuk mengembangkan diri. Mereka tidak egois. Dan mereka menyebut penuh percaya diri :"Aku lesbi!"

Friday, August 10, 2007

Pagi cerah, tidak gerimis dan hujan. Salut pada pak polisi yang memakai tubuhnya sebagai tameng bagi anak-anak sekolah yang terburu-buru tidak mau telat masuk kelas. Mereka stop kendaraan supaya anak-anak itu bisa menyeberang.
Sayang aku belum menemukan hal lain selain itu untuk hormat tegak padamu, polisi.
(Bahkan jika pagi gerimis, mereka tidak tampak!)

Saturday, August 04, 2007

jangan kuatir

toh kita melihat bulan yang sama
walau di sisi bumi manapun kita berada
toh kita hirup udara yang tidak tersekat
walau di ruang yang berbeda

Friday, August 03, 2007

matahari yang sama

pun akan redup atau memanggang
sesuai dengan posisinya
dimana

pun akan indah atau garang
sesuai dengan waktunya
kapan
Menengok Petani Gurem di Podorejo

Petani di Desa Podorejo, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Lampung mendapatkan 1 ton gabah dari seperempat hektar tanah yang diolah. Digarap selama 4 bulan, 1 ton gabah itu setara dengan 2,350 juta rupiah. Selama penggarapan mereka membutuhkan 2 kilo benih jenis unggul seharga 80 ribu rupiah, 120 ribu sewa traktor, 50 ribu untuk menanam padi, 75 ribu obat basmi rumput, 50 ribu insektisida. Ini belum termasuk sewa penyedot air 6000 rupiah dan bahan bakar 5000 rupiah perjam dari Sungai Way Sekampung jika masa tanpa hujan seperti sekarang ini.
Menghitung bersama Joko seorang petani di sana, jika petani mempunyai tanah seperempat hektar hanya mendapatkan sekitar 250 rupiah tiap bulannya, setelah dipotong segala biaya itu. Padahal lebih banyak petani yang tidak punya lahan. Menggarap tanah orang lain hanya mendapatkan separoh dari hasil itu.
Bagaimana mereka bisa hidup dengan uang itu bersama istri dan anak-anak? Joko bersama 13 petani lain mengelola lumbung paceklik, atau akhir-akhir ini disebut juga sebagai lumbung sosial. Keberadaan lumbung ini dirasakan manfaatnya oleh lebih dari 50 keluarga petani lainnya yang ada di Pekon (desa) Podorejo.
”Lumbung ini dibuat oleh generasi bapak-bapak kami pada tahun 1980-an. Mulanya hanya untuk menampung sisa hasil panen yang melimpah, untuk kemudian dipakai di masa paceklik, saat kemarau panjang,” jelas Joko.
Joko menjadi pengurus lumbung sejak tahun 1997. Lumbung yang semula ala kadarnya, direhap sehingga lebih mendekati standar untuk mempertahankan mutu gabah. Lumbung dibangun dengan kapasitas 20 ton terbuat dari bambu dengan lapisan terpal di bagian dalamnya. Dengan sistem bangunan tertentu, gabah bisa tahan lebih dari satu musim (6 bulan) jika disimpan di sini.
Pada awal tahun ini ketika membongkar lumbung, 13 anggota masing-masing bisa meminjam 200 kilogram gabah dan 70 petani lain yang bukan anggota bisa meminjam antara 50 – 200 kilogram. Mereka akan mengembalikan gabah itu pada masa panen dengan tambahan ’nilai susut’ sebanyak 15 kilogram per kwintalnya. Tambahan dari angka inilah lumbung itu bisa berkembang. Bahkan tiap panen bisa menyisihkan 100 kilogram dipakai untuk keperluan sosial antar mereka.
Joko lalu menceritakan bagaimana ramainya orang datang ke lumbung, yang kebetulan terletak dekat rumahnya, saat ’bukaan lumbung’. Beberapa tahun terakhir ini bahkan pengurus lumbung, menerapkan nomor antrean supaya mereka tidak berdesakan. Jika gagal panen, petani yang sudah mengambil gabah dari lumbung ini dapat mengembalikannya pada musim panen yang berikutnya, tanpa ada bunga atau biaya tambahan. Semua bermodal pada rasa percaya antar mereka.
Selasa (31/7) lalu waktunya bagi Joko untuk ’nyedot’ air dari Way Sekampung. Mesin sedot yang disewa sangat berat untuk ukuran tubuh Joko. Maka begitu turun ke sawah, spontan beberapa bapak yang sedang bekerja di sawah yang berdekatan petaknya, datang membantu Joko mengangkut mesin sedot di dekat sungai dan membantunya memasang hingga air mengalir ke petak sawahnya. Hujan yang beberapa minggu tidak turun membuat para petani hanya bisa mengandalkan mesin sedot air sewaan. Penyedotan itu dilakukan setiap 6 – 7 hari sekali sampai panen tiba.
Rugi pasti. Tapi daripada tidak dapat sama sekali, mereka harus melakukan itu. Paling tidak supaya modal kembali. Pemilik sawah yang sudah pasrah, membiarkan sawah mereka kering. Daunnya sudah ’ngluntung’ (menggulung). Sebentar lagi kuning kering. Kalaupun berbuah banyak yang kopong (kosong).*