Menengok Petani Gurem di Podorejo
Petani di Desa Podorejo, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Lampung mendapatkan 1 ton gabah dari seperempat hektar tanah yang diolah. Digarap selama 4 bulan, 1 ton gabah itu setara dengan 2,350 juta rupiah. Selama penggarapan mereka membutuhkan 2 kilo benih jenis unggul seharga 80 ribu rupiah, 120 ribu sewa traktor, 50 ribu untuk menanam padi, 75 ribu obat basmi rumput, 50 ribu insektisida. Ini belum termasuk sewa penyedot air 6000 rupiah dan bahan bakar 5000 rupiah perjam dari Sungai Way Sekampung jika masa tanpa hujan seperti sekarang ini.
Menghitung bersama Joko seorang petani di sana, jika petani mempunyai tanah seperempat hektar hanya mendapatkan sekitar 250 rupiah tiap bulannya, setelah dipotong segala biaya itu. Padahal lebih banyak petani yang tidak punya lahan. Menggarap tanah orang lain hanya mendapatkan separoh dari hasil itu.
Bagaimana mereka bisa hidup dengan uang itu bersama istri dan anak-anak? Joko bersama 13 petani lain mengelola lumbung paceklik, atau akhir-akhir ini disebut juga sebagai lumbung sosial. Keberadaan lumbung ini dirasakan manfaatnya oleh lebih dari 50 keluarga petani lainnya yang ada di Pekon (desa) Podorejo.
”Lumbung ini dibuat oleh generasi bapak-bapak kami pada tahun 1980-an. Mulanya hanya untuk menampung sisa hasil panen yang melimpah, untuk kemudian dipakai di masa paceklik, saat kemarau panjang,” jelas Joko.
Joko menjadi pengurus lumbung sejak tahun 1997. Lumbung yang semula ala kadarnya, direhap sehingga lebih mendekati standar untuk mempertahankan mutu gabah. Lumbung dibangun dengan kapasitas 20 ton terbuat dari bambu dengan lapisan terpal di bagian dalamnya. Dengan sistem bangunan tertentu, gabah bisa tahan lebih dari satu musim (6 bulan) jika disimpan di sini.
Pada awal tahun ini ketika membongkar lumbung, 13 anggota masing-masing bisa meminjam 200 kilogram gabah dan 70 petani lain yang bukan anggota bisa meminjam antara 50 – 200 kilogram. Mereka akan mengembalikan gabah itu pada masa panen dengan tambahan ’nilai susut’ sebanyak 15 kilogram per kwintalnya. Tambahan dari angka inilah lumbung itu bisa berkembang. Bahkan tiap panen bisa menyisihkan 100 kilogram dipakai untuk keperluan sosial antar mereka.
Joko lalu menceritakan bagaimana ramainya orang datang ke lumbung, yang kebetulan terletak dekat rumahnya, saat ’bukaan lumbung’. Beberapa tahun terakhir ini bahkan pengurus lumbung, menerapkan nomor antrean supaya mereka tidak berdesakan. Jika gagal panen, petani yang sudah mengambil gabah dari lumbung ini dapat mengembalikannya pada musim panen yang berikutnya, tanpa ada bunga atau biaya tambahan. Semua bermodal pada rasa percaya antar mereka.
Selasa (31/7) lalu waktunya bagi Joko untuk ’nyedot’ air dari Way Sekampung. Mesin sedot yang disewa sangat berat untuk ukuran tubuh Joko. Maka begitu turun ke sawah, spontan beberapa bapak yang sedang bekerja di sawah yang berdekatan petaknya, datang membantu Joko mengangkut mesin sedot di dekat sungai dan membantunya memasang hingga air mengalir ke petak sawahnya. Hujan yang beberapa minggu tidak turun membuat para petani hanya bisa mengandalkan mesin sedot air sewaan. Penyedotan itu dilakukan setiap 6 – 7 hari sekali sampai panen tiba.
Rugi pasti. Tapi daripada tidak dapat sama sekali, mereka harus melakukan itu. Paling tidak supaya modal kembali. Pemilik sawah yang sudah pasrah, membiarkan sawah mereka kering. Daunnya sudah ’ngluntung’ (menggulung). Sebentar lagi kuning kering. Kalaupun berbuah banyak yang kopong (kosong).*
Rugi pasti. Tapi daripada tidak dapat sama sekali, mereka harus melakukan itu. Paling tidak supaya modal kembali. Pemilik sawah yang sudah pasrah, membiarkan sawah mereka kering. Daunnya sudah ’ngluntung’ (menggulung). Sebentar lagi kuning kering. Kalaupun berbuah banyak yang kopong (kosong).*
No comments:
Post a Comment