Waktu aku masih kecil, pesawat adalah sebuah mimpi. Dia itu seperti salah satu benda langit yang bisa dilihat namun tidak bisa dipegang. Semacam bulan, bintang, awan, matahari, pelangi. Kalau sebuah pesawat terlihat dengan gemuruhnya, aku dan juga banyak orang lain akan keluar rumah, menyorakinya. Juga melontarkan banyak keinginan :"Njaluk duite!!!"
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!
No comments:
Post a Comment