Thursday, October 30, 2008

Riset Buruh

Teman-teman yang ada di dalam Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL) sedang melakukan riset tentang dampak kenaikan BBM bagi kehidupan mereka sebagai pekerja pabrik. Menarik, bukan pada materinya (materi ini agak telat. tapi akan menjadi salah satu point penting saat perbincangan upah pada akhir tahun nanti).
Tapi yang lebih menarik adalah pengalaman riset yang mereka coba lakukan. Ini memang agak lain. Awalnya proses riset tidak pernah terbayang masuk dalam gerakan yang dilakukan oleh buruh. Biasanya jika berkumpul mereka akan diskusi, kapan aksi, dll. Sudah dua tahun ini FKSPL melakukan berbagai riset entah sendiri dalam wilayah Lampung, atau dalam jaringan aliansi dengan teman-teman di Jawa Barat dan Jakarta.
Hasil akhir tidak tampak. Tapi riset dapat menjadi dasar yang kuat bagi gerakan mereka selanjutnya. Data-data hasil riset menjadi argumen yang kuat bagi aksi. Menjadi lebih nyata. Mendasar. Sesuai dengan situasi yang sebenarnya.

Wednesday, October 29, 2008

Pasir

Apa yang terjadi kalau kita main pasir? Butir-butirnya akan menempel di tangan, kaki, pipi, rambut, dan lain-lain tergantung bagaimana kita memainkannya. Tidak berbahaya, tapi ada resikonya.

Tuesday, October 28, 2008

Malam dengan Tidur

Malam dengan tidur adalah keheningan mesra antara pasir dengan rongga-rongganya
bertopang pada lengan terentang tanpa usikan kegiatan sukma
pun mata terpejam menjadi alat penglihat rasa
pun tubuh diam menjadi bahan bagi seribu pelukan

Malam dengan tidur adalah penjelmaan suara alam yang lama bunting
menenggelamkan ragawi dalam nikmat kepulasan tak berjarak
dengan selimut udara sama mengalir antara Barat dan Timur
dengan igauan nyaman tanpa suara antara Utara dan Selatan

Aku terbelalak dalam gelap yang nyenyak
membuat berbagai ciuman segala rupa
bagi para dewata yang menari bersamaku

Monday, October 27, 2008

Ultah Bernard


Tanggal 26 Oktober, lima tahun lalu aku mengerang di persalinan keduaku. Tidak sesakit waktu kelahiran Albert. Aku kira ada mukjijat besar saat aku melahirkan Bernard. Bagaimana tidak?
Hari Sabtu aku masih bekerja hingga siang. Aku serahkan surat permohonan cuti pada Rm. Zwaard lalu tidak langsung pulang tapi belanja dulu di Matahari. Mencari beberapa keperluan bayi. Ada yang belum sempat dibeli dalam belanja terakhir. Pulang dengan dua tas besar berisi popok, perlak, baju bayi dan makanan untukku sendiri. Sejak hamil Bernard aku sangat hobi makan mie, jadi di rumah harus tersedia mie instan, mie telur dan berbagai jenis mie olahan.
Sudah sore ketika tiba di rumah, rasa pegal menyerang pinggangku. Tentu saja hamil besar selalu dengan tidur yang tidak nyenyak. Berkeringat, salah posisi, salah hati, ...sudahlah, pokoknya repot.
Hari minggu pagi, Albert bangun langsung lari ke sebelah ke rumah Ezra, main. Mas Hendro ngajak misa, aku menolaknya. Rasanya sangat capek. Aku gak mau pingsan di Gereja. Pengalaman saat hamil Albert aku dua kali pingsan saat ikut misa. Malu, perut besar digotong entah siapa. Jadi Mas Hendro berangkat sendiri dengan pesanku, jangan matikan HP. Disilent aja, karena aku akan telp daftar belanjaan yang belum sempat kebeli kemarin.
Begitu Mas Hendro berangkat, aku mengalami kontraksi. Pengalaman dulu, pasti ada proses dalam kontraksi, jadi aku santai-santai. Mandi, sarapan. Tapi kontraksi itu semakin cepat. Pukul stgh 9 aku gak tahan, telp Mas Hendro. Aku mendengar lagu Bapa Kami lewat telp yang sudah diangkat oleh Mas Hendro. "Gak usah belanja dulu. Pulang aja. Perutku sakit nih."
Tidak sampai sejam Mas Hendro sudah tiba di rumah. Barang-barang persalinan aku siapkan kilat. Kain-kain, sarung, baju atasan longgar, banyak pakaian dalam, alat mandi dan baju bayi satu stel. Diantarkan ke Klinik Xaverius, Sr. Irma menyambut dengan senyum,"Ah, masih bukaan 2. Masih lama. Malam paling cepet. Tapi gak usah pulang. Sana, jalan-jalan saja."
Ya, wis. Mas Hendro aku suruh pulang untuk nemani Albert dan aku menikmati lorong-lorong klinik. Sejam kemudian aku merasakan kontraksi yang semakin cepat dan lama. Bel di atas dipan aku bunyikan. Sr. Irma datang dengan mata tak percaya melihat aku sudah sampai pada bukaan 8, cepat jadi 9 dan 10, siap untuk mengejan dan melahirkan. Berikutnya proses kelahiran sangat menyenangkan. Bu Isye membantuku mengatur nafas, sedang Sr. Irma mendorong perut dengan aba-aba untuk mengejan. Tidak lama, Bernard lahir. Nyaris tanpa tenagaku. Bayi yang sangat kuat, punya dorongan sendiri dari dalam. Aku menangis ketika kepalanya ada di dadaku, dengan tali pusat yang masih terhubung dengan rahimku. Bayi hebat.
Tidak ada sakit sama sekali setelah itu. Yang ada adalah kelegaan dan kenikmatan.
Itu sudah lima tahun lalu. Lama sekali. Kini Bernard sudah bukan bayi. Tapi tetap hebat dengan dorongan semangatnya yang luar biasa. Dia punya minat yang tinggi pada banyak hal dan sangat fokus. Jika sudah konsentrasi, aduh wajahnya serius sekali. Memang, keras kepala. Tentu saja sama dengan ibunya.
Selamat ulang tahun, Bernard. Senang mengalami kebersamaan denganmu 5 tahun 9 bulan 10 hari dengan segala peristiwa di dalamnya. I love you. (Pasti tanya : "Ai lopv yu itu apa bu?" Aku cinta padamu, Bernard.)

Ada apa?

"Ada apa denganmu?"

Pertanyaan ini berulang-ulang disampaikan oleh banyak orang beberapa hari ini.
Ada apa? Tidak ada apa-apa. Lihat tertawa masih menjadi milik wajahku. Jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan.
Aku tidak apa-apa.

Malam tanpa Tidur

Malam tanpa tidur adalah percakapan panjang antara ombak dan bibir pantai
menjadi hasrat perjumpaan yang mengental di ujung-ujung syaraf
andai ada sayap-sayap pinjaman yang bisa dipakai pengelanaan tanpa ruang ini
andai ada kaki-kaki peri yang boleh dipakai pengembaraan tanpa masa ini

Malam tanpa tidur adalah kerinduan pada batas cakrawala di ujung penglihatan
ranum seolah ada tapi melingkar tiada henti memperolok rasa capek
andai ada mata lain yang bisa membantu igauan demam dini hari
andai ada telinga lain yang bisa mendengar impian prematur menjelang subuh

Aku terpejam dalam terang matahari
menanti ciuman abadi para dewata
tempat berlabuh segala wajah rasa

Saturday, October 25, 2008

Keranjang Bambu Logika

Logikaku tercecer-cecer dari 'hanya' keranjang bambu yang kupunya
menjadi anak tiri bagi nafas tersengal

(
Bagaimana hidup berpikir tanpa logika?
Adakah masa depan bagi keindahan tanpa logika?
)

Friday, October 24, 2008

Sungai dan Sawah

Kemarin sore Albert dan Bernard merengek,"Ke kali sih, bu.."
Aku tunjukkan langit yang mendung dan hujan mulai turun. Mereka rela hati menerima penolakanku. Tapi biasanya aku juga jarang menolak, jika langit cerah, karena aku juga suka pergi ke sana.
Sungai (kali) dan sawah memang tempat favorit kami. Ini tempat murah meriah yang bisa dikunjungi setiap saat karena dekat dengan rumah. Hanya jalan kaki beberapa ratus meter sudah nyampe. Sering kami bertiga (Minus Den Hendro, karena beliau ini suka payah kalau gak mood. Kali kurang greget tempat ini dibanding Rinjani, Semeru, Gedhe dll yang pernah didakinya. Padahal asyik lo.). Aku, Albert dan Bernard bisa berjam-jam di dua tempat ini. Mereka berdua akan asyik masuk ke air. Aku selalu heran kalau melihat mereka bisa menangkap ikan atau udang atau kepiting atau keong dengan cepat pakai tangan telanjang mereka. Aku setengah mati tercebur-cebur pun hanya dapat cetul kecil-kecil.
Akhir-akhir agak menyedihkan. Sungai tempat biasa kami nongkrong dipakai orang untuk membuang sampah. Padahal airnya juga sudah tinggal setetes-setetes. Dan sawah beberapa petak itu (ya, sawah ini udah dekat dengan perumahan-perumahan yang di kapling-kapling) tinggal nunggu waktu saja untuk berubah wajah.
Ada yang punya sungai dan sawah lain yang bisa kami kunjungi?

Krishna dan Arjuna

Aku ini seperti Arjuna, walau beda kelamin (ah, gak yakin juga apakah Arjuna benar-benar laki2?). Selalu penuh keraguan, bimbang, dengan perasaan yang kuat pada segala. Maunya pada 'cinta' tapi selalu pada 'jatuh'.
Aku selalu butuh Krishna untuk memutuskan sesuatu, bahkan bukan hanya satu Krishna. Dia yang bisa meluruskan kembali bahwa kewajiban lebih luhur ketimbang hanya rasa. Kewajiban akan membawa dampak bagi kebenaran sedang rasa akan selalu bimbang di antara dua tebing. Meloncat kesana kemari.

Thursday, October 23, 2008

Protes Malaikat

Aku mendapat protes dari malaikat.

"Ciuman mana yang kau rasa? Kapan? Bagaimana?"

Astaga! Tentu saja aku langsung duduk tegak. Memandang matanya tajam. Sebenarnya menampar wajah polos malaikat sangat nikmat kelihatannya, tapi tentu saja aku tidak boleh melakukan kekerasan semacam itu.

"Lihat! Matahari berjuta kilometer jauhnya dari bumi. Bunga-bunga bisa merasakan ciuman hangatnya. Menjadi mekar, berbuah, berbiji, melakukan regenerasi. Ini soal kepekaan."

Matanya tak percaya.

"Dan bukan urusanmu, kamu merasa mencium atau tidak. Urusankulah untuk merasakan ciuman itu, entah disadari atau tidak oleh yang memberi ciuman. Ini soal kepekaan."

Matanya semakin membulat. "Mana mungkin aku mencium tapi aku tidak merasakannya?"

Hiks, mau tidak mau aku memang harus menamparnya.
"Jadi, sekarang mulai rasakanlah! Rasakan saat kau menciumku! Itu hakmu, kekasihku!"

Wednesday, October 22, 2008

Senyuman

Hari ini aku bangun dengan senyum. Dan hebat, hingga sekarang aku masih tersenyum. Kuat juga daya sebuah senyuman walau kubuat sendiri untuk diriku sendiri. Ouw, malah aku dapat senyuman banyak dari berbagai pihak.

Keteganganku mulai menguap sedikit demi sedikit. Dan rasa mual dalam perutku juga mulai menghilang. Yah, leherku masih agak beku. Tapi ciuman sedikit dari malaikat sebelum senja nanti atau sebelum tengah malam nanti atau sebelum pagi besok atau sebelum tahun depan atau sebelum kematian, pasti akan sangat membantu. Memikirkannya saja aku sudah tidak merasakan sakit.

Hari yang romantis. Serius!

(Kayak-kayaknya aku udah lupa batu besar yang menimpaku kemarin, kemarin, kemarin dan kemarin. Padahal masih ada, cuma sekarang ini aku tertimpa batu sambil tersenyum. Kalau kemarin, kemarin, kemarin dan kemarin aku tertimpa batu sambil meringis.)

Tuesday, October 21, 2008

Hari yang Sibuk 2

Hari ini pun masih jadi hari yang sibuk. Editan harus selesai. Tapi juga harus mondar-mandir ke beberapa tempat.
Bertahan, bertahan, bertahan...

"Tidak apa-apa Yuli, tidak selaras juga tidak apa-apa. Pasti akan ada nikmat dari alam yang baru dan lain ini."

Ya, aku menganggukkan kepala, dan bersender pada bidang tidak nyata yang sekarang ini ada di depanku. Melukis di sana dengan warna-warni pelangi, yang juga tidak nyata.

Kini pada akhir terang matahari, aku menangis pada rangkulan embun. Embun yang kelewatan aneh tingkahnya, datang pada sore, khusus untuk mengisi kubangan sudut mataku.

Hari yang Sibuk

Kemarin adalah hari yang sangat penat. Pagi bangun dengan rasa sakit di belakang tengkuk dan ulu hati. Rasa mual yang aku rasakan dari dua hari sebelumnya saat masih di Puncak dan Jakarta terasa menguat. Aku tidak mau menuduh hatiku mulai bermasalah lagi (padahal memang 'hati' ku sedang bermasalah. ihiks!). Tidak mau memasak maka sarapan pagi dengan nasi uduk, beli. Hanya sedikit yang masuk ke dalam perutku. Albert sudah diantar bapaknya karena ada les melukis. Karena motor masih dibawa Bejo, aku berencana naik bis saja bareng Bernard. Pasti Bernard juga akan suka. Dan lagi, aku gak kebayang bawa Mio dengan kepala yang sangat berat itu.
Menjelang pukul 8 malah Bejo muncul dengan Mio. "Kan aku udah SMS aku naik bis saja." Entah jawaban apa dari Bejo gak gitu kedengeran, ya sudah. Memang kuping tua. Jadi aku mempersiapkan diri dan Bernard untuk berangkat. Bejo dan Bernard separoan makan nasi uduk. (pasti kurang deh, Jo. masih lapar kan?)
Aku memegang erat jaket Bejo yang kok ngebut minta ampun. Atau perasaanku saja entahlah, rasanya aku duduk melayang di jok belakang. Sekali sudah dekat sekolah kena jalan yang tidak rata baru aku mendarat di jok. Bernard pun diem-diem di antara kami. Entah dia takut atau tidak dibonceng begitu sama Bejo. Setelahnya langsung ke Radio Suara Wajar. Aku mencengkeram jaket Bejo kencang. Gak kerasa ya Jo? Lemas sekali jadi gak mau ngomong apa-apa. Dalam hati aku juga berharap cepat sampai di kantor.
Kerjaan di dalam komputer membuatku lebih lemas lagi. Tapi aku harus mengerjakan. Okey, pelan-pelan Yuli, urai dari yang bisa dulu. Maka aku buat tanda salib, lalu mulai mengedit satu demi satu naskah Nuntius yang sudah diketik oleh Eka dan Putri. Satu per satu, pelan-pelan. Beberapa kali minta maaf pada romo Tedens yang mesti mengerjakan sendiri persiapan rekoleksi, juga pada fr. Is yang mondar-mandir terus sibuk sana-sini. Juga pada romo Tri yang dicuekin aja, nanggapi obrolan sambil mata di komputer. Tengah hari agak segar dengan obrolan dengan seorang kekasih di ujung dunia 'tidak nyata', jauuuhhhh disana negeri antah berantah.
Makan siang hadir lewat Sr. Robert terkasih. Tapi maaf, suster, walau nikmat perutku agak mual. Jadi aku makan sedikit saja, kecuali mangga ranum enak yang sudah diiris.
Usai itu tenggelam lagi dalam tumpukan huruf, kata, kalimat, naskah... Pukul 4.30 sore aku melesat sebentar ke tempat rekoleksi. Melihat apa yang terjadi di sana. Ohh...semua beres. Jadi aku tidak perlu ada di sana. Maka aku kembali ke tumpukan huruf, kata, kalimat, naskah, yang kemudian bercampur dengan obrolan mesra dunia 'tidak nyata' yang rupanya terus membuntuti duduk di sebelahku tidak mau pergi.
Makan malam bersama para peserta rekoleksi. Nebeng gak papa. Setelah itu memaksakan diri mengedit kembali tapi sudah caapppeeekkkk..... Baca buku sebentar hanya tiga halaman karena setelahnya mual lebih terasa dengan putaran-putaran gelap di sekitarku. Jadi aku buka email, membalas beberapa surat, kemudian,"Mari, kekasih. Kita pulang dulu. Aku perlu tidur. Tumpangkan dulu tanganmu di atas kepalaku." Ah, ngambek dia. Tidak ada tumpangan tangan berkat apapun. Menyedihkan. Aku tersuruk dalam nestapa.
Mio aku pacu sangat pelan. Butuh setengah jam lebih kayaknya sebelum tiba di rumah. Gak mau jatuh. Jam 9.00 rumah kok sepi? Oya, pasti bapak dan anak-anak sedang ikut rapat panitia pengantin di Bude Tarno. Baru sebentar naruh tas kedengaran jeritan Albert dan Bernard.
"Ibu, temani ngerjain ini."
Astaga, ada prakarya yang harus dikerjakan Albert. Merobek-robek kertas untuk kemudian dilem di kertas yang sudah digambari. Butuh waktu satu jam lebih untuk pekerjaan itu. Jam sepuluh lebih prakarya itu selesai ala kadarnya dengan mataku dan mata Albert nyaris tertutup karena ngantuk berat.
Mandi harus dilakukan karena badan sangat kotor. Usai itu terkapar kecapekan. Jiwa dan raga. Sungguh. Tidur tanpa mimpi. Tidur yang sangat kurus tegang. Kurang.

Monday, October 20, 2008

Manusia Bukanlah Sampah


[Mirifica]Demikian tema umum yang diangkat dalam Pertemuan Nasional Komisi Keadilan, Perdamaian dan Patoral Migran-Perantau KWI (Pernas KKPPMP - KWI) pada 15 - 18 Oktober 2008 yang lalu. Pemilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh fakta rusaknya wajah Allah dalam keseluruhan ciptaan-Nya yang ditandai dengan maraknya praktek perusakan lingkungan, korupsi, perdagangan manusia dan demokrasi yang tidak dijalankan sepenuh hati. Pernas yang diselenggarakan di Via Renata, Cimacan-Puncak ini dihadiri oleh 58 orang peserta. Mereka adalah utusan dari komisi / lembaga / biro / sekretariat / panitia / bagian / unit / penghubung Pastoral Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau (PKPPMP) Keuskupan-keuskupan se-Indonesia, utusan beberapa tarekat, para pengamat proses, dan para pengurus inti dari KKPPMP-KWI. Mereka terdiri dari seorang Uskup, 27 pastor, 1 bruder, 11 suster, 2 frater dan 16 awam.

Pernas dibuka dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Keuskupan Bogor, Mgr. Michael Angkur, OFM. Mgr. Angkur dalam kotbahnya menekankan betapa pentingnya menjaga serta memelihara keluhuran martabat manusia (Kej. 1: 26-27; Kej. 2:7). Hal ini diungkapkan dengan mengambil contoh realitas perdagangan manusia di wilayah Keuskupan Bogor. Setelah Ekarisi, acara pembukaan Pernas dilanjutkan dengan dengan pemukulan gong dan pelepasan burung merpati bersama oleh Mgr. Mandagi, MSC, Mgr. Angkur, OFM, Sekretaris Komisi, Ketua Panitia dan perwakilan regio-regio sebagai simbol keadilan dan perdamaian.

Nara Sumber
Sebagai roh dari keseluruhan pertemuan ini, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. sebagai ketua KKPPMP-KWI memberikan pendasaran teologis berdasarkan teks Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja serta pengalamannya sebagai uskup yang terlibat dalam perjuangan keadilan dan perdamaian dalam situasi konflik di Maluku. Dalam paparannya Mgr. Mandagi menegaskan betapa perjuangan keadilan dan perdamaian tidak melulu diperjuangkan di luar lembaga Gereja, namun harus diperjuangkan pula di dalam lembaga Gereja. Kita, demikian Mgr. Mandagi menegaskan, harus mendasarkan seluruh gerak hidup dan perjuangan pada nilai-nilai kebenaran serta dari gerak Roh Allah sendiri.

Selain Mgr. Mandagi, tema "Manusia Bukanlah Sampah" tersebut pun diperkaya masukan para narasumber dari berbagai sudut pandang yaitu : Rista Sihombing, S.Sos.MA. (Perdagangan Manusia), Teten Masduki (Korupsi), Dr. Maria Ratnaningsih, SE.MA. (Lingkungan Hidup) dan Drs. Arbi Sanit, MA. (Pemilu 2009).

Sedangkan seluruh proses didampingi oleh tiga pengamat proses yaitu: Rm. J. Adi Wardaya, SJ. (Koordinator GATK Indonesia), Rm. Dr. A. Sunarko, OFM (Dosen STF Drijarkara, Jakarta) dan Drs. Fransiskus Borgias, L.Th. (Dosen Unika Parahyangan, Bandung).

Keprihatinan & Reksa Pastoral Bersama
Selama pernas, peserta bergumul dan berdiskusi dengan empat keprihatinan yaitu: Perdagangan Manusia, Lingkungan Hidup, Korupsi, dan Demokrasi (Pemilu 2009). Para peserta menyadari kompleksitas atas pemasalahan-permasalahan tersebut sehingga -pada akhirnya- peserta sepakat untuk memberikan fokus pada gerakan bersama untuk KKPPMP- KWI yaitu PERDAGANGAN MANUSIA dan LINGKUNGAN HIDUP. Dua bidang ini, menurut peserta, perlu mendapatkan perhatian serius dari Gereja, lembaga pemerintah dan non pemerintah, serta semua pihak.

Untuk itu, dirumuskanlah reksa pastoral sebagai sebuah strategi bersama yang akan diperjuangkan oleh komisi / lembaga / biro / sekretariat / panitia / bagian / unit / penghubung Pastoral Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau (PKPPMP) Keuskupan-keuskupan se-Indonesia dan tarekat-tarekat yang turut hadir dalam pernas tersebut. Reksa pastoral bersama tersebut adalah PEMULIHAN, PEMELIHARAN DAN HAK HIDUP ATAS: 1) MARTABAT MANUSIA YANG DIPERDAGANGKAN, DAN 2) LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF KEADILAN MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KOMUNITAS BASIS DAN ADVOKASI DALAM KERJASAMA DENGAN BERBAGAI PIHAK.

Rekomendasi
Di akhir pernas, para peserta membuat sebuah rekomendasi yang ditujukan kepada KWI, para uskup se Indonesia, para ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian serta Komisi Migran dan Perantau seluruh Indonesia, para pimpinan tarekat seluruh Indonesia, pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memberikan perhatian terhadap seriusnya persoalan hak hidup atas martabat manusia sebagai korban perdagangan manusia dan pemulihan serta pemeliharaan hak hidup atas lingkungan.[Dany Sanusi OSC]


Perjalanan Lampung - Via Renata

Biasanya tiga empat hari merupakan waktu terlama bagiku menginap di luar rumah tanpa suami dan anak-anak. Kali ini seminggu lebih. Dari tanggal 12 hingga 18 Oktober. Sebelum pergi juga heboh dulu, karena mesti belanja makanan stock seminggu untuk para terkasih itu. Kulkas full, disertai catatan tertempel di meja belajar Albert. Isinya? Ya, hari apa mesti ngapain. Urusan sehari-hari yang aku tangani di luar kepala, mesti dicatat rapi bagi Den Hendro tercinta. Selain itu ada catatan lain untuk Mr. Bejo yang akan membantu antar jemput Albert saat les tambahan. Thanks ya Jo. Gusti Allah sing mbales. Catatan juga mesti dibuat untuk Om Khairil, karena tugasnya tambah. Biasanya dia hanya menjemput anak-anak pulang sekolah, seminggu ini dia harus antar jemput. Lalu untuk Wawak, yang akan momong Albert dan Bernard sepanjang siang, sebelum bapaknya pulang. Urusan beres, malah aku yang belum beres. Ya gimana, Nuntius keleleran, rancangan Pelatihan MO untuk para buruh belum kepikiran, belum lagi permintaan romo vikjen untuk mbantu acara tanggal 20, persis setelah aku pulang, dll urusan yang seaprek-abreg.
Agak gamang saat berangkat ke bandara. Beberapa bawaan aku batalkan, karena aku ingin perjalanan ringan yang nikmat. Spesial untuk 'cuti' dari pekerjaan kantor dan rumah. Sepertinya kan asyik tuh bisa begitu. Maka perjalanan aku set dengan nikmat. Baju bawa sedikit saja, nanti bisa pinjam Yeni sesampai di Jakarta.
Dan memang perjalanan yang menyenangkan. Pesawat delay 1,5 jam tidak jadi masalah. Bahkan naik busway nyasar hingga Pulo Gadung pun nikmat. Tiba di Karet, hanya Mak Ti yang masih terjaga. Yeni seanak suami sudah senyap. Maklum, mereka juga baru nyampe Jakarta habis mudik Kediri. Aku juga gak berminat mengganggu mereka.
Maka aku cari makan sendiri di tengah malam, ganti celana panjang dengan sarung. Cuci muka dan ngelesot di depan TV. Hingga pagi terbangun dengan kelonan manis Yeni plus Aya dan Uya, yang serentak menghamburkan ciuman di pipi.
Tak banyak waktu. Pukul 8 aku sudah dalam perjalanan ke Klender dengan taksi. Yang sedikit menjengkelkan rupanya harus menunggu hingga pukul 11 lebih baru berangkat ke Puncak, tempat acara. Its okey, aku bisa tahan.
Pelatihan JP lumayan. Aku dapat banyak hal yang menarik. Jadi tidak terasa capek. Bahkan sebelum memulai Pernas tiga hari kemudian, ada kesempatan untuk jalan-jalan ke kebun organik Rm. Agatho. (Ingetin untuk cerita tentang ini secara detail ya. Aku akan menulisnya untuk Nuntius.)
Pernasnya sedikit membosankan. Tertolong karena aku diminta masuk dalam tim perumus, sehingga mau tidak mau aku harus berpikir keras masuk dalam proses yang dirancang. Tapi tidak begitu ada greget. Entahlah.
Manusia bukanlah sampah. Itu tema utama. Ingin menekankan pada martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang luhur yang sudah mendapatkan karunia alam semesta yang luar biasa. Maka tidak boleh dirusak oleh siapapun. Ini yang harus disebarkan pada semua makluk.
Perjalanan pulang sedikit aneh. Aku seperti berjalan di atas awan sejak keluar dari ruangan pernas hingga sampai rumah dan sekarang ini. Melayang-layang. Bahkan kegembiraan bertemu orang-orang di rumah juga tetap dengan background awan melayang, bukan bumi. Tetap menarik sih...karena ada sesuatu...yang entah mengapa terus melekat hingga saat ini di otak, hati dan rahimku. (Payah juga aku ini. Sudah jadi seorang ibu tapi tetap punya jiwa yang liar kayak preman. Gak ketulungan!!)

Puncak

perjalanan menuju puncak adalah keindahan
terserah mau dimana puncak itu
bagaimana puncak itu bisa ada, pun biarlah

aku akan terus berjalan menuju ke sana!

Ciuman Malaikat

Siang, sebelum makan siang yang belum direncana, bibirku direnggut oleh malaikat. Awalnya adalah sentuhan lembut di ujung bibir. Lalu tiba-tiba ciuman itu sudah memagut erat seluruh jiwa. Demam membeku aku tak berkutik.

Siang, sebelum makan siang yang belum direncana, malaikat itu mampir mengibarkan seluruh pesonanya. Aku tak berdaya kecuali menelan ciuman itu, menekannya dengan lidahku, supaya masuk ke dalam perutku.

Kini aku terkapar dipeluk igauanku sendiri. Dengan sisa-sisa hangat. Bekas ciuman malaikat, yang aku tunggu lagi datangnya. Entah kapan.

Krishna

aku mendapatkan Krishna di puncak dingin
tangannya menyentuhkan berkat di atas kepalaku
seperti cakra matahari berputar tangan kirinya
sedang tangan kanannya semburan air sejuk bagi jiwa
menampi kerentaan dalam perjalanan inkarnasi

Krishna hadir dalam hujan petang menjelang Mahabarata
di belakang kereta aku erat di sabuk pingganggnya
putih dan hitam melaju bagi kami
menembus persiapan perang di ruang masa

mungkin ada anak-anak liar Krishna
yang telah bersemayam dalam tubuhku

mungkin ada juraian rambut Krishna
sedang mengkili-kili pikiranku

mungkin ada mimpi dan igauan lain nanti
saat tidur dan bangun yang teratur.

(Puisi ini terinspirasi oleh seseorang dari Timur sana, yang berdiri dan duduk dengan gaya anak Dewa, sembarangan menebar pesona. Sayangnya, aku pun takluk di bawah telapaknya, yang sudah diurapi sebagai tertahbis.)

Teman-teman, puisi ini hanya salah satu dari jutaan puisi yang aku dapatkan dari Pelatihan dan Pernas KKPPMP KWI, Via Renata 12 - 18 Oktober 2008. Yang lain akan aku publikasikan nanti, setelah pengendapan satu persatu, sepanjang hidupku. Sebagai oleh-oleh buat kalian. Sabar ya...