Biasanya tiga empat hari merupakan waktu terlama bagiku menginap di luar rumah tanpa suami dan anak-anak. Kali ini seminggu lebih. Dari tanggal 12 hingga 18 Oktober. Sebelum pergi juga heboh dulu, karena mesti belanja makanan stock seminggu untuk para terkasih itu. Kulkas full, disertai catatan tertempel di meja belajar Albert. Isinya? Ya, hari apa mesti ngapain. Urusan sehari-hari yang aku tangani di luar kepala, mesti dicatat rapi bagi Den Hendro tercinta. Selain itu ada catatan lain untuk Mr. Bejo yang akan membantu antar jemput Albert saat les tambahan. Thanks ya Jo. Gusti Allah sing mbales. Catatan juga mesti dibuat untuk Om Khairil, karena tugasnya tambah. Biasanya dia hanya menjemput anak-anak pulang sekolah, seminggu ini dia harus antar jemput. Lalu untuk Wawak, yang akan momong Albert dan Bernard sepanjang siang, sebelum bapaknya pulang. Urusan beres, malah aku yang belum beres. Ya gimana, Nuntius keleleran, rancangan Pelatihan MO untuk para buruh belum kepikiran, belum lagi permintaan romo vikjen untuk mbantu acara tanggal 20, persis setelah aku pulang, dll urusan yang seaprek-abreg.
Agak gamang saat berangkat ke bandara. Beberapa bawaan aku batalkan, karena aku ingin perjalanan ringan yang nikmat. Spesial untuk 'cuti' dari pekerjaan kantor dan rumah. Sepertinya kan asyik tuh bisa begitu. Maka perjalanan aku set dengan nikmat. Baju bawa sedikit saja, nanti bisa pinjam Yeni sesampai di Jakarta.
Dan memang perjalanan yang menyenangkan. Pesawat delay 1,5 jam tidak jadi masalah. Bahkan naik busway nyasar hingga Pulo Gadung pun nikmat. Tiba di Karet, hanya Mak Ti yang masih terjaga. Yeni seanak suami sudah senyap. Maklum, mereka juga baru nyampe Jakarta habis mudik Kediri. Aku juga gak berminat mengganggu mereka.
Maka aku cari makan sendiri di tengah malam, ganti celana panjang dengan sarung. Cuci muka dan ngelesot di depan TV. Hingga pagi terbangun dengan kelonan manis Yeni plus Aya dan Uya, yang serentak menghamburkan ciuman di pipi.
Tak banyak waktu. Pukul 8 aku sudah dalam perjalanan ke Klender dengan taksi. Yang sedikit menjengkelkan rupanya harus menunggu hingga pukul 11 lebih baru berangkat ke Puncak, tempat acara. Its okey, aku bisa tahan.
Pelatihan JP lumayan. Aku dapat banyak hal yang menarik. Jadi tidak terasa capek. Bahkan sebelum memulai Pernas tiga hari kemudian, ada kesempatan untuk jalan-jalan ke kebun organik Rm. Agatho. (Ingetin untuk cerita tentang ini secara detail ya. Aku akan menulisnya untuk Nuntius.)
Pernasnya sedikit membosankan. Tertolong karena aku diminta masuk dalam tim perumus, sehingga mau tidak mau aku harus berpikir keras masuk dalam proses yang dirancang. Tapi tidak begitu ada greget. Entahlah.
Manusia bukanlah sampah. Itu tema utama. Ingin menekankan pada martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang luhur yang sudah mendapatkan karunia alam semesta yang luar biasa. Maka tidak boleh dirusak oleh siapapun. Ini yang harus disebarkan pada semua makluk.
Perjalanan pulang sedikit aneh. Aku seperti berjalan di atas awan sejak keluar dari ruangan pernas hingga sampai rumah dan sekarang ini. Melayang-layang. Bahkan kegembiraan bertemu orang-orang di rumah juga tetap dengan background awan melayang, bukan bumi. Tetap menarik sih...karena ada sesuatu...yang entah mengapa terus melekat hingga saat ini di otak, hati dan rahimku. (Payah juga aku ini. Sudah jadi seorang ibu tapi tetap punya jiwa yang liar kayak preman. Gak ketulungan!!)
sarungane kok jek pancet ae gak ketinggalan... jadi termasuk sing gak lali digowo yo...
ReplyDeleteYa endak apa-apa to Mbak, jiwa yang liar menandakan bahwa kita mempunyai semagat yang membara kok. Yah biar tetep awet muda dan tentunya masih tetap produktif untuk terus berkarya.
ReplyDeleteLaskar Awan
Tak kan terikat waktu...
Semangat...