Friday, March 29, 2019

Jawaban Yuli Nugrahani (5): Bagaimana kau melakukan puasa?

Dulu saat aku masih gadis, saat tinggal di Malang untuk kuliah, aku sering puasa. Motivasi utamanya sih jelas banget: supaya bisa ngirit secara bermartabat. Hehehe... Saat itu aku melakukan puasa kapan saja. Senin - Kamis, Selasa Rabu, Jumat Sabtu, Minggu, atau sepanjang minggu. Caranya macam-macam.

1. Dengan nganyep, makan makanan tanpa bumbu. Aku beli nasi putih, kumakan dengan tahu atau tempe rebus tanpa garam dan bumbu apa pun. Kadang memakai lontong, tanpa lauk apa pun. Kadang tambah telur rebus, dedaunan rebus, dan lain-lain. Kadang hanya nasi atau lontong dengan kacang goreng. Kacang goreng itu bisa memberikan rasa walau tanpa garam.

2. Dengan tidak makan dari jam 6 pagi hingga 6 sore. Selebihnya makan ala kadarnya yang bisa kujangkau, bisa roti murah meriah, biskuit, nasi murah yang ada di sekitar kost, atau sekadar susu/kopi/teh manis. Minum air putih sebanyak-banyaknya tanpa batas.

3. Dengan ngebleng. Tidak makan sama sekali dari jam 6 sore sampai jam sore hari berikutnya. Ini pun kulakukan tanpa meninggalkan air putih. Jadi isi perutku adalah air putih yang kuminum saat mulai lapar. Aku bisa kuat ngebleng satu hari, lalu makan seharian, ngebleng lagi, dan seterusnya.

Nah, setelah menikah, puasa tak bisa kulakukan lagi sesering itu. Paling hanya saat prapaskah selama 40 hari, dengan cara makan secukupnya tidak sampai kenyang, mengurangi nasi, dan pantang makan daging apa pun kecuali ikan murahan ukuran kecil dan pemberian. Nah, pemberian apa pun tak ingin kutolak. Diberi apapun pasti kuterima. Ini lebih menguat sekarang ini. Tidak menolak apa pun ini juga termasuk tidak menolak orang, tidak menolak peristiwa apa pun. Jadi bukan hanya soal makanan atau materi tertentu, tapi soal tidak menolak ini kumaknai lebih dalam sebagai latihan untuk sampai pada sikap pasrah, iklas, rela.

Memang sih belum pada tataran yang ingin kucapai karena aku sering menolak hal-hal tidak aku suka (wajar tapi karena ini tahapan belajar mestinya tidak begitu). Ini juga tentang tidak menolak untuk terus berbuat baik. Jangan artikan bahwa aku tidak menolak hal-hal jahat atau perilaku buruk, justru sebaliknya. Ukurannya adalah Sang Sumber sendiri. Nah, ini urusan yang lebih rumit, tapi aku yakin aku bisa mengembangkan kepekaan untuk mengetahui ukuran Sang Sumber. Aku yakin.

Selain puasa 40 hari pada masa prapaskah, aku kadang-kadang ikut puasa ramadhan. Ini mudah karena suasana di sekitarku, sekitar rumahku, sekitar lingkungan pergaulanku pasti dalam suasana puasa. Jadi ketika bersama teman-temanku yang berpuasa aku pun ikut berpuasa, ikut berbuka puasa, ikut mencari takjil dan sebagainya.

Aprilia Sucipto dan Mimin Onggo Inggi

Sumber internet.
Beberapa minggu terakhir ini aku punya kesukaan baru, yaitu mendengarkan kerawitan, campur sari atau limbukan wayang, khususnya yang menayangkan Apri dan Mimin. Tahukah kalian siapa mereka? Mereka itu sinden laki-laki asal Jawa Tengah yang bersuara keren. Cek deh di youtube, mereka berkeliaran di banyak chanel.

Awalnya adalah aku tak sengaja nyasar di chanel Hitam Putih. Deddy Corbuzer mewawancarai duo sinden ini. Jadinya kepo aku browsing mencari tahu siapa mereka.

Walah, malah keterusan. Kalau mereka tak mengaku sebagai laki-laki, aku pasti terkecoh karena mereka dandan dengan rapi, cantik dan luwes. Mereka ngaku bagian-bagian tertentu diganjel supaya tampak seperti lekuk tubuh perempuan. Tapi kok ya wangun juga ya. Hehehe... Karena itulah mereka membuat singkatan-singkatan lucu untuk ngungkapi bahwa mereka perempuan palsu.

"Sucipto, susu lancip diganjel boto."

"Susuki, jare susu jebul kaos kaki.

Yang paling kusuka dari mereka adalah suara mereka yang nyampleng asyik. Bahkan aku sudah lihat beberapa single Apri yang menyanyikan lagu Jawa dengan klip yang oke. Selain itu ya beberapa acara wayangan saat mereka jadi bintang tamu saat limbukan untuk lucu-lucuan. Gara-gara ini juga aku jadi suka Ki Dalang Seno Nugroho yang beberapa kali pentas dengan mengundang mereka. Entar kutulis tersendiri deh tentang wayang yang dimainkan oleh Ki Seno Nugroho ini.

Nah, sejauh pengenalanku yang kuingat, nama Apri, Aprilia Sucipto, atau Princes Apri ini aslinya adalah Panut, bekerja di bengkel milik bapaknya dan pernah sekolah seni. Dia ngaku sebagai laki-laki tulen, tapi kalau ngamat-amati geraknya ya dia ini banyakan feminimnya, ndak kelihatan maskulin blas bahkan saat pakai beskap atau baju biasa tanpa dandan. Cantik dan luwes banget. Narinya juga okey keren, bikin ngiri aja kalau lihat bodynya.

Mimin sering ngenalin namanya panjanggg... lupa. Yang kuingat cuma Mimin Onggo Inggi. Nama aslinya Sukimin. Suaranya masih kedengeran laki banget dan postur tubuhnya lebih macho. Kalau udah ngomong dia nih malah lebih cerewet dan lucu.

Aku masih penasaran pengin lihat wajah asli mereka berdua. Berharap bisa kenal juga secara langsung. Hoiii, ini ndak lebay tetapi kepo alias penasaran. Secara pribadi aku sih berharap mereka sungguh-sungguh laki-laki dan terus laki-laki, tapi tidak berhenti tetap menjadi seniman nyinden. Jika mereka berdua bisa bertahan seperti itu, yakin deh... bakal semakin keren. Apalagi kalau mereka mau terus belajar meningkatkan kapasitas mereka berdua soal suara, gerak, kostum, komunikasi, manajerial dan sebagainya.

Tuesday, March 26, 2019

Tiga Bulan Tanpa WA dan Sosmed

Sejak HPku error tak bisa dibuka lagi pada perjalanan bulan Januari lalu, aku menikmati hari-hari 'asyik' tanpa WA dan Sosmed. Awalnya adalah saat aku mendarat di Soetta terminal 3, HP yang kumatiin di Bandara Radin Inten II sejam sebelumnya tak bisa nyala. Kucoba beberapa kali, HP itu tetap hank. Aku duduk bengong di ruang tunggu terminal 3 sementara waktu. Aku janjian dengan Pak Thomas dari Semarang untuk bertemu di Soetta dan akan bebarengan ke Wisma Canossa Tangerang. Tak bisa kontak siapa pun, dan nomor yang kuingat dari ratusan nomor HP yang ada di memory HPku hanya nomor rumah dan nomor Mas Hen.

Sempat berharap Pak Thomas tiba-tiba muncul di terminal 3, tapi itu kemungkinan kecil. Jadi setelah beberapa menit duduk di ruang tunggu kedatangan, aku mencari pusat informasi.

"Tak ada telpon umum di sini, bu." Itu keterangan yang kudapatkan.

Wifi ada, jadi aku numpang duduk di information center, membuka laptop. Aku buka email dan FB, mengirimkan pesan ke beberapa orang yang bisa kuakses supaya mereka meneruskan pesanku itu ke Pak Thomas. Sampai lebih dari 10 menit belum ada respon. Si mbak informasi mencoba kartuku ke HPnya tapi tak berhasil. Jadi aku pasif menunggu di situ, sampai berpuluh menit kemudian tanpa respon dari email maupun FB.

Akhirnya Mas Hen menjawab pesan FB, dan mencari info lanjut supaya bisa kontak ke Pak Thomas. Si mbak meminta lagi kartu SIM HPku dan mencobanya di HPnya yang lain. Eh, begitu terpasang ada telpon masuk. Ternyata dari Pak Thomas, great. Aku memastikan lokasinya di mana, dan aku pun menyusulnya di terminal 2 karena rupanya kami mesti menunggu satu teman lagi dari Yogya akan bersama-sama ke Canossa. Ok, aman untuk kali ini.

Jadi, aku mengucapkan terimakasih banyak ke si mbak, dan membereskan barang-barangku untuk naik skytrain ke terminal 2.

Nah, sejak itulah HPku kuanggap hilang dari peredaran. Katanya harus diinstall ulang tapi sudah dicoba oleh Mas Hen dengan beberapa cara, tidak berhasil. Ujungnya adalah dijual oleh Albert di grup jual beli yang dia miliki. Laku dongggg... dapat Rp 150 ribu. Hehehe. Aku pun nggoteki HP lawas milik Mas Hen yang udah dipensiun satu tahun lewat. Tapi HP ini hanya bisa digunakan untuk telpon dan SMS. Hehehe... cukup deh.

Untungnya tidak memakai WA:
- Hidup lebih tenang. Tidak ribet oleh banyak pesan masuk entah japri atau grup.
- Jadi terbebas dari HP. HP tak harus melekat di tubuh seperti dulu-dulu. Bahkan ketinggal HP pun rasanya semakin biasa.
- Tidak direpoti segala hal. Kayaknya WA dan medsos itu membuat orang lebay yak. Ndak penting pun disodorin. Ndak penting pun dibuka-buka tiap detik.
- Jadi punya waktu banyak untuk mengerjakan hal-hal menarik yang kemarin-kemarin sering dilupakan: membaca, menulis, ngobrol, dsb.
- Kayak gitu deh.

Ruginya juga ada dong:
- Mula-mula soal ruginya HP rusak, yaitu: dataku ilang kabeh!
- Tak bisa kontak ke siapapun di mana pun secara murah dan mudah.
- Tak bisa menerima dan mengirimkan info/foto/video dll. Huh.
- Ketinggalan informasi. Jadi ndak update, alias katrok.
- Dimarahin banyak orang karena: "Kok menghilang?" (Jadi kayak orang sakti mandraguna yang punya mantra kesaktian bisa menghilangkan diri. Hehehe.)
- Nah gitu deh.

Monday, March 18, 2019

DIALOG PUBLIK : Perempuan Bersuara untuk Pemenuhan Hak Kesehatan dan Kesejahteraan

Sabtu, 16 Maret 2019 lalu, sebuah dialog publik digelar di GSG Gistng Bawah, Pekon Gisting, Kecamatan, Kabupaten Tanggamus. Aku dilibatkan sebagai moderator untuk dialog ini berduet dengan Gita Djausal, dosen FISIP Universitas Lampung. Tema yang diangkat adalah Perempuan Bersuara untuk Pemenuhan Hak Kesehatan dan Kesejahteraan.

Acara yang sangat singkat ini dihadiri oleh Bupati Tanggamus, Hj. Dewi Handajani yang memberikan point-point penting perhatiannya untuk kesejahteraan Kabupaten Tanggamus. Narasumber yang hadir adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggamus, Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Tanggamus dan beberapa calon legislatif yang akan masuk dalam bursa Pemilu di tingkat Kabupaten, Provinsi dan Nasional. Pesertanya cukup banyak, sekitar 500-an orang (kebanyakan perempuan) yang berasal dari organisasi masyarakat khususnya para ibu dari Kabupaten Tanggamus dan sekitarnya. Pun mengundang beberapa pembahas dari kalangan akademisi, Forum Anti Kekerasan (FAKTA) Tanggamus, WKRI Tanggamus dan Muslimat NU Tanggamus.

Tema ini diangkat dalam diskusi publik karena dikaitkan dengan rangkaian perayaan Hari Perempuan Internasional (8 Maret 2019), dan Kabupaten Tanggamus memang masing perlu melihat bagaimana pembangunan untuk mewujudkan hak kesehatan dan kesejahteraan ini karena beberapa situasi memprihatinkan yang masih melekat di sana, seperti masih tingginya jumlah kematian bayi dan ibu, masih ada anak-anak gizi kurang dan gizi buruk. Dan menurut data Kementerian Kesehatan RI, Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu lokus 160 Kabupaten/kota penurunan stunting 2018-2019. Pun persentase angka kemiskinan masih tinggi yaitu 13,25 %.

Bagiku sendiri, dialog ini memberiku banyak manfaat personal dan sosial. Aku bertemu dengan kelompok-kelompok yang sebagian dari mereka pernah berjumpa dulu, selain itu udah lama nian aku tak ke Gisting sejak beberapa bulan lalu. Jadi saat penyelenggaranya, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR memintaku untuk menjadi moderator, ya dengan senang hati aku menyetujuinya.

Kesempatan bertemu dengan Bu Dewi, ibu bupati Tanggamus aku gunakan juga untuk bercerita tentang PUSPA dan beberapa hal yang penting untuk isu perempuan. Ndak terlalu berharap yang besar, tapi minimal dia seorang bupati perempuan, hendaknya sangat paham bagaimana gerakan seperti ini semestinya diletakkan dalam kebijakan pembangunan.

Friday, March 15, 2019

Kumpulan Cerita Rakyat Lampung (Folktales from Lampung), Agatha Nila Sukma

Folktales from Lampung
(Kumpulan Cerita Rakyat Lampung)

Penulis: Agatha Nila Sukma
Editor: Nining Suryaningsih
Ilustrator: Wahyuningsih
Penata letak: Tim Senyum
Desain sampul: Kholid Senyum
Penerbit: Pustaka Media Guru, Surabaya
Cetakan pertama: Oktober 2018
Isi: viii, 138 hlm, 14,8 X 21 cm
ISBN: 978-602-482-379-5

Pagi ini aku menerima buku ini dari penulisnya langsung. "A special gift for Mbak Yuli. Enjoy the book." Tulis Nila di bagian depan buku yang berjudul Foltales from Lampung. Aku sangat girang menerima buku ini karena aku tahu tak banyak buku semacam ini beredar di Lampung, dan tentu saja karena ada satu tulisanku yang disadur olehnya, yaitu cerita tentang Sultan Domas (Dari Buku Sultan Domas Pemimpin yang Sakti dan Baik Hati, ditulis oleh Yuli Nugrahani, ilustrasi Budi Lilur, diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi Lampung tahun 2017). Huraaiiiii....

Ada 6 kisah yang dimuat dalam buku ini. Masing-masing disadur dalam dua versi: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
1. Sultan Domas
2. Crocodile the Pirate in Tulangbawang
3. The Legend of Ranau Lake
4. The Seven Sisters
5. Datuk Tuan Budian
6. The Origin of Small Anchovies in Tulangbawang

Setiap kisah disertai dengan pesan moral yang ingin ditonjolkan lewat cerita-cerita itu, misal untuk Sultan Domas dituliskan pesan moralnya:
- Hendaknya kita selalu menolong dan berbuat baik kepada orang lain.
- Mengampuni kesalahan orang lain adalah hal yang mulia.
- Jangan berputus asa menghadapi setiap masalah dalam hidup kita.
- Bekerja keras dan terus belajar adalah kunci keberhasilan.
- Jadilah seperti Domas yang tidak sombong dan rendah hati.
- Jagalah dan lestarikan selalu alam kita.

Nah, keren kan? Kini aku punya buku yang bisa kubawa kepada anak-anak/ orang yang ingin belajar tentang Lampung sekaligus tentang bahasa Inggris. Selain itu buku ini bisa kutunjukkan pada para sahabatku di luar sana yang tak tahu bahasa Indonesia seperti biasanya buku-bukuku kutulis.

Nila, terimakasih banyak ya. Terus semangat. Ndak usah berkecil hati kalau ada 'orang-orang besar' yang menolak. Mereka tak paham artinya perjuangan dan pendidikan. Biarin saja. Pokoke, maju terus pantang mundur. Aku menunggu kisah-kisah lain dalam buku-buku yang lain. Proficiat!

Tuesday, March 12, 2019

Jawaban Yuli Nugrahani (4): Apakah yang paling dibutuhkan oleh perempuan?

Yang paling dibutuhkan oleh perempuan adalah kepercayaan. Dipercaya. Aku tak bisa menjelaskannya seperti seorang ilmuwan disertai teori dan hasil penelitian, tapi aku akan merujuk diriku sendiri. Tentu saja (walau ini tak perlu) aku mesti mengingatkan bahwa aku adalah seorang perempuan, seorang manusia yang perempuan.

Aku masih tetap bekerja untuk justice and peace di Keuskupan Tanjungkarang, apa pun namanya. Sudah 19 tahun aku di bagian ini, tapi sebenarnya aku sudah memulainya jauh lebih lama, saat aku masih mahasiswa bersama dengan para pastur dan frater CM khususnya, juga lewat pertemananku dengan orang-orang seperti Ju, Ipul, bapak ibunya, PSK di bawah Kayutangan dan sebagainya. Dalam perjalanan misiku itu aku mempelajari banyak hal yang berguna bagi hidupku sekarang ini. Sebagian berguna untuk kerjaanku di Keuskupan, sebagian lain berguna untuk kehidupanku di rumah bersama suami dan anakku, dan juga sebagian besar lagi berguna bagi perkembangan diriku sendiri sebagai Yuli.

Jika aku mendapatkan sebuah kepercayaan, aku bisa menjawab "Ya." dengan mudah kalau itu terkait dengan hal-hal yang memang aku tahu atau bisa. Saat aku mulai melakukan komitmenku itu, hal-hal yang kutahu dan kubisa pun terasah dengan lebih baik, menjadi pengalaman-pengalaman lanjutan yang berharga.

Atau, jika aku mendapatkan sebuah kepercayaan sedang saat itu aku tak terlalu yakin dengan diriku sendiri, untuk banyak hal aku akan menjawab "Tidak.". Jawaban tidak akan menutup beberapa pintu yang semestinya bisa membuka bagiku. Namun tidak seluruh pintu. Jawaban tidak yang kulontarkan biasanya menyisakan banyak pekerjaan rumah yang memicu diriku sendiri untuk mengejarnya. Jadi, sebenarnya jawaban tidak untuk ketidakyakinanku itu sepadan dengan jawaban Ya yang kuberikan walau aku ragu-ragu dengan kemampuanku. Jawaban ya untuk kepercayaan yang dilimpahkan padaku akan membuatku mengejar aku yang mampu, aku yang bisa. Dan proses jatuh bangun membuat mampu ini adalah pengalaman pembelajaran yang luar biasa. Banyak pengalamanku tentang hal ini justru inilah yang menarik: Ya justru karena sulit. Hmmm, mungkin semacam tantangan bagi diriku sendiri, tapi banyak peristiwa justru membuktikan bahwa manusia termasuk perempuan diberi kemampuan yang jauh lebih besar/tinggi dibandingkan dengan yang dia ketahui.

Nah, apakah sifat seperti ini juga dimiliki oleh perempuan kebanyakan? Aku yakin. Aku sangat yakin. Perempuan perlu dipercaya memiliki keberanian, kemampuan, dan sebagainya untuk mengerjakan segala hal, seturut anugerah yang sudah dilimpahkan kepadanya. Itulah yang akan mampu dia bangun untuk hidupnya yang pada lanjutannya akan berdampak bagi hidup orang-orang di sekitarnya.

Ah, sebenarnya ini soal biasa kan? Laki-laki juga mendapatkan kepercayaan itu sejak lahirnya sehingga mereka bisa. Maka aku yakin jika perempuan mendapatkan kepercayaan yang sama seperti itu maka ia pun akan bisa dan mampu mendapatkan hal yang sama dengan laki-laki. Sewajarnya saja, memang begitu cara kita memperlakukan manusia untuk mendorong mereka, entah laki-laki atau perempuan.

Monday, March 11, 2019

Antologi Puisi Andi Suandi, PEZIARAH


PEZIARAH
Pejalan cahaya yang akan menembus ruang dan waktu karena kehendakNya

Penulis: Andi Suandi
Pengantar: Eka Budianta
Desain sampul: Andi Suandi
Lay out: Muali Midi
ISBN: 979-99394-1-0
Penerbit: Yayasan Seni Visual Indonesia
Cetakan pertama: Oktober 2013
Ukuran : 20X21 cm

Aku tak terlalu ingat tahun kapan aku mendapatkan buku puisi ini. Yang kuingat waktu itu aku selesai rapat di Cikini, seperti biasa mampir ke Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan harapan bisa melihat pertunjukan teater, atau pameran, atau ada buku bagus murah di kedai Bang Jose, atau nonton film entah apa gitu, atau sekadar nongkrong makan di warung-warung di halaman TIM.

Nah, waktu itu, ada pameran lukisan beberapa pelukis. Setelah berputar keliling menikmati lukisan-lukisan, aku dicegat di pintu masuk, yang juga pintu keluar untuk menulis buku tamu. Saat itu dua orang yang ada di situ bertanya dari manakah aku, tahu dari mana tentang pameran itu dan sebagainya. Saat aku menjawab aku dari Lampung, salah satu dari antara mereka menyebut nama Oyos, seorang wartawan. Ya, tentu saja aku kenal.

Jadilah kami ngobrol bertiga di meja di situ, toh aku juga tak sedang berburu-buru. Aku memberikan salah satu buku yang sedang kubawa dan sebagai gantinya aku mendapatkan buku kumpulan puisi dari salah satu pelukis itu, Andi Suandi.

Buku itu tersuruk begitu saja di rak bukuku, masih terbungkus plastik sampai tadi sore saat aku mencari-cari buku untuk kubaca, aku meraih buku tersebut dan membuka plastik pembungkusnya. 

Buku ini berisi 160 puisi, dengan judul sama: Peziarah Pejalan Cahaya. Dari 1 – 160 puisi yang ada, dalam daftar isi dijadikan 7 bagian. Yaitu: 1 – 61. 62 – 83 (pertemuan dengan peziarah Sai Baba, 84 – 102, 103 – 106 (pertemuan dengan peziarah Bawa Muhaiyaddeen), 107 – 116, 117 – 119 (pertemuan dengan peziarah Raden Ngabehi Ranggawarsito), dan 120 – 160.  Kebanyakan puisi disertai sketsa hitam putih, Sketsa Hitam Putih Peziarah, dengan penanda angka yang sama dengan puisi yang dimaksud.

Aku sedang tidak sabar untuk membaca seluruh puisi-puisi Andi ini, tapi ada satu puisi yang langsung melekat, menjadi sandungan, dan kubaca beberapa kali. Maka puisi-puisi yang lain kuabaikan, dan kusalin di sini secara lengkap:

peziarah pejalan cahaya #6

Bagaimana engkau bisa bebas dari Madu-Nya,
wahai engkau yang puas dengan tanda?
Apa yang lahir dari sifat dan nama?
Khayalan,
Namun khayalan yang menunjukkan jalan menuju Kebenaran.
Tahukah engkau arti nama,
jika tanpa hakikat?
Pernahkah engkau memetik sirih
Dari sederetan S, I, R, I, H?
Engkau telah menyebutkan nama itu
Pergi!
Carilah sesuatu yang diberi nama.
Bulan itu di langit
bukan di air. Itu hanya bayangannya.
Sudilah engkau berangkat
ke balik nama dan huruf,
sucikanlah dirimu sepenuhnya.

Dan saksikanlah,

Dari lubuk hatimu sendiri,
Seluruh pengetahuan para Nabi.
Tanpa buku
tanpa belajar,
tanpa pengajar.


Mungkin nanti saat aku membacanya lebih teliti, atau saat memindainya lagi, aku bisa menemukan puisi lain yang bisa menyandungku. Untuk sementara, ya puisi inilah yang bisa menemui hatiku.


Dan jika aku bertemu dengan Andi lagi pada kesempatan yang lain, aku akan senang bertanya-tanya padanya tentang puisi ini. Atau, kalau tidak bertanya-tanya, aku bisa menyatakan yang sudah kuungkapkan di sini, bahwa aku tersandung pada puisi ke 6 dalam buku ini. Mengapa? Karena puisi ini tampak paling sederhana dalam pemilihan kata dan kalimatnya dibanding puisi-puisi lain. Karena puisi ini tampak benar-benar menjadi puisi dalam perasaanku saat membacanya pada kesempatan pertama. Karena aku memang suka dengan puisi yang ini dibandingkan dengan puisi-puisi lain dalam buku ini.

Nah, tak usah protes. Jika kau menemukan puisi lain dari Andi yang ingin kau nyatakan, silakan tulis di komentar. Aku akan senang hati menggunakannya sebagai rekomendasi untuk kubaca ulang.

BISAKAH AKU MENJADI SAMUDRA PENAMPUNG SEGALA?

Bisa,
tapi aku adalah samudra dengan gelombang-gelombang
menerima aliran dari sungai-sungai
dan merangkul muara sepenuh daya.

Bisa,
tapi aku adalah samudra yang mengekor angin dan badai
mengikuti geraknya bahkan menjangkaunya
setinggi awan-awan sekuat banjir bandang.

Bisa,
tapi aku adalah samudra pada permukaan bumi bulat
mengalun ke seluruh penjuru mata angin
dan menikmati berdiam di palung yang dingin.

Friday, March 08, 2019

Makanan dan Senyuman

Masa puasa sudah dimulai kemarin, Rabu 6 Maret 2019. Akan berakhir pada Sabtu, saat Paskah nanti, 40 hari lagi. Tanda abu di dahi yang kami terima sekeluarga pagi-pagi pada Rabu kemarin mengingatkan bahwa selama 40 bulan ini tak ada daging ayam, sapi atau apa pun. Juga ikan-ikan kesukaan yang berdaging tebal. Boleh makan ikan yang kecil, macam teri, ikan asin jenis yang kecil, ikan laut yang kecil (krisi kecil, kembung kecil, pokoke yang kecil masih boleh sesekali). Biasanya ya tahu, tempe, jamur, jagung, kentang dll sejenis itu plus sayur mayur yang kumasak beraneka jenis. Mulai dari bayi, Albert dan Bernard tahu tradisi yang kami bangun bersama dan sejauh ini mereka menikmatinya.

"Gimana kalau ada yang ngasih ayam goreng?"

"Makan saja, jangan ditolak. Kalau ada yang ngasih ya dimakan saja."

Gitu. Tapi jangan meminta. Makan yang ada, dan jangan membuang atau menolak makanan.

"Nah, ikut bapak sembayangan atau kondangan. Boleh makan apa pun yang di sajikan."

Anak-anak lebih sering menolak tawaran semacam itu. Malulah. Hehehe... Makan sederhana selama 40 hari membuat kami lebih menghargai makanan, binatang dan orang lain. Percaya deh.

Pagi ini aku masak sayur labu dan telur goreng, plus kerupuk. Masih ada pisang dan kacang rebus. Aku bawa pisang dan kacang rebus itu dalam tasku sebagai bekal, dan perjumpaan dengan dua orang 'gelandangan' di jalan membuatku menulis judul di atas, makanan dan senyuman.

Usai melewati Rumah Sakit Abdul Muluk aku melihat seorang bapak yang sering kulihat tiap pagi berjalan mondar-mandir sekitar Jalan Teuku Umar. Dia sedang mengorek-ngorek sampah dan mengambil beberapa sisa makanan. Dia memakannya! Hati dan otakku terlalu lambat untuk mengingat pisang dan kacang rebus di tasku, makanan yang bisa sangat berguna baginya. Aku menyesali kelambanan hatiku sehingga tidak memutar balik juga untuk berbagi dengannya hingga kemudian di Jalan Raden Intan ada seorang ibu, dengan kantong plastik berisi beberapa jenis makanan yang tercampur baur. Terlihat jelas itu bukan makanan yang dipacking rapi oleh penjual atau olehnya. Hanya dijejalkan begitu saja. Bajunya berantakan, dengan kerudung yang asal saja diletakkan di kepalanya. Perempuan itu menatapku dan tersenyum. Huft.

Dua kata itu nancap di hatiku hingga sekarang. Makanan dan senyuman.

Thursday, March 07, 2019

Tutuplah Pintu dan Berdoalah PadaKu

Marilah, kekasih, datanglah.
Pintu sudah dibuka sejak pagi buta.

Sebuah cawan berisi abu basah oleh embun.
Melayang mesra di dahimu sebagai tanda.

Kini tutuplah pintu dan berdoalah padaKu.
Aku mengampunimu sebesar cinta maha.

(Rabu abu, 6 Maret 2019)