Wednesday, April 29, 2015

Pertama adalah Mata

Aku sudah pernah menjadi juri untuk beberapa bidang dalam penulisan atau di luar penulisan. Salah satu kesempatan kudapatkan baru saja dengan menjadi juri cipta puisi tingkat sekolah dasar (SD) untuk Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Propinsi Lampung, di Hotel Nusantara, Bandarlampung 24 - 27 April 2015. Ada 15 peserta yang ikut lomba dari 15 kota dan kabupaten yang ada di Lampung. Kisaran peserta dari kelas 3 sampai 5 SD.

Tema umum yang disodorkan dalam lomba ini adalah kebudayaan Indonesia, spesifik karena ini lomba tingkat propinsi Lampung maka yang harus ditulis oleh peserta adalah kebudayaan Lampung. Dengan waktu kurang lebih 3 jam, apa yang bisa diharapkan dari para peserta siswa siswi SD itu? Hmmm, ya dari banyak pengalaman untuk tingkat umur SD, puisi-puisi yang dihasilkan adalah puisi deskriptif, melukiskan apa yang menjadi tema.

Misal anak SD diminta menulis puisi tentang tarian Lampung. Mereka akan mengurai kata-kata yang melukiskan tarian Lampung, berdasarkan apa yang mereka pernah lihat. Puisi mengandalkan kata-kata yang muncul dari perasaan, yang didasari dari apa yang ditangkap oleh pancaindera. Tapi untuk para muda, anak-anak SD ini, penggunaan mata atau indera penglihatan secara optimal, adalah awal yang sangat baik dan tepat.

Dan ini memang sungguh awal yang baik bagi seorang penyair. Indera yang pertama dan paling optimal bisa digunakan oleh penyair untuk menjaring perasaan-perasaan puitik adalah mata, indera penglihatan. Lewat mata kita bisa melihat bentuk, letak, gerakan, warna dan sebagainya. Jika dituangkan dalam kata-kata, apa yang tertangkap oleh mata ini sangatlah banyak, luar biasa.

Kalau dalam FLS2N tingkat SD mereka melukiskan budaya Lampung, mulai dari tarian, alam, adat, dan sebagainya, kita bisa memakai sekitar kita sebagai latihan menggunakan mata. Mempertajam apa yang bisa ditangkap oleh mata kita sangatlah besar maknanya. Coba lihat di mejaku sekarang ini. Ada gelas nyaris kosong persis di depanku. Apa kata-kata yang bisa kuungkap dari gelas ini? Misalnya : bening, mengkilat, air, gelas, jernih, udara, kosong, pantulan, wajahku, bias, lengkung, lurus,cahaya, dll. dll. Dari kata-kata itu aku bisa merangkainya jadi puisi. Misal puisi pendek seperti ini :

Bening depanku
gelas mendamba air
wajah memantul.

Nah, mataku menangkapnya, dan jadilah puisi pendek. Jika aku menyimpannya, lalu mengeditnya, ini akan jadi salah satu bait dari puisi yang utuh nanti. Jadi, sungguh menyenangkan melihat anak-anak SD sudah memulai dari yang paling menyenangkan yang mereka tangkap lewat mata mereka, untuk dijadikan puisi. Salut.

Tuesday, April 28, 2015

TERCIPTA DARI TANAH YANG SAMA


Titik Temu bersama Dewi Nova

 (Dimuat dalam Swara Gender edisi 69/TahunXX/Januari-Maret 2015

Akhir tahun lalu saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember 2014, dengan menjadi editor bagi sebuah buku antologi puisi bertema HAM dengan judul Titik Temu. Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami tepat pada hari HAM dengan melibatkan 60 penulis dari seluruh Indonesia dan dari beragam kalangan. Buku ini telah diluncurkan dan dibahas di Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep Jawa Timur oleh Komunitas Kampoeng Jerami pada bulan Januari 2015. Selain itu juga dibedah dalam kegiatan rutin Komunitas Sastra Reboan, Bulungan, Jakarta pada Pebruari lalu. Menyusul kegiatan-kegiatan itu, dalam tahun ini beberapa agenda komunitas lain akan menyertakan Titik Temu sebagai bahan perbincangan seperti di Tangerang, Bandung dan Bengkulu.

Karena kebetulan saya terlibat di dalamnya, saya hendak memakai buku ini sebagai sumber inspirasi bagaimana martabat perempuan dimuliakan melalui tulisan-tulisan. Memang, puisi-puisi yang ada di sana tidak semata berbicara tentang perempuan, tapi hampir separuh dari seluruh penulisnya adalah perempuan. Sebut saja Ariany Isnamurti, (direktur PDS HB. Jassin, Jakarta), Siti Noor Laila (anggota komisioner Komnas HAM), Bunda Umy, Umirah Ramata, Chamelia dan beberapa teman pekerja perempuan di Taiwan (buruh migran dari Indonesia), juga ada beberapa aktifis sosial perempuan seperti Dewi Nova, Mariana Amirudin, Masita Riany dan sebagainya. Selain itu ada penyair-penyair perempuan lain yang terlibat meramaikan buku ini.

Tema-tema tentang perempuan mau tak mau menjadi warna dalam puisi-puisi HAM sebagai sarana penghormatan terhadap perempuan. Beberapa jelas terlihat dari judul puisinya seperti Hak Sepatu dan Riuh (Cici Mulia Sary, penulis dan dosen di Bengkulu), Mei-Mei : Umurnya 16 (Dewi Nova, penulis dan aktifis perempuan Tangerang Selatan), Iyem juga Manusia (Dita Ipul, penyair dan ibu rumah tangga dari Cilacap), Sajak Nyai Rossina dan Perempuan di Cakrawala (Edy Samudra Kertagama, penyair senior dari Lampung), Perempuan di Ladang Jagung (Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami dan penyair Madura), Gadis Kecil (Lilis Amd, penyair dan guru di Bandung), dan sebagainya.

Bagaimana perempuan bisa mengembang dan berkembang dalam tulisan-tulisan? Kita bisa mengambil satu contoh puisi menarik dari buku ini. Saya memilih satu puisi yang bersubjudul Pahala, ditulis oleh Dewi Nova, hal. 44 buku Titik Temu. Walau subjudulnya Pahala, tapi isi puisi ini bisa dipinjam untuk memberi makna kesadaran tentang perempuan.

Puisi tersebut secara lengkap adalah :

Saat kau memandangnya
ia bersinar merasakan kasihmu

Saat kau mendengarkannya
ia sempurna sebagai ciptaan

Saat kau berbuat
ia tergerak untuk saling menghidupkan

Saat perjumpaan
kita merasa tercipta dari tanah yang sama

(Cirendeu, 19 Juli 2011)

            Mudah sekali mengaitkan puisi ini dengan perempuan apalagi mengingat penulisnya juga seorang aktifis perempuan yang giat memberdayakan perempuan dan menyebarkan semangat untuk kemajuan perempuan. Kita dapat memakai imajinasi untuk melihatnya ketika mulai masuk dalam bait-baitnya yang jernih memberikan pemahaman.

Dewi menulis di bait pertama : Saat kau memandangnya, ia bersinar merasakan kasihmu. Jika saya ganti ‘nya’ dengan perempuan, maka yang muncul adalah saat kau memandang perempuan, ia bersinar merasakan kasihmu.

Bagaimana seharusnya kita memandang perempuan? Itu dijelaskan dalam bait-bait yang berikutnya. Saat kau mendengarkannya, ia sempurna sebagai ciptaan. Perempuan harus didengarkan, dan dia sempurna sebagai ciptaan. Ini tidak mudah, karena sering kali perempuan dianggap sebagai ‘ciptaan level kedua’ yang diabaikan keberadaannya. Sering tak dipandang, atau jika dipandang akan dipandang sebelah mata saja.

Lalu di bait ketiga, muncul gerakan yang saling melengkapi, antara pria dan perempuan. Saat kau berbuat, ia tergerak untuk saling menghidupkan. Ini bukan sebuah simbol yang pasif, tapi gerakan itu akan menjadi saling menghidupkan. Bukan hanya salah satu pihak saja, tapi saling dalam perjumpaan yang sejajar. Dan di bagian akhir itulah yang menjadi ajakan kita untuk sampai pada pemahaman bahwa memang harusnya seperti itulah, karena semua manusia entah pria atau perempuan diciptakan dari tanah yang sama.

Bisa jadi apa yang dimaksudkan oleh Dewi Nova saat menuliskan puisi Pahala ini berbeda dengan cara saya memandang dan menafsirnya. Tapi puisi ini memberikan inspirasi yang penuh akan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa melihat jenis kelaminnya. Walau, tentu saja, dengan keterpihakan pada perempuan.

Dalam keseluruhan buku Titik Temu, tulisan Dewi Nova hanyalah puisi yang pendek, namun maknanya bisa tertangkap begitu dalam dan luas untuk merangkai 164 puisi yang ada dalam buku ini. Kita tercipta dari tanah yang sama. Begitu dikatakan Dewi. Dan saya ingin melanjutkan dalam pemaknaannya, bahwa kita akan kembali ke tanah yang sama pula.

Jika dikaitkan dengan situasi masa kini, kemajuan perempuan seharusnya diikat dalam penumbuhan kesadaran-kesadaran. Bukan hanya kesadaran para perempuan yang setahap-tahap maju dalam berbagai aspek, namun juga kesadaran pihak-pihak lain. Saya menyebutnya pihak-pihak lain, bukan hanya satu pihak pria, melainkan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memberi pengaruh pada pandangan terhadap perempuan. Di dalamnya ada kelompok pemerintah, agamawan, organisasi masyarakat, partai politik dan sebagainya.

Kesadaran yang paling dasar bisa diambil dari kalimat Dewi, kita tercipta dari tanah yang sama, sebagai dasar dari penghormatan terhadap manusia tanpa terkecuali. Kesadaran itu yang akan diikuti oleh kesadaran-kesadaran lain seiring perkembangan kehidupan. Mungkin akan berbeda pada setiap orang tergantung pengalaman hidupnya masing-masing. Secara umum, kesadaran akan kesamaan martabat manusia yang memang diciptakan dari dan oleh bahan yang sama, bisa menghilangkan bentuk-bentuk pelecehan terhadap perempuan. Tidak serta merta, tapi saya yakin akan terus berjalan jika gerakan-gerakan selanjutnya dilakukan dan diwujudkan dengan sadar oleh perempuan-perempuan dan juga bersama pihak-pihak lain.

Begitu pun, buku Titik Temu ini adalah salah satu bagian kecil dalam proses penyebaran kesadaran itu. Seperti dikatakan oleh Siti Noor Laila, Komnas HAM dalam kata sambutannya dalam buku ini,”Berbagai peraturan tidaklah cukup, diperlukan pendekatan melalui budaya, nilai-nilai anti kekerasan dan dialog hati untuk membangun bangsa yang bermartabat.”

Atau seperti yang diungkap Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami di bagian awal kata pengantarnya untuk buku ini,”Bahwa setiap orang memiliki keunikan dan perbedaan yang patut dijunjung sebagai warna beragam seperti keindahan pelangi.” Kesadaran itulah yang sedang dipupuk sekarang ini. Keunikan dan perbedaan yang dimiliki oleh manusia pria dan perempuan akan menjadi kesempurnaan yang indah dan saling melengkapi. *** (Penulis, Yuli Nugrahani adalah pelaksana harian Bagian Justice and Peace Keuskupan Tanjungkarang, Editor Buku Titik Temu yang diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami, komunitas yang fokus pada penulisan dan pelatihan penulisan di Indonesia.)

Tuesday, April 21, 2015

Titik Temu dalam Belungguk Sastra di Bengkulu

Kali ini giliran Bengkulu menyediakan ruang bagi Titik Temu. Kegiatan menarik telah dikemas oleh Kedai Sastra bekerja sama dengan Komunitas Kampoeng Jerami dan banyak pihak. Aku merasa beruntung bisa menghadirinya dan bertemu dengan banyak komunitas seni di Bengkulu bahkan juga dengan Vebri Al Lintani, Ketua Dewan Kesenian Palembang yang hadir sebagai salah satu penulis Titik Temu.

"Tak ada puisi yang jelek dalam buku ini," Ujarku, sang editor Titik Temu dengan ngeyel. "Kalau editor yang jelek, mungkin saja ya. Karena seluruh tulisan itu sekarang telah dirangkai dalam sebuah buku, dan editor mempunyai tanggung jawab di situ. Tapi itu pun harus diperbincangkan karena editor selalu mempunyai alasan mengapa puisi tertentu dimasukkan atau ditolak. Editor juga mempunyai proses bersama para penulis dalam buku itu sehingga alasan itu menjadi lebih kuat lagi." Kali ini aku mengatakannya sambil tersenyum. Iyalah, mana aku tahan untuk tidak tersenyum apalagi di hadapan mereka semua yang memberikan apresianya untuk Titik Temu. Ya, mau apa lagi. Memang ngeyel adalah nama keduaku. Jadi, aku akan tetap ngeyel. Hehehe...

Lalu beberapa peserta diskusi ikut membaca puisi-puisi dalam Titik Temu. Aku (yang sebenarnya selalu merasa grogi kalau membaca puisi) mengambil Perempuan di Ladang Jagung, salah satu dari puisi Fendi Kachonk yang selalu 'mengandung musik' untuk kubacakan. Ssstt... ini adalah kesempatan ketigaku membaca puisi dalam dua tahun terakhir ini. Terus terang aku lebih suka membaca cerpen daripada puisi, sehingga aku memilih membaca cerpen jika ada pilihan. Tapi kali ini aku sangat beruntung, khususnya karena puisi Fendi ini secara spontan telah membantuku, sehingga aku tak merasa harus susah payah saat membacanya. Dia mengalir begitu saja sesuai musik yang memang sudah dipunyainya.

Ya, peluncuran buku di Bengkulu ini terasa menarik. Selain untuk pertama kalinya aku datang ke kota ini, Kedai Proses telah mengemas kegiatan ini dalam belungguk (hmmm... dalam bahasa Bengkulu artinya kumpul-kumpul.) sastra yang dihadiri oleh komunitas-komunitas di Bengkulu entah yunior maupun senior. Kedai Proses merangkainya dalam kegiatan rutin tahunan mereka Tribute Chairil Anwar yang dijejer dengan lomba baca puisi, seminar nasional untuk penciptaan karya, dan penganugrahan penghargaan sastra.

Dalam seminar yang diadakan keesokan harinya, aku bersama Dr. Elyusra, M. Pd, dari FKIP Univ. Muhammadiyah Bengkulu mendorong peserta untuk mulai menulis puisi. Menulis saja, tapi kemudian melanjutkannya dengan belajar teori-teori untuk membuatnya semakin bermutu. Aku membuktikan bahwa mereka semua mampu menulis puisi dalam workshop di bagian akhir seminar. Mereka semua bisa menulis puisi tentang perempuan dalam waktu yang sangat singkat.

Malamnya, di hari Sabtu itu semacam pesta bagiku. Walau tak ada makanan dan minum, kegembiraan melihat geliat sastra di Bengkulu adalan kegembiraan yang luar biasa. Para muda dengan karya-karya luar biasa mendapatkan penghargaan sastra. Selamat dan sukses selalu. Semangat itu kubawa kembali untuk perkembanganku, juga perkembangan Komunitas Kampoeng Jerami melalui Titik Temu. Aku mesti sebut nama-nama khusus, Edy Ahmad, Fendi Kachonk, Dedi Suryadi, Cici Mulia Sary, dan juga teman-teman Bengkulu, terimakasih.

Thursday, April 16, 2015

Pendidikan adalah ...

Menjadi salah satu dosen untuk mata kuliah Character Building selalu menarik. Bahkan untuk segala tema. Ini dia contohnya ketika aku masuk untuk sesi character building di kelas gabungan Akuntansi dan Manajemen semester 4 STIE Gentiaras, Kamis lalu, 16 April 2015. Tema yang diangkat sesuai buku panduan adalah Lanjutkan Pendidikanmu. Aku mengajak para mahasiswa untuk diskusi dalam kelompok yang mereka pilih sendiri. Salah satu tema yang harus diperbincangkan dalam diskusi itu adalah menyepakati sebuah gambar yang dapat mewakili pandangan mereka semua tentang pendidikan.

Lima kelompok terbentuk dan inilah hasil kerja mereka.

1. Saringan

Kelompok satu menganggap bahwa pendidikan itu seperti saringan. Ketika orang mendapatkan pendidikan, dia akan mempunyai alat saring yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang baik mana yang buruk. Mana yang bisa dikembangkan, disimpan atau dibuang.





2. Uang

Kelompok dua menganggap bahwa pendidikan adalah uang. Membutuhkan uang atau pengorbanan yang tidak sedikit untuk mendapatkannya. Di sisi lain, juga pendidikan suatu saat juga akan berguna untuk mencari uang. Orang yang berpendidikan akan mempunyai pilihan untuk mendapatkan uang.



3. Gunung

Kelompok tiga menganggap pendidikan sebagai gunung. Yang harus didaki dengan segala cara. Dan juga digali. Di dalamnya orang akan menemukan banyak hal. Bebatuan, mineral, dan kekayaan yang terpendam.





4. Sumur

Kelompok empat menganggap bahwa pendidikan adalah sumur air. Di dalamnya ada sumber air yang terus-terus memancar. Orang harus menimba dari dalamnya dengan kerekan yang sudah tersedia, dan air itu tak akan pernah habis. Apalagi ada juga tambahan-tambahan air dari resapan tanah di sekitarnya.





5. Kuku

Kelompok lima menganggap pendidikan itu adalah kuku. Seolah kecil, mempunyai banyak fungsi dan terus menerus tumbuh. Walau dipotong ujungnya, pangkalnya akan selalu tumbuh kembali.









Nah, keren kan? Mereka bisa menemukan hal yang menarik dari pendidikan. Gambar-gambar yang mereka buat ini sengaja kuupload supaya mereka dan diriku tak pernah lupa akan pendidikan.

Saturday, April 11, 2015

Menari Bersama Anak-anak Kebutuhan Khusus di Lat Krabang

Tahun ini aku mendapat kesempatan untuk menghadiri pertemuan Consultation of Peace and Reconsiliation in Asia Today di Lat Krabang, Bangkok, 6 - 12 April 2015. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan negara-negara se Asia dan diselenggarakan oleh Office of Human Development (OHD) FABC. Pertemuan yang menarik, tapi kali ini aku ingin cerita hal yang paling menarik dari tempat penyelenggaraan acara. Cammilian Pastoral Care Center.

Aku sudah dua kali datang ke tempat ini. Ini tidaklah asing. Detail-detail dari tempat ini cepat sekali menarik perhatian. Misalnya rancangan bangunan yang begitu manusiawi khususnya untuk anak-anak diffable (diferent of able), anak-anak kebutuhan khusus. Seluruh bangunan dirancang untuk ramah pada mereka. Lift yang dilengkapi huruf braille, suara, sehingga mereka mudah menemukan lantai mana yang dituju. Ruangan-ruangan yang luas yang memudahkan mereka bergerak dalam kursi roda. Juga jalan-jalan yang landai bersanding di sebelah tangga. Setiap kamar mandi juga dilengkapi kursi plastik bagi mereka.

Pada hari terakhir pertemuan, mereka hadir bergabung dengan 40 peserta pertemuan. Mereka rupanya sudah berlatih keras untuk menampilkan pentas yang menarik. Tarian, lagu dan juga melukis dalam iringan musik. Aduh, anak-anak yang luar biasa. Tarian yang indah. Yang berbeda dengan gerak dan ekspresi biasa dari orang kebanyakan. Aku tahu mereka telah bekerja sangat keras untuk gerakan-gerakan itu. Gerakan-gerakan yang mengajak semua orang untuk ikut menari. Hatiku, otakku, dan tubuhku ikut menari bersama mereka.