Friday, October 08, 2010

Long Jurney (6) Mataloko


Ini adalah perjalanan yang sudah dirancang dari tahun lalu. Tapi harusnya masih pertengahan Oktober nanti. Ada banyak alasan sehingga acara pendidikan promotor aktif tanpa kekerasan untuk Keuskupan Agung Ende ini dimajukan. Ya, apa dayaku? Aku juga tak punya alasan untuk tidak bisa karena aku punya banyak alasan untuk tetap pergi ke NTT ini. Tak mungkin kulewatkan. Jadi biar kata keringat airmata dan darah kan kulakukan untuk perjalanan ini. (hehehe...lebay nian.)

Lampung menuju Jakarta lalu Kupang. Di sini baru ketemu Rm. Dany, partner untuk menfasilitasi pelatihan. Semalam di Kupang untuk menunggu pesawat lanjutan ke Bajawa paginya menjadi kesempatan untuk membicarakan segala hal secara jasmani rohani dsb.

Pagi jam 6 sudah berangkat dari Hotel Bahtera Indah Kupang ke Bandara El Tari. Katanya sih penerbangan jam 8. Tapi delay lumayan lama dan tak bisa berkutik. Tak bisa berkutik lagi ketika lihat pesawat 'baling-baling bambu' yang sudah menunggu. Fokker 50 inilah yang akan membawa kami ke Bajawa. Syarat mutlak : penumpang lebih dari 10 orang, cuaca baik dan tidak ada pejabat daerah yang tiba-tiba harus naik pesawat hari ini. Jika syarat ini tidak terpenuhi, alamat penerbangan akan batal!

Tentu saja doa tak putus-putus dalam guncangan pesawat kecil ini. Hingga akhirnya tiba dengan selamat di Bajawa. Dari sana masih lanjut ke Mataloko, tempat acara. Mampir bentar untuk makan di Restoran Camelia. Sate babinya enak banget. Juga sup asparagus. Juga juice tomat wortel. Juga cah sawi. Juga ayam goreng. Hehehe...nikmat buanget. (n mahal banget!)

Mataloko yang dingin adalah hari-hari yang romantis. Eh, nggak ding. Kerja keras 5 hari memfasilitasi pelatihan. Bergantian dengan Rm. Dany tentu saja. Kalo tidak sudah semaput pasti.

Nah, jalan-jalan benerannya adalah hari terakhir setelah acara selesai. Tidur di Ndora, sempat ketemu Melky, teman lama. Lalu ke Bena, kampung tradisional. Foto-foto tentang Bena sudah aku post duluan (lihat di tulisan sebelumny). Lalu tidur semalam di Bajawa tempat keluarga Niko - Atik yang menyuguhkan tempe goreng! Makan pavorit ini muncul juga akhirnya. Jika tidak malu sudah kulahap semua-semuanya yang di piring. Tidak seenak tempe Malang atau bahkan Lampung, tapi tempe gitu loh...

Dan esoknya balik lewat Bandara Soa, tepat waktu. Penumpang penuh, cuaca cerah, dan aku barengan dengan pejabat daerah yang mengawal. Jadi pasti berangkat. Di El Tari Kupang sekitar 2 jam, ingin makan tapi males. Malah dapat kaos dan cemilan. Di Garuda baru makan sajian mereka. Mampir Denpasar dapat cemilan lagi. Di Jakarta, kena macet dan lanjut Lampung setelah semalam tidur di Jakarta.

Nah, utang cerita sudah kelar. Tunggu perjalanan berikutnya ya... (selesai. untuk kali ini.)

Long Jurney (5) Nuntius


Sembilan hari di Lampung setelah segala perjalanan itu ternyata masih dalam perjalanan juga. Perjalanan yang ngebut super cepat untuk mengerjakan Majalah Nuntius edisi Oktober. Ini tidak boleh selip sedikitpun karena tanggal 24 September jadwal perjalanan ke KA Ende sudah menanti. Aku harus sangat cermat mengatur segala hal dalam 9 hari saja. Satu haru sudah kepotong untuk tidur saja di rumah bersama anak-anak dan suami. Meluruskan yang bengkok. Membengkokkan yang lurus. Lalu urusan laporan-laporan. Ini tak mungkin tertunda karena akibatnya bisa buruk bagi kesehatan jiwa dan ragaku. Lalu edit Nuntius. Yang ternyata...olala, banyak sekali kurangnya. Jumlah tulisan kurang memadai. Kontak sana-sini dapat juga tulisan-tulisan. Empat hari di depan komputer, full! Bayangpun. Masing diganggu ini itu karena persiapan perjalanan ke NTT itu. Soal tiket, materi, dll.

Ini perjalanan yang hanya 15 km pp dari rumah - kantor. Tapi sungguh, capek!!!!!!!!!!! Seperti menghadapi tumpukan berserak batu-batu yang harus aku susun satu persatu jadi bangunan yang siap tersaji. Dengan dua tanganku dan pantatku. (Iya, soalnya bokong sampai panas duduk depan komputer. Hehehe...)

Long Jurney (4) Siem Reap - Phnom Penh - Kuala Lumpur - Jakarta - Surabaya - Jombang - Kediri - Salatiga - Bandung - Bandarlampung

Pulang dari Siem Reap adalah perjalanan yang sangat-sangat panjang. Pertama pada 11 September, pagi berangkat dari Siem Reap naik taksi ke Phnom Penh bersama Rm. Ronnie, Sanjay, dan Lek. Sekitar 6 jam perjalanan. Sambil menunggu penerbangan kami masing-masing ke asal mula kami (hehehe) kami ngopi di bandara internasional Phnom Penh. Sanjay yang traktir kami. Sedang makanan aku tidak beli karena tadi bawa roti perancis yang panjang itu, keju dan apel. Roti dan keju langsung amblas.

Lalu perjalanan ke Kuala Lumpur yang tenang. Untung cuaca lumayan bagus tidak seperti saat kami datang yang hujang mendung. Rasa lapar di pesawat terobati dengan pop mie. Hehehe...ini menu yang paling murah di Air Asia. Cukup asyik juga makan mie seduh di pesawat. Untuk pertama kalinya.

Di Kuala Lumpur nunggu beberapa saat sebelum lanjut ke Jakarta. N tiba di Jakarta sudah tengah malam, jam 12-an. Pesawatku ke Surabaya karena aku mau nyusul anak-anak dan bapake yang sedang liburan lebaran di Jawa Timur. Dan itu baru pada pagi-pagi nanti. Terpaksa nglemprak di emper bandara Sukarno Hatta. Beberapa menit sempat tertidur. Tentu saja tidak seperti tidur beneran.

Jam 6.00 Batavia Air siap menuju Surabaya. Full penumpang. Kebanyakan orang-orang berseragam baru pulang umroh. Ohya, jangan lupa, tanggal ini masih hari raya Idul Fitri. Bapak Samiran sudah menunggu di Juanda, menjemput spesial anaknya ini. Rasanya lega sekali berada di pelukannya. Bisa manja-manja,"Lapar, cari makan, bapak." Sepiring nasi rawon plus ayam goreng. Hehehe...rakus pokoke. Lalu nyamil lagi alun-alun Jombang saat nunggu Mas Hendro dan Albert Bernard yang sedang dalam perjalanan dari Lumajang.

Di Kediri sudah siap ibu dengan sambel tumpangnya. Pokoke urusan pulang kampung adalah makan. (iya ta? gak juga. lihat fotoku dengan ibu. mirip ya?) Hanya semalam sehari di kota ini. Itu pun full dengan urusan tetek bengek tradisi lebaran. Ke makam, ke pak puh Nganjuk, ke sanak family, dan besoknya sudah jalan ke Salatiga. Dimana kami akan start kembali ke Lampung dengan Guntur.

Sempat nginep semalam di Hotel Kopo Bandung untuk melepaskan boyok yang peyok. N sempat jalan cari dawet Elizabeth di Otista sebelum lanjut lagi ke Lampung.

Nah, bayangkan ketika tiba di rumah kembali. Seperti mimpi.... (bersambung)

Long Jurney (3) Angkor Wat


Ke Kamboja gak ke Angkor Wat? Yang benar saja. Harus ke sana boo... Nih tempat sangat bersejarah bagi seluruh manusia di dunia. Hari sebelumnya, Sr. Denise, koordinator teknis kegiatan lokal Kamboja memberikan tawaran itu. Siapa yang mau ke Angkor Wat dan mau pergi jam berapa? Tentu dengan gegap semangat aku langsung angkat tangan tinggi-tinggi.
“I want go and sunrise!” ujarku tak banyak pikir. Aku mau lihat sunrise di Angkor Wat! Tidak bisa tidak!
Sangat pagi kami berangkat dari Mindol Metta Karuna. Tuk-tuk, kendaraan tradisional khas Kamboja sudah disediakan oleh Sr. Denise. Ini adalah kendaraan mirip kereta kuda tapi ditarik oleh sepeda motor. Kebanyakan memakai sepeda motor tua sehingga bunyinya meraung keras kadang meletup-letup,”Tuk, tuk, tuk…” Di telinga saya mirip itulah bunyinya.
Satu tuk-tuk hanya bisa diisi oleh 3 atau 4 orang saja. Saya bersama dengan David, peserta dan fasilitator dari New Zealand dan Linda, koordinator ACPP asal Philipina namun tinggal dan berkantor di Hongkong. Bertiga kami berada di satu tuk-tuk. Masih gelap, masih mengantuk namun penuh semangat dan gembira. Aku dengar senandung David, seperti lagu Row, Row, Row Your Boat tapi dia ganti syairnya jadi seperti Talk, talk, talk with your tuk-tuk-tuk... entahlah. Seperti itulah.
Tepat saat tiba di halaman Angkor Wat yang megah, matahari sedang proses naik ke angkasa yang cerah. Terbit dengan warnanya yang cemerlang keemasan. Aku menunjukkan tiket masuk candi dengan tak sabar pada petugas yang ada. Tiket yang dilengkapi dengan foto diri itu bisa dipakai sepanjang hari itu di seluruh lokasi percandian yang ada di Angkor. Iya, tiketnya bagus. Mbayarnya sih lumayan mahal, 20 USD. Setiap pengunjung berdiri di depan loket, difoto, lalu sebentar kemudian hasil print tiket siap.

Surga! Ini adalah surga. Ini adalah lokasi percandian yang luar biasa. Saya langsung teringat Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah sana. Namun ada banyak detail yang membedakannya.
Angkor Wat adalah sebuah candi yang terletak di kota Angkor dan dianggap sebagai salah satu dari keajaiban dunia. Candi yang sangat luas ini dibangun oleh Raja Suryavarman II pada pertengahan abad ke 12 dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya Angkor Wat dibangun dalam budaya Hindu namun kemudian dialihfungsikan menjadi kuil Budha dan dipelihara serta digunakan secara terus menerus ketika agama Budha menggantikan agama Hindu di Angkor pada abad ke-13.
Nama modern Angkor Wat, berarti "Kuil Kota". Sebelumnya nama asli candi ini adalah Preah Pisnulok atau Vishnuloka (tempat dewa Wishnu bersemayam), berdasarkan nama anumerta raja pembangunnya. Namun hingga kini nama Angkor Wat lebih dikenal di berbagai belahan dunia. Ada ribuan wisatawan datang ke tempat ini tiap harinya entah domestik maupun asing. Bahkan penulis sempat bertemu dengan serombongan turis dari Indonesia! Puluhan orang Indonesia dalam satu tour berkunjung ke Angkor Wat. Luar biasa!
Berjalan di surga macam ini tak habis-habisnya. Aku ingin datang lagi ke sana. Mungkin bersama para kekasihku. Aku ingin mengajaknya duduk di pinggir kolam teratai dan melihat matahari hidup di angkasa sana. Hmmm... (bersambung)

Long Jurney (2) JPW Meeting for Asia Pasific


Meeting for Justice and Peace Workers. Itulah judulnya untuk mengumpulkan para pekerja keadilan dan perdamaian yang ada di negara-negara se Asia Pasific. Aku sangat beruntung bisa mewakili Indonesia, padahal belum benar-benar seperti pekerja keadilan perdamaian. ACPP yang ngadain. Asean Center for Progress of People yang ngantor di Hongkong.

Tahun ini pertemuan diadakan pada 5 – 11 Sepember 2010 di Kamboja diikuti lembaga-lembaga Katolik yang bergerak di bidang keadilan dan perdamaian dari 16 negara yaitu New Zealand, Australia, Cambodia, Bangladesh, Burma, Hongkong, India, Indonesia, Philipines, Malaysia, Pakistan, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Srilangka dan Tailand. Plus utusan dari Pontifical Council for Justice and Peace Vatikan.

Acaranya menarik. Hari pertama dan kedua kami keluyuran di seputar Phnom Penh. Lihat Killing Field, ngerasain Penjara S-21 yang kini jadi Musium Tuol Sleng. Lalu ke Bantey Priep dan akhirnya berayun di atas Sungai Mekhong.

Hari-hari berikutnya pertemuan dilanjutkan di Siem Reap, di sebuah rumah reflection center : Mindol Metta Karuna. Tempat yang luar biasa indah. Penuh makna di sekujur lahannya. Tak ada kata yang bisa melukiskannya secara lengkap. Tuh salah satu sudutnya ada di foto itu. Gak bisa diceritain kan?
Pertemuan di tempat luar biasa ini pun dirancang luar biasa. Mengolah hati, saling berbagi, diskusi kelompok, pleno, mendengar Bob, Megan, Tun Channareth, Song Kosal, dll. Mereka ini orang-orang yang kaya. (cek aja di internet siapa mereka. Kapan-kapan aku ceritain satu persatu, pasti kalian gak akan nyangka aku ketemu orang-orang seperti itu.)
Tema besar yang diangkat dalam pertemuan ini adalah Network-Building to Overcome Violence. Maka seluruh Kamboja yang pernah penuh dengan ranjau darat dan masa kekelaman dengan Pol Pot Khmer Merah sangat cocok untuk melihat tema ini secara konkret.
Bagiku sendiri, aku mengalami emosi yang sangat dinamis sepanjang kegiatan. Kadang ngeri, marah, sedih, tenang, gembira, putus asa, takut, penuh harapan, dan sebagainya. Tapi semua orang dalam pertemuan ini adalah orang-orang yang membantuku untuk dapat mengikuti seluruh prosesnya secara menyenangkan. Ada David dan Mapet yang membantu banyak bahasaku. Mereka berdua gak bisa bahasa Indonesia tapi mereka berdua siap menterjemahkan bahasa Inggris menjadi hal yang sederhana mudah dipahami. Ada Kosal, Sony, Vanawi, Cita, dll serombongan Cambodian yang rela hati jadi guide untuk segala hal di Kamboja. Bahkan ikut menawar jika aku ingin beli sesuatu. Lalu ada Sr. Denise, Linda, Wanyu dll panitia dari Hongkong dan setempat yang super memberi perhatian pada semua peserta. Lalu ada seluruh peserta yang menawarkan persahabatan bahkan hingga kini saat semua udah balik ke negara masing-masing. Selalu ada saja surat dari salah satu mereka di email. Lalu juga ada pengendara tuk-tuk, pedagang-pedagang. Aihhh, aku jadi ingat semua yang aku temui di Siem Reap ini. Salam untuk kalian semua di situ. Terimakasih banyak. *** (Bersambung)





Thursday, October 07, 2010

Long Jurney (1) Kamboja/Cambodia/Kampuchea


Nah, akhirnya bisa duduk agak tenang setelah dua perjalanan panjang yang aku lalui dalam sebulan terakhir ini. Perjalanan pertama adalah ke Kamboja dan kedua ke NTT.
Kali ini aku cerita dulu tentang perjalanan ke Kamboja.


Nah, tentu saja ini peristiwa mengagumkan yang pernah aku dapat. Kesempatan berkunjung ke Kamboja tidak bisa ditemui oleh banyak orang. Apalagi gratis segalanya (hehehe...). Tiket lengkap sudah di tangan, di tambah beberapa ratus dolar rapi di dompet. Aku pergi dengan Air Asia menuju Kuala Lumpur pada pagi 5 September. Tidak terlalu lama menunggu di Sukarno Hatta karena bangun yang pas, cukup untuk perjalanan sepagi itu. Pesawat pukul 6.30. Setelah urusan tetek bengek bagasi, imigrasi, aku duduk manis di bandara bersama Rm. Ronnie.

Air Asia cukup nyaman untuk perjalanan ini. Tapi lapar. Aku tidak menemukan makanan apapun yang cocok di menu yang ditawarkan mereka. (Sudah perut mual, lihat harganya mahal.) Tapi karena makan malam sudah tidak tersisa di perut, aku ambil sanwich besar isi daging asap dan teh botol.

Di Kuala Lumpur ada banyak waktu. Sekitar 4 jam menunggu sebelum terbang kembali ke Phnom Penh. Jadi bisa makan lagi. Kali ini makan di restoran bandara. Haaa, nyaris Indonesia. Makan kari ayam dengan kuah yang kental, plus acar timun dan wortel, ditutup puding vanila pandan. Minumnya juice banana yang diberi kucuran coklat dan susu. Nikmat... (Tuh kelihatan di foto)

Saat antri di loket cek in, eh malah ketemu Intan. Seorang Jawa yang sedang boyongan ke Phnom untuk ikut suaminya. "Ocean, kasih salam pada tante." Intan menyorongkan anak cantik bule di sebelahnya. "Suamiku orang Perancis, mengajar di Kamboja." Ooooo.... Mereka berdua jadi teman menyenangkan di perjalanan itu.

Phnom Penh, I'm coming!!! Aku malah disambutnya dengan hujan dan banjir. Ini bukan Jakarta to? Iya, mirip itulah saat hujan deras di hari pertama itu. Persis Jakarta atau Tanjungkarang. Macet dengan genangan air di mana-mana.

Malam itu tidur pulas di Golden Gate Hotel dengan harap-harap cemas akan esok hari. Untuk Justice and Peace Workers Meeting for Asia Pasific. Seperti apa ya? (Bersambung)

Wednesday, October 06, 2010

Traditional Village of Bena








Lihat bidadari-bidadarinya.

Lihat ibu dan tenunannya.

Kampung ini sudah tercemar.

Tapi menyisakan tradisinya.
Menyuguhkan indahnya.
Aku tenggelam di antara rumah dan batu-batunya.
(26 September - 3 Oktober 2010. Perjalanan panjang : Lampung, Jakarta, Surabaya, Kupang, Bajawa, Mataloko, Ndora, Bena, Bajawa, Kupang, Denpasar, Jakarta, Lampung)