Saturday, December 29, 2018

Aksi untuk Korban Tsunami Selat Sunda

Tsunami yang terjadi di sekitar Selat Sunda mengagetkan banyak orang, 23 Desember 2018, sekitar 21.30. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, tiba-tiba terjadi. Awalnya banyak orang menyepelekan, ternyata ratusan korban meninggal dan ribuan orang harus mengungsi.

Spontan aksi tanggap darurat dilakukan. Keuskupan Tanjungkarang melalui Caritas Tanjungkarang langsung terjun memberikan bantuan darurat dan assesment untuk mengetahui kondisi konkret, terus berjalan sampai sekarang dibantu oleh Caritas Indonesia dan seluruh umat.

Jaringan Perempuan Padmarini (JPP) mengambil porsi dalam Lampung Ikhlas bersama Walhi Lampung, YKWS dan lain-lain pun bergerak.

Kemarin, 28 Desember 2018, anak-anak muda dari dusun V Perumahan Polri Hajimena juga melakukan aksi serupa. Mereka mengumpulkan bantuan dari seluruh perumahan dan menyerahkan ke Kunjir Kalianda.

Melalui beberapa grup WA aku juga tahu banyak lembaga dan perorangan bergerak membantu korban, pengungsi dan juga yang masih berada di rumah-rumah pesisir. Pun, aku masih berseling dengan rasa kuatir karena Anak Krakatau masih terus bergolak. Kontak dengan teman-teman KSDA Lampung juga selalu mantengin info dari BMKG tidak menyurutkan rasa kuatir itu.

Lokasi yang didatangi Albert dkk.
Jika alam bergerak, manusia harus lebih rendah hati melayaninya. Semua ini adalah alat bagi Sang Pencipta untuk menunjukkan kuasa dan kasihNya.

Hal kecil seperti yang dilakukan oleh Albert dan kawan-kawannya itu pun masuk dalam apresiasi hatiku. Aku mengucapkan terimakasih padanya dan kawan-kawannya yang rela melakukan hal semacam itu, sekecil apa pun.

Mungkin nanti atau besok atau entah, juga ada lagi peristiwa tak terduga yang bisa terjadi pada siapa pun, lewat gerak alam.

Kunfaya kun.

Advent 2018 (5): Kekuatan Pikiran

Bagian kelima, atau terakhir, bisa kutulis pada masa Natal. Tepatlah ini kulakukan sebagai bagian dari pergantian tahun juga dan kukerjakan dalam masa yang sangat tenang liburan pergantian tahun di rumah.

Beberapa bacaan mempengaruhi tulisan ini seturut dengan bacaanku selama liburan. Novel Pram, cerpen-cerpen beberapa penulis, dan tulisa James Redfield. Yang terakhir ini seperti bungkus bagi semuanya yang membuatku ingat untuk menulis seperti judul di atas: Kekuatan Pikiran.

Pengalaman membuatku yakin bahwa pikiran memiliki kekuatan yang bisa mengubah segala hal. Kalau Natal dengan kelahiran bayi Yesus mengubah dunia menjadi seperti sekarang ini sekaligus dengan pro dan kontranya, pikiran dari mulai yang kecil mampu mengubah orang, peristiwa dan juga dunia. Ini seperti memulai dari batu pertama yang kemudian diperkuat dengan batu-batu selanjutnya hingga kemudian menjadi sebuah rumah. Batu pertama itu adalah pikiran pertama yang membuat rumah itu mungkin terjadi. Dalam prosesnya bisa saja ada dinamika, kadang terhenti kadang terkendala. Menumpuk batu-batu berikutnya adalah bagian dari memperkuat pikiran.

Dalam tahun ini, aku tahu ada kata yang spesial yang mesti kuingat, yaitu: Kesaksian. Sebelum libur, aku sudah menuliskan sesuatu dalam carik kertas di kantor yang berisi tentang hal itu. Sepanjang tahun ini aku telah dipersiapkan secara apapun untuk sampai pada kesaksian.

Maka kata ini juga yang akan aku gunakan sepanjang tahun 2019. Beberapa hal terbayang di depan mata dengan visi yang semakin jelas dan pikiran yang selalu terkuatkan untuk sampai ke sana, bahkan sampai detail sedetail-detailnya. Untuk itu, aku akan melewati pergantian tahun dengan gembira. Aku tahu, kata Kesaksian ini memiliki konsekwensi yang besar dengan segala resikonya. Aku bisa memperkirakan, dan aku akan melaluinya.

MELINDUNGI KRAKATAU (2)


Ini tulisan yang kedua:

KEPULAUAN KRAKATAU BELUM LAYAK MENJADI TUJUAN WISATA ALAM
Yuli Nugrahani*


Ekskursi Gunung Anak Krakatau dilakukan pada Sabtu, 25 Agustus 2018 dalam rangkaian Seminar Internasional Vulkanologi Krakatau dan Pemanfaatannya di Masa Depan, pada 24 – 25 Agustus 2018 di Randu Palace Hotel Bukit Randu Bandarlampung. Kegiatan ini melibatkan narasumber Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo, peneliti dari LIPI yang sering disebut sebagai King of Krakatoa, Ir. Igan S. Sutawidjaja, M.Sc. dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T. Institut Teknologi Bandung, dengan moderator Dr. Ir. Bambang Priadi, DEA dari Itera. Kunjungan ke Kepulauan Krakatau dimulai dari Pulau Sebesi membuat saya mengambil kesimpulan yang saya gunakan sebagai judul tulisan ini.
Kepulauan Krakatau belum (tigak) layak menjadi tujuan wisata alam atau geowisata atau apa pun dengan istilah wisata. Dari mana kesimpulan ini bisa ditarik? Saya mengacu pada apa yang saya lihat dan amati di kawasan itu saat ikut dalam ekskursi tersebut. (Perlu diketahui, perjalanan ke Krakatau itu berubah jadwalnya, yang semula direncanakan hanya memutari Gunung Anak Krakatau melakukan pengamatan dari atas kapal, ternyata memberikan kesempatan kapal untuk mendarat dan peserta bisa menginjakkan kaki di Pulau Anak Krakatau yang gunungnya sedang sangat aktif dengan erupsi terus menerus dalam beberapa bulan terakhir ini.)
Kepulauan Krakatau yang terletak di Selat Sunda sekarang ini berstatus cagar alam dan cagar alam laut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Kawasan ini berada di bawah mengelolaan BKSDA Bengkulu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage Site. Kawasan ini mempunyai luas 13.735 Ha terdiri dari Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang dan lautan yang di sekitarnya. Sebagai cagar alam, hanya kegiatan tertentu saja yang diperbolehkan yaitu: penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, penyerapan dan penyimpanan karbon dan pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya dengan menggunakan tumbuhan atau satwa liar.
Untuk masuk kawasan ini,  setiap calon pengunjung harus mendapatkan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) yang diterbitkan oleh BKSDA Bengkulu atau Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem di Jakarta. Di dalamnya termuat kewajiban pemohon dengan tandatangan di atas meterai. Dan harus diingat, seluruh kegiatan apa pun yang dilakukan oleh pemohon harus mendapatkan pendampingan dari petugas.
Dengan demikian tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kawasan, terlebih orang-orang yang tidak paham peran cagar alam atau cagar alam laut bagi dunia dan tidak mendapatkan surat ijin. Selama masih dalam status Cagar Alam, orang-orang harus taat pada standar yang diterapkan oleh lembaga terkait, tidak bisa begitu saja masuk ke dalamnya secara illegal atau sembunyi-sembunyi, yang memungkinkan cagar alam menjadi rusak dan menghilangkan beberapa fungsinya.
Trip ke Gunung Anak Krakatau yang dilakukan pada hari kedua seminar dalam rangkaian Festival Krakatau menjadi salah satu cara untuk mendapatkan dukungan terhadap Krakatau sebagai destinasi wisata. Propinsi Lampung sudah mengusulkan untuk mengubah sebagian kawasan cagar ala mini menjadi taman wisata alam sejak beberapa tahun lalu. Hadir kelompok-kelompok yang dekat dengan kepariwisataan Lampung dalam seminar ini. Sayangnya, pengantar dari petugas BKSDA di lokasi maupun materi-materi dari seminar sehari sebelumnya tidak memberi banyak arti dalam perilaku pengunjung saat ekskursi berlangsung.
Pertama, sampah plastik berceceran di sepanjang pantai. Saya tidak ikut masuk ke kawasan hutan karena saya merasa tidak ada kepentingan ke sana. Semoga plastik-plastik itu tidak terserak juga di hutan, yang menjadi sumber ilmu berbagai cabang. Tapi di pantai berpasir hitam yang indah itu, terserak plastik-plastik atau benda-benda tidak ramah alam entah baru atau lama yang jelas akan merusak keindahan dan keberlangsungan hidup Krakatau.
Kedua, tidak semua pengunjung punya tujuan yang diperbolehkan di kawasan ini. Mereka masuk bahkan tanpa tujuan, melihat-lihat, selfi, dan kemudian memamerkan di medsos tanpa keterangan yang cukup tentang keberadaan mereka di Krakatau. Tidak ada peran pendidikan atau peningkatan kesadartahuan konservasi alam yang signifikan ingin dilakukan oleh mayoritas pengunjung. Pengantar dari petugas BKSDA dan narasumber tidak memberi pengaruh yang cukup untuk sampai pada kesadaran tersebut.
Ketiga, tidak ada fasilitas pengaman yang cukup untuk melindungi keselamatan pengunjung, khususnya para peserta ekskursi yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Propinsi Lampung ini. Saya tidak yakin semua peserta punya asuransi perjalanan, tidak ada jaminan keselamatan kapal walau semua diharapkan memakai pelampung (satu kapal sempat tertinggal karena ada mesinnya mogok. Bayangkan jika kapal ini mogok saat sandar di Pulau Anak Krakatau), tidak ada perlindungan apapun yang ditawarkan saat mendarat di Pulau Anak Krakatau padahal gunung ini sedang sangat aktif. Erupsi terjadi tidak teratur dalam rentang sekian menit yang acak. Bahkan kemudian peserta diajak berjalan melintasi hutan sekitar 200 meter tanpa syarat apa pun tentang siapa yang boleh ikut atau tidak. Misalnya syarat alas kaki yang boleh digunakan, pakaian, kesehatan, ketersediaan tempat berlindung andai ada letusan besar, perubahan arah angin dan sebagainya.
Keempat, tak ada fasilitas publik yang memadai misalnya tempat membuang sampah, toilet, penyedia kebutuhan penting dan sebagainya. Pengunjung yang paham pasti sudah bisa melakukan antisipasi tindakan bijaksana, tapi tanpa syarat pengunjung, hal ini membuat resiko pengunjung bertambah.
Kawasan kepulauan Krakatau adalah tempat yang indah. Semua orang punya hak untuk menikmatinya, bukan hanya generasi sekarang ini, tapi juga generasi nanti dan dari berbagai kalangan tanpa kecuali karena inilah kekayaan alam kita. Namun, tanpa persiapan untuk tetap melindungi Krakatau maupun pengunjungnya, penerapan Krakatau sebagai tujuan wisata jelas tak bisa dilakukan. Mengubah status cagar alam sebagai cara untuk menambah jumlah pengunjung juga bukan cara yang bijak dan aman. Memperkuat dukungan terhadap kerja BKSDA adalah salah satu cara, supaya mereka bisa konsisten menerapkan standar kunjungan umum ke kawasan ini. Dengan sumber daya manusia dan uang yang minim mereka sudah berusaha menjadi pagar bagi kawasan ini. Namun patroli 24 jam pun belum bisa mereka lakukan apalagi menjaga keseluruhan asset yang ada dalam keindahan Krakatau sehingga pasti ada saja pengunjung illegal yang datang.
Dengan seluruh situasi seperti itu, masihkan akan dipaksakan perubahan beberapa daerah dalam Kawasan Krakatau sebagai taman wisata alam? Tidakkah lebih baik mempersiapkan Pulau Sebesi sebagai daerah wisata untuk menikmati Krakatau sekaligus mengembangkan masyarakat di sana? Tidakkah masih perlu kajian lebih lanjut dari seminar internasional (yang perlu dikoreksi karena seminar rupanya tidak melibatkan Negara lain untuk memenuhi syarat sebagai seminar internasional) yang sudah diadakan ini? Mestinya dibuat cara kreatif yang aman bagi kepariwisataan di Lampung ini khususnya tentang Kepulauan Krakatau sehingga sebagai kekayaan dunia Krakatau tetap terjaga, pun demikian dengan para pengunjung yang ingin menikmatinya. ****

*Yuli Nugrahani adalah cerpenis Lampung, dari Jaringan Perempuan Padmarini yang fokus pada bidang gender dan lingkungan hidup.

MELINDUNGI KRAKATAU (1)


Tulisan ini kubuat seusai ikut trip ke Krakatau bulan Agustus lalu. Karena bencana tsunami Desember ini, dua tulisan ini aku posting supaya dibaca orang lain. Silakan menggunakannya sesuai kebutuhan:

KRAKATAU, PARIWISATA ATAU CAGAR ALAM?
Yuli Nugrahani*


Trip ke Kepulauan Krakatau membawa keberuntungan bagi saya, yang sedang menyusun buku tentang Krakatau. Andai melakukan perjalanan sendiri, tentu tak cukup satu juta rupiah untuk seluruh perjalanan itu. Mengikuti ekskursi Gunung Anak Krakatau dalam rangkaian Seminar Internasional Vulkanologi Krakatau dan Pemanfaatannya di Masa Depan, saya bisa mengikuti kegiatan ini secara gratis.
Seminar internasional (tanpa Negara lain yang terlibat dalam seminar bisakah ini disebut sebagai seminar internasional?) diadakan pada 24 – 25 Agustus 2018 di Randu Palace Hotel Bukit Randu Bandarlampung dengan undangan yang ditandatangani sendiri oleh Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo, M.SI. Hari pertama diisi dengan tiga sesi oleh Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo dari LIPI, Ir. Igan S. Sutawidjaja, M.Sc. dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T. dari ITB, dengan moderator Dr. Ir. Bambang Priadi, DEA dari ITERA.
Di penghujung seminar, diumumkan bahwa trip ke Gunung Anak Krakatau akan diadakan pada hari kedua dengan tujuan Pulau Sebesi dan kemudian memutari Gunung Anak Krakatau. Tidak bisa mendarat di pulau itu karena ijin dari KSDA Lampung (BKSDA Bengkulu) tidak keluar sampai sore itu dan Gunung Anak Krakatau memang sedang dalam kondisi batuk terus terusan, aktif erupsi dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi.
Lalu mengapa keesokan harinya kami semua bisa mendarat di cagar alam Gunung Anak Krakatau, bahkan berjalan sejauh kurang lebih 200 meter melintasi hutan? Saya bilang, saya beruntung karenanya namun juga merasa sedih, kecewa dan marah.
Saya beruntung bisa mendarat di tempat itu. Bahkan ketika perahu yang kami naiki mulai mendekat ke kepulauan aktif itu, saya sudah berdebar-debar senang. Ini seperti bertemu dengan seseorang yang padanya saya sudah menambatkan cinta. Saya sedang menulis buku tentang Krakatau dan baru kali inilah saya mendapatkan kesempatan melihat secara langsung bagaimana gunung ini. Semakin mendekat, semakin saya dapat merasakan cinta itu. Gunung Anak Krakatau tampak kokoh dijaga oleh tiga pulau di sekitarnya: Sertung, Panjang dan Rakata. Tenang berdiri di tengah lautan yang kebetulan sangat teduh dan tidak tinggi ombaknya. Sesekali dalam rentang yang tak dapat diprediksi Gunung Anak Krakatau erupsi, mengeluarkan awan hitam panas yang memutih di bagian atasnya karena persentuhan dengan atmosfir yang dingin di atas. Ini adalah gunung yang sangat indah.
Saya beruntung bisa merasai pasir hitamnya yang hangat. Saya bilang: Pulau ini, gunung ini menyimpan energi yang luar biasa. Saya menjadi berkobar-kobar karenanya. Bukan hanya karena kokohnya, menjulang dan semakin tinggi, tapi ini adalah tempat yang cantik. Beberapa jenis tumbuhan, binatang terus bertumbuh menjadi ‘kalung’ di kaki dan lerengnya, menjadi penghias bagi tubuhnya yang terus berdentum, batuk.
Saya beruntung karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti ini. Bahkan tanpa rencana bisa menapaki pulau dimana terletak kekayaan alam dunia, yang pernah meletus hebat beberapa kali bertahun silam memberi dampak bagi seluruh dunia.
Rasa beruntung itu saya optimalkan dengan bertahan di sekitar pasir pantai di kaki Gunung Anak Krakatau menggunakan pancaindera. Saya awas pada bunyi dentuman yang muncul setiap beberapa menit. Saya akan segera melihat melintasi ranting-ranting tanaman dan melihat kepulan di puncak sana. Saya merasai air pantai yang beradu dengan pasir hitam yang hangat. Saya mengamati tumbuh-tumbuhan juga serangga yang ada di sekitarnya. Dan mau tak mau muncullah air mata itu ketika pengamatan seksama itu saya lakukan.
Di sepanjang pantai terserak botol plastik, sampah-sampah yang tak mungkin berasal dari dalam perut bumi. Aihdah kidah. Bagaimana mungkin cagar alam yang didatangi orang secara terbatas pun mengalami seperti itu? Saya sedih melihatnya. Prof. Tukirin, yang sejak menginjakkan kaki di pulau ini bersama kami terlihat seperti tertekan. Entahlah, mungkin itu hanya asumsi saya. Saya melihatnya memungut beberapa sampah plastik, namun seperti dilakukan tanpa fokus, juga tidak diikuti oleh seluruh peserta. Malah sebagian besar tampak tak peduli dengan hal itu. Seluruh suasana dan situasi itu membuat saya sedih.
Tentu saja saya beruntung bisa datang di tempat itu, tapi saya juga kecewa. Bahkan sampai beberapa detik sebelum kapal menambatkan jangkar, saya masih percaya bahwa rombongan yang dikoordinir oleh Dinas Pariwisata Propinsi Lampung ini hanya akan memutari Gunung Anak Krakatau dan kami akan mengamati gunung itu dari atas kapal. Sehari sebelumnya, beberapa orang yang ikut dalam rombongan mengatakan kecewa karena diumumkan bahwa BKSDA tak memberi ijin untuk masuk pulau. Saya bilang: Saya senang karena ijin tidak keluar dan setuju dengan BKSDA. Jangan sampai ijin itu keluar. Kita tak punya kepentingan apapun untuk masuk ke pulau.
Toh akhirnya peserta bisa mendarat di Pulau Anak Krakatau. Walau kemudian dibungkus dengan pengantar bahwa kunjungan ini melanjutkan study yang sudah dimulai dalam seminar sebelumnya, tak semua peserta mempunyai pemahaman atau tujuan yang sama.
Saya marah karena perkara yang serius seperti ini bisa dimainkan entah oleh apa. Sore jelas masih diumumkan dan dikatakan bahwa tak ada ijin untuk masuk kawasan. BKSDA jelas mengawal proses seminar dan perjalanan ini. Dalam seminar dikatakan bahwa tak ada ijin untuk masuk pulau, namun kemudian paginya semua orang bisa masuk tanpa kecuali, tanpa penjelasan tentang tujuan dari tiap person yang ikut, bahkan dipandu oleh para narasumber yang hmmm… dengan wajah tidak terlalu gembira (atau tertekan? Entahlah.) Tak ada syarat bagi pengunjung yang boleh masuk mengikuti para ilmuwan itu. Dan tak ada persiapan keamanan apa pun.
Seminar dan ekskursi ini belum bisa menyimpulkan bahwa taman wisata alam adalah yang terbaik bagi pemanfaatan Krakatau di masa depan. Bagi saya, pariwisata harus dikemas tanpa merugikan semua pihak, khususnya tak boleh merugikan kekayaan Lampung dan dunia seperti Krakatau. Karena banyak alasan, Krakatau itu adalah sumber ilmu biologi, geologi, fisika dan sebagainya. Karena banyak alasan, Krakatau itu memberikan resiko yang besar bagi pengunjung tanpa persiapan. Karena banyak alasan, Krakatau itu harus dilestarikan untuk tetap memberikan fungsi selama-lamanya bagi dunia.
Jika memang pariwisata Lampung harus mengetengahkan Krakatau, pemikiran serius harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek itu. Membebaskan semua orang datang ke Krakatau bukan cara yang bijaksana karena menginjak satu biji pinus pun akan berpengaruh bagi suksesi alam, apalagi dengan meninggalkan segala macam sampah di sana. Terlebih dengan resiko tinggi yang mungkin muncul karena pengunjung tak cukup paham tentang Krakatau dan karakteristiknya.***

*Yuli Nugrahani adalah cerpenis Lampung, dari Jaringan Perempuan Padmarini yang fokus pada bidang gender dan lingkungan hidup.

Friday, December 21, 2018

Advent 2018 (4): Masih tentang Pekerjaan-pekerjaan

Aku menyebut pekerjaan pertamaku adalah koordinator perburuhan di Vincentian Center Indonesia (VCI). Walau pun sebelumnya aku memberikan les tambahan untuk siswa siswi SMP, tapi lembaga yang resmi mencatatku sebagai pekerja ya di VCI ini. Ada kontrak kerja, ada gaji tetap dan ada pekerjaan rutin non rutin yang kukerjakan.

Pekerjaan ini tidak serta merta begitu saja kudapat. Ini kukira karena kedekatanku dengan para frater dan romo CM yang memang sudah terjalin sejak aku kuliah di Malang. Aku sering ikut kegiatan mereka. Pernah bersama-sama dalam jaringan Kelompok Setia Kawan (KSK). Ini kelompok dari berbagai macam ragam orang, mahasiswa, juga orang-orang yang peduli pada masyarakat miskin kota. Kegiatan utama adalah kunjungan ke komunitas pemulung, pengemis, gelandangan dan sebagainya di sekitar Kayutangan. Beberapa kali kerjasama dengan Gereja Kayutangan dengan membuat bazar murah, dengan barang-barang yang dikumpulkan dari banyak pihak yang peduli, entah bahan pangan atau pakaian. Bahkan aku pernah menjadi ketuanya.

Aku juga pernah ikut program Kalbar, yaitu sebulan di Kalimantan Barat dengan difasilitasi CM. Persiapan kurang lebih satu tahun untuk seleksi dan menyiapkan kami dengan pelatihan ansos, pendataan, live in dan sebagainya. Persiapan yang matang dan asyik, apalagi semuanya gratis. Hehehe...

Ketika aku lulus kuliah, belum wisuda, aku ditawarin masuk ke VCI untuk perburuhan. Nol pengalaman tentang buruh tapi aku mau. Dan itulah saatnya aku belajar tentang dunia buruh di sekitaran Bandulan dan Pandanlandung. Pekerjaan yang tak mudah dipahami bahkan harus kulalui dengan tinggal di kostan buruh, mencoba menjadi buruh dan sebagainya. Dari sanalah aku mendapatkan jaringan-jaringan perburuhan di Malang.

Karena aku mendapatkan tugas tambahan untuk mengelola buletin Terlibat (namanya aku yang paksain dipakai. Terlibat. Kalau mau membantu orang miskin harus terlibat, itulah semangatnya.), aku tak sengaja melihat pengumuman di Malang Post untuk ikut pelatihan jurnalistik. Pelatihan itu berbayar, tapi aku tak pernah membayar sepeser pun untuk pelatihan ini dan malah aku ditawarin untuk menjadi wartawan di Malang Post. Jadilah aku masuk ke lembaga kedua dimana aku menjadi pekerja resmi. Sampai beberapa lama aku masih merangkap dua pekerjaan di VCI dan Malang Post, hingga kemudian aku memilih: aku bekerja untuk Malang Post, sampai aku menikah dan pindah ke Lampung.

Lampung adalah tempat yang baru. Tak ada sahabat, tak ada sejarah. Beruntung pada suatu minggu usai misa aku bertemu Mgr. Henri. "Datanglah ke rumah nanti jam 7 malam," ujar Mgr. Henri setelah beberapa detik berjabat tangan. Mgr. Henri menuliskan alamat rumah dan menyodorkan padaku.

Malamnya aku diantar Mas Hen benar-benar datang. Hanya untuk bicara ngalor ngidul termasuk tentang Keuskupan Tanjungkarang. Lalu Mgr. Henri mengundangku ke kantor keuskupan hari Rabu setelah hari minggu itu. Aku menyanggupi untuk datang. Tak hanya ngobrol, aku diajak berkeliling kantor keuskupan, dikenalkan dengan beberapa orang karyawannya. Salah satunya Sr. Mathea yang pernah kukenal dalam sebuah pertemuan perburuhan.

Usai itu, Mgr. Henri menawariku,"Bekerjalah di sini. Rintis bagian justice and peace."

Tentu saja aku kaget. Aku menawar dengan dalih memikirkannya dan masih akan pergi ke Bandung dan Surabaya dalam waktu dekat. Mgr. Henri memberiku waktu dua minggu. Dan saat waktu dua minggu itu lewat, aku datang lagi ke rumah Mgr. Henri. "Saya bersedia, Mgr."

Keesokan harinya aku sudah bekerja untuk keuskupan Tanjungkarang di bagian justice and peace, mendapat satu ruang di lantai atas dan dibekali beberapa map dan buku oleh Mgr. Henri untuk merintis bagian justice and peace. Itu adalah bulan Nopember tahun 2000. Pada akhir bulan itu aku mendapatkan honor pertamaku Rp. 250 ribu. (Aku menganggapnya sebagai uang saku, tidak cukup untuk ongkos naik angkot. Aku harus naik angkot 3 kali setiap kali akan ke kantor, PP aku butuh belasan ribu sedangkan hari kerja 6 hari per minggu waktu itu. Aku bilang ke mas Hen,"Pokoke aku kudu disubsidi supaya bisa ke kantor tiap hari." Hehehe.)

Saat ini sudah 18 tahun lewat aku bekerja di kantor ini, dan menempati ruang bawah dengan nama bukan lagi bagian tapi Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau disingkat KKPPMP dengan bidang garapan gerakan aktif tanpa kekerasan, perburuhan dan anti human trafficking, ekologi, advokasi dan paralegal termasuk pendampingan para narapidana di lembaga pemasyarakatan, serta gerakan kesetaraan gender. Aku tidak bekerja sendiri di sini, tapi dibantu oleh Rm. Greg dan para relawan.

Sampai kapan aku di sini? Hehehe... aku tidak tahu. Bahkan ketika aku diminta mengerjakan Majalah Nuntius menjadi majalah bulanan dari tahun 2005 - 2014, aku pun tetap mensyaratkan kerja di bidang ini sebagai kerja utamaku.

Monday, December 10, 2018

Menjelang Hari HAM di FSTV: Meruwat HAM lewat Seni Perlawanan

Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tahun ini diperingati oleh Jaringan Perempuan Padmarini (JPP), Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ) dan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang dengan mengadakan talkshow di Fajar Surya Televisi Lampung pada Minggu, 9 Desember 2018. Kegiatan ini mengambil tema Meruwat HAM lewat Seni Perlawanan.

Hadir dalam bincang santai ini Rinda Gusvita ketua JPP, Fendi Kachonk pendiri dan pengasuh KKJ dan Yuli Nugrahani penanggungjawab KKPPMP Keuskupan Tanjungkarang. Kegiatan dipandu oleh Rismayanti Borthon, bertempat di Studio Kopi, Bandarlampung.

Bincang-bincang diawali dengan pembacaan puisi oleh Fendi Kachonk diambil dari puisinya sendiri yang ada dalam buku Titik Temu. Buku kumpulan puisi bertema HAM ini memang dijadikan pemantik diskusi sebagai salah satu bentuk mengingat HAM. Buku Titik Temu yang diterbitkan oleh KKJ pada tahun 2014 ini berisi puisi-puisi bertema HAM yang ditulis oleh 60 penyair/penulis dari berbagai kota di Indonesia maupun luar Indonesia.

Tak hanya mewujud buku, puisi-puisi bertema HAM itu juga dirayakan dan didiskusikan di berbagai komunitas di berbagai kota. Setelah lewat empat tahun, buku ini pun masih bisa digaungkan ke berbagai daerah.

"Buku ini tidak hanya tentang puisi dan buku. Tapi menjadi sarana untuk mengingat kasus-kasus HAM yang terus saja ada di Indonesia. Selain itu juga lebih dalam lagi, buku ini menjadi pengingat tentang kesadaran HAM. Inilah refleksi para penulisnya," demikian kataku tentang buku ini.

Selain Fendi, aku dan Retha mendapat kesempatan juga membaca puisi yang ada dalam buku. Tentu saja aku gembira melihat semangat ini. Apalagi mendengar apresiasi dari Rinda yang pernah menulis tentang buku ini empat tahun lalu, cuping hidungku sebagai editor buku ini jadi kembang kempis.

Seni selalu relevan digunakan dalam perjuangan HAM, dan itu terbukti dengan buku ini, diskusi tentang HAM bisa dilakukan lintas batas agama, suku, usia dan sebagainya. Bahkan ketika waktu sudah bergulir sekian tahun, puisi-puisi itu pun masih bisa dibacakan sebagai pemicu perbindangan tentang HAM.