Thursday, May 24, 2007

Kekuatan Kang Ora Kawedhar

(Catetan seje saka Balikpapan)


Aku nemokake 'kekuatan sabda' kang pinayungan para pinisepuh saka sakupenge samodra kidul. Ana pesen kanggo para putra wayah, kang gamblang cetha wela-wela. Yaiku, supaya ngati-ati ing tahun 2007 lan 2008. Gesekan hawa bakal panas, bisa dadi perang sedulur. Guyub rukun dadi sarana utomo kang kudu diusahake. Guyup rukun kang dadi kekuatan.

Iku mau pesen saka Lurah Sarirejo, Dusun Sekararum. Sing gapura pendopone katulis "Tritunggal' nganggo boso dan huruf jawa. Kang kawibawane kasebut asma "Pengayom". Ing asma iki sadaya pinisepuh wus ngumpul dadi kekuatan sabda. Metu ing simbol timbangan lan wit ringin. Adil lan ayem.

Pesen iki saka Eyang Putri Ratu Mas kanggo para putra wayah, yaiku sapa bae kang migunaake sakabehing akal budi kanggo 'leres'. Pesen kang kawedhar amarga prihatin mring para wayah kang ora mangerteni maneh bebasan wingit. Ora percaya maneh marang kakuatan adi kang ora ketingal!

(Tanda tanya besar menyertai tulisan ini. Ungkapannya sendiri muncul di lantai 2 rumah Balikpapan, usai nikah Veka)
Antara Kebun Sayur dan Klandasan

Berjalan-jalan di Balikpapan dalam waktu yang singkat, dan prioritas pada pesta manten, tetap menyisakan semangat dan energi untuk belanja berlama-lama mencari oleh-oleh atau sesuatu yang unik.
Pasar Kebun Sayur
Ini merupakan pasar yang menyajikan berbagai benda-benda etnik dari Kalimantan. Perhiasan dari batu-batuan, manik-manik, kayu dan logam tampak memikat mata. Pernak-pernik kalung, gelang, cincin, giwang dan bros berderet memenuhi kios-kios. Selain itu juga ada baju, kain, tas dan benda-benda lain. Tidak melulu kalimantan sih, karena ketika diamati ada juga tenun songket dari Palembang.
Kali pertama yang kepikir adalah membeli oleh-oleh murah meriah untuk para sahabat. Pilihan jatuh pada gelang-gelang dari untaian batu. Hah, sepertinya sih di Lampung atau Jakarta dengan mudah dapat dijumpai di pusat perbelanjaan, tapi ini kan dibawa dari Kalimantan asli. Jadi beli beberapa untai sesuai siapa yang akan diberi. Harga agak meragukan, karena para penjual berusaha menjual dengan harga setinggi-tingginya. Kalau tidak nawar pasti nyesel. Tiga yang aku minati dijual dengan harga 10 ribu rupiah. Baju dayak lengkap untuk anak-anak 110 ribu. Bros mutiara 15 ribu. Kain motif dayak 15 ribu per meter. Tas manik-manik cangklong 15 ribu. Kaos bergambar etnis 25 ribu.
Senengnya ada pada jalan-jalannya. Pelan-pelan saja liat sana-sini. Para penjual itu memang melayani pelancong, jadi tidak masalah kita hanya lihat-lihat saja, tidak perlu beli. Tapi semakin susah mencari yang benar-benar asli tradisional, selain ada mandau, baju dayak. Aku tolah-toleh penjual kaset tidak terlihat yang menjual musik tradisional Dayak. Aku ingat aku dulu pernah direkamin seorang bapak di Nangapinoh beberapa musik pengiring untuk tarian Dayak. Tapi tidak bisa mendapat kaset yang asli. Yang aku ingat musiknya sangat sederhana, diulang-ulang. Gerakannya pun begitu.
Pasar Klandasan
Ini pasar segala ada. Jalan-jalan di sini seperti jalan di pasar-pasar tradisional lain di seluruh penjuru Indonesia. Yang asyik adalah tempatnya persih di pinggir laut. Dalam satu kesempatan, kami berjalan mencari makanan di pasar ini. Letaknya berderet di pinggir laut. Makanan yang ada alamak...rawon, nasi padang, bakso malang, ....yang khas Balikpapan apa ya? Akhirnya makan bakso juga.
Jalan-jalan di dalam pasar, kami tertarik pada perhiasan emas yang dipajang. Katanya emas di sini lebih bagus dari di Jawa. Maka huntinglah kami mencari bentuk yang bagus dengan detail yang unik. Ibu berniat membelikan untuk kami, jadi ok banget. Kalau dari kantong sendiri mana ada anggaran untuk beli giwang atau cincin.
Seperti biasa, jalan dan lihat lebih banyak ketimbang beli. Hingga kemudian ketemu sejumlah perhiasan yang pas. 155 ribu rupiah per gramnya. yang buatan malaysia bisa lebih mahal sedikit tapi memiliki detail yang lebih asyik.
Makan di Dandito
Yach, susah jika tanya makanan khas Balikpapan. Berhubung letaknya pinggir laut, maka harus mencari makanan dari laut. Pilihan terpaut pada kepiting, dan salah satu tempat yang enak adalah Dandito. Hanya beberapa saat dari Bandara Sepinggan. Menu andalan tempat ini memang kepiting. Wuih, satu porsi berisi 2,5 kepiting yang dipotong-potong. Besar dan keras! Perjuangan ekstra sebelum mendapat dagingnya yang empuk, putih dan gurih. 65 ribu satu porsi kepiting asam manis ini. Jika mentok gak bisa nggigit cangkangnya yang keras, panggil salah satu pelayannya, mereka dengan senang hati memecahkannya untuk pembeli. Katanya banyak yang pesan menu ini untuk dibawa sebagai oleh-oleh ke Jawa. Dibawa terbang 2 jam aku kira masih bisa sih dimakan. Tapi gak minat!
Cari Oleh-Oleh
Ada banyak pilihan oleh-oleh makanan. Amplang paling sering aku lihat dulu dibawain keluarga Mbak Tres jika pulang Jawa. Maka beli ini. Tapi di toko makanan oleh-oleh ada beberapa pilihan lain. Lempok duren, abon ikan, dan aneka makanan merk Apollo. Ini merek impor Malaysia. Ada beberapa jenis tinggal pilih, bisa bolu, stik, roll kek, wafer, coklat. Dikemas kecil-kecil jika dibagikan ke sanak dan sahabat mudah. Rasanya hanya lumayan saja. Tidak terlalu istimewa.
Toko-toko oleh-oleh akan merapikan barang-barang yang kita beli itu dalam dus dan dikemas bagus. Siang angkut.

Wednesday, May 23, 2007

Pesta Jawa di Kampung Pelayaran

Tidak kebayang! Bahkan di pulau Kalimantan nun jauh di sana itu, sebuah pesta Jawa lengkap bisa diikuti. Acara tonjok menonjok nan heboh masih dipeliharan. Ini nih adalah tradisi untuk menghantarkan makanan ke para tetangga dan sanak keluarga sebelum acara pesta manten. Beberapa hari sebelumnya. Tiba di Kampung Pelayaran sehari sebelum pesta manten, tuan rumah sedang sibuk dengan acara tonjokan ini. Makanan-makanan dikemas dalam rantang dan diantar menurut daftar yang sudah dibuat. Lihat menunya, mi goreng, ayam dan telur bumbu merah, sambel goreng. Jawa banget resepnya.
Calon manten sendiri dirawat dengan lulur dan temung. Supaya kulitnya bersih bersinar dan tidak keringatan saat dirias nanti. Tentu saja dia tidak boleh keluar rumah.
Jumat 18 Mei 2007 menjadi saat untuk ijab kabul. Dengan perhitungan hari tanggal yang matang, juga jam hingga ditentukan saat yang paling baik adalah pukul 8 malam. Riasan Jawa, makanan Jawa, cara Jawa. Hehehe...bahasa Jawa pula.
Hari Sabtu 19 Mei jadi hari spesial. Manten dengan kebaya hitam bersulam emas khas manten Solo temu di depan rumah. Mengikuti adat lempar beras kuning, pecah telur, cuci kaki, sungkem suami, lalu diboyong ke pelaminan dengan gendongan mesra ibu memakai kain sidomukti (jadi bahagia). Di pelaminan, mereka sungkem ke orang tua. Kacar kucur, yaitu menumpahkan biji-bijian ke pangkuan istri menjadi simbol bahwa suami mencari nafkah dan memberikannya kepada istri. Lalu suap-suapan nasi kuning dan minum.
Aku selalu tertarik pada makanan. Ada beberapa deret menu yang bisa diambil secara prasmanan oleh para tamu. Kekhasan Jawa muncul dengan kuat. Ya, wong menunya ada gudeg lengkap dengan ayam, krecek, telur. Lalu nasi pecel, dan peyek. Deretan lain yang di luar Jowo adalah coto makasar dan bakso. Kue-kue mini dan buah ada di pondok-pondokan yang lain. Aih, bener-bener pesta aku. Semua diincip. Hebatnya sambil diiringi karawitan dengan gamelan lengkap, walau beberapa lagunya lagu kontemporer campur sari campur dangdut.
Pesta meriah berlangsung hingga pukul 9 malam dengan tamu tak henti-hentinya mengalir. Pukul 9 malam, seluruh makanan ditarik ke dapur dan pentas wayang dimulai. Dalangnya Ki Greng dari Sragen dengan sinden lokal dan impor dari Jawa. Gak mudeng ceritanya apa, tapi melihat banyaknya penonton, kesenian ini masih menjadi primadona untuk tontonan rakyat Jawa di Balikpapan. Sampai pagi.
Aku bersama Yeni dan Ibu, gak melihat wayang ini, tapi malah nongkrong makan nasi pecel pincuk Tulungagung diantara deretan penjual makanan yang memeriahkan malam wayang kulit ini. Harganya? Wuih mahal. Bertiga makan nasi pecel di pincuki, pake tempe goreng dan peyek 23 rebu bok. Di Gringging angka itu bisa untuk 15 orang menu yang sama. Tapi puas nikmat, gak disesali.
Mengunjungi Kampung Pelayaran, Balikpapan

Kamis hingga Minggu (17 - 20 Mei) 2007 aku mengadakan perjalanan ke Balikpapan bersama ibu dan Yeni. Bertiga lepas dari rutinitas pekerjaan rumah tangga maupun pekerjaan kantor. Tidak nyangka ini menjadi perjalanan yang menyenangkan dan jauh dari perkiraan semula yang 'hanya' niat menghadiri perkawinan Veka.
Perjalanan dimulai dari Bandara Sukarno Hatta. Aku udah cangkruk di situ dari subuh karena naik travel dari Lampung, diantar pertama kali. Dua jam kemudian baru ibu dan Yeni muncul. Aduh, ngantuk dan capek. Ikut dalam penerbangan pertama Lion Air, pukul 6.50, terasa segar kembali karena obrolan bertiga. Yah, lumayan melepas kangen. Terakhir bertemu mereka berdua pada akhir tahun kemarin. Jadi ya, seneng-seneng aja.
Perjalanan ke Balikpapan ditempuh selama 2 jam. Dengan lapar, karena rupanya Lion hanya menyediakan segelas air. Sepotong kecil wingko sisa dari travel dipotong jadi 3 untuk mengganjal perut. Hehehe...dasar tidak cerdas dan kegeeran penuh harap. Jadinya begitu itu, kelaparan di dalam pesawat. Sebenere aku niat memakai waktu 2 jam perjalanan itu untuk mewawancarai ibu berkaitan dengan silsilah keluarga Gringging. Tapi kurang nyaman, enakan ngobrol tentang apa saja. Toh beberapa kisah tentang kung dan mbah pasti muncul juga.
Bandara Sepinggan Balikpapan, sangat bersih. Keluar dari bandara ini menuju Kampung Pelayaran, kami terbengong-bengong melihat kota ini rupanya sangat rapi. Terasa aman. Indah. Bayangin, sepanjang perjalanan kami melihat laut di sisi kiri dan perbukitan hijau di sisi kanan. Kampung Pelayaran ada di dekat pelabuhan. Berada di antara perumahan untuk Pertamina. Sangat kontras. Pertamina punya, rumah sangat besar dengan halaman luas tanpa pagar, ditumbuhi rumput hijau yang rapi selalu dipotong sepertinya. Tanah yang naik turun mengingatkan perumahan ini seperti di lapangan golf. Hehehe.... Nah, rumah para warga biasa di sekitaran Kampung Pelayaran ini berjejal dan padat. Rumah-rumah berdempetan tanpa halaman, dan berusaha dibangun naik untuk membuat ruang yang longgar. Soal bersih dan indah tetep. Aku terkesan dengan tangga-tangga yang ada di setiap rumah. Ya, tentu saja mereka butuh tangga karena rumah-rumah itu berada di perbukitan naik turun. Bisa jadi ruang tamu datar, tapi dapur dan kamar mandi di bawah sana, tempat tidur naik ke atas. Bisa olah raga gratis pokoknya naik turun untuk keperluan sehari-hari.
Kampung ini dihuni oleh pendatang-pendatang dari Jawa khususnya Jawa Timur sekitar Kediri, Nganjuk, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Surabaya dan Madura. Maka bahasa sehari-hari tidak asing lagi. Pokoke jadi belajar bahasa Jawa halus kembali (dengan logat dan kosa kata amburadul). Yang aku kunjungi ini saudara dari Bapak. Pak Puh Kardoyo adalah suami dari kakak bapakku yang sudah meninggal (aku kira mbak kandung beda bapak dengan bapakku). Mereka tidak mempunyai anak tapi mengangkap seorang anak perempuan yang kami panggil Mbak Tres. Anak mbak Tres inilah si Veka yang melangsungkan pernikahan.
Kamis, terlampaui dengan ngobrol kangen-kangenan, dolan ke Kebun Sayur dan Klandasan, makan kepiting di Dandito, dan tidur dengan pulas hingga ampir siang. Jumat begitu juga, ngobrol, makan dolan, malam hari ijab kabul si Veka dengan Iwan. Ditutup dengan kunjungan ke rumah Pak Amir, salah seorang yang setiap datang ke Jawa pasti tidur menginap di rumah Kediri. Sabtu dari pagi hingga malam pesta nikah meriah. Tapi kami dolan juga di sela-selanya. Klandasan again. Minggu ngobrol makan, terus pulang. Di Sepinggan nunggu beberapa saat. Kami naik Lion Air pukul 12.40. Beberapa detail cerita Balikpapan aku ceritakan dalam tulisan lain. Aku kira bisa beberapa tulisan lagi deh. Asyikkk....

Monday, May 14, 2007

Tanggal 12 Mei lalu, hari Sabtu, aku dan Hendro mendapatkan kesempatan langka. Berbicara di depan 31 pasang peserta kursus persiapan perkawinan Katolik. Untuk pertama kalinya kami melakukannya dengan sebuah tema yang khusus, yaitu Komunikasi Pasangan Suami Istri. Berat. Sungguh berat, karena kami bukanlah pasangan yang sudah sempurna dalam berkomunikasi satu sama lain. Aku sering ngomong tentang komunikasi tapi untuk orang muda atau tema jurnalistik, tidak pernah tentang perkawinan artinya tentang kami sendiri. Terlebih Hendro, tidak pernah dia ngomong tentang komunikasi. Tapi okey juga tawaran itu.

Kami lalu membuat sebuah tulisan berdasarkan bukunya Gilarso. Lalu membuat simulasi sederhana,"Kami ingin mengajak anda sekalian untuk pacaran. Pacaran rame-rame. Jadi duduklah mepet satu sama lain." Lalu masing-masing kami pandu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang aku rasakan, apa yang aku senangi dari pasangan, jika ada yang tidak aku senangi aku akan bagaimana dan jika dariku ada yang tidak disenanginya, aku berharap dia bagaimana. Pasangan-pasangan muda itu lalu kami ajak untuk berpegangan tangan, saling menatap, saling menyalurkan kasih, dan mensharingkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Baru kemudian kami bergantian mempresentasikan tulisan dan diselipi cerita keseharian kami, mulai dari awal pernikahan hingga kini punya dua anak. Ah, lega ketika 1,5 jam selesai. Bahkan kami punya penutup tak terduga, untuk tarik kesimpulan. Albert dan Bernard tiba-tiba masuk ke dalam ruangan (sebelumnya mereka ditemani si Reni main di luar), yach anak-anak itu lalu maju begitu saja sambil panggil ibu, bapak dan nemplok di antara kami berdua. Seluruh pasangan itu tentu saja melihatnya dan itulah bayangan bagi mereka, yang akan mereka jalani nanti setelah pernikahan.

Malamnya, kami saling bicara, dan rupanya moment ini membuahkan banyak hal bagi kami berdua. Banyak yang kami pelajari dari peristiwa itu. Hendro, yang hampir tidak pernah bicara di depan umum selain omong tentang listrik, maintenance, keselamatan kerja, dll., merasa terpesona dengan pengalaman itu. "Jika diundang lagi, atau bahkan jadi pembicara tetap, mau aku!" Hahaha...ketagihan dia.

Wednesday, May 09, 2007

Rm. Fritz mengkritik talk show di Radio Suara Wajar yang aku adakan bersama teman-teman Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL) tanggal 1 Mei lalu dalam rangka hari buruh. Menurutnya, talk show yang disiarkan langsung selama 1 jam itu terlalu menekankan buruh sebagai pihak yang lemah, tertindas dan tertekan. Mestinya sisi lain juga ditekankan yaitu soal buruh atau pekerja sebagai tangan ilahi yang turut serta dalam karya kerja Allah. Disodorkan kepadaku St. Yusuf yang diangkat sebagai pelindung para pekerja dan menurut tradisi gereja digambarkan sebagai pekerja tekun nan sederhana. Nilai-nilai kerja seperti itu juga harus diangkat supaya imbang, tidak hanya sekedar menuntut dan merasa lemah sehingga bisa lebih berdaya dan menghargai pekerjaannya. Menurut si romo, kerja bukan hanya soal perut tapi soal pengembangan diri dan menjadi tangan Allah.
Aku setuju! Tapi langsung 'mbededeg sebah' campur gelisah.
Terakhir ini yang pertama mengkili-kili perutku. "Nah, masalahnya para buruh sekarang ini bekerja masih memperjuangkan perut. Perutnya masih kosong. Bagaimana berpikir soal nilai kerja, apalagi di hadapan Allah yang punya gawe besar penyelamatan dunia. Wong kerja yang dilakoni itu karena tidak ada pilihan lain!" aku membela. Dan untuk hari buruh kemarin itu memang FKSPL ingin menekankan bahwa buruh tertindas bukan akibat diri sendiri tapi ini terkait banyak faktor, dengan pihak lain : Pengusaha dan Pemerintah. Khususnya pemerintah yang bisa menentukan abang ijone negara. Jadi mau apa, ketika teriakan : Mayday, mayday, mayday... yang semakin melemah malah dijawab dengan pleton-pleton polisi dan pagar berduri. Ini perlu pertolongan, perhatian, segera! Jika tidak, semua rusak. Buruh adalah warna bangsa. Lha nek buruh rupane segitu getirnya, segetir itulah bangsa kita. SBY-KL, pemimpin bangsa, teman-teman sekalian, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday,........

Monday, May 07, 2007

kemarin aku berbincang dengan muder julia, pimpinan tertinggi fsgm di Indonesia. kesederhanaan mencuat darinya. saat bicara aku amati bibirnya. kecantikan biasa khas seorang wanita indonesia umur diatas setengah abad. tapi yang menarik adalah rentetan kata yang keluar darinya. pelan-pelan diucapkan kata per kata. sangat hati-hati seolah takut kata itu akan berhamburan memburat berantakan. mungkin juga takut setiap kata itu akan menggores lantai porselin yang halus yang sedang ditapaki. pokoknya ini gaya bicara yang menyenangkan.
ya tentu saja beda dengan gayaku yang seringkali kata kalimat tersembur begitu saja, lalu baru disesali kemudian. lebih-lebih lagi jika kemudian diketahui ada yang menangis karenanya. berapa kali sudah aku mengaku dosa karena mulutku tapi terulang juga setiap kali.
perjumpaan yang menyenangkan selama setengah jam itu lalu berlanjut dengan hingar bingar bersama br bambang yang bicara banyak tentang pendidikan inklusi. apa ya...tentang pendidikan yang terbuka bagi setiap orang beragama apapun, kaya dan miskin, bentuk apapun fisiknya...pendidikan yang menjadi hak bagi semua orang tanpa kecuali. br memberikan kritik terhadap sistem pendidikan indonesia, tapi terlebih pendidikan dari sekolah-sekolah yang sombong mendongak ke atas tidak melihat di sekitarnya banyak yang memelas tidak tahu apa yang harus dimakan. sebenarnya kritikan ini untuk semua orang, khususnya yang mengaku beriman tapi pelit, tidak mau senyum dengan gratis. hehehe...menurutku.

Thursday, May 03, 2007

Lama aku mencari kata-kata
lucu, karena sebenarnya nemplok dekat dengan wajahku
kemarin ketika aku pergi berjumpa para muda murnijaya
aku semakin terbahak
memandu mereka dan menegaskan bahwa benda matipun bersuara
bahwa kita punya lebih dari sekedar mati, karena kita bernafas
aku semakin terbahak
karena kata-kata sudah di ujung lidah
siap menyembur
jadi kasih
atau bisa