Saturday, August 25, 2018

Krakatau

Kaki yang menapak, adalah salah
keindahan yang terengah memakna.

Mestinya aku terus menemanimu, Prof.
Aku tahu tangisan tanpa isak di wajahmu.

Aku memilih diam menyusuri pasir hangat
juga Krakatau yang terus berteriak: Enyah!

Tak bisa lagi kugandeng tanganmu, Prof.
Aku tak lagi tertawa dalam perjalanan pulang.


Monday, August 20, 2018

Tentang Puisiku Sendiri: Langit Asta Tinggi


MELIHAT SUMENEP DARI LANGIT ASTA TINGGI
(Catatan Proses Penulisan Puisi Langit Asta Tinggi)

Yuli Nugrahani*
Sumenep, 13 – 14 Agustus 2018


LANGIT ASTA TINGGI

Asta Tinggi diratapi candra
menusuk daun-daun aren mendesakkan ingatan
pada teras perjumpaan
pada saat tubuhmu tubuhku lekat.
Walau raut hilang dalam malam
namun suara melantunkan irama berpagar tanya.

"Pasirkah hati Pancali, atau batu?"

Tanganku adalah tanganmu menadah
kata tergelincir seperti hujan
seperti ujung-ujung awan
terguncang-guncang
perbedaan.

"Yudistirakah suami Pancali, atau Pandawa?"

Bibirku meregangkan cengkerama
bibirmu menangkapnya sepenuh daya.
Menyudahi perdebatan di pangkal cemara
melumuri prasasti-prasasti dengan kata.
Pasir adalah batu, batu adalah pasir.
Yudistira adalah Pandawa, Pandawa adalah Yudistira.

"Pancali pongah di gelung rambut Krishna.”

Itu adalah haknya, katamu.
Kami memandang,
Kembali pada langit Asta Tinggi,
tanpa penilaian
diam dilipat senyuman.

Mei 2015


Latar Belakang
Puisi di atas ditulis dengan ingatan pada suatu malam saat saya mendapatkan kesempatan penuh kegembiraan bisa ‘nongkrong’ bareng dengan orang-orang muda Sumenep di salah satu teras Asta Tinggi pada tahun 2014. Tempat kami duduk itu cukup tinggi. Juga cukup sepi, walau ada beberapa kali rombongan datang untuk ziarah, tapi tak sebanyak di tempat lain di kawasan Asta Tinggi.
Suasana yang tenang menentramkan padahal saya sedang bersama orang-orang yang baru pertama kali saya jumpai, sekelompok orang muda dalam Komunitas Kampoeng Jerami. Bulan sedang terang walau saya lupa apakah saat itu purnama atau tidak. Duduk saja di teras itu memandang ke atas, di mana bulan sendirian bermain di antara ranting-ranting, atau memandang ke bawah di mana ada kemerlap-kemerlip lampu-lampu tak terhitung dari area perkampungan, membawa keasyikan sendiri. Tentu saja, karena saya bersama dengan ‘segerombolan’ penyuka puisi, malam itu kami lewatkan dengan membaca puisi dari Hujan Kampoeng Jerami secara bergantian. Buku itu akan kami luncurkan keesokan harinya di suatu tempat di Sumenep.
Obrolan ringan, duduk santai, tiduran bebas di lantai teras, dan beberapa aktifitas yang bagi orang lain tidak tampak penting, menjadi bagian menarik. Lebih menarik lagi karena dilakukan di salah satu teras Asta Tinggi, makam para raja Sumenep beberapa generasi.

Asta Tinggi menurut Wikipedia
Asta Tinggi adalah kawasan pemakaman khusus para Pembesar/Raja/Kerabat Raja yang teletak di kawasan dataran tinggi bukit Kebon Agung Sumenep. Dalam Bahasa Madura, Asta Tinggi disebut juga sebagai Asta Rajâ yang bermakna makam para Pangradjâ (pembesar kerajaan) yang merupakan asta/makam para raja, anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar tahun 1750 M. Kawasan pemakaman ini direncanakan awalnya oleh Panembahan Somala dan dilanjutkan pelaksanaanya oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I dan Panembahan Natakusuma II
Asta Tinggi memiliki 7 kawasan, yaitu:
1. Kawasan Asta Induk, terdiri dari :
·         Kubah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
·         Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro ( Bendoro Saod ),
·         Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III ( Pangeran Akhmad atau Pangeran Djimat ), yang kubahnya tersebut berasal dari Pendopo Kraton Pangeran Lor/Wetan,
·         Pangeran Pulang Djiwo yang kubahnya tersebut juga berasal dari Kraton Pangeran Lor/Wetan,
·         Pemakaman Istri-istri serta selir Raja-Raja Sumenep,
2. Kawasan Makam Ki Sawunggaling Konon diceritakan bahwa K. Saonggaling adalah pembela Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bendoro Moh. Saod) pada saat terjadinya upaya kudeta/perebutan kekuasaan oleh Patih Purwonegoro),
3. Kawasan Makam Patih Mangun,
4. Kawasan Makam Kanjeng Kai/Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I),
5. Kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo / Moh. Saleh, di mana dia tersebut pada masa hidupnya menjabat sebagai Patih pada Pemerintahan Panembahan Somala dan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
6. Kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep,
7. Kawasan Makam Raden Wongsokoesomo.

Arsitektur Makam dalam kompleks ini sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan yang berkembang pada masa Hindu. Hal tersebut dapat dilihat dari penataan kompleks makam dan beberapa batu nisan yang cenderung berkembang pada masa awal Islam berkembang di tanah Jawa dan Madura. Selain itu pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Tiongkok terdapat pada beberapa ukiran yang berada pada kubah makam Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, makam Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III dan makam Pangeran Pulang Djiwo.
Selain itu pengaruh Arsitektur Eropa mendominasi bangunan kubah makam Sultan Abdurrhaman Pakunataningrat I dan Makam Patih Mangun yang ada di luar Asta induk. Dalam kawasan kubah makam Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I, Seluruh bangunannya dipengaruhi gaya arsitektur klasik, kolom-kolom ionik masih dipakai dibeberapa tempat termasuk juga pada Kubah Makamnya.
Kawasan ini sangat indah. Suatu upaya pengeboman kawasan Asta Tinggi pernah dilakukan oleh tentara penjajah (disebutkan dalam buku Perjalanan dari Soengenep ka Batawi, karya Raden Sastro Soebrata terbitan Balai Pustaka tahun 1920). Hal itu terjadi karena tentara Inggris mengira bahwa bangunan tersebut adalah istana kerajaan (karena indahnya), pusat kekuasaan Sumenep. Namun, upaya pengeboman tersebut tidak sampai menghancurkan Asta Tinggi karena jatuh di luar kawasan, sehingga tempat ini tetap indah dan terjaga sampai sekarang.

Asta Tinggi sebagai Tempat Memandang
            Saya beruntung mengalami peristiwa indah di kawasan ‘pekuburan’ indah itu. Secara fisik, ketika saya ada di sana, saya sungguh-sungguh mendapat tempat untuk memandang keindahan ke atas maupun ke bawah. Bulan yang terang (saya mengabadikannya dalam foto) sangat nyata, seolah sangat dekat. Juga lampu-lampu dari rumah-rumah di perkampungan (kota?) yang mewujud sebagai lampu hias.
            Secara fisik, Asta Tinggi sebagai tempat memandang keindahan baru saya alami sekali itu, belum terulang lagi walau setelah itu saya pernah berkunjung ke Sumenep. Dan tentu saja yang bisa saya pandang waktu sangatlah terbatas karena kami nyaris tidak pindah tempat. Hanya satu sisi, dan juga hanya satu waktu (beberapa jam pada malam hari).
Namun secara nonfisik, Asta Tinggi menjadi tempat saya memandang banyak hal indah yang kemudian hadir dalam pengalaman pikir dan rasa saya. Puisi di atas hanyalah salah satu catatan yang mengekalkan ingatan tersebut. Asta Tinggi sebagai makam adalah arah dari hidup semua makluk. Asta Tinggi sebagai keindahan adalah proses hidup itu sendiri, mulai dari awal hingga akhir.
Dalam puisi Langit Asta Tinggi, saya meletakkan makam dan keindahan sebagai setting tempat dan waktu untuk puisi itu.
“Asta Tinggi diratapi candra”
Kawasan pemakaman itu pada saat malam (candra=bulan, hanya terlihat pada malam hari.). Setting itu harus dibuat untuk mengawali karena tempat dan waktulah yang membungkus seluruh ‘percakapan’ pada puisi tersebut. Asta Tinggi menjadi penting karena perpaduan dua hal itu: makam dan keindahan. Satu kata yang bisa dimaknai dengan mengerikan namun tak terelakkan, sedang kata lain bisa dimaknai dengan segala hal menggembirakan yang juga tak terelakkan, spontan setuju saat berada di Asta Tinggi.
            Puisi tersebut saya pisahkan menjadi dua bagian yang saling bertautan. Bagian pertama adalah bait-bait yang terdiri dari beberapa baris, saya tandai dengan huruf tegak biasa. Bagian kedua adalah bait-bait yang terdiri dari satu baris, dengan tanda huruf italic, dalam tanda kutip sebagai kalimat langsung.
            Bagian pertama itulah yang meletakkan ‘saya’ pada Asta Tinggi terus-menerus. Saya tidak melupakan keberadaan Asta Tinggi sebagai makam walau saya tak menyebutnya demikian dalam puisi ini. Saya menyebut Asta Tinggi sebagai ‘teras perjumpaan’. Ini adalah perjumpaan dari dua (atau lebih) sosok yang berbeda namun tidak berbeda. Perjumpaan yang berisi diskusi, dengan ‘berpagar tanya’.
            Ini saya gunakan untuk mengatakan munculnya banyak perdebatan tak berujung di Indonesia yang sebenarnya sama cara pikirnya, ketika dikatakan oleh orang yang berbeda menjadi pertengkaran yang tajam.

Asta Tinggi diratapi candra
menusuk daun-daun aren mendesakkan ingatan
pada teras perjumpaan
pada saat tubuhmu tubuhku lekat.
Walau raut hilang dalam malam
namun suara melantunkan irama berpagar tanya.

"Pasirkah hati Pancali, atau batu?"

            Pasir dan batu, asalnya sama dari bumi, komponen pembentuknya mirip. Yang menjadi pembeda adalah ukurannya. Pasir lebih kecil, bisa kasat mata ketika jumlahnya banyak. Pada volume yang lebih besar, batu menjadi wujudnya.

Tanganku adalah tanganmu menadah
kata tergelincir seperti hujan
seperti ujung-ujung awan
terguncang-guncang
perbedaan.

"Yudistirakah suami Pancali, atau Pandawa?"

            Bait berikutnya ini membuat debat itu semakin nyata. Yudistira adalah suami Pancali (Drupadi). Versi ini yang dikembangkan di tempat kita. Namun di India sana, Pandawa kelima-limanya adalah suami Drupadi. Bagaimana kita bisa memperdebatkan ‘versi’?

Bibirku meregangkan cengkerama
bibirmu menangkapnya sepenuh daya.
Menyudahi perdebatan di pangkal cemara
melumuri prasasti-prasasti dengan kata.
Pasir adalah batu, batu adalah pasir.
Yudistira adalah Pandawa, Pandawa adalah Yudistira.

"Pancali pongah di gelung rambut Krishna.”

            Di situlah kemudian kesadaran dan kepasrahan muncul. Tak ada masalah entah pasir atau batu, juga Yudistira atau Pandawa, atau juga kalau diletakkan dalam konteks lain, tak masalah jika menjadi kecil atau besar, sedikit atau banyak, dengan nama apa pun. Dulu saya menyebutnya sebagai titik maklum. Dengan begitu semua ada di tempat yang tepat bahkan ketika kita melihat seseorang memiliki kesombongan karena keberuntungan hidupnya. Pancali/Drupadi boleh sombong/pongah karena memang dia terikat dalam gelung helaian rambut Krishna, Sang Mahadewa.

Itu adalah haknya, katamu.
Kami memandang,
Kembali pada langit Asta Tinggi,
tanpa penilaian
diam dilipat senyuman.

            Dengan kesadaran dan kepasrahan seperti itulah, Asta Tinggi sebagai makam dan keindahan akan abadi dalam berbagai perjalanan. Menjadi tempat kembali ketika hal-hal detil menjadi diskusi atau debat. Dan ketika sampai pada ‘titik maklum’ di mana tak ada benar salah, jahat baik, hitam putih dan sebagainya, diam bukan menjadi kerisauan, tapi seperti rasa yang saya alami saat di Asta Tinggi, tenang yang menentramkan, yang nyaman, yang begitu sederhana sehingga mudah dilipat dalam/sebagai/oleh senyuman.

Unsur-unsur dalam Puisi Ini

1.      Tema dan Pokok pikiran
Tema puisi ini adalah perbedaan pendapat. Lalu saya mengambil pokok pikiran tentang dua (atau lebih orang) yang bercakap di Asta Tinggi, berdebat tentang sesuatu yang jauh (namun dekat) yaitu ‘manusia Pancali”.

2.      Rasa
Inilah bagian dari yang tak bisa lepas dari penyair. Dia mempunyai rasa yang muncul dari hati tentang tema yang sudah dipikirkan (atau dialami, atau dirasakan, atau diperbincangkan, atau dibaca dsb). Gembira, sedih, marah, bingung, galau, murung, kecewa dan sebagainya. Ada banyak ragam rasa. Dalam puisi di atas ini, rasa utama saya adalah tanda tanya lalu menjadi ‘pasrah’. Terhadap perbedaan, terhadap cara pandangnya, juga keterlanjutannya.

3.      Nada
Rasa itulah yang kemudian menentukan nada dari puisi itu. Jika dia gembira, maka optimis yang muncul. Jika sedih, dia akan menunjukkan alasan-alasan kesedihan. Jika dia marah, nada proteslah yang akan muncul. Dan sebagainya. Ketika pasrah menjadi rasa utama, nada yang muncul adalah ‘datar’, biasa, tenang.

4.      Tujuan/pesan
Yang terakhir, adalah pikiran bahwa puisi ini telah dan akan dibaca oleh seseorang. Mungkin juga pembacanya adalah saya sendiri pada waktu dan tempat yang berbeda. Di situlah akan muncul tujuan atau pesan dari puisi itu. Bisa ditangkap berbeda-beda, tapi penulis selalu mengharapkan pesan itu tersampaikan pada pembacanya. Saya ingin: setiap pembaca puisi ini meneliti lagi point yang dipertentangkan olehnya ketika berdebat dengan orang lain atau dirinya sendiri. Jangan-jangan sebenarnya hanya beda ukuran, beda versi, padahal hakikatnya sama. Kemudian menerima seluruh proses itu dalam senyuman.

Penutup
Mengambil setting Asta Tinggi untuk puisi ini bukanlah sebagai gaya-gayaan, pamer bahwa: Ini nih saya orang Lampung pernah ke Sumenep. Tidak. Asta Tinggi adalah makam yang indah (yang pernah dikira sebagai Istana sehingga berisiko jadi sasaran bom!). Bukan hanya keindahan bangunannya yang menarik orang-orang untuk datang berziarah. Tapi ‘isi’ dari makam ini. Tentulah isi yang dimaksud bukan soal tulang belulang dari jenazah yang pernah dimakamkan di sini, tapi dari sinilah sejarah Sumenep juga Roh Semangat Sumenep menjadi lengkap ketika dipaparkan dari generasi ke generasi.
Ke dua, saya akan terus mengingat Sumenep karena saya pernah ke Asta Tinggi pada kesempatan pertama saya datang ke kota ini. Mungkin saya masih nol soal pengetahuan tentang Sumenep, sosial budaya, seni, ekonomi dan sebagainya. Tapi melalui Asta Tinggi saya mengenal harga diri Sumenep yang tegak dengan segala dinamika hidupnya, menyimpan perkembangan-perkembangan kekayaan budaya yang tak mungkin dihentikan. Hal-hal seperti ini sudah dibuktikan oleh komunitas-komunitas seni dan budaya yang berkembang di Sumenep.
Hal-hal lain akan saya tambahkan nanti, tentu segala hal akan memuai nanti seturut pemahaman yang bisa saya dapatkan. Terimakasih.

* Cerpenis dan penyair dari Lampung
    Bukunya yang pernah terbit antara lain: Kumpulan Puisi Pembatas Buku, Kumpulan Cerpen Daun-daun Hitam, Kumpulan Puisi Sampai Aku Lupa, Kumpulan Cerpen Salah Satu Cabang Cemara, Cerita Rakyat Sultan Domas Pemimpin yang Sakti dan Baik Hati.

Friday, August 17, 2018

Hari Refleksi, Bukan Hanya untuk Kemerdekaan RI

Sesampai di Lampung, malam, setelah perjalanan panjang mulai dari 9 Agustus 2018 kurayakan dengan hening bersama catatanku. Aku akan share point-point supaya aku ingat perjalanan indah ini:

9 Agustus, memproses Visa Schengen di Kuningan City. Semuanya lancar. Dataku masih tersimpan di kedutaan Italy jadi aku yakin akan berjalan dengan baik sesuai dengan yang kuharapkan. Sore aku kontak Siska untuk menemaniku makan di Stasiun Gambir sebelum aku lanjut ke Surabaya.

10 Agustus, aku sampai di Surabaya sangat pagi, langsung ke Wisma Tamu milik Kemenag Propinsi Jatim. Sampai 12 Agustus aku akan mengikuti pertemuan tahunan FPBN. Agak lemes karena beberapa hal tapi aku senang bisa melewati agenda penting ini. Agak resah karena beberapa hal termasuk tentang Lombok yang usai gempa.

12 Agustus, mencegat bis Madura di simpang Kenjeran. Penuh sesak. Untungnya ada satu kursi kosong yang bisa kududuki untuk menuju Sumenep. Satu hal yang menarik dalam perjalanan ini, di belakangku duduk seorang bapak dengan anak kecil. Bapak itu sepanjang jalan 'nembang' dengan santai, jernih, dalam bahasa Madura dan sesekali diseling dengan obrolan dengan anak kecilnya.

13 Agustus, bersama Komunitas Kampoeng Jerami memberikan pelatihan menulis cerpen untuk beberapa komunitas yang hadir di Pendowo lama kewedanan Sumenep. Aku selalu gembira bersama dengan kelompok ini, apalagi di Madura, Sumenep, salah satu tempat favoritku di dunia. Terlebih aku sudah dicharge oleh Pantai Kapedi yang 'senyap' dan 'mesra'.

14 Agustus, masih lanjutan pelatihan. Kali ini ditambah dengan kue tart ultah KKJ, jamu Madura, dan perjalanan di antara kembang tembakau yang cantik.

15 Agustus, perjalanan Surabaya yang harusnya bisa lebih pendek kalau aku cukup yakin dengan beberapa hal yang tak bisa kupastikan, bahkan hingga kini. Lalu Kediri yang selalu menarikku sebagai anak-kanak-sanak.

17 Agustus, Nganjuk-Yogyakarta-Lampung. Semuanya lengkap. Pikiran yang penuh, hati yang penuh, pikiran yang kosong, hati yang kosonggg.... Merdeka!