Friday, December 13, 2019

Abon Ikan / Ayam ala Yuli Nugrahani

Abon dikemas rapi setelah diolah dengan penuh cinta.
Beberapa saat sebelum pergi ke Agats, aku melakukan eksperimen membuat abon dari macam-macam bahan. Ikan tuna, patin, dan lele itu menjadi obyek yang awal-awal. Membeli dalam jumlah sedikit hanya setengah kg atau beberapa ons saja. Lalu aku juga membuat abon ayam dari dada 1 ekor ayam. Kemudian melakukan eksperimen juga dengan menyematkan macam-macam rasa, dari yang orisinil, pedas dan bawang.

Eksperimen ini mesti kulakukan karena di Agats aku akan latihan bersama para ibu di sana untuk membuat berbagai macam pangan lokal. Aku yakin di Agats pasti ada macam-macam hasil air laut atau sungai yang bisa diolah menjadi makanan. Selain membuat abon aku juga menyiapkan kue sagu, kue telur gabus, pastel abon dan sebagainya. Soal yang mana nantinya akan dipraktekkan di Agats tidak jadi soal.

Hasil dari eksperimen itu aku kemas dalam kantung-kantung yang memungkinkan untuk digunakan beberapa kali, tanpa perlu dipindah ke toples dan tidak repot untuk menutupnya kembali sehingga tidak melempem. Kulengkapi dengan hitungan bisnisnya andai kata abon-abon itu akan dijual.

Pertanyaan yang sering muncul adalah sebagai berikut:

Ikan patin, lele dan ayam. Siap packing.
1. Bukannya bikin abon itu ribet?
jawab: Ndak, sama sekali tidak ribet. Memang butuh waktu lama dan kudu telaten. Bahkan untuk proses penggorengannya bisa dipakai untuk wiridan sampai beberapa kali putaran. Jadi sambil ngudek bisa sambil mendaraskan doa-doa.

2. Bukannya alat-alatnya harus khusus?
jawab: Tidak. Aku menggunakan alat-alat yang ada di rumah. Kompor, panci, wajan, sutil, sendok, baskom, cobek, solet, blender, alat pres (bisa menggunakan serbet atau kain bersih kalau tak ada). Nah, ada semua di dapur kan alat-alat itu? Kalau pun tak ada tetep bisa diakalin, pakai yang ada saja.

3. Bukannya bahannya susah?
jawab: Tidak. Kita bisa pakai bahan apa saja yang ada. Ikan laut, sungai, ayam atau daging apa saja. Malah aku sedang berpikir untuk membuat dari jamur atau gori/sukun/kluwih.

4. Bukannya hasilnya nyusut menjadi sangat sedikit?
jawab: Betul. Dari 3 kg ikan patin yang kubeli nanti hasil abonnya paling hanya 6 - 8 ons. Kan harus diilangin duri, kulit, kepala, dan ekornya. Habis itu digoreng kering dan dipres pula biar minyaknya hilang.

5. Harganya jadi mahal dong...
jawab: Betul. Harga abon memang mahal. Karena prosesnya lama dan penyusutannya banyak. Memang begitu.

Nah, karena mahal daripada beli di tempatku (bisa pesan di 08127925222), lebih baik buatlah sendiri saja. Ini kubagikan resepnya:



ABON LELE/PATIN/TUNA/AYAM ALA YULI NUGRAHANI


BAHAN:
-          1 kg ikan, buang kepalanya (kepala bisa dibuat pindang)
Abon siap meluncur ke pemesan.
-          1 ltr Minyak goreng
-          3 batang sereh (kalau ada)
-          3 lembar daun jeruk (kalau ada)
-          6 lembar daun salam (kalau ada)

BUMBU HALUS:
-          6 siung bawang putih
-          12 siung bawang merah
-          10 butir kemiri
-          1 sendok makan ketumbar
-          Cabai (kalau mau rasa pedas)
-          1 sendok teh garam (cek rasa)
-          2 sendok makan gula pasir (atau bisa ditambah gula merah, ada ditambah jumlah kalau mau rasa manis)
-          1 ruas jari jahe (kalau ada)
-          1 rusa jari laos muda (kalau ada)
-          1 ruas jari kunyit (kalau ada)

CARA MENGOLAH:
-          Rebus ikan hingga matang, beri sedikit garam pada air, tiriskan.
-          Bersihkan ikan dari kulit dan duri (kulit bisa dibuat keripik kulit ikan), suwir-suwir.
-          Haluskan bumbu. Rebus dengan sedikit air hingga aromanya tercium, matang. Masukkan potongan ikan, bumbu lain-lain, aduk rata, api kecil hingga air mengering.
-          Uleg/tumbuk ikan yang sudah berbumbu.
-          Goreng dengan api kecil sambil terus dibolak-balik (30 – 45 menit)
-          Tiriskan dan press dengan alat press hingga minyaknya keluar.
-          Keluarkan dari alat press dengan dikerok menggunakan garpu.
-          Jika tidak ada alat press bisa menggunakan kain dan diperas sampai minyak keluar.
-          Biarkan dingin dan siap dikemas.

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019

Sebenarnya aku lebih suka bicara tentang gender daripada bicara tentang perempuan. Kalau bicara tentang gender, aku bicara tentang manusia. Dan manusia itu adalah perempuan dan laki-laki, keduanya. Sama martabatnya sebagai ciptaan, sama derajatnya dalam seluruh kehidupan, dan harusnya diperlukan adil dan setara dalam setiap peran yang dijalankannya.

Tapiii, di Indonesia, kalau bicara tentang gender mau ndak mau bicara tentang perempuan, karena:

1. Korban kekerasan yang sekarang ini terjadi dalam hidup sehari-hari kita paling banyak adalah perempuan (juga anak-anak).

2. Perempuan masih mendapatkan label negatif dalam banyak peran yang dijalankannya.

3. Masih banyak perempuan yang menanggung beban ganda karena pilihan-pilihan sikapnya.

4. Perempuan masih terpinggirkan dalam peluang, akses dan perkembangan ekonomi. Masih ada gap dalam kesejahteraan.

5. Masyarakat masih sering menomorduakan perempuan untuk berbagai macam peran, posisi, dan tanggungjawab sehingga tidak mendapatkan akses dalam pengambilan keputusan maupuan kebijakan publik.

Karena itulah, bicara gender di Indonesia masih terus melekat pada perempuan dan upaya-upaya untuk pemberdayaan perempuan.

Dalam 16 hari kemarin, dari 25 Nopember hingga 10 Desember, menjadi kesempatan untuk melakukan usaha lebih dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Ada banyak moment yang bisa digunakan sepanjang 16 hari itu dengan puncaknya pada 10 Desember sebagai hari Hak Asasi Manusia.

Satu kesempatan kulakukan di Radio Suara Wajar pada Rabu 4 Desember 2019 mengambil slot ruang talkshow ASG yaitu pada pukul 20.00 - 21.30, dengan mensosialisasikan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, juga mengangkat keprihatinan kuatnya industri sekarang ini menjadikan perempuan sebagai korban melalui diskriminasi-diskriminasi langsung maupun tidak langsung. Misal standar kecantikan: kulit putih, rambut lurus, pipi tirus dan sebagainya. Perempuan yang sebaliknya seperti kulit hitam, rambut keriting dan pipi cubby menjadi obyek bullyan, dianggap tidak cantik, dan 'dipaksa' dengan segala macam 'permak' untuk mengubah kondisi fisiknya.

Wednesday, December 11, 2019

Perjalanan ke Agats (5): Masa Depan Anak-anak Papua

Bersama pelajar Agats di Aula Bupati Agats

Bersama Goan dan buku-bukuku.

Anak-anak cantik di depan Museum Asmat.

Gadis-gadis cantik yang suaranya luar biasa


Anak-anak asrama



Dalam perjalanan ke Agats kali ini (19 - 26 Nopember 2019), aku mendapatkan beberapa kesempatan bertemu dengan anak-anak dan remaja Papua. Kesempatan pertama (di bagian awal dan akhir perjalanan) aku bertemu dengan anak-anak di asrama yang dikelola oleh suster-suster di Timika. Mereka adalah anak-anak asli Papua yang mendapatkan didikan 'keras' pada usianya yang sangat dini, usia SD, masih sangat 'bayi' kalau aku ingat Albert dan Bernard, anak-anakku.

Saat berkunjung ke asrama ini spontan aku ingat tulisan Rm. Mangun tentang Asrama Mendut di samping Sungai Elo yang dibangun untuk mendidik gadis-gadis Jawa. Para suster Belanda dikisahkan sangat 'prihatin' dengan para gadis kecil yang bodoh ingusan tak tahu apa-apa, maka mereka dididik sangat keras dengan disiplin Eropa untuk membuat mereka menjadi perempuan-perempuan mandiri dan handal menghadapi hidup. Termasuk juga tulisan itu dengan para bujangnya di asrama Van Lit yang tak jauh dari situ.

Para muda Papua itu pun juga mendapatkan gemblengan dari para suster yang kebanyakan dari luar Papua. Mereka dipaksa untuk tertib mengikuti seluruh aturan dari para suster yang jelas sekali sebagiannya galak dan bersiap untuk menghardik kalau ada kesalahan-kesalahan.

"Pun begitu mereka tetap saja menggunakan waktu tidur siang para suster untuk keluyuran mencari buah-buahan yang tumbuh di halaman tetangga asrama," kata Rm. Gun, seorang pastur yang bertugas di SCJ, tak jauh dari asrama.

Aku tertawa saja sepanjang kunjungan singkat di asrama itu, melihat bagaimana mereka hidup secara 'mandiri' jauh dari orang tua mereka di kampung-kampung jauh. Katanya drama hebohnya ya terjadi saat mereka mulai masuk asrama (jan mirip dengan kisah Mendut), bahkan ada yang melarikan diri berusaha pulang ke kampungnya dengan segala cara.

Perjumpaan kedua dengan anak-anak Papua terjadi di Aula Kantor Bupati saat seminar. Aku bersama dengan Sr. Natalia OP memberikan dasar-dasar gender, bagaimana pergaulan sehat dan sebagainya untuk anak-anak pelajar dari berbagai sekolah di Agats. Anak-anak dari berbagai sekolah SMP dan SMA itu rupanya dipilih dari para aktifis sekolah, yang sudah biasa berorganisasi dan biasa untuk aktif. Mereka bisa menyampaikan buah pikiran mereka dengan baik, berani dan tidak malu-malu. Malah dengan mudah mereka membantu menghidupkan suasana pertemuan saat kami minta untuk bernyanyi dan bergerak.

Lalu perjumpaan-perjumpaan selanjutnya ada beberapa kali seperti di Kopi Bakau, para muda yang berkreasi dengan kopi dan menyediakan tempat untuk nongkrong. Lalu sebuah percakapan agak mendalam dengan Goan, guru muda asli Wamena yang tinggal dan besar di Agats. Dia lulusan pendidikan guru di Sanata Darma, dan masih punya banyak impian untuk masa depannya.

"Sa belum kepikir untuk menikah, kak. Belum menemukan orang yang cocok di Agats ini. Lagi pula sa masih ingin kuliah lagi S2 seusai kontrak dengan sekolah selesai."

Dia menceritakan aktifitasnya masa kuliah yang dia sukai, seperti naik gunung, juga menari. Kau bisa menari? Aku memandang tak percaya tubuhnya yang 'gagah', ya, dia gadis manis yang gagah.

"Bisa, kak. Sa bisa menari jaipong, tari bali, dan lain-lain."

"Tarian papua?"

"Tentu saja bisa." Jawabnya mantap dan percaya diri.

Dia menyampaikan beberapa pemikirannya sembari menemaniku keliling pasar Agats, bercerita tentang keprihatinannya akan harga-harga yang sangat mahal di Papua, minimnya fasilitas, susahnya mendapatkan akses pelatihan untuk mengembangkan diri dan sebagainya. Aku menangkap kerinduannya untuk terus maju dan belajar. Dia ingin tidak disekat oleh Agats yang terpencil tapi juga sertamerta dia ingin ikut mengembangkan Agats agar mampu bergerak maju seperti pikirannya.

Kegirangannya tampak jelas ketika aku memberikan dua bukuku padanya setelah aku tahu bahwa dia suka menulis. Goan mungkin tidak mewakili seluruh Papua, tapi dia adalah masa depan Papua, dan aku yakin banyak anak muda Papua yang seperti Goan, siap mengembangkan diri sekaligus mengembangkan Papua.

Wednesday, December 04, 2019

Perjalanan ke Agats (4): Seni Ukir dan Wisata Alam

Sebagian patung hasil kurasi panitia Festival Asmat.

Museum Asmat

Buaya leluhur

Sebagian sisi dari bagian dalam museum Asmat

Salah satu pojok foto di deretan Kopi Bakau

Patung Tangan di pusat kota Agats

Menghindari lalat babi dengan mepet ke api unggun

Yan Smith yang memprihatinkan

Sore di pelabuhan Agats

Perkampungan dekat pelabuhan

Salah satu kelompok yang hadir saat ekaristi 50 tahun Keuskupan Agats

Jembatan Jokowi, Agats.

Suku Asmat sudah familer di telingaku sejak dulu. Yang paling kukenali dari mereka adalah karya seni ukir yang mereka hasilkan. Kali ini aku bisa menikmati karya-karya mereka secara langsung termasuk bagaimana mereka melakukannya. Keberuntunganku adalah perjalananku kali ini bertepatan dengan Festival Asmat Pokman (pokman = karya tangan), dan saat itu ada ratusan seniman berkumpul di Agats dengan karya ukir, anyaman. Masih ditambah dengan para penari dan pendayung.

Sayangnya aku punya agenda lain bersamaan itu dengan SGPP KWI tapi tetap saja aku beruntung menikmati remah-remah yang masih boleh kupungut. Aku menggunakan jadwal festival yang dipasang di hotel, di kantin juga di tempat-tempat strategis di kota itu untuk memastikan mana yang bisa kuikuti dalam rangkaian festival.

Hari pertama aku dan beberapa tamu sudah diundang oleh Mgr. Aloys untuk mengunjungi Museum Asmat. Saat tiba di halamannya yang luas dan sedang disiapkan untuk pusat festival, mata dan hatiku sudah dimanja dengan ratusan ukiran berbagai ukuran yang sudah dikurasi oleh panitia. Hasil karya yang lolos kurasi itu akan dilelang dalam hari-hari festival Asmat.

Beberapa hasil karya ukir itu tampak mencuat di mataku dan menarikku untuk mencermati lebih lanjut. Ada cerita yang terungkap dari setiap ukiran. Beberapa di antaranya ada konten biblis yang diterjemahkan dalam warna Asmat. Misal ada kisah tentang Adam dan Hawa di Taman Eden. Ular/setan digambarkan dalam wajah manusia dengan gerak menggoda. Ada juga penggambaran dunia 'bawah', 'tengah' dan 'atas'. Selain penggambaran manusia juga ada bentuk yang sering muncul yaitu perahu, pepohonan, alat musik dan senjata.

Saat masuk ke museum, yang mencolok mataku pertama-tama adalah buaya besar di tengah ruangan. Tampak besar dan gagah. Konon itu adalah buaya yang sebenarnya, diawetkan dan dianggap sebagai leluhur. Mulutnya yang terbuka diberi persembahan-persembahan, yaitu uang dan rokok. Selain itu juga dikoleksi patung-patung segala bentuk segala ukuran, macam-macam senjata yang digunakan oleh suku Asmat, dan sebagainya. Di dinding dekat pintu masuk/keluar dipasang peta yang membuatku semakin ngeh lokasi Asmat ini juga kedekatannya dengan daerah-daerah lain.

Keluar dari Museum kami belok ke kanan ada deretan kopi bakau dengan pojok foto bagi siapa pun yang datang. Karena kopi bakau belum tersedia ya foto-foto itulah yang kami lakukan. Hehehe...

Saat pembukaan festival pas banget dengan seminar untuk para pelajar. Tapi kami break saat pawai dimulai sehingga aku bisa merekam pawai mereka dan menikmati gerak Asmat dan kostum yang mereka gunakan secara langsung.

Banyak agenda lain setelah pembukaan tapi aku malah nyempil di Aula Kantor Bupati. Huh. Tapi sekali ada kesempatan aku tak melewatkan tour bakau seperti yang ditawarkan oleh panitia. Kami diajak menyusuri sungai di Agats dan berhenti sebentar di sebuah pondok untuk menikmati suku Asmat dalam ritualnya. Tidak terlalu lama dan membuatku sedikit kecewa tapi cukuplah juga untuk membuktikan bahwa Agats, bahwa Asmat mempunyai daerah yang indah alamnya dengan beberapa ancaman yang nyata: pendatang yang ndak mudeng budaya setempat, air sungai yang keruh oleh pencemaran (oleh tambang?) dan masuknya budaya instan dalam segala lini kehidupan. Huh.

Puncak acara tak bisa kuikuti karena terlalu capek dan aku harus 'memaksa' Sr. Natalia untuk diam saja di hotel karena kakinya yang bengkak. Jadi hari Sabtu 23 Nopember aku menikmati sore dengan jalan ke pasar Agats bersama Goan lalu tidur, makan, tidur makan. Ohya, aku berkunjung juga ke pelabuhan dimana patung Yan Smith berdiri rusak di sana. Mengambil foto-foto sunset yang indah di pelabuhan lalu makan bakso di dekat Patung Tangan kota Agats.

Hari Minggu 24 Nop menjadi puncak peringatan 50 tahun Keuskupan Agats ditandai dengan ekaristi inkulturasi di halaman museum Asmat. Acara ini memuaskanku. Bahkan hingga hidangan yang mereka sajikan. Pun ketika disambung dengan acara makan malam di aula Keuskupan Agats pada malam harinya, aku menikmatinya sangat.

Wisata lain kusambung tanggal 25 nop dengan bermotor listrik bersama Sr. Natalia ke Jembatan Jokowi, untuk mendapatkan foto donggg....

Jadiiii, kalau ada kesempatan lagi pergi ke tempat ini, aku sudah punya deretan yang ingin kunikmati secara lebih:

1. Menelusuri sungai-sungai Asmat dengan tanaman-tanaman bakaunya yang beragam.

2. Menikmati seniman-seniman Asmat merenda di atas kayu-kayu, seperti tanpa konsep langsung ukir saja.

3. Mencoba tinggal di rumah-rumah asli mereka dan menggunakan cara mereka untuk bertahan hidup.

Nah, begitulah.

Tuesday, December 03, 2019

Perjalanan ke Agats (3): Sanitasi dan Air Bersih yang Susah


Jalan depan antara aula dan kantor bupati Agats

Lihat atap di sebelah kanan itu, ada selang/pipa untuk mengalirkan air hujan yang ditangkap oleh atap, masuk ke talang dan masuk ke penampungan air.

Sungai samping hotel saat pasang

Semuanya tanah rawa yang pasang surut.

Bagian lobi hotel Sang Surya.

Kebiasaanku kalau datang ke suatu tempat asing yang pertama-tama adalah tanya di manakah kamar mandi dan WCnya, apalagi kalau rencana akan tinggal dalam beberapa lama di tempat itu. Itu juga yang kutanyakan ketika sudah mendapatkan kunci kamar di Hotel Sang Surya Agats. Aku menempati kamar no. 6 yang terletak di lorong pertama setelah lobi. Kamar itu dekat dengan sungai samping hotel sehingga kalau aku membuka jendela kamar, aku bisa melihat hilir mudiknya speedboat atau perahu saat air sedang pasang.

Kamar itu berukuran sekitar 2,5 X 2,5 m2 dengan kasur untuk satu orang dengan satu bantal satu selimut dan satu handuk besar, satu meja yang di atasnya ada kipas angin, alat mandi dan sisir, satu kursi, satu lemari tanpa pintu dan satu cermin. Di lantai ada dua pasang sandal jepit warna putih dan hitam. Mengikuti hasrat aku pakai sandal putih untuk di dalam kamar sedang sandal hitam untuk ke luar kamar. Hehehe...

Kamar mandi terletak di luar kamar, setelah melewati kamar-kamar lain dan ruang cuci seterika. Kamar mandi dipisahkan antara laki-laki dan perempuan dan tiap pintu diberi tulisan peringatan untuk menghemat air karena air di situ didapatkan dari tampungan air hujan. Jika tidak hujan maka air akan menipis bahkan tidak ada lagi yang bisa digunakan.

Hotel ini cukup bersih dan air berkecukupan karena mempunyai bak-bak penampung air hujan yang sangat banyak. Pun begitu semua orang yang ada di situ harus berhemat dalam penggunaan air karena tidak bisa memprediksi kapan hujan atau tidak.  Jadi, walaupun berhemat air, selama aku tinggal di Hotel Sang Surya Agats aku tidak mengalami masalah besar soal air.

Ketika dua hari mengisi acara di Aula Ja Asamanam Apcamar, aula milik kantor Bupati Agats, aku berharap hal yang sama dengan di hotel. Tapi rupanya tidak. Ada dua kamar mandi/toilet di bagian belakang aula, dan tak ada sedikit pun air di sana. Jadi bagaimana urusan kencing atau berak? Huhuhuu... di sinilah air botol dan tisu jadi korban. Terpaksa aku menggunakan sebotol kecil air minum, tisu basah dan tisu kering untuk menyelesaikan urusan kamar mandi. Agak repot apalagi kami dua hari menggunakan aula itu dalam waktu yang cukup lama.

Saat aku masuk dapur kantin depan hotel berniat baik untuk membantu mencuci piring, Bude Anas yang mengelola kantin malah teriak-teriak: "Ndak usah bantu, mbak. Bisa malapetaka nanti. Bukannya membantu malah mborosin air. Kalau nyuci di sini mesti menggunakan cara yang berbeda dengan di tempat yang air berlimpah." Aku pun mundur teratur. Oke deh.

Di komunitas yang aku kunjungi seperti FSGM mereka memiliki tandon air yang besar dalam jumlah banyak. Pun begitu mereka tetap hati-hati dalam penggunaan air. Mereka beruntung bisa mempunyai fasilitas itu. Di rumah penduduk tampak bak-bak penampung air itu untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tapi jelas tidak semua orang mempunyai akses yang sama untuk memiliki tandon air karena membutuhkan biaya besar dalam pemasangannya.

Mereka sangat tergantung pada air hujan untuk pengadaan air bersih sehari-hari. Air rawa tidak layak untuk digunakan kecuali dengan pengolahan sebelumnya. Konon ada juga sumur bor hingga 200-300 m penggalian. Itu pun tidak mesti mendapatkan air yang sehat.

(Sorry tidak banyak foto yang bisa mewakili ceritaku tentang sanitasi dan air besih. Semoga kali berikutnya ke Agats aku dapat mengingat untuk memotret segala hal yang perlu untuk cerita semacam ini.)