Jalan depan antara aula dan kantor bupati Agats |
Lihat atap di sebelah kanan itu, ada selang/pipa untuk mengalirkan air hujan yang ditangkap oleh atap, masuk ke talang dan masuk ke penampungan air. |
Sungai samping hotel saat pasang |
Semuanya tanah rawa yang pasang surut. |
Bagian lobi hotel Sang Surya. |
Kebiasaanku kalau datang ke suatu tempat asing yang pertama-tama adalah tanya di manakah kamar mandi dan WCnya, apalagi kalau rencana akan tinggal dalam beberapa lama di tempat itu. Itu juga yang kutanyakan ketika sudah mendapatkan kunci kamar di Hotel Sang Surya Agats. Aku menempati kamar no. 6 yang terletak di lorong pertama setelah lobi. Kamar itu dekat dengan sungai samping hotel sehingga kalau aku membuka jendela kamar, aku bisa melihat hilir mudiknya speedboat atau perahu saat air sedang pasang.
Kamar itu berukuran sekitar 2,5 X 2,5 m2 dengan kasur untuk satu orang dengan satu bantal satu selimut dan satu handuk besar, satu meja yang di atasnya ada kipas angin, alat mandi dan sisir, satu kursi, satu lemari tanpa pintu dan satu cermin. Di lantai ada dua pasang sandal jepit warna putih dan hitam. Mengikuti hasrat aku pakai sandal putih untuk di dalam kamar sedang sandal hitam untuk ke luar kamar. Hehehe...
Kamar mandi terletak di luar kamar, setelah melewati kamar-kamar lain dan ruang cuci seterika. Kamar mandi dipisahkan antara laki-laki dan perempuan dan tiap pintu diberi tulisan peringatan untuk menghemat air karena air di situ didapatkan dari tampungan air hujan. Jika tidak hujan maka air akan menipis bahkan tidak ada lagi yang bisa digunakan.
Hotel ini cukup bersih dan air berkecukupan karena mempunyai bak-bak penampung air hujan yang sangat banyak. Pun begitu semua orang yang ada di situ harus berhemat dalam penggunaan air karena tidak bisa memprediksi kapan hujan atau tidak. Jadi, walaupun berhemat air, selama aku tinggal di Hotel Sang Surya Agats aku tidak mengalami masalah besar soal air.
Ketika dua hari mengisi acara di Aula Ja Asamanam Apcamar, aula milik kantor Bupati Agats, aku berharap hal yang sama dengan di hotel. Tapi rupanya tidak. Ada dua kamar mandi/toilet di bagian belakang aula, dan tak ada sedikit pun air di sana. Jadi bagaimana urusan kencing atau berak? Huhuhuu... di sinilah air botol dan tisu jadi korban. Terpaksa aku menggunakan sebotol kecil air minum, tisu basah dan tisu kering untuk menyelesaikan urusan kamar mandi. Agak repot apalagi kami dua hari menggunakan aula itu dalam waktu yang cukup lama.
Saat aku masuk dapur kantin depan hotel berniat baik untuk membantu mencuci piring, Bude Anas yang mengelola kantin malah teriak-teriak: "Ndak usah bantu, mbak. Bisa malapetaka nanti. Bukannya membantu malah mborosin air. Kalau nyuci di sini mesti menggunakan cara yang berbeda dengan di tempat yang air berlimpah." Aku pun mundur teratur. Oke deh.
Di komunitas yang aku kunjungi seperti FSGM mereka memiliki tandon air yang besar dalam jumlah banyak. Pun begitu mereka tetap hati-hati dalam penggunaan air. Mereka beruntung bisa mempunyai fasilitas itu. Di rumah penduduk tampak bak-bak penampung air itu untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tapi jelas tidak semua orang mempunyai akses yang sama untuk memiliki tandon air karena membutuhkan biaya besar dalam pemasangannya.
Mereka sangat tergantung pada air hujan untuk pengadaan air bersih sehari-hari. Air rawa tidak layak untuk digunakan kecuali dengan pengolahan sebelumnya. Konon ada juga sumur bor hingga 200-300 m penggalian. Itu pun tidak mesti mendapatkan air yang sehat.
(Sorry tidak banyak foto yang bisa mewakili ceritaku tentang sanitasi dan air besih. Semoga kali berikutnya ke Agats aku dapat mengingat untuk memotret segala hal yang perlu untuk cerita semacam ini.)
No comments:
Post a Comment