Wednesday, December 11, 2019

Perjalanan ke Agats (5): Masa Depan Anak-anak Papua

Bersama pelajar Agats di Aula Bupati Agats

Bersama Goan dan buku-bukuku.

Anak-anak cantik di depan Museum Asmat.

Gadis-gadis cantik yang suaranya luar biasa


Anak-anak asrama



Dalam perjalanan ke Agats kali ini (19 - 26 Nopember 2019), aku mendapatkan beberapa kesempatan bertemu dengan anak-anak dan remaja Papua. Kesempatan pertama (di bagian awal dan akhir perjalanan) aku bertemu dengan anak-anak di asrama yang dikelola oleh suster-suster di Timika. Mereka adalah anak-anak asli Papua yang mendapatkan didikan 'keras' pada usianya yang sangat dini, usia SD, masih sangat 'bayi' kalau aku ingat Albert dan Bernard, anak-anakku.

Saat berkunjung ke asrama ini spontan aku ingat tulisan Rm. Mangun tentang Asrama Mendut di samping Sungai Elo yang dibangun untuk mendidik gadis-gadis Jawa. Para suster Belanda dikisahkan sangat 'prihatin' dengan para gadis kecil yang bodoh ingusan tak tahu apa-apa, maka mereka dididik sangat keras dengan disiplin Eropa untuk membuat mereka menjadi perempuan-perempuan mandiri dan handal menghadapi hidup. Termasuk juga tulisan itu dengan para bujangnya di asrama Van Lit yang tak jauh dari situ.

Para muda Papua itu pun juga mendapatkan gemblengan dari para suster yang kebanyakan dari luar Papua. Mereka dipaksa untuk tertib mengikuti seluruh aturan dari para suster yang jelas sekali sebagiannya galak dan bersiap untuk menghardik kalau ada kesalahan-kesalahan.

"Pun begitu mereka tetap saja menggunakan waktu tidur siang para suster untuk keluyuran mencari buah-buahan yang tumbuh di halaman tetangga asrama," kata Rm. Gun, seorang pastur yang bertugas di SCJ, tak jauh dari asrama.

Aku tertawa saja sepanjang kunjungan singkat di asrama itu, melihat bagaimana mereka hidup secara 'mandiri' jauh dari orang tua mereka di kampung-kampung jauh. Katanya drama hebohnya ya terjadi saat mereka mulai masuk asrama (jan mirip dengan kisah Mendut), bahkan ada yang melarikan diri berusaha pulang ke kampungnya dengan segala cara.

Perjumpaan kedua dengan anak-anak Papua terjadi di Aula Kantor Bupati saat seminar. Aku bersama dengan Sr. Natalia OP memberikan dasar-dasar gender, bagaimana pergaulan sehat dan sebagainya untuk anak-anak pelajar dari berbagai sekolah di Agats. Anak-anak dari berbagai sekolah SMP dan SMA itu rupanya dipilih dari para aktifis sekolah, yang sudah biasa berorganisasi dan biasa untuk aktif. Mereka bisa menyampaikan buah pikiran mereka dengan baik, berani dan tidak malu-malu. Malah dengan mudah mereka membantu menghidupkan suasana pertemuan saat kami minta untuk bernyanyi dan bergerak.

Lalu perjumpaan-perjumpaan selanjutnya ada beberapa kali seperti di Kopi Bakau, para muda yang berkreasi dengan kopi dan menyediakan tempat untuk nongkrong. Lalu sebuah percakapan agak mendalam dengan Goan, guru muda asli Wamena yang tinggal dan besar di Agats. Dia lulusan pendidikan guru di Sanata Darma, dan masih punya banyak impian untuk masa depannya.

"Sa belum kepikir untuk menikah, kak. Belum menemukan orang yang cocok di Agats ini. Lagi pula sa masih ingin kuliah lagi S2 seusai kontrak dengan sekolah selesai."

Dia menceritakan aktifitasnya masa kuliah yang dia sukai, seperti naik gunung, juga menari. Kau bisa menari? Aku memandang tak percaya tubuhnya yang 'gagah', ya, dia gadis manis yang gagah.

"Bisa, kak. Sa bisa menari jaipong, tari bali, dan lain-lain."

"Tarian papua?"

"Tentu saja bisa." Jawabnya mantap dan percaya diri.

Dia menyampaikan beberapa pemikirannya sembari menemaniku keliling pasar Agats, bercerita tentang keprihatinannya akan harga-harga yang sangat mahal di Papua, minimnya fasilitas, susahnya mendapatkan akses pelatihan untuk mengembangkan diri dan sebagainya. Aku menangkap kerinduannya untuk terus maju dan belajar. Dia ingin tidak disekat oleh Agats yang terpencil tapi juga sertamerta dia ingin ikut mengembangkan Agats agar mampu bergerak maju seperti pikirannya.

Kegirangannya tampak jelas ketika aku memberikan dua bukuku padanya setelah aku tahu bahwa dia suka menulis. Goan mungkin tidak mewakili seluruh Papua, tapi dia adalah masa depan Papua, dan aku yakin banyak anak muda Papua yang seperti Goan, siap mengembangkan diri sekaligus mengembangkan Papua.

No comments:

Post a Comment