Tapiii, di Indonesia, kalau bicara tentang gender mau ndak mau bicara tentang perempuan, karena:
1. Korban kekerasan yang sekarang ini terjadi dalam hidup sehari-hari kita paling banyak adalah perempuan (juga anak-anak).
2. Perempuan masih mendapatkan label negatif dalam banyak peran yang dijalankannya.
3. Masih banyak perempuan yang menanggung beban ganda karena pilihan-pilihan sikapnya.
4. Perempuan masih terpinggirkan dalam peluang, akses dan perkembangan ekonomi. Masih ada gap dalam kesejahteraan.
5. Masyarakat masih sering menomorduakan perempuan untuk berbagai macam peran, posisi, dan tanggungjawab sehingga tidak mendapatkan akses dalam pengambilan keputusan maupuan kebijakan publik.
Karena itulah, bicara gender di Indonesia masih terus melekat pada perempuan dan upaya-upaya untuk pemberdayaan perempuan.
Dalam 16 hari kemarin, dari 25 Nopember hingga 10 Desember, menjadi kesempatan untuk melakukan usaha lebih dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Ada banyak moment yang bisa digunakan sepanjang 16 hari itu dengan puncaknya pada 10 Desember sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Satu kesempatan kulakukan di Radio Suara Wajar pada Rabu 4 Desember 2019 mengambil slot ruang talkshow ASG yaitu pada pukul 20.00 - 21.30, dengan mensosialisasikan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, juga mengangkat keprihatinan kuatnya industri sekarang ini menjadikan perempuan sebagai korban melalui diskriminasi-diskriminasi langsung maupun tidak langsung. Misal standar kecantikan: kulit putih, rambut lurus, pipi tirus dan sebagainya. Perempuan yang sebaliknya seperti kulit hitam, rambut keriting dan pipi cubby menjadi obyek bullyan, dianggap tidak cantik, dan 'dipaksa' dengan segala macam 'permak' untuk mengubah kondisi fisiknya.
No comments:
Post a Comment