Sebagian patung hasil kurasi panitia Festival Asmat. |
Museum Asmat |
Buaya leluhur |
Sebagian sisi dari bagian dalam museum Asmat |
Salah satu pojok foto di deretan Kopi Bakau |
Patung Tangan di pusat kota Agats |
Menghindari lalat babi dengan mepet ke api unggun |
Yan Smith yang memprihatinkan |
Sore di pelabuhan Agats |
Perkampungan dekat pelabuhan |
Salah satu kelompok yang hadir saat ekaristi 50 tahun Keuskupan Agats |
Jembatan Jokowi, Agats. |
Suku Asmat sudah familer di telingaku sejak dulu. Yang paling kukenali dari mereka adalah karya seni ukir yang mereka hasilkan. Kali ini aku bisa menikmati karya-karya mereka secara langsung termasuk bagaimana mereka melakukannya. Keberuntunganku adalah perjalananku kali ini bertepatan dengan Festival Asmat Pokman (pokman = karya tangan), dan saat itu ada ratusan seniman berkumpul di Agats dengan karya ukir, anyaman. Masih ditambah dengan para penari dan pendayung.
Sayangnya aku punya agenda lain bersamaan itu dengan SGPP KWI tapi tetap saja aku beruntung menikmati remah-remah yang masih boleh kupungut. Aku menggunakan jadwal festival yang dipasang di hotel, di kantin juga di tempat-tempat strategis di kota itu untuk memastikan mana yang bisa kuikuti dalam rangkaian festival.
Hari pertama aku dan beberapa tamu sudah diundang oleh Mgr. Aloys untuk mengunjungi Museum Asmat. Saat tiba di halamannya yang luas dan sedang disiapkan untuk pusat festival, mata dan hatiku sudah dimanja dengan ratusan ukiran berbagai ukuran yang sudah dikurasi oleh panitia. Hasil karya yang lolos kurasi itu akan dilelang dalam hari-hari festival Asmat.
Beberapa hasil karya ukir itu tampak mencuat di mataku dan menarikku untuk mencermati lebih lanjut. Ada cerita yang terungkap dari setiap ukiran. Beberapa di antaranya ada konten biblis yang diterjemahkan dalam warna Asmat. Misal ada kisah tentang Adam dan Hawa di Taman Eden. Ular/setan digambarkan dalam wajah manusia dengan gerak menggoda. Ada juga penggambaran dunia 'bawah', 'tengah' dan 'atas'. Selain penggambaran manusia juga ada bentuk yang sering muncul yaitu perahu, pepohonan, alat musik dan senjata.
Saat masuk ke museum, yang mencolok mataku pertama-tama adalah buaya besar di tengah ruangan. Tampak besar dan gagah. Konon itu adalah buaya yang sebenarnya, diawetkan dan dianggap sebagai leluhur. Mulutnya yang terbuka diberi persembahan-persembahan, yaitu uang dan rokok. Selain itu juga dikoleksi patung-patung segala bentuk segala ukuran, macam-macam senjata yang digunakan oleh suku Asmat, dan sebagainya. Di dinding dekat pintu masuk/keluar dipasang peta yang membuatku semakin ngeh lokasi Asmat ini juga kedekatannya dengan daerah-daerah lain.
Keluar dari Museum kami belok ke kanan ada deretan kopi bakau dengan pojok foto bagi siapa pun yang datang. Karena kopi bakau belum tersedia ya foto-foto itulah yang kami lakukan. Hehehe...
Saat pembukaan festival pas banget dengan seminar untuk para pelajar. Tapi kami break saat pawai dimulai sehingga aku bisa merekam pawai mereka dan menikmati gerak Asmat dan kostum yang mereka gunakan secara langsung.
Banyak agenda lain setelah pembukaan tapi aku malah nyempil di Aula Kantor Bupati. Huh. Tapi sekali ada kesempatan aku tak melewatkan tour bakau seperti yang ditawarkan oleh panitia. Kami diajak menyusuri sungai di Agats dan berhenti sebentar di sebuah pondok untuk menikmati suku Asmat dalam ritualnya. Tidak terlalu lama dan membuatku sedikit kecewa tapi cukuplah juga untuk membuktikan bahwa Agats, bahwa Asmat mempunyai daerah yang indah alamnya dengan beberapa ancaman yang nyata: pendatang yang ndak mudeng budaya setempat, air sungai yang keruh oleh pencemaran (oleh tambang?) dan masuknya budaya instan dalam segala lini kehidupan. Huh.
Puncak acara tak bisa kuikuti karena terlalu capek dan aku harus 'memaksa' Sr. Natalia untuk diam saja di hotel karena kakinya yang bengkak. Jadi hari Sabtu 23 Nopember aku menikmati sore dengan jalan ke pasar Agats bersama Goan lalu tidur, makan, tidur makan. Ohya, aku berkunjung juga ke pelabuhan dimana patung Yan Smith berdiri rusak di sana. Mengambil foto-foto sunset yang indah di pelabuhan lalu makan bakso di dekat Patung Tangan kota Agats.
Hari Minggu 24 Nop menjadi puncak peringatan 50 tahun Keuskupan Agats ditandai dengan ekaristi inkulturasi di halaman museum Asmat. Acara ini memuaskanku. Bahkan hingga hidangan yang mereka sajikan. Pun ketika disambung dengan acara makan malam di aula Keuskupan Agats pada malam harinya, aku menikmatinya sangat.
Wisata lain kusambung tanggal 25 nop dengan bermotor listrik bersama Sr. Natalia ke Jembatan Jokowi, untuk mendapatkan foto donggg....
Jadiiii, kalau ada kesempatan lagi pergi ke tempat ini, aku sudah punya deretan yang ingin kunikmati secara lebih:
1. Menelusuri sungai-sungai Asmat dengan tanaman-tanaman bakaunya yang beragam.
2. Menikmati seniman-seniman Asmat merenda di atas kayu-kayu, seperti tanpa konsep langsung ukir saja.
3. Mencoba tinggal di rumah-rumah asli mereka dan menggunakan cara mereka untuk bertahan hidup.
Nah, begitulah.
No comments:
Post a Comment