Friday, November 30, 2018

Advent 2018 (3): Pekerjaan-Pekerjaan

Saat ini aku bekerja untuk Keuskupan Tanjungkarang sebagai penanggung jawab Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP). Aku memulainya sejak Nopember 2000. Pekerjaan yang tak sengaja kudapatkan setelah aku berkenalan dengan Mgr. Henri (am) pada suatu saat usai misa di Katedral. Beberapa hari kemudian setelah perkenalan itu aku ditawari untuk merintis bagian justice and peace yang kemudian mulai tahun 2017 menjadi KKPPMP.

Itu adalah pekerjaan rutinku, yang utama, yang memberikan aku penghasilan tambahan bagi keluarga secara rutin setiap bulan. Pada akhir tahun ini sudah 18 tahun aku menggulatinya, melalui banyak peristiwa, yang intinya adalah berkah luar biasa bagiku.

Pekerjaan aku anggap sebagai bagian penting untuk mempertanggungjawabkan 'talenta' yang sudah kumiliki. Walau bukanlah keharusan bagiku untuk mempunyai pekerjaan dengan gaji, toh aku tetep membutuhkan gaji itu untuk menopang hidupku dalam keluarga. Sekecil atau sebesar apa pun aku mensyukurinya. Seperti dulu saat aku bekerja sebagai wartawan Malang Pos atau sebagai koordinator pastoral perburuhan Vincentian Center Indonesia, pekerjaanku selalu aku syukuri.

Karena ini adalah tentang mempertanggungjawabkan talenta, aku menggunakan berbagai cara untuk mengenali talenta-talentaku. Salah satu cara yang rutin kugunakan adalah analisa SWOT pribadi. Aku melakukannya secara periodik untuk mengenali kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada dalam diriku dan di sekitar diriku. Karena itu juga saat ini aku menggunakan kekuatanku dalam bidang penulisan dengan sebaik mungkin. Jaringan dalam kepenulisan aku bangun sebanding dengan skill menulis yang terus menerus kuasah. Selain analisa SWOT aku juga menggunakan ilmu-ilmu tua yang menyangkut pengenalan diri seperti Enneagram, Shio, hari lahir (Jawa maupun China) dan sebagainya. Semuanya kugunakan secara optimal untuk mengenali diriku dan kecenderungannya.

Pekerjaan lain yang utama adalah sebagai ibu dan istri. Ini tanggungjawab besar yang kudesakkan dalam diriku sendiri untuk mengalahkan kepentingan-kepentingan lain. Sengantuk apapun, secapek apapun, pagi hari aku harus masak sarapan dan bekal. Se bad mood apa pun, kalau cowok-cowokku membutuhkan aku membagikan diri, aku akan berusaha keras di depan mereka. Ini pekerjaan yang paling menghabiskan energi sekaligus paling besar memberikan energi timbal balik. Berada di sekitar dapur, di kamar anak-anak, kamarku sendiri, atau di sekitar rumah, adalah saat yang paling baik dalam waktu-waktuku. Dibandingkan dengan hal-hal lain bahkan hal yang paling dianggap bergengsi oleh orang lain seperti bekergian ke negeri-negeri lain, kota lain atau mana pun.

Yang paling inti dari pekerjaanku, atau hal-hal yang kukerjaankan, adalah terus berjuang menikmati kehidupan sebagai manusia perempuan. Hmmm... ini kehidupan yang hebat.

Aku ingat ketika aku masih kuliah di Malang, aku sudah mencoba bekerja untuk menambah uang saku. Sangu dari ibu sejumlah 40 ribu rupiah per bulan sangat minim untuk keperluanku sehari-hari. Aku nyaris tak pernah beli buku. Semua fotokopian, sebagian ya benar-benar tak ada bahan. Makan dua kali sehari sangat mewah bagiku. Aku cukup paham tempat makan yang murah untuk irit. Maka pekerjaan aku minta ke bulik Sri, yaitu memberikan les tambahan untuk muridnya yang membutuhkan. Aku memberi les tambahan untuk matematika dan fisika untuk beberapa murid. Seringkali mereka membawakan makanan dari mamanya sehingga aku bisa berpesta saat mereka datang les.

Itulah makna pekerjaan yang berikutnya selain mengembangkan talenta. Mencukupi kebutuhan-kebutuhan.

Itu pula yang kukerjakan sampai sekarang. Mengembangkan talenta dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan. Ini dinamis banget, naik turun. Kadang berat kadang ringan. Tapi dari dulu aku belajar meyakini bahwa apa yang keluar dari hati membuat segala hal menjadi lebih mudah. Bahkan pekerjaan yang dianggap sulit bagi orang lain, aku bisa sangat menikmatinya. Karena hatiku ada di situ. Pun sebaliknya ada pekerjaan yang mudah yang aku tak mau lakukan karena hatiku tak di situ.

Nah.

Wednesday, November 28, 2018

Advent 2018 (2): Tubuh adalah Modal

Tubuh adalah bagian penting bagi manusia hidup. Sangat-sangat penting. Karena tubuhlah 'jiwa spiritual' mampu mewujud secara nyata sebagai manusia. Tubuh dibutuhkan oleh manusia selama dia hidup. Hal-hal semacam ini dulu tak kusadari, sehingga aku sering semena-mena terhadap tubuhku sendiri. Hmmm...iya sih, sekarang pun aku sering abai juga terhadap tubuhku, tapi kalau ingatan dan kesadaranku muncul, aku akan segera menarik perhatianku sepenuh-penuhnya untuk tubuh. Makanan, tidur, bergerak, bercinta, sentuhan, lotion, dan sebagainya.

Tahun ini berat badanku berkisar antara 60 - 62 kg (tinggi 160 cm, kelebihan lemak), dengan kecenderungan terus naik. Hihihi... Tekanan darah juga cenderung naik, dengan gangguan vertigo secara acak. Bagian yang terakhir ini yang paling terasa mengganggu, sehingga aku mengupayakan beberapa hal untuk menahan supaya vertigo tidak dekat-dekat pada tubuhku.

Aku harus akui kalau aku ini pemalas. Lumuh kata ortuku. Saat aku kecil aku sangat enggan untuk bergerak. Aku lebih suka tidur, berbaring, kalau toh bergerak ya hanya di sekitar rumah, di dalam rumah, tidak jauh-jauh dari rumah. Aku akan sangat payah kalau disuruh olah raga. Gerakan canggung, tidak gesit. Lari tak bisa cepat. Loncat tak bisa tinggi dan jauh. Ikut permainan juga selalu kalah. Keseimbanganku juga parah. Belajar naik sepeda butuh waktu lama baru bisa, itu pun tak ahli sampai sekarang. Menari aku suka, tapi ya untuk kunikmati sendiri. Kalau kulihat rekamannya pasti aku pun geli ngeliatnya. Kaku banget, kayak robot.

Postur tubuhku kuanggap seksi kalau aku tak melihat dalam cermin. Hihihi. Tapi kalau aku telanjang depan cermin, ya anggapan itu memudar. Dadaku nyaris rata, pinggulku kanan kiri nyaris lurus dengan pinggang. Nah kalau dari samping yang tampak: pantat gede, perut buncit, punggung bungkuk. Huhuhu. Tapi aku tetap suka bercermin. Mengamati tubuhku sendiri. Itu membantuku mengenali tubuhku sendiri, bentuknya, warnanya, dan sebagainya.

Aku suka wajahku, bukan wajah cantik tapi aku suka. Sekarang wajahku dihiasi bintik-bintik hitam, semacam tahi lalat, dan kayaknya semakin banyak. Ya, semua orang bisa melihatnya. Alis tipis, dengan mata belok. Bibirku miring, dan akan tampak bener pada beberapa ekspresi. Aku yakin gerak bibirku sangat mewarnai ekspresi wajah. Sedikit gerak aku bisa lihat kesinisan, kegembiraan, kesedihan, kemalasan dan sebagainya. Untuk waktu-waktu tertentu yang jarang, aku akan menggunakan kosmetik untuk menutup kekurangan-kekurangannya seperti warna alis yang tidak tajam, bibir yang pucat, kulit yang mengkilat dan sebagainya. Sementara ini yang tak pernah kututupi adalah uban. Separuh rambutku adalah uban. Dan bagiku, ini keren... Hehehe... Rayuan untuk menyemir rambut belum menarik hatiku, jadi biar saja. Aku penasaran seperti apa wajahku nanti kalau seluruh rambutku sudah putih.

Tubuhku sensitif pada rasa sakit. Sakit dikit saja aku sudah meneteskan air mata, tak tahan, manja... huhuhu.

Dengan tubuh yang seperti inilah aku terus berkembang sebagai manusia. Semakin lama aku semakin mengenali tubuhku, kecenderungannya, dan memunculkan beberapa kesadaran untuk merawatnya. Nah, aku ingat, harusnya aku lebih rutin olah raga. Olah raga ringan saja selama 30 menit bisa membuatku merasa bugar, juga lebih gembira. Tapi ya itu tadi, ...daku ini masih juga pemalas sampai kini.

Aku memahami tubuhku dengan cara:

1. Merasai tubuh dan alarm-alarm yang muncul. Misal kalau disentuh seseorang aku bisa sangat mual, tapi orang lain aku bisa gembira. Saat aku menarik tubuhku ke bawah, aku tak bisa menyentuh ujung jempol kaki. Kalau mulai makan tidur tidak betul, alarm kepala bagian belakang mulai teriak-teriak. Dan sebagainya.

2. Melihat dalam cermin. Seperti kukatakan di depan. Aku bisa menandai senyumku yang seperti apa yang paling tepat untuk mewakili ekspresi yang kuinginkan. Gimana menutupi bibir yang miring, punggung yang bungkuk dan sebagainya.

3. Komentar orang lain juga bisa menjadi cara untuk memahami tubuhku. Dulu ibuku sering ribut kalau aku keluar tanpa bedak karena kulitku akan mengkilap, bibir juga tampak pucat kering dan sebaganya.

4. Relasi dengan orang lain juga membantuku, termasuk yang paling intim yang bisa kulakukan, yaitu bercinta. Ini membuatku semakin mengenali tubuh dan caranya bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi.

5. Bacaan-bacaan, gambar dan video juga sangat membantuku. Ini nantinya juga terkait dengan bagaimana aku harus memperlakukan tubuhku secara tepat, sesuai dengan kebutuhanku, umurku dan sebagainya.

Beberapa hal yang aku kenali selanjutnya antara lain, tubuh ini membutuhkan energi untuk terus hidup dan berkembang. Energi yang paling awal sumbernya adalah makanan dan minuman, yang secara manual dikunyah lalu masuk dalam pencernaan. Energi lain berasal dari hasil tangkapan pancaindera. Saat melihat dan merasai pantai, aku selalu berkobar-kobar. Rasa lapar bisa tertunda beberapa jam. Juga ketika bertemu orang tertentu, aku akan merasa full energi, atau sebaliknya kehilangan energi. Semacam itulah.

Inti dari semua ini adalah tubuh itu modal utama manusia hidup. Selama masih hidup, masih memerlukan tubuh, kita harus menjaga tubuh kita, sebaik yang dibutuhkannya dan dikembangkan untuk terus maju sesuai tujuan kelahiran kita.

Negeri yang Terapung dan Negeri Para Penyair

Dua buku yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL) kuterima kemarin, 27 Nopember 2018 dari Udo Z. Karzi. Buku-buku ini memuat tulisanku, cerpen dan puisi. Berkaitan dengan buku selalu membuatku antusias dan gembira, maka menerima buku ini membuatku sangat gembira. Nanti akan kubuat catatannya untuk tiap buku, sekarang aku mulai baca saja dulu.

Hmmm... ternyata Lampung memang kaya raya soal penulis. Ada 17 cerpenis terangkul dalam Negeri yang Terapung, Antologi Cerpen Mutakhir Lampung, masing-masing menyumbangkan satu judul cerpen. Dalam kata pengantar editornya, 17 judul ini merupakan hasil kurasi dari puluhan cerpen yang dikirimkan oleh 41 penulis. Sedangkan buku Negeri Para Penyair, Antologi Puisi Mutakhir Lampung, memuat 47 penyair (hasil kurasi dari puisi-puisi yang dikirimkan oleh 71 penyair). Kalau tanpa proses kurasi, tentulah buku yang kuterima ini bisa lebih tebal 2 atau 3 kali lipat dari yang sekarang kuterima.

Tapiii... tentu ini bukan soal tebal tipisnya buku. Para kurator: Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin dan Ari Pahala Hutabarat tentu tak main-main dalam menentukan naskah yang layak maupun tidak dalam buku ini. Wong prosesnya juga laammmaaaa.... setahun lebih kukira sejak pengumuman tentang buku ini hingga buku ini kuterima. Dan tiga orang itu lhooo, kuyakin banget bukan orang-orang yang bisa disuap untuk mengatakan sebuah naskah termasuk layak atau tidak (Huh, inget naskahku yang tak seperti bertepuk sebelah tangan setelah kuserahkan pada mereka. Tak kusebutin deh detilnya. Bikin malu ati.) Btw, ....yehaaa.... terimakasih dah buat semua sehingga buku ini bisa terwujud di depan hidungku.

Agak sulit untuk tidak pamer, jadi ini salah satu puisiku dalam buku Negeri Para Penyair, halaman 147. Ada tiga puisiku dalam buku Antologi Puisi ini, tapi kupasang satu aja yach. Cekidot:

MELEKAT PADA UDARA

Kadang sehelai daun kelengkeng ikut campur urusan senja padahal dia tak tahu apa-apa.
Bahkan dengan pongah  dia bertengger di atas kepala meneriaki uban-uban supaya bergegas.
Telunjuknya menuding langit seolah sudah khatam Alkitab dan sanggup meremukkan kepala ular dengan tumitnya.

Sebelum tubuhnya memuai dan melekat pada udara, dia mengingatkan cita-cita tua:
Sampailah pada Kitab Wahyu pasal ke dua puluh dua.

Okt 2017

Hmmm, sebelum orang lain suka puisi ini, aku sudah duluan menyukainya. Hehehe.... Iyalah. Ada banyak cerita mendalam dalam puisi ini. Entar kalau ada waktu aku akan ceritakan.

Tuesday, November 27, 2018

Advent 2018 (1): Memulai Perjalanan Ke Dalam

Tahun 2018 memberiku banyak kesempatan untuk melakukan perjalanan ke berbagai kota, berjumpa dengan banyak orang yang sama atau berbeda, juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan. Dalam empat minggu ke depan ini, aku akan melakukan perjalanan tidak ke berbagai kota, walau mungkin juga secara fisik hal itu juga kulakukan. Tapi yang utama, empat minggu dalam masa advent ini aku akan mencatat perjalanan-perjalanan jiwaku, hatiku dan pikiranku. Bisa jadi yang muncul adalah kesimpulan-kesimpulan, harapan, kesedihan, penemuan-penemuan, tapi mungkin juga aku mencatat lintasan-lintasan pikiran yang sudah kumiliki dalam umur hampir 45 tahun ini. Semoga aku bisa menuliskannya secara serius sehingga bisa diikuti oleh banyak orang. Untuk semenara, aku tidak akan membatasi berapa bagian yang bisa kusodorkan, tapi inilah bagian pertama untuk advent 2018.

Awal tahun 2018 aku lalui di Jawa Timur. Libur panjang untuk Natal dan Tahun Baru sangat menguntungkan, sehingga aku sekeluarga bisa memperingati 40 hari Bapak Soeliham dalam rangkaian libur panjang itu. Perencanaan kerja kulakukan pada bulan pertama ini dengan semangat, yang telat. Harusnya kulakukan pada akhir tahun 2017 tapi mundur beberapa minggu. Aku ingat pada awal tahun ini bahwa aku memiliki beberapa intuisi yang membuatku yakin bahwa tahun 2018 adalah tahun yang hebat.

Mungkin ini berkaitan dengan kepercayaanku pada tahun Anjing tanah. Shioku akan bersinar secara misterius dalam tahun anjing, aku yakin banget karena aku dekat dengan 'anjing'. Keramahan dan kesetiaan 'anjing' padaku membuatku nyaman. Aku tahu bahwa aku akan menghadapi banyak tantangan besar di tahun ini, tapi semerta aku juga merasa nyaman, aman, tidak merasakan kekuatiran yang berlebihan. Beberapa tanda yang tak terlalu baik adalah keuangan. Soal ini tak perlulah melihat pada ramalan-ramalan, tapi aku melihat tanda-tandanya dalam diriku sendiri.

Awal baik penuh optimis seperti itulah yang menjadi modalku awal tahun 2018. Aku percaya diri, siap menghadapi segala hal tantangan maupun kegembiraan. Yang menjadi tantangan utama di awal tahun 2018 adalah kesehatan. Aku kena vertigo yang cukup awet dari akhir tahun 2017, dan baru berangsur-angsur hilang pada April 2018. Vertigo ini cukup menggangguku.

Aku adalah jiwa spiritual yang beruntung mengalami kehidupan sebagai manusia. Kalimat ini menggaung kuat dalam diriku. Aku belum mampu memahaminya sepenuh yang seharusnya, dan dalam perjalanan fisikku yang cukup dinamis di tahun 2018, satu kata berulang-ulang muncul menjadi tantangan dan kekuatan: Kesaksian. Aku mesti bersaksi tentang 'sesuatu', tapi aku tak harus merumuskan apa pun. Aku hanya harus bergerak, bekerja dan bersuara.

Dari mana jiwaku ini? Aku menggunakan istilah yang tidak biasa. 'Bapak Ibu' sumber jiwaku adalah Langit. Dia memercikkan cahaya dalam rencana yang luarbiasa sehingga jiwaku merdeka, menggunakan sebuah tubuh yang 'kami' pilih. Aku tak yakin 'kami' ini bagaimana dibahasakan. Kalau merunut sejak aku lahir sebagai manusia, aku tidak termasuk dalam 'kami'. Tapi saat aku masih dalam rencana langit, tentu saja aku termasuk dalam bagian 'kami' sehingga aku juga ikut dalam proses memilih tubuh yang tepat untuk aku gunakan. Setelah lahir, aku terlepas dari 'kami' sehingga aku hanya bisa menerima tubuh yang sudah diberikan itu secara apa adanya. Aku menjadi Yuli, dalam keluarga Samiran. Ini adalah rahmat yang kuterima sejak aku bertumbuh dalam rahim dan kemudian dilahirkan.

Menggulati tubuh ini bukan soal yang mudah. Ini akan kutulis dalam bagian kedua nanti ya.