Friday, April 27, 2012

Way of Life

Sekali waktu dalam putaran perjalanan di Jawa Timur, aku naik bis ekonomi dari Lumajang ke Probolinggo. Sekitar 1 jam dengan ongkos 7000 rupiah. Tempat duduk paling belakang sehingga aku bisa melihat apapun kejadian yang ada di dalam bis. Di sebelah kiriku ada seorang bapak dengan gitar di pangkuannya. Di sebelah kananku ada seorang ibu, membawa tas plastik dengan baju atasan batik lengan panjang dan bawahan celana kombor warna oranye. Di depanku sepasang bapak dan ibu bersama 3 anaknya berdesakan di tiga kursi. Depannya lagi seorang ibu yang baru saja naik dengan 3 karung besar entah isi apa dan sebuah bungkusan dalam taplak yang besar (sebelum duduk, benda itu dia jinjing di atas kepala.)
Seluruh bis itu penuh terisi, bahkan ada penumpang yang berdiri. Tidak panas walau tanpa AC karena pintu dan jendela-jendela bis dibuka. Terlebih karena aku duduk dekat pintu. Sepanjang 1 jam perjalanan, bis itu dimasuki oleh para pedagang makanan, peminta-minta dan pengamen yang tidak henti-hentinya. Buanyak. Hebatnya, transaksi terjadi. Para penumpang rela hati berbagi dengan para pedagang kecil penjual tahu, keripik, minuman, mainan, tisu,...dan segala macam. Para penumpang juga memberi para pengamen, peminta-minta tanpa protes bahwa kehadiran mereka membuat bis semakin berjubel.
Ibu di sebelahku memberi siapapun yang mengatungkan tangan padanya. Minimal dua receh lima ratusan dia berikan. Setiap kali! (Aku cuma memberi senyum, mengangguk. Bandingkan!) Sepanjang satu jam aku terjaga, waspada mengamati, dan sangat antusias melihat apapun.

Lain waktu, di putaran yang berbeda, aku naik bis AC untuk jurusan yang sama. Ongkosnya 23 ribu rupiah (tiga kali ongkos bis ekonomi masih tambah dua ribu.) Tentu nyaman, karena tidak berdesakan. Ada AC. Pintu tertutup. Tidak ada penjual makanan, pengamen, peminta-minta. Sepi tidak ada percakapan antar penumpang yang sangat berarti. Semua sendiri-sendiri, dan tidak ada transaksi apapun di sini. Semua tidak peduli. Aku pun tertidur pulas. Terbuai dalam mimpi, dan gak tahu apapun yang terjadi.

Andai kata hidup seperti naik bis, mana yang tepat untuk dipilih? BIS EKONOMI atau BIS AC?
 


Thursday, April 26, 2012

Memegang Misteri Ilahi


Tubuh jiwaku ikut luruh mendengar prasetya mereka :

Setia sebagai gembala
merayakan misteri iman
melayani Ilahi dengan pantas
menjadi kurban murni
dalam taat


Tubuh jiwaku ikut dalam suka duka cita pengharapan menatap mereka :

Jadi pelayan
penuh kuasa
"Barangsiapa kauampuni dosanya, dosanya itu diampuni;
dan barangsiapa kautahan dosanya, dosanya itu ditahan padanya."

(Rm. Andre, Rm, Anjar, Rm. Wiwid, proficiat! Aku ikut dalam doa-doa kalian. Ini awal dinamika jatuh bangun, menuju Kalvari. Tak bisa dielak karena kalian hanyalah anak-anak bumi yang terpilih dan dikasihi.)

Tuesday, April 24, 2012

Tuesday With Morrie

Ini adalah kuliah yang berikutnya bagi hidup Mitch. Mantan dosennya, profesor tua Morrie menemani tiap hari Selasanya dengan kuliah yang sarat dengan pelajaran hidup.
Morrie tua adalah orang sekarat yang menunggu saat meninggalnya karena vonis dokter. Dia yang suka menari mengikuti ritme lagu apapun, menderita ALS (amyotrophic lateral sclerosis), yaitu penyakit yang menyerang neuron-neuron (sel-sel syaraf) motorik pada tulang belakang dan batang otak sehingga mengakibatkan kelumpuhan secara bertahap keseluruh organ tubuh bahkan kelumpuhan dalam mengfungsikan paru-paru untuk bernafas. Walaupun ALS melumpuhkan semua organ namun penderita ALS masih dapat menggunkan semua panca inderanya karena penyakit ini tidak merusak pikiran, kepribadian, kecerdasan, atau daya ingat sang pasien.
Di atas kursi rodanya, lalu di ranjang tidurnya, dalam sisa umurnya, Morrie menunjukkan pada Mitch bagaimana hidup harus dijalani. "Begitu orang tahu akan mati, dia akan belajar bagaimana harus hidup." Itu dikatakan Morrie. Dan semua orang akan mati, cepat atau lambat. Kapan harus mulai belajar hidup? Sekarang. Jangan lewatkan kesempatan. Untuk menunjukkan rasa cinta, rasa penyesalan, dan sungguh-sungguh menikmati hidup.
(Buku ini hadiah ultahku tahun 2009, dari S. Indriyati Caturiani. Menjadi salah satu dari sedikit buku berbahasa Inggris yang kupunya. Aku baru mulai membacanya bulan ini. Belum juga separohnya kubaca, dan sudah kurasa...luar biasa.)

Wednesday, April 18, 2012

Nghiêm Trọng


aku menyimpannya di sebuah kotak
belum dikunci, hanya ditutup
pun pelan-pelan
supaya tak ada bunyi
yang bisa mengagetkanku
mengagetkanmu
kau ingin aku taruh di mana?
di kubur?

lagi pula memang harusnya begitu
karena aku begitu
cintaimu pada jiwamu
sayangimu pada badanmu
sehingga harus awetkanmu
di kuburmu!
dengan begitu murni aku
murni kamu

di kuburmu
kutabur
wangi cinta jiwamu
bunga sayang ragamu.

Saturday, April 14, 2012

Busy in Weekend

Tumpukan kesibukan di hari Sabtu, akhir pekan, tak pernah kukehendaki. Namun juga tak terelakkan jika harus terjadi. Ya, harus diakrabi tidak dimusuhi. Minggu ini setumpuk itu di meja kerjaku, di hari Sabtu! Belum lagi yang di luar ruang kerja. Kelompok para janda menunggu dikunjungi walau cuma sebentar. Mesti aku sertai dengan additional foods, untuk menjaga mata jernih pikiran jernih tubuh jernih. Berbotol-botol vitamin, bergelas-gelas kopi, beralbum-album Bon Jovi, Slank, Boyz II Men, Agnes Monica, ...
Aku ingin segera selesai supaya kencan akhir pekanku tak terganggu. Para kekasihku menunggu.
Sabar ya...

Friday, April 13, 2012

Traffic Light

Banyak percakapan dengan Den Hendro atau siapapun aku selalu menyiratkan diri ingin jadi "Aktifis lalulintas". Berkendara aman, menggunakan jalan sebagai lalulintas yang aman, bagi setiap makluk.
Pagi ini reputasiku tercoreng gara-gara tidak melihat lampu menyala merah di Pasirgintung. Aku hanya melihat mobil biru di depanku melaju dan aku ngikut di belakangnya. Tahu-tahu di depanku ada polisi (untung gak ketabrak, karena aku siap ngegas. Sudah buru-buru, Albert bisa telat masuk sekolah!)
Wajahku yang bengong dibalas dengan pelototan tak ramah seorang polisi yang cukup senior.
"Tidak lihat lampu merah?!"
Aku menggeleng-gelengkan kepala, membuat dia kelihatan semakin murka.
"Lampu merah diterjang. Bagaimana?! Minggir!"
Dia mengarahkan aku ke sebelah kanan.
"Tidak melihat. Sungguh. Mobil biru tadi..."
"Tidak lihat bagaimana? Itu lampu merah!"
Aku tidak punya waktu lama. Jadi aku mengambil dompet, menunjukkan SIM dan STNK sembari sekilas melihat tanda namanya.
"Pak Herman, maaf..."
Wajahnya agak melunak. Dicermatinya SIM dan STNKku.
"Kerja dimana?"
Wajahnya lebih ramah.
"Tinggal di Polri? Dekat Cokro?"
Jelas ada senyum di wajahnya.
"Ya, Pak Herman. Maaf, sungguh aku gak lihat tadi."
"Ya sudah. Hati-hati. Silakan. Jangan lagi!"
Disodorkan dokumenku dan mempersilahkan aku pergi. Huff, thanks God! Albert protes berat karna dia sudah telat. Tapi dia pun heran bagaimana aku bisa lepas dengan mudah. Terlewati. Tapi reputasiku sebagai pengendara dan pengguna jalan raya, serta calon aktifis lalulintas tercoreng parah. Ahhh...

Thursday, April 12, 2012

The God of Small Things

Membaca ulang The God of Small Things di tengah pikiran yang maju mundur bolak balik masa lalu sekarang nanti sangat pas. Ceritanya persis mekanisme otak dan hatiku sekarang ini. Buku yang ditulis oleh Arundhati Roy ini rumit, serumit aku dalam pemahamanku, sekarang ini.

Arundhati Roy (gambar di atas) adalah seorang penulis sekaligus aktivis kemanusiaan berdarah India. Dia memenangkan penghargaan bergengsi Booker Prize pada 1997, berkat novel pertamanya berjudul 'The God of Small Things.'