Wednesday, December 17, 2008

Menutup Tahun

Hari ini menjadi hari terakhirku pada tahun ini di depan komputer. Besok hingga tahun baru nanti tidak akan ada komputer apapun di depan mataku dan jariku. (Jadi teman, jangan berharap ada tulisan apapun yang baru dalam blogku, hingga tanggal 2 Januari nanti. Tanggal 1 Januari pasti aku tidak akan sempat menulis apa-apa selain meniup terompet). Hari ini jadi kesempatan emas bagiku untuk melihat kembali perjalanan satu tahun sepanjang 2008.

Aku ingat misiku tahun ini adalah menjadi cerpenis. Hah, susah. Aku terjungkal-jungkal dalam misi ini. (Aku ingat tahun 2007 misiku adalah menjadi cantik. Dan pada akhir tahun aku hanya menghasilkan jutaan senyum. Belum juga cantik.) Setahunku terakhir aku merenda jutaan kata. Segala cerpen aku lempar kemana-mana. Tapi hingga kini, di penghujung tahun, aku belum jadi cerpenis. Yang menyenangkan, tahun ini memberiku sangat banyak pengalaman baru. Pertemanan baru. Dan tentu saja kerjaan baru. Tahun yang dinamis, katakanlah begitu. Karena tahun ini aku bisa berjalan cepat, berjalan lambat. Berteriak marah, bicara lantang, menangis keras, diam seribu bahasa, bergerak, terpaku, terbengong, terkejut, ...pokoknya segala ekspresi segala rasa. Yang paling penting adalah aku menemukan kesadaran-kesadaran baru yang mengatasi segala pagar yang selama ini melingkupiku. Semoga inilah caraku menjadi dewasa.

Aku belum menentukan misiku di tahun 2009. Sembari pamit sementara, aku meminta masukan anda sekalian, teman-teman. Apa misi yang cocok bagiku untuk tahun 2009? Ya, jangan kuatir. Seperti setiap tahun, misi yang ditetapkan akan jadi fokus dalam tahun itu tapi perjalanan misi itu akan berjalan sepanjang segala abad. Ini caraku menuju keabadian. Maka menjadi cantik, menjadi cerpenis, tetap dijalankan hingga tercapai suatu ketika nanti. Ah, ya teman, seperti layaknya pada setiap penutupan babak, aku membungkukkan badan pada kalian semua. Terimakasih dan maafkan! Jika sempat, bertepuk tanganlah untukku. Atau lemparkan botol bekas, tomat, telur, batu, apapun, kepadaku. Sehingga babak selanjutnya aku bisa tampil lebih baik. Salam!

Selingkuh

Aku mengabarkan kepada semua orang, dengan keras dan lantang. Ini pengakuanku : "Aku telah selingkuh!"

(Adakah keterangan lain yang memadai untuk menjelaskan pengakuanku ini? Tidak ada. Tidak ada yang ingin aku katakan.)

Tuesday, December 16, 2008

Ramalan

Kekuatan hasrat itu seperti ramalan. Kalau aku bilang 'mungkin akan ada nanti...', lalu aku menghasratinya, wah kejadian sungguh. Aku pernah bilang "Mungkin anak-anak liar sudah bersemayam dalam tubuhku." Kapok deh, benar-benar berendeng-rendeng anak-anak liar meluncur dari ruapan rambutku. Lalu berbaris minta disapa, ditegur. Setelahnya mereka akan beranak pinak dan reproduksi kilat. Dan kini ada jutaan menari-nari di seluruh inderaku.
"Lain kali hati-hati dengan pikiran ya, Yuli. Dan lebih hati-hati lagi dengan lidahmu. Keterlaluan jika menyangka diri sebagai pahlawan seolah dunia tak akan berputar tanpamu. Memang tangan dan kakimu ada berapa?"
Ah ya. Memang parah jadinya. Tak bisa lari juga. Apalagi dengan bekas-bekas pengembaraan yang abadi di seluruh ragaku. Serpihan ludah asing di bibirku, memar di pahaku, romansa di ingatanku, perih tarikan nafas rindu, tertawa di atas bantal empuk, kehangatan ... mana bisa menghilang begitu saja tanpa mengolahnya dulu menjadi indah.

Candu Manusia

Kita bisa kecanduan seseorang. Cara kerjanya ya seperti candu seperti biasa itu. Kalau tidak dapat mencicip maka tidak akan bisa melakukan apa-apa. Tergantung pol. Bahkan kalau tidak cepat diberikan pula, bisa sakauw, kesakitan menderita. Beberapa bisa mati juga.
Gimana cara melepaskan diri dari kecanduan seseorang seperti ini? Aku kira seperti juga yang dilakukan pada pecandu obat atau narkoba. Melepaskan diri, melakukan rehabilitasi, mencari teman yang bersih dll.
Bagaimana kalau tidak mau menghentikannya? Ya, harus dicari terus. Nah ini mahal, teman. Bahkan orang bisa melakukan tindak kriminal karena kecanduan. Melakukan segala trik dan intrik untuk mendapatkannya. Ya lah, karena sakauw itu tidak enak. Sakit. Menderita.

Gender dalam Media Massa

Siang tadi kurang lebih dua jam aku bersama mahasiswa Fisip Unila semester 3, bicara tentang peran media massa upaya adil gender. (Dikerjain si Indri, untuk menutup kuliahnya pada semester ini.) Aku siapin satu tulisan tidak ilmiah sama sekali. Ya, mohon maklum, memang bukan ilmuwan.
Aku mengawali dengan mengajak mereka membuat 'sinetron'. Dalam kelompok mereka bekerja membuat karakter dua orang suami istri, plus settingnya. Dan terutama adalah satu babak cerita, apa yang dilakukan dua orang itu pada hari Senin pukul 10.00 - 11.00.
Hasil kelompok persis seperti yang aku duga.
- Perempuan dengan karakter yang seperti di sinetron-sinetron itu. Cerewet, nangis, marah, menuntut dll.
- Yang laki-laki digambarkan dalam tokoh yang santai, marah karena dituntut, pengusaha kaya, selingkuh dll.
- Alur ceritanya ya begitulah. Salah satu kelompok mengatakan tokoh suami pada jam 10.00 minum kopi, istrinya menjemur pakaian, lalu anaknya datang minta duit, suami marah, istri jadi cerewet hingga kebentur pintu, lalu suami pergi gak tahan lihat istrinya.
Persis seperti itulah media mempengaruhi otak penikmatnya.
Lalu aku tanya : "Adakah penindasan pada perempuan dalam kisah-kisah itu? Seperti apa?"
Wow, satu bilang tidak ada, satu bilang ada penindasan tidak langsung, satu lagi ada dll.
Lalu aku tanya lagi :"Kalau perempuan maju, apakah laki-laki bisa lebih maju juga? Bagaimana?"
Hehehe...diskusi lagi mereka. Aku tinggal tarik beberapa benang merah. Makalahku tidak aku baca, biar mereka baca sendiri.
Beberapa penekanan aku ungkapkan :
- Perjuangan adil gender bagi perempuan tercapai ketika perempuan bisa menentukan pilihannya sendiri secara bebas. Tidak hanya ditentukan oleh ortu ketika kanak-kanak, oleh suami ketika sudah menikah, dan oleh anak ketika sudah renta.
- Jadi ibu rumah tangga sangat mulia, tapi jika ini bukan paksaan maka akan membentuk ibu rumah tangga yang profesional. (Ceilaaa...) Begitu juga ketika pilihannya menjadi pekerja atau yang lainnya.
- Semua akan harmonis kalau pria dan perempuan saling melengkapi, dengan peran gender yang adil. Memasak tidak memakai alat kelamin, jadi bisa dilakukan oleh laki atau perempuan. Menyusui memang harus dilakukan oleh perempuan karena perempuan yang punya susu. (Mata mereka terlolong tak tertolong karena aku vulgar berat. Hehehehe...biarin.)
- Jadi, mari menuju keadilan gender. Anti diskriminasi. Media massa bisa menjadi salah satu alat penyebarannya.
Begitulah.

(Usai itu aku ditraktir mi sosis di kantin Unila. Hujan deras, jadi ngobrol ngalor ngidul sama Indri. Masih harus ke kantor lagi, karena kerjaan belum kelar. Kini ada di kantor malah ngeblog, sudah hampir jam 19.00. Aku akan kerja lembur nanti di rumah. Jadi aku akan siapin bahan-bahan di flashdisk untuk dibawa pulang.
Ah ya ada beberapa hal dari obrolan dengan Indri yang nyangkut di otak dan hatiku, bahwa setan bekerja dengan cara memanipulasi otak manusia. Seolah sesuatu bisa benar dan baik, lalu manusia pelan-pelan digiring ke neraka. Nah lo memang kami ngobrol tentang apa sampai nggosip tentang setan? Hehehe...ada deh. Ini aku tulis supaya aku tidak lupa pernah ngobrol begitu dengannya. Nanti kapan-kapan aku buat laporan lengkapnya.)

Monday, December 15, 2008

Mimpi Atau Nyata, Berbeda?

Pernahkah engkau mimpi sesuatu yang rupanya nyata? Aku pernah, teman. Mimpi yang menyambar tidak sampai dua jam. Cukup lama untuk meyakininya ada, tapi terlalu cepat untuk memastikannya. Benar terjadi. Wong kaki-kakiku sungguh mengambang, dan tangan-tanganku terentang. Seluruh poriku menghisap kehangatan, seluruh pori dalam tubuh. Hingga mekar, berdenyut.

Jangan tanya bagaimana rasanya. Kau pernah sangat lapar, lalu menemukan sepotong singkong di atas bara yang menyala, dan saat kau memakannya turun gerimis, teman? Itulah rasanya. Tentu saja sangat dingin seluruh badan karena percikan jarum-jarum hujan temaram. Tapi juga ada hangat di rongga mulutmu karena mengunyah singkong bakar. Dan kemudian perutmu pelan-pelan mencerna dan menyerap saripatinya. Itulah rasanya. Mungkin setelahnya perut jadi kembung, tapi kenyang. Ingin nambah, nambah dan nambah.

Mau yang lebih konkret? Begini. Seseorang dalam sebuah kamar, tiba-tiba menarikmu dalam pelukan kencang, lalu mendaratkan ciuman bertubi-tubi tepat di bibirmu. Dan kau tidak bisa mengatakan apa-apa karena kau juga menikmati itu bahkan kemudian juga membalasnya. Setelah itu menginginkannya lagi, lagi dan lagi. Itu konkretnya.

(Yach, kalau belum jelas juga, apa boleh buat teman. Dari sana aku cuma mau beri kesimpulan ngawurologi : kadang mimpi dan nyata sulit dibedakan, karena kadang keduanya tidak berbeda. Tinggal bagaimana kita mau melihatnya. Dengan mata atau dengan bukan mata. Mau bangun atau tidak bangun. Terserah pilih yang mana.)

Memungut Pertanda

Hari ini ada beberapa orang yang datang ke kantor. Dengan berbagai urusan. Sore kantor sangat penuh, 9 orang. Iya, soalnya aku mengundang mereka untuk rapat Nuntius. Ada beberapa hal yang terlontar dalam rapat ini. Cukup lumayan setelah beberapa lama nyaris tidak ada percakapan tentang majalah ini seolah-olah akulah yang 'mbaurekso' tunggal, terserah mau njungkir atau mau mbalik, tidak ada urusan.
Aku duduk di salah satu sudut meja (Sebenarnya mejanya bundar tidak bersudut, tapi rasanya aku ada di sudut. Terserah aku dong.)
Sebelah kiriku adalah para penatua Nuntius, tiga orang bapak dan seorang romo. Orang-orang yang dari awal aku harapkan menyokong semangat penerbitan, menelurkan dan menjaga visi dan misi serta menjadi teman dalam pengerjaan operasional majalah ini.
Sebelah kananku adalah para muda Nuntius, satu orang bujang, dua orang gadis, dan satu orang istri (belum ibu). Mereka orang-orang yang bekerja konkret secara teknis membantu urusan redaksi hingga distribusi.
Pembahasan berakhir dengan beberapa rekomendasi, yang cukup membesarkan hati. Intinya : Maju terus pantang mundur!

(Ya bagaimana lagi, aku toh tetep saja akan menjadi nenek-nenek bongkok yang mondar mandir di tepi pantai, bekerja giat sambil melihat ombak dan pasir, namun toh sampah selalu ada di sana ditinggalkan orang. Pokoke bekerja dan ada keindahan di sana-sini untuk dinikmati. Inilah rahmat bagiku.)

Melihat mulut?

"Kok ibu bisa melihat mulut?"
Aku terkaget, melempar Alkemis dari tanganku, dan menatap wajah polos Bernard di depanku. Wajah segar, usai sikat gigi, siap berdoa dan mendengarkan dongeng dariku, sembari digarukin punggungnya sebelum tidur. Tanpa peduli dia mengatur diri di bantal dan memeluk guling.
"Apa Nard? Melihat mulut?"
"Iya, ibu bisa melihat mulut semua orang."
Aku terbengong-bengong menafsirkan kata-kata Bernard. Anak keduaku ini luar biasa kreatif dan sensitif. Apa yang sudah dilihat atau dipikirnya sehingga muncul kata-kata seperti itu? Aku mulai berdebar-debar.
"Apa sih Nard? Ibu gak ngerti."
"Ibu bisa gitu melihat mulut semua orang, mana yang sudah sikat gigi atau belum."
Oo, aku tahu konteksnya apa. (Beberapa menit yang lalu Albert dan Bernard menyikat gigi, dan kebiasaan keduanya meringis penuh busa odol untuk menunjukkan giginya sudah bersih atau belum. Heheheh...kirain apaan) Aku mengikik sendiri geli. Mencium pipinya dan mulai membaca Mitiriwu, dongeng dari Papua untuknya, dengan tangan di punggungnya.
"Ibu ini bisa membuat orang tidur."
Bernard membalik tubuhnya. Saat aku selesai membaca, aku lihat dia sudah pulas meringkuk, menghadap dinding. Penuh gembung kepalanya dengan mimpi.

Petualangan Dalam Situs Dunia

Baru saja aku mengunjungi situs dunia. Luar biasa. Seharian penuh pada akhir pekan kemarin, dari pagi hingga malam. Nah ini hasil browsingku dalam petualangan itu.

Pertama, adalah menu tentang Krishna.
Sesekali bisa dipahami Krishna adalah Batara Guru Sang Manikmaya
di depan Umayi ya Durga Umayi, di atas kasur-kasur lembut hamparan awan.
Menderu-deru Sang Manikmaya menghisap ragawi, merentang, mengerinyut, mengejang.
Menarikan hasrat dalam seluruh tubuhnya hingga jatuh terguling-guling.
(Umayi yang satu ini cukup pencemburu, menyimpan sekantong penuh tanda tanya. Ada 'tidak' digenggam kirinya, selagi belum menemukan jawaban atas segala tanya. Tapi juga punya 'ya' atas segala rupa, yang dihidupinya alami.)

Kedua, adalah menu tentang wajah rasa.
Sarapan pagi yang super cepat kilat.
Aku menjilat bara dari bibirnya.
Membakar aku dalam percakapan renjana.
Nyaris tanpa tanpa suara.
Pun ketika aku menegang dibelit logika.
Parahnya, tubuhku merindu pemenuhan.
(Harusnya aku tampar diriku sendiri, yang berharap mimpi jadi abadi. Untung aku sempat mematri seluruh paras inspirasi lewat ujung jariku. Juga mencium seluruh aroma lekuk dan kuduknya. Sungguh!)

Ketiga, adalah menu tentang personalita
Ada sunyi antara aku dan secangkir kopi
Ada gelisah antara aku dan sepotong donat.
Ada yang melayang antara aku dan rel kereta Gambir.

Keempat, adalah menu tentang ...
Entah bagaimana menyebutnya ya, tapi ada gairah yang pelan-pelan muncul. Memenuhi lingkar baru keselarasan yang kini terbentuk di sekitarku. Keselarasan lain yang agak aneh. Mestinya harus diadaptasi dulu, hati-hati, karena keselarasan yang satu ini bisa membungkus tebal suara hati.

Kelima, adalah menu tentang dunia ini sendiri.
Ini porsi terbesar dalam petualangan seharian. Ada banyak point. Aku akan menulisnya menyusul nanti. Sungguh rahmat yang hebat. Menyegarkan kembali baling-baling bambuku yang mulai reyot sana-sini. Terimakasih untuk semua.

Friday, December 05, 2008

Melankolis

Tak tahu nih, bawaanku kelabu saja akhir-akhir menjelang pergantian tahun ini. Mati-matian aku mengkianati Logika, tapi bahkan Kesempatan juga tak mau datang mengunjungiku. Yang menemaniku sih banyak, ada Penantian dan Kerinduan. Dan tentu saja ini yang tak mau melepaskan rangkulannya pada tubuhku, Hasrat.

Wednesday, December 03, 2008

Demam

Aku demam parah. Sungguh, secara fisik suhu badanku naik turun. Kadang hangat, panas. Hingga leherku terasa terbakar. Namun kadang dingin, beku. Sampai seluruh lendir tubuhku memadat. Secara psikis, demamku lebih berat. Perputaran keras antara hati, rahim dan otak. Berputar ke segala ruas.
Aku tanya apa yang bisa menyembuhkanku?
"Ada satu resep. Sublimasi."
Tapi itu masih sangat teori bagiku. Bagaimana mendalaminya?
"Tidak ada yang tahu dan memberitahumu. Carilah."
Aku tidak bisa berpikir untuk melangkah kemanapun.
"Menulislah terus. Jangan berhenti."
Aku kira aku masih akan demam jika itu yang harus aku lakukan. Jari-jariku beku dan terbakar dalam waktu yang sama. Begitu juga seluruh inspirasi yang mungkin bisa aku gali. Beku dan terbakar.

(Mungkin aku perlu tidur sementara waktu.)

Saturday, November 22, 2008

Ingin Berhenti

Aku ingin berhenti. Menggiring bola kesana-kemari tanpa pernah masuk ke gawang satu kalipun untuk mendengarkan sorakan gembira karena satu gol yang tercipta, adalah kekecewaan. Bukan kakiku yang tidak bisa menyepak, tapi gawangnya selalu dipindahkan. Ooh...

Wednesday, November 19, 2008

Hiburan

Tanpa ditanya, tragedi tengkorak adalah jawabannya.
Sekalipun bintang membisu di gelap, keheningan merangkai nirwana.
Pun saat mawar meluka, tetaplah menggores surga.

Hiburan ini diulurkan Leo, SCJ. lewat pesan singkatnya dalam HPku. Saat ini gigiku tengah mengunyahnya. Serpih-serpih pahit itu harus kutelan kan, romo? Bagaimana kalau perutku menolaknya? Aku menangis membayangkan harus mencicip Kalvari, dengan mata terbuka dan hasrat yang sadar.

Tuesday, November 18, 2008

Lelah

Aku berjalan ke arah rumahmu. Bergegas, terjatuh-jatuh, berlari... Terus... Aku tahu persis, aku tidak pernah sampai di rumahmu, atau sekedar berteduh di terasmu.

Tuesday, November 11, 2008

Labrakan Pagi

Pagi ini aku bangun sangat subuh, langsung mengkerut terpojok di sudut dapur. Logika datang dengan golok terhunus, mengkilap tajam dengan mata yang berkilat-kilat marah. Dia langsung menekan leherku dengan tangan kiri, sedang dua matanya tak lepas dari mataku yang masih belum tersentuh air.
"Jangan lagi pernah kau tinggalkan aku!!" Suaranya tak terlawan.
Aku mengaduh dalam cekikannya. Goloknya terayun hanya beberapa centi dari jantungku sehingga nyaris aku terlonjak ke alam kematian, terkena serangan jantung.
"Jangan berdalih apapun. Aku tahu apa yang sudah kau lakukan kepadaku. Lalu kau siarkan soal keringkihanmu yang pura-pura itu. Bukan keranjang bambu yang kau punya tapi lihat itu!!"
Aku terpaksa menoleh pada telunjuknya. Aku melihat guci tembaga yang kemarin aku gelindingkan sembunyi-sembunyi di balik sumur. Aku tidak bisa mengelak, memang.
Melihatku tanpa suara, Logika mengendurkan tangannya.
"Aku juga tidak harus selalu sekencang ini padamu setiap waktu. Tapi kamu sudah keterlaluan." Suaranya melemah, menyalurkan rasa pemakluman pada tiap nada suaranya.
"Tapi kamu harus janji untuk tidak lagi membiarkan aku tercecer tanpa harga. Jangan lagi sembunyikan kekuatanmu dalam rasa semu yang kau idolakan itu. Aku akan tetap mengawalmu, jangan protes."
Aku tak mengangguk juga tak menggeleng. Logika tetap di samping kiriku, tapi golok sudah disarungkannya kembali. Sedang hati dan rahim mulai mendekat pelan-pelan, takut-takut, mencoba meraih tangan kananku. Tidak aku kibaskan.

Monday, November 10, 2008

Malam Berdebu

Ada satu ruang di belakang rumahku. Gelap karena selalu tertutup rapat, dikunci pintunya dan ditutup rapat-rapat jendelanya. Semalam aku berada di dalamnya sekitar dua jam. Dua jam yang mendebarkan karena ada seseorang di dalamnya, duduk dengan telepon di telinganya, dan tangan mencoba meraih tubuhku. Tidak kelihatan persis wajahnya, karena aku hanya bisa membayangkannya lewat suhu, suara dan debu. Suhu yang menghangat di seputar tubuhku dan tubuhnya. Suara yang mengalun dalam melodi karonsih lewat bibirku dan bibirnya. Dan debu yang bergerak seturut gerak dan nafas kami berdua. Benar-benar jadi malam yang penuh berdebu, dalam kegelapan. Hingga aku sesak nafas, dan terpincang-pincang menjaga keseimbangan diri.
Untung, benar-benar beruntung setelah detik-detik itu, ada satu celah kecil yang menembuskan berkas cahaya. Sangat kecil. Namun lihatlah. Debu-debu cemerlang dalam berkas itu, berkilauan, bergerak, seperti jutaan bintang kecil yang hidup. Hingga kantuk mengeluarkan kami berdua dari ruang itu, kami hanya bisa duduk terpaku. Takjub pada keindahan debu yang terkena berkas sinar.
(Aku kira, kalau pagi telah datang nanti kami akan saling memandang dan menyapa,"Sayang...")

Friday, November 07, 2008

Lidah

Aku mengaduh dalam gelap. Sakit seluruh pancaindera.

"Aku tidak menggigitmu, sungguh. Tapi sedang mencari lidahmu." Sanggahnya dalam suara berat.

Mana mungkin lidah yang aku titipkan padanya bisa hilang begitu saja?
Bukankah waktu itu dia berjanji akan menjaga lidah itu tetap aman?
Aku tidak mungkin bertahan jika lidahku hilang.

"Waktu itu aku tidak memaksamu. Kamu sendiri yang memberikan lidahmu padaku." Masih menyanggah dia dengan suara parau bertembakau.

Bagaimana mungkin bibirnya melepaskan kunci pada lidahku?
Sehingga berkeliaran entah kemana tanpa tulang dan kehendak?
Aku harus mendapatkan lidahku kembali.

"Sungguh, tidak ada lagi di dalam mulutku. Lihatlah bibirku!" Semakin dia tidak masuk akal memberikan sanggahan. Aku tidak bisa menuduh selain dia.

Aku meletakkan bibirku di atas bibirnya. Mencoba mencari-cari dalam rongga mulutnya, barangkali dia menyembunyikan lidahku di sana.
Selama lidah itu belum kembali,
tak kan mungkin aku bersuara.
Tak kan mungkin aku menaruh percaya
kepadanya.

Thursday, November 06, 2008

Dalam Senyuman

melihat tangan melenggang aku ingat sebuah senyuman
yang meruapkan dupa dalam jiwa penuh birahi
serupa bunga-bunga semerbak di altar pemujaan
memberikan kesempatan masa depan hadir berjanji
'tak pernah kupikir menamparmu
hanya menyayangimu'
seperti bisikan persis di rongga telinga
aku tidak bisa menyetujui nada-nada fatamorgana

'tak penting kau menamparku
atau kau menciumku
lakukan saja!
karena saat kau lakukan berarti engkau ada di dekatku!
engkau mengkerut di ujung hatiku
menelan pahit marcapada
tak berani menampar atau menciumku
karena jauh kau tak terhingga


The flower grew in an altar of soul full of echantment.
The fragrance of love has washed some hurts on hurts.
The parfume has relieved a darkness of soul.
For a while, I may tell a story of heaven, it will wither together the time.
(Terakhir ini upaya Leo, SCJ. entah dari mana idenya. Bagiku menjadi ide yang baru lagi. Thanks, Mo.)

Suamiku


Saat rapat tim untuk membuat jaring politik beberapa hari yang lalu, 12 orang yang datang memulai pertemuan dengan menceritakan detil identitas dan aktifitas masing-masing. Supaya bisa saling percaya dan jalan bareng di masa mendatang. Aku bercerita tentang diriku sendiri. Seorang istri, ibu dari dua anak. Dengan aktifitas di majalah, orang muda, perburuhan,...bla, bla, bla,...punya minat kuat pada bla, bla, bla...
Seorang bapak mengatakan,"Aku tidak bisa membayangkan mengerjakan semua itu. Terlebih kalau aku seorang perempuan."
Aku langsung mengangguk. Iya, betul, pak. Ini karena ada lelaki hebat yang ada di sebelahku. Bukan seperti suami-suami kebanyakan.
Kalau suamiku bukan Den Hendro, aku juga tidak bisa membayangkan melakukan ini itu dengan status istri dan ibu dua anak, yang melekat tak mungkin lepas seumur hidup. Dengannya, aku mendapatkan kesempatan bukan sekedar menjadi Nyonya Hendro dan Ibu Albert - Bernard. Dengannya, aku tetap bisa menjadi seorang Yuli, yang merdeka sebagai seorang ciptaan dengan banyak karunia yang sudah diberikan oleh Penciptanya, untuk dikembangkan berkali lipat. Dengannya, aku tetap bisa bermimpi, berkeliaran, ... Tidak ada yang hebat dariku karena aku menjalankan apa yang mestinya memang aku jalankan.
Dialah lelaki hebat itu, yang sudah memberikan kasih dan ruang percaya sebesar itu.

Wednesday, November 05, 2008

George

Ini foto mereka saat anteng, diem, asyik bermain dengan pasir dan ombak pantai Kalianda Resort.

Aku sudah terbiasa mendengar Albert dan Bernard berisik luar biasa hingga seperti kapal pecah seluruh rumah. Dari ruang tamu, kamar, dapur, kamar mandi, halaman, semua jadi ajang permainan mereka yang kadang-kadang keterlaluan tidak aku mengerti sebagai ibunya. Bagaimana mungkin bisa bertengkar seolah akan bermusuhan seumur hidup hingga lebam kaki tangan mereka, sama-sama menangis atau tidak mau bertegur sapa. Tapi sedetik kemudian mereka sudah saling berpelukan asyik berkasak-kusuk membuat rencana bersama. Lalu muncul permainan aneh-aneh. Astaga. Dan tidak ada satu barang pun yang bisa lepas dari perebutan. Apapun menjadi asyik kalau rebutan lebih dahulu. Bantal, guling, piring, kursi, bahkan pipiku, duduk di kanan atau kiriku, ... apapun!
Tapi aku paling tidak tahan jika mereka berisik di atas motor. Seperti beberapa hari yang lalu, dari rumah mereka sudah ribut antara siapa yang harus mematikan televisi. Lalu ribut dengan sabuk. Yang mana yang harus dipakai oleh siapa. Setelah itu akur di atas sadel Mio dengan rapi manis berseragam sekolah. Dengan tanda salib yang khusyuk di depan rumah. Tak bertahan lama. Usai bunderan Raden Intan mereka melihat monyet nyengir asimetris (hehehe...kok inget diri sendiri ya. Dulu Ines, Gatot dkk sering ngolok aku si bibir asimetris. Tapi tentu lebih seksi dibanding si monyet iklan).
"Jos...!!!" Mereka berdua teriak bersamaan.
Aduh apaan sih? Aku rem motor mendadak, melotot pada mereka.
"Ada apa?"
"Itu si Jos, bu."
"Jos siapa?"
"Jos, monyet yang pintar itu." Si kecil menjelaskan sambil menunjuk papan iklan monyet. Oh, film Curious George! Tanpa kata aku gas motor. Dongkol berat.
"Jos, satu!!!"
"Dua!!"
"Sepuluh!!!"
Mereka berdua ribut menghitung si George yang dipasang di papan-papan selanjutnya yang rupanya baru dipasang hari itu berderet hingga Tanjungkarang. Tangan-tangan ruwet ke kanan kiri. Kepala menoleh sana sini. Kaki saling sepak mengaku yang paling benar menghitung. Saling bantah, saling hitung.
"Kenapa berhenti, bu?" Aduh pengin njitak kepala mereka berdua.
"Kalau kalian tidak bisa diam, ibu sulit nyetir. Bisa kecelakaan. Kita sudah terlambat."
"Nah, diem, dik."
"Mas Abot yang mulai duluan."
"Kamu!"
"Kamu!"
Ah, aku tinggal tidur saja wis. Capek deh...

Monday, November 03, 2008

Terbawa Angin

pusasan angin melayangkan tubuhku pada tubuhmu di jauh sana
membantuku meraba semburan ribuan sinyal kata
jangan mati, teriakku
biarlah logika berputar
biarlah rahim mengaduh
biarlah hati berserakan
sudah kubiarkan pusaran angin melayangkan tubuhku
pada tubuhmu di jauh sana

akan kubuka naluriku tempat sembunyi
wajah rasa yang abadi beku

Bengkel Penulisan Cerpen Mini


Pertama-tama apa cerpen mini itu?
Novel adalah sebuah rumah yang kita bisa jelajahi ruang-ruangnya, satu persatu.
Cerpen adalah sebuah kamar dengan jendela tempat kita bisa melongok, melihatnya.
Cerpen mini adalah sebuah kamar dengan lubang kunci, dimana kita bisa mengintipnya.
Cerpen mini seringkali dibatasi oleh jumlah kata, 400, 750 atau 1000. Tapi tidak boleh ditawar lebih dari itu. Apa yang ingin disajikan oleh pemilik rumah atau kamar, itulah yang harus diolah oleh sang penulis sehingga saat mengintip lewat lubang kunci, para pengintip itu tidak mau pergi. Biarkan resonansinya menggemakan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang jelas. Beri kejutan yang menggerakkan jiwa.
Itu yang dikatakan oleh AS. Laksana dalam Bengkel Cerpen Mini yang diadakan Dewan Kesenian Lampung (DKL) pada 1 - 2 Nopember 2008 di Gedung Unik Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung (Unila). Acara diikuti oleh 20 peserta yang menjadi nominator dalam lomba cerpen mini yang diadakan DKL plus beberapa orang dari UMKBS.
Pengertian yang masih mengambang dan memberikan ruang diskusi lebih lanjut tapi kesimpulan menarik diberikan oleh Ari Pahala dan Arman AZ pada akhir acara :
Cepen mini atau micro fiction atau flash fiction adalah cerita yang non naratif, lebih ke sugestif dan ada kecenderungan ke perumpamaan. Secara teknis bisa dilakukan dengan : tinjulah dulu hingga pembaca terkapar, setelah itu beri penjelasan singkat. Tidak perlu penjelasan bertele-tele.
Ah, masih bingung juga? Yach, aku yang ikut workshop dua hari aja masih meraba-raba dalam gelap. Aku akan cari satu contohnya nanti untuk aku tampilin. Hingga kini belum dapat yang okey. Bahkan Anyaman yang Terburai - ku pun rupa-rupanya juga bukan termasuk genre ini kalau dilihat lagi. "Itu cuma cerpen yang dipendekin. Bukan cerpen mini." Gitu si Ari bilang. Jadi, tunggu aja.

Menahan Diri

Pada akhirnya memang muaranya pada menahan diri
Hanya menahan diri

Thursday, October 30, 2008

Riset Buruh

Teman-teman yang ada di dalam Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL) sedang melakukan riset tentang dampak kenaikan BBM bagi kehidupan mereka sebagai pekerja pabrik. Menarik, bukan pada materinya (materi ini agak telat. tapi akan menjadi salah satu point penting saat perbincangan upah pada akhir tahun nanti).
Tapi yang lebih menarik adalah pengalaman riset yang mereka coba lakukan. Ini memang agak lain. Awalnya proses riset tidak pernah terbayang masuk dalam gerakan yang dilakukan oleh buruh. Biasanya jika berkumpul mereka akan diskusi, kapan aksi, dll. Sudah dua tahun ini FKSPL melakukan berbagai riset entah sendiri dalam wilayah Lampung, atau dalam jaringan aliansi dengan teman-teman di Jawa Barat dan Jakarta.
Hasil akhir tidak tampak. Tapi riset dapat menjadi dasar yang kuat bagi gerakan mereka selanjutnya. Data-data hasil riset menjadi argumen yang kuat bagi aksi. Menjadi lebih nyata. Mendasar. Sesuai dengan situasi yang sebenarnya.

Wednesday, October 29, 2008

Pasir

Apa yang terjadi kalau kita main pasir? Butir-butirnya akan menempel di tangan, kaki, pipi, rambut, dan lain-lain tergantung bagaimana kita memainkannya. Tidak berbahaya, tapi ada resikonya.

Tuesday, October 28, 2008

Malam dengan Tidur

Malam dengan tidur adalah keheningan mesra antara pasir dengan rongga-rongganya
bertopang pada lengan terentang tanpa usikan kegiatan sukma
pun mata terpejam menjadi alat penglihat rasa
pun tubuh diam menjadi bahan bagi seribu pelukan

Malam dengan tidur adalah penjelmaan suara alam yang lama bunting
menenggelamkan ragawi dalam nikmat kepulasan tak berjarak
dengan selimut udara sama mengalir antara Barat dan Timur
dengan igauan nyaman tanpa suara antara Utara dan Selatan

Aku terbelalak dalam gelap yang nyenyak
membuat berbagai ciuman segala rupa
bagi para dewata yang menari bersamaku

Monday, October 27, 2008

Ultah Bernard


Tanggal 26 Oktober, lima tahun lalu aku mengerang di persalinan keduaku. Tidak sesakit waktu kelahiran Albert. Aku kira ada mukjijat besar saat aku melahirkan Bernard. Bagaimana tidak?
Hari Sabtu aku masih bekerja hingga siang. Aku serahkan surat permohonan cuti pada Rm. Zwaard lalu tidak langsung pulang tapi belanja dulu di Matahari. Mencari beberapa keperluan bayi. Ada yang belum sempat dibeli dalam belanja terakhir. Pulang dengan dua tas besar berisi popok, perlak, baju bayi dan makanan untukku sendiri. Sejak hamil Bernard aku sangat hobi makan mie, jadi di rumah harus tersedia mie instan, mie telur dan berbagai jenis mie olahan.
Sudah sore ketika tiba di rumah, rasa pegal menyerang pinggangku. Tentu saja hamil besar selalu dengan tidur yang tidak nyenyak. Berkeringat, salah posisi, salah hati, ...sudahlah, pokoknya repot.
Hari minggu pagi, Albert bangun langsung lari ke sebelah ke rumah Ezra, main. Mas Hendro ngajak misa, aku menolaknya. Rasanya sangat capek. Aku gak mau pingsan di Gereja. Pengalaman saat hamil Albert aku dua kali pingsan saat ikut misa. Malu, perut besar digotong entah siapa. Jadi Mas Hendro berangkat sendiri dengan pesanku, jangan matikan HP. Disilent aja, karena aku akan telp daftar belanjaan yang belum sempat kebeli kemarin.
Begitu Mas Hendro berangkat, aku mengalami kontraksi. Pengalaman dulu, pasti ada proses dalam kontraksi, jadi aku santai-santai. Mandi, sarapan. Tapi kontraksi itu semakin cepat. Pukul stgh 9 aku gak tahan, telp Mas Hendro. Aku mendengar lagu Bapa Kami lewat telp yang sudah diangkat oleh Mas Hendro. "Gak usah belanja dulu. Pulang aja. Perutku sakit nih."
Tidak sampai sejam Mas Hendro sudah tiba di rumah. Barang-barang persalinan aku siapkan kilat. Kain-kain, sarung, baju atasan longgar, banyak pakaian dalam, alat mandi dan baju bayi satu stel. Diantarkan ke Klinik Xaverius, Sr. Irma menyambut dengan senyum,"Ah, masih bukaan 2. Masih lama. Malam paling cepet. Tapi gak usah pulang. Sana, jalan-jalan saja."
Ya, wis. Mas Hendro aku suruh pulang untuk nemani Albert dan aku menikmati lorong-lorong klinik. Sejam kemudian aku merasakan kontraksi yang semakin cepat dan lama. Bel di atas dipan aku bunyikan. Sr. Irma datang dengan mata tak percaya melihat aku sudah sampai pada bukaan 8, cepat jadi 9 dan 10, siap untuk mengejan dan melahirkan. Berikutnya proses kelahiran sangat menyenangkan. Bu Isye membantuku mengatur nafas, sedang Sr. Irma mendorong perut dengan aba-aba untuk mengejan. Tidak lama, Bernard lahir. Nyaris tanpa tenagaku. Bayi yang sangat kuat, punya dorongan sendiri dari dalam. Aku menangis ketika kepalanya ada di dadaku, dengan tali pusat yang masih terhubung dengan rahimku. Bayi hebat.
Tidak ada sakit sama sekali setelah itu. Yang ada adalah kelegaan dan kenikmatan.
Itu sudah lima tahun lalu. Lama sekali. Kini Bernard sudah bukan bayi. Tapi tetap hebat dengan dorongan semangatnya yang luar biasa. Dia punya minat yang tinggi pada banyak hal dan sangat fokus. Jika sudah konsentrasi, aduh wajahnya serius sekali. Memang, keras kepala. Tentu saja sama dengan ibunya.
Selamat ulang tahun, Bernard. Senang mengalami kebersamaan denganmu 5 tahun 9 bulan 10 hari dengan segala peristiwa di dalamnya. I love you. (Pasti tanya : "Ai lopv yu itu apa bu?" Aku cinta padamu, Bernard.)

Ada apa?

"Ada apa denganmu?"

Pertanyaan ini berulang-ulang disampaikan oleh banyak orang beberapa hari ini.
Ada apa? Tidak ada apa-apa. Lihat tertawa masih menjadi milik wajahku. Jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan.
Aku tidak apa-apa.

Malam tanpa Tidur

Malam tanpa tidur adalah percakapan panjang antara ombak dan bibir pantai
menjadi hasrat perjumpaan yang mengental di ujung-ujung syaraf
andai ada sayap-sayap pinjaman yang bisa dipakai pengelanaan tanpa ruang ini
andai ada kaki-kaki peri yang boleh dipakai pengembaraan tanpa masa ini

Malam tanpa tidur adalah kerinduan pada batas cakrawala di ujung penglihatan
ranum seolah ada tapi melingkar tiada henti memperolok rasa capek
andai ada mata lain yang bisa membantu igauan demam dini hari
andai ada telinga lain yang bisa mendengar impian prematur menjelang subuh

Aku terpejam dalam terang matahari
menanti ciuman abadi para dewata
tempat berlabuh segala wajah rasa

Saturday, October 25, 2008

Keranjang Bambu Logika

Logikaku tercecer-cecer dari 'hanya' keranjang bambu yang kupunya
menjadi anak tiri bagi nafas tersengal

(
Bagaimana hidup berpikir tanpa logika?
Adakah masa depan bagi keindahan tanpa logika?
)

Friday, October 24, 2008

Sungai dan Sawah

Kemarin sore Albert dan Bernard merengek,"Ke kali sih, bu.."
Aku tunjukkan langit yang mendung dan hujan mulai turun. Mereka rela hati menerima penolakanku. Tapi biasanya aku juga jarang menolak, jika langit cerah, karena aku juga suka pergi ke sana.
Sungai (kali) dan sawah memang tempat favorit kami. Ini tempat murah meriah yang bisa dikunjungi setiap saat karena dekat dengan rumah. Hanya jalan kaki beberapa ratus meter sudah nyampe. Sering kami bertiga (Minus Den Hendro, karena beliau ini suka payah kalau gak mood. Kali kurang greget tempat ini dibanding Rinjani, Semeru, Gedhe dll yang pernah didakinya. Padahal asyik lo.). Aku, Albert dan Bernard bisa berjam-jam di dua tempat ini. Mereka berdua akan asyik masuk ke air. Aku selalu heran kalau melihat mereka bisa menangkap ikan atau udang atau kepiting atau keong dengan cepat pakai tangan telanjang mereka. Aku setengah mati tercebur-cebur pun hanya dapat cetul kecil-kecil.
Akhir-akhir agak menyedihkan. Sungai tempat biasa kami nongkrong dipakai orang untuk membuang sampah. Padahal airnya juga sudah tinggal setetes-setetes. Dan sawah beberapa petak itu (ya, sawah ini udah dekat dengan perumahan-perumahan yang di kapling-kapling) tinggal nunggu waktu saja untuk berubah wajah.
Ada yang punya sungai dan sawah lain yang bisa kami kunjungi?

Krishna dan Arjuna

Aku ini seperti Arjuna, walau beda kelamin (ah, gak yakin juga apakah Arjuna benar-benar laki2?). Selalu penuh keraguan, bimbang, dengan perasaan yang kuat pada segala. Maunya pada 'cinta' tapi selalu pada 'jatuh'.
Aku selalu butuh Krishna untuk memutuskan sesuatu, bahkan bukan hanya satu Krishna. Dia yang bisa meluruskan kembali bahwa kewajiban lebih luhur ketimbang hanya rasa. Kewajiban akan membawa dampak bagi kebenaran sedang rasa akan selalu bimbang di antara dua tebing. Meloncat kesana kemari.

Thursday, October 23, 2008

Protes Malaikat

Aku mendapat protes dari malaikat.

"Ciuman mana yang kau rasa? Kapan? Bagaimana?"

Astaga! Tentu saja aku langsung duduk tegak. Memandang matanya tajam. Sebenarnya menampar wajah polos malaikat sangat nikmat kelihatannya, tapi tentu saja aku tidak boleh melakukan kekerasan semacam itu.

"Lihat! Matahari berjuta kilometer jauhnya dari bumi. Bunga-bunga bisa merasakan ciuman hangatnya. Menjadi mekar, berbuah, berbiji, melakukan regenerasi. Ini soal kepekaan."

Matanya tak percaya.

"Dan bukan urusanmu, kamu merasa mencium atau tidak. Urusankulah untuk merasakan ciuman itu, entah disadari atau tidak oleh yang memberi ciuman. Ini soal kepekaan."

Matanya semakin membulat. "Mana mungkin aku mencium tapi aku tidak merasakannya?"

Hiks, mau tidak mau aku memang harus menamparnya.
"Jadi, sekarang mulai rasakanlah! Rasakan saat kau menciumku! Itu hakmu, kekasihku!"

Wednesday, October 22, 2008

Senyuman

Hari ini aku bangun dengan senyum. Dan hebat, hingga sekarang aku masih tersenyum. Kuat juga daya sebuah senyuman walau kubuat sendiri untuk diriku sendiri. Ouw, malah aku dapat senyuman banyak dari berbagai pihak.

Keteganganku mulai menguap sedikit demi sedikit. Dan rasa mual dalam perutku juga mulai menghilang. Yah, leherku masih agak beku. Tapi ciuman sedikit dari malaikat sebelum senja nanti atau sebelum tengah malam nanti atau sebelum pagi besok atau sebelum tahun depan atau sebelum kematian, pasti akan sangat membantu. Memikirkannya saja aku sudah tidak merasakan sakit.

Hari yang romantis. Serius!

(Kayak-kayaknya aku udah lupa batu besar yang menimpaku kemarin, kemarin, kemarin dan kemarin. Padahal masih ada, cuma sekarang ini aku tertimpa batu sambil tersenyum. Kalau kemarin, kemarin, kemarin dan kemarin aku tertimpa batu sambil meringis.)

Tuesday, October 21, 2008

Hari yang Sibuk 2

Hari ini pun masih jadi hari yang sibuk. Editan harus selesai. Tapi juga harus mondar-mandir ke beberapa tempat.
Bertahan, bertahan, bertahan...

"Tidak apa-apa Yuli, tidak selaras juga tidak apa-apa. Pasti akan ada nikmat dari alam yang baru dan lain ini."

Ya, aku menganggukkan kepala, dan bersender pada bidang tidak nyata yang sekarang ini ada di depanku. Melukis di sana dengan warna-warni pelangi, yang juga tidak nyata.

Kini pada akhir terang matahari, aku menangis pada rangkulan embun. Embun yang kelewatan aneh tingkahnya, datang pada sore, khusus untuk mengisi kubangan sudut mataku.

Hari yang Sibuk

Kemarin adalah hari yang sangat penat. Pagi bangun dengan rasa sakit di belakang tengkuk dan ulu hati. Rasa mual yang aku rasakan dari dua hari sebelumnya saat masih di Puncak dan Jakarta terasa menguat. Aku tidak mau menuduh hatiku mulai bermasalah lagi (padahal memang 'hati' ku sedang bermasalah. ihiks!). Tidak mau memasak maka sarapan pagi dengan nasi uduk, beli. Hanya sedikit yang masuk ke dalam perutku. Albert sudah diantar bapaknya karena ada les melukis. Karena motor masih dibawa Bejo, aku berencana naik bis saja bareng Bernard. Pasti Bernard juga akan suka. Dan lagi, aku gak kebayang bawa Mio dengan kepala yang sangat berat itu.
Menjelang pukul 8 malah Bejo muncul dengan Mio. "Kan aku udah SMS aku naik bis saja." Entah jawaban apa dari Bejo gak gitu kedengeran, ya sudah. Memang kuping tua. Jadi aku mempersiapkan diri dan Bernard untuk berangkat. Bejo dan Bernard separoan makan nasi uduk. (pasti kurang deh, Jo. masih lapar kan?)
Aku memegang erat jaket Bejo yang kok ngebut minta ampun. Atau perasaanku saja entahlah, rasanya aku duduk melayang di jok belakang. Sekali sudah dekat sekolah kena jalan yang tidak rata baru aku mendarat di jok. Bernard pun diem-diem di antara kami. Entah dia takut atau tidak dibonceng begitu sama Bejo. Setelahnya langsung ke Radio Suara Wajar. Aku mencengkeram jaket Bejo kencang. Gak kerasa ya Jo? Lemas sekali jadi gak mau ngomong apa-apa. Dalam hati aku juga berharap cepat sampai di kantor.
Kerjaan di dalam komputer membuatku lebih lemas lagi. Tapi aku harus mengerjakan. Okey, pelan-pelan Yuli, urai dari yang bisa dulu. Maka aku buat tanda salib, lalu mulai mengedit satu demi satu naskah Nuntius yang sudah diketik oleh Eka dan Putri. Satu per satu, pelan-pelan. Beberapa kali minta maaf pada romo Tedens yang mesti mengerjakan sendiri persiapan rekoleksi, juga pada fr. Is yang mondar-mandir terus sibuk sana-sini. Juga pada romo Tri yang dicuekin aja, nanggapi obrolan sambil mata di komputer. Tengah hari agak segar dengan obrolan dengan seorang kekasih di ujung dunia 'tidak nyata', jauuuhhhh disana negeri antah berantah.
Makan siang hadir lewat Sr. Robert terkasih. Tapi maaf, suster, walau nikmat perutku agak mual. Jadi aku makan sedikit saja, kecuali mangga ranum enak yang sudah diiris.
Usai itu tenggelam lagi dalam tumpukan huruf, kata, kalimat, naskah... Pukul 4.30 sore aku melesat sebentar ke tempat rekoleksi. Melihat apa yang terjadi di sana. Ohh...semua beres. Jadi aku tidak perlu ada di sana. Maka aku kembali ke tumpukan huruf, kata, kalimat, naskah, yang kemudian bercampur dengan obrolan mesra dunia 'tidak nyata' yang rupanya terus membuntuti duduk di sebelahku tidak mau pergi.
Makan malam bersama para peserta rekoleksi. Nebeng gak papa. Setelah itu memaksakan diri mengedit kembali tapi sudah caapppeeekkkk..... Baca buku sebentar hanya tiga halaman karena setelahnya mual lebih terasa dengan putaran-putaran gelap di sekitarku. Jadi aku buka email, membalas beberapa surat, kemudian,"Mari, kekasih. Kita pulang dulu. Aku perlu tidur. Tumpangkan dulu tanganmu di atas kepalaku." Ah, ngambek dia. Tidak ada tumpangan tangan berkat apapun. Menyedihkan. Aku tersuruk dalam nestapa.
Mio aku pacu sangat pelan. Butuh setengah jam lebih kayaknya sebelum tiba di rumah. Gak mau jatuh. Jam 9.00 rumah kok sepi? Oya, pasti bapak dan anak-anak sedang ikut rapat panitia pengantin di Bude Tarno. Baru sebentar naruh tas kedengaran jeritan Albert dan Bernard.
"Ibu, temani ngerjain ini."
Astaga, ada prakarya yang harus dikerjakan Albert. Merobek-robek kertas untuk kemudian dilem di kertas yang sudah digambari. Butuh waktu satu jam lebih untuk pekerjaan itu. Jam sepuluh lebih prakarya itu selesai ala kadarnya dengan mataku dan mata Albert nyaris tertutup karena ngantuk berat.
Mandi harus dilakukan karena badan sangat kotor. Usai itu terkapar kecapekan. Jiwa dan raga. Sungguh. Tidur tanpa mimpi. Tidur yang sangat kurus tegang. Kurang.

Monday, October 20, 2008

Manusia Bukanlah Sampah


[Mirifica]Demikian tema umum yang diangkat dalam Pertemuan Nasional Komisi Keadilan, Perdamaian dan Patoral Migran-Perantau KWI (Pernas KKPPMP - KWI) pada 15 - 18 Oktober 2008 yang lalu. Pemilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh fakta rusaknya wajah Allah dalam keseluruhan ciptaan-Nya yang ditandai dengan maraknya praktek perusakan lingkungan, korupsi, perdagangan manusia dan demokrasi yang tidak dijalankan sepenuh hati. Pernas yang diselenggarakan di Via Renata, Cimacan-Puncak ini dihadiri oleh 58 orang peserta. Mereka adalah utusan dari komisi / lembaga / biro / sekretariat / panitia / bagian / unit / penghubung Pastoral Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau (PKPPMP) Keuskupan-keuskupan se-Indonesia, utusan beberapa tarekat, para pengamat proses, dan para pengurus inti dari KKPPMP-KWI. Mereka terdiri dari seorang Uskup, 27 pastor, 1 bruder, 11 suster, 2 frater dan 16 awam.

Pernas dibuka dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Keuskupan Bogor, Mgr. Michael Angkur, OFM. Mgr. Angkur dalam kotbahnya menekankan betapa pentingnya menjaga serta memelihara keluhuran martabat manusia (Kej. 1: 26-27; Kej. 2:7). Hal ini diungkapkan dengan mengambil contoh realitas perdagangan manusia di wilayah Keuskupan Bogor. Setelah Ekarisi, acara pembukaan Pernas dilanjutkan dengan dengan pemukulan gong dan pelepasan burung merpati bersama oleh Mgr. Mandagi, MSC, Mgr. Angkur, OFM, Sekretaris Komisi, Ketua Panitia dan perwakilan regio-regio sebagai simbol keadilan dan perdamaian.

Nara Sumber
Sebagai roh dari keseluruhan pertemuan ini, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. sebagai ketua KKPPMP-KWI memberikan pendasaran teologis berdasarkan teks Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja serta pengalamannya sebagai uskup yang terlibat dalam perjuangan keadilan dan perdamaian dalam situasi konflik di Maluku. Dalam paparannya Mgr. Mandagi menegaskan betapa perjuangan keadilan dan perdamaian tidak melulu diperjuangkan di luar lembaga Gereja, namun harus diperjuangkan pula di dalam lembaga Gereja. Kita, demikian Mgr. Mandagi menegaskan, harus mendasarkan seluruh gerak hidup dan perjuangan pada nilai-nilai kebenaran serta dari gerak Roh Allah sendiri.

Selain Mgr. Mandagi, tema "Manusia Bukanlah Sampah" tersebut pun diperkaya masukan para narasumber dari berbagai sudut pandang yaitu : Rista Sihombing, S.Sos.MA. (Perdagangan Manusia), Teten Masduki (Korupsi), Dr. Maria Ratnaningsih, SE.MA. (Lingkungan Hidup) dan Drs. Arbi Sanit, MA. (Pemilu 2009).

Sedangkan seluruh proses didampingi oleh tiga pengamat proses yaitu: Rm. J. Adi Wardaya, SJ. (Koordinator GATK Indonesia), Rm. Dr. A. Sunarko, OFM (Dosen STF Drijarkara, Jakarta) dan Drs. Fransiskus Borgias, L.Th. (Dosen Unika Parahyangan, Bandung).

Keprihatinan & Reksa Pastoral Bersama
Selama pernas, peserta bergumul dan berdiskusi dengan empat keprihatinan yaitu: Perdagangan Manusia, Lingkungan Hidup, Korupsi, dan Demokrasi (Pemilu 2009). Para peserta menyadari kompleksitas atas pemasalahan-permasalahan tersebut sehingga -pada akhirnya- peserta sepakat untuk memberikan fokus pada gerakan bersama untuk KKPPMP- KWI yaitu PERDAGANGAN MANUSIA dan LINGKUNGAN HIDUP. Dua bidang ini, menurut peserta, perlu mendapatkan perhatian serius dari Gereja, lembaga pemerintah dan non pemerintah, serta semua pihak.

Untuk itu, dirumuskanlah reksa pastoral sebagai sebuah strategi bersama yang akan diperjuangkan oleh komisi / lembaga / biro / sekretariat / panitia / bagian / unit / penghubung Pastoral Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau (PKPPMP) Keuskupan-keuskupan se-Indonesia dan tarekat-tarekat yang turut hadir dalam pernas tersebut. Reksa pastoral bersama tersebut adalah PEMULIHAN, PEMELIHARAN DAN HAK HIDUP ATAS: 1) MARTABAT MANUSIA YANG DIPERDAGANGKAN, DAN 2) LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF KEADILAN MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KOMUNITAS BASIS DAN ADVOKASI DALAM KERJASAMA DENGAN BERBAGAI PIHAK.

Rekomendasi
Di akhir pernas, para peserta membuat sebuah rekomendasi yang ditujukan kepada KWI, para uskup se Indonesia, para ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian serta Komisi Migran dan Perantau seluruh Indonesia, para pimpinan tarekat seluruh Indonesia, pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memberikan perhatian terhadap seriusnya persoalan hak hidup atas martabat manusia sebagai korban perdagangan manusia dan pemulihan serta pemeliharaan hak hidup atas lingkungan.[Dany Sanusi OSC]


Perjalanan Lampung - Via Renata

Biasanya tiga empat hari merupakan waktu terlama bagiku menginap di luar rumah tanpa suami dan anak-anak. Kali ini seminggu lebih. Dari tanggal 12 hingga 18 Oktober. Sebelum pergi juga heboh dulu, karena mesti belanja makanan stock seminggu untuk para terkasih itu. Kulkas full, disertai catatan tertempel di meja belajar Albert. Isinya? Ya, hari apa mesti ngapain. Urusan sehari-hari yang aku tangani di luar kepala, mesti dicatat rapi bagi Den Hendro tercinta. Selain itu ada catatan lain untuk Mr. Bejo yang akan membantu antar jemput Albert saat les tambahan. Thanks ya Jo. Gusti Allah sing mbales. Catatan juga mesti dibuat untuk Om Khairil, karena tugasnya tambah. Biasanya dia hanya menjemput anak-anak pulang sekolah, seminggu ini dia harus antar jemput. Lalu untuk Wawak, yang akan momong Albert dan Bernard sepanjang siang, sebelum bapaknya pulang. Urusan beres, malah aku yang belum beres. Ya gimana, Nuntius keleleran, rancangan Pelatihan MO untuk para buruh belum kepikiran, belum lagi permintaan romo vikjen untuk mbantu acara tanggal 20, persis setelah aku pulang, dll urusan yang seaprek-abreg.
Agak gamang saat berangkat ke bandara. Beberapa bawaan aku batalkan, karena aku ingin perjalanan ringan yang nikmat. Spesial untuk 'cuti' dari pekerjaan kantor dan rumah. Sepertinya kan asyik tuh bisa begitu. Maka perjalanan aku set dengan nikmat. Baju bawa sedikit saja, nanti bisa pinjam Yeni sesampai di Jakarta.
Dan memang perjalanan yang menyenangkan. Pesawat delay 1,5 jam tidak jadi masalah. Bahkan naik busway nyasar hingga Pulo Gadung pun nikmat. Tiba di Karet, hanya Mak Ti yang masih terjaga. Yeni seanak suami sudah senyap. Maklum, mereka juga baru nyampe Jakarta habis mudik Kediri. Aku juga gak berminat mengganggu mereka.
Maka aku cari makan sendiri di tengah malam, ganti celana panjang dengan sarung. Cuci muka dan ngelesot di depan TV. Hingga pagi terbangun dengan kelonan manis Yeni plus Aya dan Uya, yang serentak menghamburkan ciuman di pipi.
Tak banyak waktu. Pukul 8 aku sudah dalam perjalanan ke Klender dengan taksi. Yang sedikit menjengkelkan rupanya harus menunggu hingga pukul 11 lebih baru berangkat ke Puncak, tempat acara. Its okey, aku bisa tahan.
Pelatihan JP lumayan. Aku dapat banyak hal yang menarik. Jadi tidak terasa capek. Bahkan sebelum memulai Pernas tiga hari kemudian, ada kesempatan untuk jalan-jalan ke kebun organik Rm. Agatho. (Ingetin untuk cerita tentang ini secara detail ya. Aku akan menulisnya untuk Nuntius.)
Pernasnya sedikit membosankan. Tertolong karena aku diminta masuk dalam tim perumus, sehingga mau tidak mau aku harus berpikir keras masuk dalam proses yang dirancang. Tapi tidak begitu ada greget. Entahlah.
Manusia bukanlah sampah. Itu tema utama. Ingin menekankan pada martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang luhur yang sudah mendapatkan karunia alam semesta yang luar biasa. Maka tidak boleh dirusak oleh siapapun. Ini yang harus disebarkan pada semua makluk.
Perjalanan pulang sedikit aneh. Aku seperti berjalan di atas awan sejak keluar dari ruangan pernas hingga sampai rumah dan sekarang ini. Melayang-layang. Bahkan kegembiraan bertemu orang-orang di rumah juga tetap dengan background awan melayang, bukan bumi. Tetap menarik sih...karena ada sesuatu...yang entah mengapa terus melekat hingga saat ini di otak, hati dan rahimku. (Payah juga aku ini. Sudah jadi seorang ibu tapi tetap punya jiwa yang liar kayak preman. Gak ketulungan!!)

Puncak

perjalanan menuju puncak adalah keindahan
terserah mau dimana puncak itu
bagaimana puncak itu bisa ada, pun biarlah

aku akan terus berjalan menuju ke sana!

Ciuman Malaikat

Siang, sebelum makan siang yang belum direncana, bibirku direnggut oleh malaikat. Awalnya adalah sentuhan lembut di ujung bibir. Lalu tiba-tiba ciuman itu sudah memagut erat seluruh jiwa. Demam membeku aku tak berkutik.

Siang, sebelum makan siang yang belum direncana, malaikat itu mampir mengibarkan seluruh pesonanya. Aku tak berdaya kecuali menelan ciuman itu, menekannya dengan lidahku, supaya masuk ke dalam perutku.

Kini aku terkapar dipeluk igauanku sendiri. Dengan sisa-sisa hangat. Bekas ciuman malaikat, yang aku tunggu lagi datangnya. Entah kapan.

Krishna

aku mendapatkan Krishna di puncak dingin
tangannya menyentuhkan berkat di atas kepalaku
seperti cakra matahari berputar tangan kirinya
sedang tangan kanannya semburan air sejuk bagi jiwa
menampi kerentaan dalam perjalanan inkarnasi

Krishna hadir dalam hujan petang menjelang Mahabarata
di belakang kereta aku erat di sabuk pingganggnya
putih dan hitam melaju bagi kami
menembus persiapan perang di ruang masa

mungkin ada anak-anak liar Krishna
yang telah bersemayam dalam tubuhku

mungkin ada juraian rambut Krishna
sedang mengkili-kili pikiranku

mungkin ada mimpi dan igauan lain nanti
saat tidur dan bangun yang teratur.

(Puisi ini terinspirasi oleh seseorang dari Timur sana, yang berdiri dan duduk dengan gaya anak Dewa, sembarangan menebar pesona. Sayangnya, aku pun takluk di bawah telapaknya, yang sudah diurapi sebagai tertahbis.)

Teman-teman, puisi ini hanya salah satu dari jutaan puisi yang aku dapatkan dari Pelatihan dan Pernas KKPPMP KWI, Via Renata 12 - 18 Oktober 2008. Yang lain akan aku publikasikan nanti, setelah pengendapan satu persatu, sepanjang hidupku. Sebagai oleh-oleh buat kalian. Sabar ya...

Wednesday, September 24, 2008

Tips Membuat Cerpen

Jumat lalu aku bertemu dengan para penulis muda Unila yang aku temani setahun terakhir ini. Aku bawakan dua tulisan hasil browsing internet. Pertama tentang Putu Wijaya dan kedua tips membuat cerpen. Mereka sedang ingin mengikuti beberapa event lomba cerpen. Selain Yesi, semua adalah pemula, jadi bahan itu baik juga untuk mereka.

Tips itu singkatnya begini :

1. Ambil seseorang, siapa saja. Boleh satu atau lebih. Beri nama sesuka hati, karakter sesuka hati, bentuk sesuka hati...pokoke terserah seseorang ini. Anggap aja lu nglahirin seseorang yang bisa kau bentuk sendiri secara fisik maupun sifat-sifatnya.

2. Taruh dia di atas pohon. Terserah juga pohonnya apa atau bagaimana. Kalau pohonnya adalah pabrik di Tanjungbintang tentu situasi ranting cabang daunnya beda dengan pohon sekolah di Natar. Terserah saja. Pilih pohon manapun sesukanya.

3. Lempari dia dengan batu. Silahkan saja batunya seperti apa. Pokoknya buat dia kerepotan, mabuk, sedih, menangis, terluka atau bahkan girang gembira karena timpukanmu itu. Biarkan dia bergulat dengan timpukan-timpukan batu itu.

4. Setelah dirimu puas, biarkan dia turun. Tepatnya suruh dia turun. Dengan cara apapun. Mau meluncur, terjatuh, atau pelan-pelan lewat ranting-rantingnya, terserah. Kamu bisa memeluknya hingga puas. Kapan dia sudah turun atau belum, akan terasa di hatimu.

Udah. Gampang kan? Enak suka-suka. Bisa diterapkan sewaktu-waktu tanpa perlu menunggu wangsit dari Gunung Kawi. Jika masih susah juga, persis lakukan langkah-langkah itu secara harafiah.

Ada Nino naik pohon mangga di halaman pak Haji, benjol kepalanya karena sebongkah batu, akhirnya jatuh ke tanah dan tewas.


Nah sudah jadi cerita kan? Tinggal panjang-panjangin saja tiap episodenya. Misal :

Nino tidak bisa mengubah kebiasaanya dari jaman purbakala. Kaki dan tangannya yang lincah dengan leluasa bisa naik turun pohon. Tapi bukan itu yang membuatnya tidak bisa menahan diri untuk selalu naik pohon mangga pak haji, lebih-lebih dalam bulan ini. Istrinya hamil 4 bulan dan tidak pernah puas menyantap buah asam kecut milik pak Haji. Teringat akan pesan emaknya untuk mengurus istri sepenuh hati saat hamil, Nino nekat memanjat pohon mangga itu untuk mendapatkan buahnya. Hari ini pun dia melakukan itu.

Nah, percaya kan? Kita sudah mendapatkan satu paragraf. Udah teruskan. Suka-suka aja apa yang mau terjadi selanjutnya. Nah kalau latihan awal ini lancar sampai karakter ke 6000 siaplah melangkah ke cerpen selanjutnya. Ingat, cerpen adalah cerita pendek. Kisah yang hanya terjadi sekitar 5 - 10 menit andai benar-benar terjadi asli nyata. Detail yang menggugah rasa pembaca itu yang harus dibangkitkan. Kata Yesi, ini seperti menunggu kereta di stasiun, hanya kisah yang sangat singkat.

Tuliskan rapi dan baca ulang beberapa kali sebelum mempublikasikannya. Kirim ke majalah atau koran.
Jika akan dikirim by email bisa dengan cara begini :
- Ketik huruf standar (Roman 12) spasi 2
- Kirim by attachment
- Kisaran 6000 - 8000an karakter
- Sertakan sebuah surat pengantar yang singkat
- Sertakan alamat lengkap, no telepon dan no rekening
Tunggu kabar dari mereka. Ada yang memberi konfirmasi akan dimuat atau tidak, tapi juga ada yang tanpa konfirmasi. Selamat jadi cerpenis!!

Friday, September 19, 2008

Happy...

Gara-gara iklan Hepi, aku mendapatkan perlakukan istimewa dari Bernard.
"Hepi tuh apa sih Bu?"
"Happy tuh bahasa Inggris, artinya gembira, senang."
"Oh, senang..."
"Kenapa sih, Nard?"
"Enggak..."
Dia asyik kembali mengwarnair gambarnya sambil duduk di depan tivi. Kakinya terlipat dan mata tidak lepas dari gambarnya. Serius, penuh konsentrasi.
Tiba-tiba dia menubrukku sambil teriak"Hiipiii!!! Hipiii ada Ibu!!!"
Hah, aku terjengkang ke belakang, dengan tubuhnya di dadaku! Astaga, tepat saat iklan Hepi.
...
Beberapa kali dia lakukan.
Semalam terulang lagi. Kali ini dia menubruk semua orang di rumah. Ibu, bapak, Abot (dia nih suka manggil kakaknya aneh-aneh) dan terakhir dirangkulkan lengannya ke tubuhnya sendiri. "Hipi, ada Bernard. Hipi ada saya." Tentu saja aku tidak kuasa menahan diri untuk menggelitiki perutnya hingga terjungkal-jungkal.

Wednesday, September 17, 2008

Bunga Kuning Pengantin

Musim-musim seperti ini, naik Mio sepanjang jalan Teuku Umar dari depan PU hingga RSU menimbulkan sensasi tersendiri. Bukan, bukan soal kepadatan kendaraan di bulan ramadhan. Tapi karena pohon-pohon (apa ya namanya? aku lupa.) yang membelah sepanjang jalan Teuku Umar mulai berbunga. Bunganya kuning. Kecil-kecil menjuntai ke bawah mengikuti ranting-rantingnya. Semakin bertambah bunganya, semakin daunnya berkurang. Lama-lama warna kuning akan mendominasi. Aku baru amati ternyata bunga itu mengibarkan bau harum ketika aku mulai melewati jalan ini dengan Mio. Saat naik Bus Damri aku tidak mencium apa-apa. Bau harum sepanjang jalan. Hebat. Walau semakin samar karena asap kendaraan kini tiada putus-putusnya dari ujung ke ujung.
Aku menyebutnya bunga pengantin. Juntaian bunga ini mirip bunga yang dipegang oleh para pengantin saat melangkah bersama menuju pelaminan atau altar. Gembung menempel pada daun-daunnya yang segar dan semakin meruncing ke bawah. Bunga pengantin, sangat cocok.
Bunga-bunga itu akan semakin banyak seiring waktu, dan saat puncaknya, woowww... Berjalan di sepanjang jalan ini sangat romantis. Taburan kelopak-kelopak kuning akan menyertai hembusan angin. Tukang bersih-bersih akan direpotkan olehnya karena dianggap mengotori jalan. Tapi bagiku...itulah sambutan alam bagi manusia. Sungguh indah. Taburan bunga akan berhenti saat bunga habis berganti dengan buah-buah mungil di tangkai-tangkai penopangnya. Itulah saat reproduksi yang biasanya tidak berjalan karena tidak ada ruang lagi bagi pohon itu untuk berbiak. Aspal dan roda akan menindasnya mati. Atau seperti yang terjadi pada jalan setelah RSU hingga jalan Kartini, habis pohon pengantin ini dibabat, diganti oleh pot-pot dan papan iklan.
Sampai kini masih kunikmati bunga kuning pengantin ini. Indah. Moga abadi...

Seringkali Cinta

sebuah panah melesat tepat di jantungku
separohnya berjalan menuju otak
berkembang menjadi pikiran-pikiran

ada tujuh rupa yang kemudian tercipta

pertama
adalah logika
yang menjadi temanku
membaca peta dan jalan

kedua
adalah tradisi
yang menjadi teater hidup
di atas panggung yang bergerak senantiasa

ketiga
adalah kaki
menancap di badanku
sehingga aku berjalan di atas bumi

keempat
adalah keringat
membasuh seluruh tubuh
mengingatkanku pada rasa lelah

kelima
adalah pagar
berdiri kaku melingkar
menandai bentuk keterbatasan

keenam
adalah sepasang kuku
tempat terlindung yang tumbuh
di ujung jari setiap gerakan ragawi

ketujuh
adalah kepenuhan
tujuan dari segala perkembangan
yang memberiku pengembaraan kekal

(mereka bertujuh
ingin selalu aku rengkuh)

Tuesday, September 16, 2008

Tolak!!!

Tidak tahu harus berkomentar apa jika seperti ini.

Pasal 1
Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan / atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan / atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat
(demikian bunyi RUU RI tentang pornografi)

Lagu Letto pun akan hilang dari peredaran. Ya iya, wong setiap saat mendengar musik dan lagu mereka, aku selalu terangsang romantika dan mendapatkan dorongan kuat untuk bercinta. Gimana dong?

Adakalanya Cinta

sebuah panah melesat tepat di jantungku
separohnya mencapai rahim
dan berkembang menjadi janin

ada tujuh rupa yang kemudian aku lahirkan

pertama
adalah waktu
yang menjadi sahabatku
membaca ruang dan perjalanan

kedua
adalah senyuman
yang menjadi bros di dada
membuatku merasa cantik senantiasa

ketiga
adalah sayap
merapat di punggungku
sehingga aku melayang di atas awan

keempat
adalah air mata
membasuh wajahku
mengingatkanku pada rasa rindu

kelima
adalah cemara
meliuk bergoyang
menandai bentuk keliaran

keenam
adalah sepasang sepatu
tempat aku menapak entah dimana
membawa kesadaran pada perlindungan

ketujuh
adalah ketiadaan
penyelamat segala perkembangan
yang membebaskanku dalam pengembaraan kekal

(mereka bertujuh
ingin selalu aku rengkuh)

Friday, September 12, 2008

Melayang

hari ini ada sepasang sayap di punggungku
menancap kuat di dalam tulang belakangku
sepasang sayap putih yang lebar
sepasang yang terus bergetar dengan kekuatannya sendiri

bahkan aku bisa melihat dua kakiku menggantung lurus
tidak menginjak tanah atau benda apapun
dua tanganku bergerak bebas di udara ini
dua mataku memandang tanpa batas ke empat penjuru

(tentu saja aku tidak tahu sayap ini milik siapa
dan tidak tahu sampai kapan akan melekat di sini
seperti aku tidak tahu kapan dan mengapa bisa ada di ruas punggungku)

Friday, September 05, 2008

Ooo, Albert.

Usai mengantar Bernard, aku memutar lewat pinggir lapangan SD. Rupanya anak-anak SD kelas II sedang senam kebugaran sebelum masuk kelas. Sekilas pandang saja aku sudah dapat menangkap sosok Albert. Dia di barisan agak ke belakang. Tempat favoritnya. "Iya, ibu. Aku tidak bisa ada di depan karena aku tinggi." Gitu alasannya kalau aku protes tentang tempatnya yang selalu di belakang kalau sedang baris. Ah, nggak. Dia sama tinggi dengan Billy atau Vio atau Ano, tapi mereka ada di depan.
Tidak jadi keluar gerbang untuk ke kantor, aku duduk di bawah puring, melihat senam itu. Jauh berbeda dengan senam kesegaran jasmani yang dulu dipakai saat aku SD. Lagunya lebih semarak, ceria, lepas. Gerakannya juga. Seperti menari bu Eti di depan sana memberi contoh pada para murid. Barisan depan sungguh rapi jali. Seperti laron-laron kecil yang berbaris rapi mengerubuti induknya.
Tapi astaga...lihat Albert. Matanya menatap lurus bu Eti. Dia mencontoh gerakan-gerakannya. Tidak jadi menari jika yang bergerak Albert. Saat tangan harus terentang, dia akan merentangkan tangannya selebar-lebarnya hingga dapat menggapai pundak teman kanan kirinya. Lalu bu Eti meloncat-loncat kecil ritmis. Albert melombat setinggi langit. Entah apa yang didengarnya, apakah ada musik dan lagu, tapi dia melombat tinggi-tinggi berkali-kali sampai dia sadar bahwa gerakan teman-temannya tidak lagi melompat, dan dia menghentikan gerakannya. Sekali tempo gerakan tangan ke kanan dan ke kiri. Gerakan ini membuat Albert melihat bahwa bayangan matahari melalui tangannya dapat membuat bentuk kupu-kupu, kelelawar, kelinci dan sebagainya di lantai lapangan. Maka hilang lenyaplah guru dan teman-temannya, berganti dengan para binatang di paving.
Aku menahan nafas ketika salah seorang guru yang berjejer di barisan belakang berjalan menuju Albert. Hups, satu tangan menarik tubuh Albert yang terbungkuk-bungkuk mengikuti kupu-kupunya dan mengembalikannya pada barisan senam. Gerakan terakhir ambil nafas buang nafas, ooo Albert, dia menengadah laammmaaa...sekali, kemudian dua tangannya mendekap pipinya. Pasti hangat pipinya karena terkena matahari pagi. Dia ulang lagi gerakan itu.
Satu gerakan menoleh, dia melihat mataku di ujung lapangan di belakangnya, spontan dia langsung melambai dan tersenyum padaku. Tentu saja aku tersenyum juga padanya dan melambai kencang-kencang padanya.
"Lihat di mata ibu, Bert. Ada kamu di situ." Aku membisik. Pasti dia tidak dengar. Tapi dia tahu itu.

Saturday, August 23, 2008

Pernikahan Masa Kini

Pernikahan Reni dan Kasdi, 22 Agustus 2008 adalah pernikahan masa kini di salah satu sudut Baradatu, Kabupaten Way Kanan, Propinsi Lampung. Dua orang ini adalah keturunan Jawa yang lahir dari generasi kedua orang Jawa. Orang tua mereka asli Jawa, dan pindah ke Lampung karena transmigrasi. Mereka berdua lahir di Lampung tapi dua-duanya mengaku sebagai orang Jawa. Pernikahan mereka tidak bisa disebut lagi khas Jawa. Tidak ada pantangan-pantangan seperti yang dilakukan oleh orang Jawa yang menikah. Tradisi pengantin Jawa mereka dipingit beberapa hari sebelum pernikahan. Pengantin perempuan dan laki-laki tidak boleh bertemu. Mereka tinggal di rumah masing-masing atau jika pengantin laki-laki tinggal terlalu jauh, mereka harus 'mondok' di salah satu rumah yang dekat dengan rumah pengantin perempuan. Pengantin perempuan lebih banyak aturan. Mereka tidak boleh masuk dapur, tidak boleh mengerjakan hal-hal tertentu. Dan pada malam menjelang pernikahan mereka menjadi 'widodari', menikmati keperawanan terakhir kali dengan berdandan secantik mungkin, tanpa boleh dilihat oleh calon pengantin laki-laki. Malam widodaren ini menjadi malam terakhir bersama orang tua.
Reni dan Kasdi mempersiapkan pernikahan tanpa aturan-aturan Jawa seperti itu. Ada janur melengkung tapi tidak ada lagi tradisi-tradisi budaya yang dianut. Mereka mengerjakan sendiri banyak hal. Menjadi orang paling repot, masih keluar masuk dapur membuat ini itu, bahkan pada malam widodaren Reni menyeterika baju sendiri. Dan mereka berdua bersama sepanjang hari.
Pada hari H, aku melihat menjadi hari yang paling melelahkan bagi mereka. Aku yakin mereka tidak tidur pulas beberapa hari terakhir. Gimana bisa tidur wong sepanjang malam orang-orang 'tirakatan' semalam suntuk. Tirakatan masa dulu adalah hening, menghela keluar setiap halangan yang mungkin muncul. Mendoakan calon pengantin supaya 'kalis ing sambikala'. Lepas dari segala marabahaya. Tapi tirakatan yang dilakukan masa kini, adalah kartu, makanan kecil, guyonan dengan tape yang disetel sangat kenceng mengudarakan kisah wayang. Tidak ada keheningan sama sekali.
Hari H, Reni dan Kasdi berada di Gereja dengan kemantapan niat untuk bersatu. Khusyuk dalam doa, gemetar saat mengucap kaul dan menangis di pangkuan saat sungkem orang tua. Aku terpana melihat mereka berdua. Salut! Resepsi pernikahan juga tidak lagi menyisakan adat Jawa dengan temu manten, suap-suapan, kembar mayang, kacar-kucur dan sebagainya. Hanya pelaminan dan panggung orgen tunggal yang berisik sepanjang acara. Seperti pernikahan-pernikahan lain di Lampung. Budaya yang sudah bergeser.
Selamat menjalani babak selanjutnya dari cinta kalian, Reni dan Kasdi. Aku ikut dalam doa dan sukacita kalian.

(Hari Kamis aku, Sisil dan Putri berangkat dari Rajabasa. Sebelumnya makan mie goreng instan dulu di terminal karena sangat lapar. Tidak sempat makan di rumah. Buru-buru. Karena dua gadis ini belum tiba di tempat janjian, aku pesan mie plus telur. Eh, Sisil datang bilang belum makan juga. Belum selesai mie dibuat, Putri datang. "Aku kenyang." Maka berdua makan dulu, lalu cepat-cepat mencari bis menuju Baradatu. Sudah menjelang jam 2. Katanya bis kesana terakhir jam 2. Peron menagih 500-an per orang. Dan, syukurlah bis Darmaduta masih akan berangkat 10 menit lagi. Tiket 33 ribu per orang. Cukup nyaman. Tapi setelah berjalan, ketahuan kalau AC nya sama sekali tidak dingin. Menjelang Kotabumi, hujan deras mengguyur. Tidak berhenti pula sampai tiba di Baradatu sekitar pukul 6 sore. Sudah mulai gelap. Naik ojek ke "Pak Warindi, Solo I." Tiga ojek 15.000 semuanya. Rupanya keluarga pengantin laki-laki juga datang sore itu. Kami makan malam lezat khas Jawa : sambel goreng kentang, mie goreng, ayam bumbu entah apa, kerupuk, ehmmm...lezat! Setelahnya ada ibadat. Tidak pake mandi ikut bergabung bersama umat dalam doa. Kok ketemu seorang tokoh umat. Wawancara dong untuk Nuntius. Jangan dilewatkan kesempatan emas ini. Rencananya malam mau tidur yang enak karena hari sebelumnya aku hanya tidur sebentar setelah acara peluncuran Buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung di Graha Wangsa. Tapi tidak bisa. Lakon wayang disetel luar biasa memekakkan. Tidak mungkin tidur. Maka bertiga ngobrol segala hal. Terpejam beberapa menit, sudah tidak bisa tidur lagi. Merem tapi tidak tidur. Jam 5.30 pagi meloncat dari tempat tidur, mandi, berbaring lagi, sarapan, siap-siap ke Gereja, tugas motret manten, dan pulang nebeng rombongan Tanjungkarang pukul 12-an. Tiba di rumah lebih dari jam 3 sore terkapar hingga malam. Menemani Albert belajar setengah terpejam dan kembali tidur. Sampai tidak tahu kalau mas Hendro tidak ada di rumah, latihan koor. Kok tidak terasa ya kalau suami tidak ada. Pagi-pagi tadi bangun dengan malas dan kembali beraktifitas biasa.)

Thursday, August 21, 2008

Jika Yang Tertinggal Adalah Tanggungjawab

Semangatku nyaris lenyap jika berhadapan muka dengan Nuntius. Lamat-lamat tertutup kabut. Banyak hal yang membuatku muak. Tiga tahun lebih aku terbenam dalam Nuntius. Tidak hanya luar, tapi seluruh hati dan pikiran dan hidupku. Prioritas di luar rumahku adalah untuk Nuntius. Apa yang dilakukan Nuntius padaku? Menampar hatiku senantiasa dengan sakit hati. Tidak ada senyuman penyejuk yang bisa mengembalikan luka itu. Hanya luka yang ditanamkannya. Manusia tetap begitulah aku. Bukan robot kebal segala duka. Terlebih ini manusia ringkih yang tidak akan selamanya ada. Tidak bisakah pelukan, senyuman bahkan pandangan mata sedikit saja?
Semangatku nyaris lenyap. Yang tertinggal adalah tanggungjawab. Membuatku masih bisa hidup merangkul Nuntius senantiasa. Tapi senda gurauku bukan padanya. Yang tertinggal adalah tanggungjawab. Sedang hatiku pada lembaran-lembaran calon cerita-cerita yang sekarang sudah mulai membunting dalam pikiranku, minta dilahirkan. Di sanalah senda gurauku. Saat kelahiran-kelahiran terjadi...

Tuesday, August 19, 2008

Selimut Beku

Suhu -16 derajat celcius menerkamku di bawah sini. Tidak, aku tidak ada di Eropa atau negara lain yang mengalami suhu-suhu itu pada musim-musim tertentu. Aku ada di Lampung. Tapi beku. Kedinginan yang menyelimutiku ini mengejarku terus dengan taringnya yang tajam. Membekaskan ujung-ujungnya di wajah dan telapak tanganku. Kakiku merapat bersilang dalam duduk yang mantap. Tapi hatiku berpaling ke segala arah. Ingin membuang kemana selimut ini bisa aku lempar.

Sunday, August 17, 2008

Merdeka!!!

Merdeka!!!

Aku berjarak jutaan kilometer dari teriakan ini.
Berdarah dan berairmata.
Bersama jutaan orang Indonesia lain.
Dalam penjara.

Friday, August 15, 2008

Tidak Rela

Waktu Bernard pertama kali masuk sekolah TK kecil di TK Fransiskus I Pasirgintung, tidak sekalipun tubuhnya lepas dariku. Tangannya menggenggam kuat tanganku. Ketika duduk, digeretnya aku dekat kursinya. Bahkan kemudian minta dipangku sepanjang hari itu. Tidak ada suara satupun yang diperdengarkan untuk menjawab Bu Dewi, gurunya. Satu-satunya keasyikan dia di hari pertama itu adalah kesempatan untuk bermain 'susun-susunan' yang sangat banyak berwarna-warni yang disediakan oleh Bu Dewi di setiap meja para muridnya. Berbagai bentuk yang membuat Bernard ngiler 'andai boleh dibawa pulang'. Kemudian dia lepas dari genggaman tanganku ketika berbaris pulang menuju gerbang.
Hari kedua dia sudah mau maju ke depan kelas dan menyebut lirih,"Nama saya Bernard." Dan kemudian Bu Dewi minta seluruh teman satu kelas yang berjumlah 22 anak bersama-sama koor menyapa,"Hallo, Bernard!!!" Dan dia duduk kembali dengan malu-malu. Hari ketiga dia pulang dengan gembira. Hari keempat dia ngompol saat mau pulang, dan hari kelima dia mogok tidak mau berangkat ke sekolah. Hari keenam dia mengatakan asyik karena besok mau libur. Hari ketujuh dan seterusnya selalu ada komentar bahwa enak sekolah karena ada hal-hal baru yang dia dapatkan. Sekarang dia sudah hampir hafal nama seluruh teman satu kelasnya, dapat lagu baru lebih dari lima buah, tahu tepuk gajah, tepuk unyil hingga tepuk si komo. Dan aku tidak boleh mengantarkannya masuk gerbang sekolah. Astaga...sebentar lagi bahkan aku menjadi 'bukan apa-apa' dan 'tidak harus ada' untuk hal-hal tertentu. Anakku keduaku sudah mulai besar dan seperti kakaknya, dia akan punya dunia-dunia sendiri yang asyik, dunia dimana aku tidak akan pernah bisa masuk.

Wednesday, August 13, 2008

Mulyadi Prabangkara

Aku baru tahu kalau rupanya cerpenku Tidak Pernah Selesai sudah dimuat oleh Sinar Harapan, Juni lalu. Ceritanya, saat aku nulis cerpen itu, akudidominasi rasa rindu pada Mulyadi Prabangkara, seorang pelukis yang terakhir aku tahu dia tinggal di sekitar Pasar Minggu. Alamat lengkap sudah lupa walau aku pernah beberapa hari tinggal di sana. Tentu saja Prabangkara yang aku tulis untuk cerpenku tidak mewakili sama sekali Mulyadi Prabangkara. Seluruh kisahnya juga bukan nyata. Semata khayalan saja. Tapi memang sosok yang aku angkat di sana ada kemiripan.
Tentu saja aku rindu pada Mulyadi Prabangkara. Dia guru lukisku ketika aku SMP di SMPK Don Bosco, Gringging Kediri Jawa Timur sekitar tahun 1986 - 1989. Pak Mul, aku menyebutnya demikian, mendampingiku dalam berbagai lomba yang saat itu selalu aku ikuti khususnya Porseni dan 17-an. Hingga tingkat propinsi, aku ditemani hingga Surabaya. Beberapa kali juara, biasanya Pak Mul akan tersenyum memberi dorongan padaku. Pernah juga kecewa berat pada juri ketika aku hanya memenangkan juara II, tingkat kabupaten. Pak Mul protes kepada para juri minta ditunjukkan hasil karya para juara untuk dibandingkan. Menurutnya gambarku lebih bagus. Terlebih saat itu Pak Mul sudah mempelajari hasil ketika ikut lomba hingga tingkat propinsi bahwa ruang yang lebar dalam sudut pandang lukisan sangat dipertimbangkan sebagai lukisan yang sempurna. Dulunya, aku selalu melukis hanya sudut-sudut kecil, yang dirasa unik. Hanya sudut-sudut tertentu. Nah, untuk pertamakalinya dalam lomba itulah aku bekerja sangat keras membuat landscape yang lebar untuk dituangkan dalam kertas. Kerja yang sangat berat rupanya hanya dapat juara II. Dan juga dipenuhi orang-orang yang bergerak di dalam lukisan itu. Dan hanya dapat juara II!!! Duhai, Pak Mul-ku sayang sangat kecewa. Lebih kecewa daripada aku, aku kira. Walau sepanjang jalan aku diboncengnya dengan motor pelan-pelan dengan hiburan yang lembut manis. Bahwa aku harus semangat. Maju terus. Sepertinya hiburan itu juga diperuntukkan bagi dirinya sendiri.
Berbagai teknik melukis memakai cat air aku pelajari darinya. Dan sedikit teknik melukis cat minyak di atas kanvas. Padahal Pak Mul ini spesialis cat minyak dengan obyek wajah orang. Hanya sekilas aku pelajari tentang ini. Aku berharap bisa nyambung lagi untuk belajar lanjutan. Tapi setelah tahun 1996-an aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Hingga kini tidak lagi bertemu. Beberapa kali nitip pesan lewat saudara-saudara, juga tidak ada yang tahu informasi yang jelas tentang Pak Mul. Dimana dia?
Saat ini aku tidak pernah melukis lagi. Tapi aku berharap suatu ketika aku akan dapat kesempatan untuk melukis lagi. Lebih baik jika bersama dengan Mulyadi Prabangkara. Guru lukis satu-satunya selain ibu dan bapakku. Dimana dia?

Anyaman yang Terburai

Anyaman yang Terburai. Adalah judul cerpen mini yang aku kirim untuk lomba cerpen mini Dewan Kesenian Lampung (DKL) tahun ini. Hari ini diumumkan lewat media kalau cerpen ini masuk salah satu dalam nominasi 16 besar. Pas sesuai target, sedikit kecewa. Selebihnya tidak merasakan apa-apa kecuali ingin memulai lagi sebuah cerpen untuk lomba-lomba lain atau media-media lain.
Anyaman yang Terburai. Menceritakan seorang pengangkut gerobak sekitar pasa Pasirgintung Bandarlampung. Miskin, susah, masih ditambah susah ketika pemerintah kota Bandarlampung memasang pagar pembatas/pemisah jalan di sekitar pusat perkotaan itu. Gimana mau membawa gerobak melewati jembatan penyeberang? Dan melintas jauh rutenya dengan bahan bakar nasi plus lauk bakwan. Penuh utang. Usus pun terburai-burai...begitulah.
Anyaman yang Terburai. Andai tata kota memperhatikan orang yang paling lemah, tentu Bandarlampung tak akan sekumuh sekarang ini. Andai...
Dua cerpen lain yang aku kirim tidak ada kabarnya. Aku akan merevisinya untuk kepentingan lain. Salut tak terhingga pada Yessy yang ketiga cerpennya masuk. Hebat!!

Monday, August 11, 2008

Kisah Tak Lengkap

Nagagini adalah naga perempuan. Yang marah murka pada Anglingdarma karena panah sang raja Malawapati itu menebas kepala Ulo Tampar, kekasihnya. Tepat pada saat mereka sedang bersenggama. Sungguh kesedihan yang memuntahkan api, air mata dan darah pada hatinya. Luka dibawanya pada Nagaraja, suaminya. Mengaduh mengadu domba. Sehingga api menyembur dari hati sang begawan naga. Lihatlah, apakah Malawapati bisa terbakar karena emosi seperti ini? Yang ada adalah Aji Gineng yang beralih tempat. Jadi anugerah bagi hati suci Anglingdarma, cucu raja besar, Raja Jayabaya dari Pamenang. Aji Gineng menjadi rahmat bagi sang satriya.
Di kemudian hari pun anugrah besar ini disesali. Dari rahmat inilah petaka terkobarkan. Setyowati, sang permaisuri, mati dalam upacara bakar dan Anglingdarma dipenjara dalam pengembaraan panjang dalam segala rupa. Penjara merdeka yang jadi pembelajaran. Bagi semua.

Tuesday, July 29, 2008

Bandung

Setelah terakhir bersua dengan Bandung pada tahun 2000 (saat itu Bandung banjir air mata dan darah), kesempatan menemui Bandung lagi pada 23 - 24 kemarin menjadikan Bandung banjir kenangan.
Aku nyaris tidak mengenali sosoknya. Gemuk, berkeringat dan tidak bisa diam. Di beberapa tempat adalah daki kotoran yang menumpuk. Tidak aku temukan Bandung tenang, dingin dan mesra seperti dulu. Perkembangannya di luar dugaanku. Akar-akar 'komersialisme' tepat berada di jantungnya, lalu menyebar mencengkeram seluruh denyut pada sel-sel pertumbuhannya. Memberikan tawaran senyum palsu yang kecentilan.
Beberapa sudut menjadi penghiburan. Baros - Pasir Koja adalah setetes kesejukan dengan deret pinus yang menjulang ragu, tersamar polusi di sekitarnya. Dago dengan cengiran aneh lewat pintu-pintu rumah puan bangsawan membuatku terkapar sebal. Tidak ada keanggunan. Pun akasia atau entah apa namanya, merebut beberapa ruang sehingga berjalan di hiruk pikuk itu meremangkan sedikit gelenyar di kulitku yang sedang rawan. Braga nyaris tak tersisa. Tidak ada lagi tembang yang keluar dari sana, yang dulu pernah mengalun dalam desah lewat belakang telingaku.
Pamitan dengannya pada malam kedua, tidak bisa tidak membuatku pasrah dalam pelukan kaku yang diberikannya. Nyaris bukan pelukan, tapi cengkeraman aneh antara menahan atau mengusir. Aku pamit, tapi aku akan tetap mengingatnya.

Monday, July 28, 2008

Dua Jam

Waktu terhenti ketika aku duduk di samping agak depan darimu. Mendengarkan kisah mayapada dari celah bibirmu. Tentu aku tak berani menciummu. Bahkan tidak ingin. Suaramu saja sudah cukup menahan supaya aku tidak dekat dengan tubuhmu. Cukup di kursiku saja. Dan kau di kursimu. Tubuh mengayun condong dengan telinga yang lebar supaya kisah-kisah itu sampai pada otakku yang kian rapuh jika berdekatan denganmu. Pelan-pelan plot tersusun, karakter-karakter seperti bayangan mulai mewujud. Menguat jadi romansa, bahkan konflik. Lalu sosokmu berubah menjadi dalang yang memainkan semuanya. Semua berada di dalam kendali dua tanganmu. Seolah-olah!
Aku bergumam, mengingatkan ada hal lain. Di luar jangkauan dua tangan manusia. Tapi pasti telinga rentamu tidak mendengarkan selain suara-suaramu sendiri. Yang mengalun dengan nada-nada gregorian. Lalu sebuah senyum kemenangan menutup perbincangan. Tahu bahwa aku terkapar oleh semua kisah. Tahu bahwa aku sudah lemas oleh berondongan seluruh cerita.
Aku buru-buru tersenyum pula. Tak kuasa memberi satu tanggapan pun. Semua ceritaku untuk diriku sendiri. Aku tahan untuk lain hari. Menyebalkan.
Lalu buru-buru aku berdiri, pamit dan mencium cincin tebal di tangan kanannya.

Friday, July 11, 2008

Per-HATI-an

Perhatian, per - HATI - an, menjadi bermakna ketika HATI ada di antaranya. Betapa satu sentuhan HATI menjadi setetes embun. Bagaimana dengan banyak HATI? Yang bernyanyi, berjejer, dengan satu gitar, satu lilin, satu bolu coklat, satu bingkisan, satu jabat tangan, satu ucapan : Selamat Ulang Tahun, Mbak! ...
Berjuta embun mengalir sejuk di seluruh raga dan jiwa. Basah seluruhnya membalur, menguapkan kegersangan. Menjadi makan pagi, siang dan malam sekaligus.
Aku menangis mendekap semuanya dengan dua tanganku. Memaksanya tetap di sana dengan gembira. Walaupun mungkin nanti waktu akan bergulir, membuatku semakin tua. Tentu saja aku ingin jadi orang yang tua dengan banyak sahabat muda. Bersama mereka dalam satu tempat yang selalu sukacita.
Dengan begitu aku akan tetap diingatkan bahwa aku masih boleh bermimpi, aku masih boleh punya cita-cita, aku masih boleh liar, aku masih boleh tidak kelihatan tua, aku masih boleh belajar, aku masih boleh apa saja...
Terimakasih ...

Wednesday, June 25, 2008

Menjilat Awan

Kemarin aku menjilat awan yang kebetulan lewat persis di depan hidungku. Kaki-kakinya pongah melayang tanpa sayap. Sengaja dia berjalan pelan-pelan supaya aku menggodanya. Kerlingannya tetap di sudut mata, bahkan ketika tubuhnya berputar. Tentu saja aku tergoda! Bagaimana tidak? Seluruh tubuhnya adalah tranparan selendang uap air yang gembung bergairah. Dia meliuk-liuk dengan tarian eksotis ke seluruh penjuru raga. Menciptakan bentuk-bentuk cantik dengan tarikan-tarikan gerak tanpa sudut. Sekali waktu dia akan lari menjauh, mengikut angin yang sudah menjadi kekasihnya dari awal mula. Sekali waktu dia mendekat dengan langkah-langkah centil. Kadang dia akan terbang sangat tinggi tidak terlihat ujung mata, tapi kemudian dia akan menghujam ke arahku. Tepat di ubun-ubun, sehingga pecah berantakan bentuknya. Lalu tawa terkekeh-kekeh renyah dari segala penjuru hingga kemudian dia mengumpul kembali dalam bentuk yang paling anggun. Dekat di depan dadaku, siap untuk dipeluk. Seribu tangannya akan menggelitik seluruh inderaku, dengan nafsu. Hingga mau tidak mau, lidahku terjulur. Menjilatnya...

Tuesday, June 17, 2008

Penting 1

Rupanya tidak cukup juga pinjaman seluruh indera dan organ-organ yang ada dalam raga ini. Bahkan pengolahan otak juga tidak cukup. Perlu lingkaran kesadaran antara awal dan akhir, antara alpha dan omega, antara asal dan tujuan. Demikian, supaya benar-benar menjadi 'manusia' yang hidup, manusia yang tidak 'sekedar'.

Monday, June 16, 2008

Penting

Apa sih yang penting sekarang ini? Coba lihat. Aku punya sepasang tangan dan kaki, kepala, tubuh. Lengkap dengan organ-organ di dalamnya yang membuatku bisa ke sana-kemari, bernafas, melihat, mendengar, mencium, merasa. Juga ada otak yang membantuku mengolah semuanya. Apa lagi yang penting?

Friday, May 30, 2008

Penjara

Sejak akhir tahun 2000 hingga tahun 2006, aku punya jadwal tetap tiap hari Rabu. Yaitu bertandang ke LP Rajabasa. Setelah itu hingga kini aku datang kalau ada sesuatu yang khusus atau sedang 'nganggur'. Di antara kedatanganku kesana yang sangat jarang, aku masih terhubung senantiasa ke dalam penjara karena beberapa napi di sana selalu menghubungi aku lewat SMS atau telepon (mereka bisa lo pake HP dengan 'persahabatan' dengan pegawai LP).
Isi SMS atau obrolan telpon mulai dari tanya kabar, cerita siapa yang baru masuk atau baru keluar, kejadian-kejadian di LP, minta dikunjungi, minta dikirimi pulsa, sabun habis, hingga mendoakan supaya aku dapat berkah senantiasa. Sebagian dari napi itu sudah keluar dan salah satu yang baru saja keluar adalah Rikardus. 7 tahun 6 bulan lewat beberapa hari. Selama itu dia ada di penjara dan keluar kemarin Selasa, 27 Mei 2008. Menjelang kepulangannya dia telpon berkali-kali untuk mengucapkan terimakasih, mengabarkan sukacitanya dan rencana-rencananya. Kemarin aku bertemu dengannya. Wajahnya ceria, sehat dan penuh harapan. Dia nagih ditraktir seperti yang sudah aku janjikan waktu dia masih dalam penjara (aku sudah lupa kapan aku berjanji mentraktir dia).
Aku ingat Pius yang sudah keluar tahun 2005-an. Dia keluar dari LP dan datang ke tempatku dengan wajah penuh harapan dan rencana untuk kuliah lagi. Dia membantu beberapa kali sebagai notulis dalam acara pelatihan bagi buruh.
Setiyanto yang keluar tahun 2003 atau 2004 sekarang ini sudah di Malaysia bekerja di sana dan berkeluarga.
Juanto yang keluar masuk penjara beberapa kali karena nyopet di angkot, sekarang ini sudah damai di sisi Tuhan. Ia meninggal dalam perjalanan sebagai sales, bukan digebuki oleh massa seperti yang beberapa kali dia alami.
Beberapa nama lain tidak tahu lagi kabarnya begitu mereka keluar. Sebagian lain yang aku kenal masih ada dalam penjara. Sebagian besar tidak lagi aku kenal karena aku jarang mengunjungi tempat itu lagi.
Merekalah 'nabi-nabi' yang dengan cara unik mengajariku banyak hal.
Aku atau siapapun bahkan pastur, pendeta, ustad, tidak bisa mengendalikan hidup mereka. Mungkin saja mereka akan kembali ke dalam penjara lagi seperti yang dialami oleh beberapa orang. Jatuh pada kubangan yang sama. Tapi aku berharap mereka belajar banyak dari pengalaman mereka itu seperti aku yang banyak belajar dari pengalaman perjumpaan dengan mereka. Aku tidak bisa mengatakan mereka penjahat karena mereka ternyata sangat baik bagiku. Dan walaupun mereka tidak baik padaku atau orang lain aku pun tidak bisa bilang mereka penjahat. Apalagi ketika aku tahu latar belakang mereka, alasan mereka, kehidupan mereka, situasi mereka, ...mereka.

Monday, May 26, 2008

Kena!!!

hanya duduk di sini pun aku kena cahayaMu
membersit kuat lewat celah daun yang saling bertaut
aku tidak bisa sembunyi dari biasMu
mau apa kini selain menatap tiang pancang
yang sudah terpasang untukku

jika memang ini jalan menuju Kalvari
sungguh terasa berat dan perih
sedang semuanya belum pasti
kecuali keraguan bimbang tanpa topangan

aku tempeleng pipi kiriku beberapa kali
ingat pada tempeleng yang sama dari tertahbis
tapi tidak ada Roh yang sama

aku mesti tetap berjalan
berharap ini peta yang benar

aku tetap berjalan

Cerpen

Satu cerpenku dimuat femina edisi minggu ini. Aku hanya ingin mengabarkan pada semua orang tapi aku juga tidak tahu harus mengatakan apa. Satu sisi ini menyenangkan, sisi lain tidak puas. Entahlah.

Monday, May 05, 2008

Harimau Jadi-jadian

ada harimau jadi-jadian di sekitarku beberapa hari terakhir ini
meloncat-loncat di antara semak, mengawasiku
tercium dengusnya yang ditahan ingin sembunyi

sekali lengah dia sudah di sampingku
sigap aku hardik dengan siraman air di mukanya
dia melolong lari ke balik pepohonan

namun harimau jadi-jadian masih berkeliaran dekat
tidur di samping rumahku yang tak berpagar
bahkan pintu menganga tak lagi berdaun

aku tahan kelopak mataku
jangan tidur di malam purnama ini
aku tidak mau jadi santapan harimau jadi-jadian
yang sedang menunggu saat
untuk menerkamku

Beoli FM

Talkshow tentang FAIR diadakan di Beoli FM, 3 Mei lalu. Ini merupakan talkshow ketiga yang diadakan oleh FKSPL dalam rangkaian hari buruh internasional. Pertama diadakan di TVRI Lampung pada 28 April diisi oleh Tisnanta dari Unila dan Widodo dari FKSPL. Kedua pada Radio Suara Wajar (RSW) tanggal 2 Mei diisi oleh Tisnanta dari Unila, Madsari dari FKSPL, Silvi dari DPRD Kota Bandarlampung, Rm. Fritz dari Kalirejo. Nah ketiga di Radio Beoli bersama Widodo dan aku dari FKSPL, Ida dari Unila.
Talkshow di Beoli ini perlu dicatat khusus. Pertama karena aku ikut di dalamnya. Hehehe... Tapi jika hanya karena ini ya tidak begitu menarik, karena aku juga sudah pernah ikut talkshow beberapa kali di Suara Wajar biasa saja. Kedua, segment penikmat Beoli ini rupanya berbeda jauh dibanding Suara Wajar dan TVRI. Beoli didengarkan oleh para remaja dan muda belia. Format penyiarannya juga sangat gaul, santai khas remaja banget. Yang paling menarik, justru (untunglah) Beoli mempunyai pendengar-pendengar setia yang kemudian aktif dalam perbincangan yang disampaikan. Alhasil ada juga anak SMP yang memberikan tanggapan dan pertanyaan tentang buruh kontrak. Mempertanyakan serikat buruh dan sebagainya.
Menurut si Abe Marcel yang menjadi moderator dalam talkshow ini, ada lebih dari 10 sms dan 1 penelepon yang masuk saat acara yang berlangsung selama 1,5 jam. (di TVRI (0,5 jam ada 4 penelepon, di RSW 1 jam ada 2 sms)
FAIR, yang diangkat sebagai tema dalam talkshow adalah Fair Agreement on Industrial Relation. Hubungan industrial yang adil. Tema yang bersama-sama digarap oleh FKSPL dalam jaringan aliansi-aliansi yang didampingi FPBN wilayah Barat. Diawali dengan riset mulai awal tahun dan sekarang ini mulai digarap sebagai gerakan terorganisir alias kampanye untuk menyebarkan pemahaman Fair.

Wednesday, April 30, 2008

May Day

Menjelang 1 Mei tahun ini aku begitu gusar.

Ada perpecahan (atau keanekaragaman?) yang terlihat dalam gerakan buruh di Lampung.

Beberapa organ mahasiswa pasti mengusung isu buruh menjelang may day (di luar hari itu entahlah, karena memang jarang ormas mahasiswa mendampingi buruh secara konsisten, apalagi di Lampung). Mohon maklum begitu idealis tapi kadang tidak rasional. Bisa-bisanya teriak-teriak perubahan. Tunggu sebentar lalu mereka akan ada di dalam sekat-sekat tipis pelaku 'kelanggengan'. (ya aku tahu bagaimana mereka hidup sehari-hari. bisa kontras dengan teriakannya lho. ayo siapa yang mau menyangkal, silahkan. biar aku juga belajar lebih banyak.)Sebatas retorika pembelajaran, aku salut. Semoga ada manfaatnya di masa depan bagi pribadi-pribadi maupun organisasi.

Lalu gerak ABM yang agak tidak masuk akal, dengan memasukkan isu nasional begitu saja pada gerakan-gerakan lokal. (andai mengolahnya sedikit cerdas sebenarnya bisa menjadi isu yang cukup menarik. jangan terlihat betul 'semata-mata'). Lalu mereka memaksakan nama aliansi ini untuk payung dalam setiap aksi walau jelas-jelas semua tahu bahwa ABM sudah menjadi organisasi. Sehingga mana mau ormas lain rela begitu saja tergabung (walau seolah-olah tergabung) dalam ABM. Dan personil ABM Lampung... ya ini warna yang menarik. Andai mereka mau memakai cara pdkt yang simpatik, pasti asyik.

Ada lagi kelompok yang oportunis tidak tahu arah perjuangannya tapi bisa terlibat di dalamnya. Entah apa motivasi dan apa yang dicari. (mungkin aku sesekali juga masuk dalam kelompok ini walau aku punya hati dan pilihan)

Lalu ada FKSPL yang warnanya adeeeemmmmm....aja (HK gitu loh. Sr. Matea gitu loh.) Pilihannya sih jelas pada pendidikan buruh dengan pelatihan, riset dan kampanye media (akhir-akhir ini). Pengaruh ormas mahasiswa, ABM maupun oportunis, ketiganya ada. Tarik ulur, tak berbentuk, tapi sudah sewindu hidup. (sebenarnya lebih lama lagi kalau dihitung dalam gerak geliatnya)

Aku belum tahu pasti peta-peta kepentingan yang mencengkeram di belakang layar, tapi aku merasakan kegusaran yang pekat. Seperti masuk ke dalam hutan yang walau aku berjalan di jalan setapak jelas ada tujuan dan kelihatan kondisi jalannya, tapi aku tidak tahu di sela-sela pohon di luar jalan setapak itu apa yang ada dan terjadi. Pasangan mata pasti sedang mengintai. Yang sangat terasa panasnya adalah ketika spanduk-spanduk di jalan sudah ramai di seluruh Lampung. "Pilihlah aku jadi pemimpin bumi ini." Juga ketika aku melihat mayat-mayat bergelimpangan berjatuhan setiap hari karena berbagai situasi ini. Selalu ada korban. Dan yang jadi korban adalah yang terlemah. Dalam rantai perindustrian ini, adalah buruh.

Tuesday, April 29, 2008

Welwitschia Mirabelis

aku ingin seperti welwitschia
bertahan jutaan tahun di gurun Namibia ku

gersang hanyalah permainan
panas adalah romantika
tetasan air jadi mimpi kerinduan

yang asyik

(night elf menamparku keras-keras di ubun-ubun
membuatku terjengkang di antara putung-putung rokok
"Oee, kau! Bahkan jadi ranting-ranting cemara pun tidak bisa!")

Monday, April 28, 2008

Antara Sunrise dan Sunset

....
adalah damba
pada surga
di pematang sawah
tempat kacang panjang menjalar
menemani perjalanan
menuju panen raya
suatu ketika
....

Kim Siong

Kim Siong atau dipanggil Lis adalah gadis usia 33-an. Gadis tua yang terjebak dalam tubuh 'entah bagaimana' dari atas bawah, dari luar dalam. Secara umur mungkin sudah dewasa, tapi dia mengikuti gerak pikir anak-anak usia 10-an tahun. Wajahnya sudah mengalami operasi beberapa kali di Indonesia maupun Australia tapi tetap menyisakan ceruk-ceruk bekas sumbing dan daging atau kulit yang tidak ada di beberapa bagian wajahnya. Dua tangannya kekar dengan jari-jari yang tidak lima (hanya dua atau tiga di tiap telapak, tidak bisa dihitung karena bentuknya tidak seperti jari jemari kita). Cukup kuat untuk memijat pundak, kaki, badan... Untung bisa memijat karena dia bisa dapat recehan atau bukan recehan untuk hidupnya. (bahkan untuk hidup ibu dan kakaknya, yang kok 'entah bagaimana' juga). Kakinya sebelah hanya sebatas di bawah lutut ditopang kaki palsu. Aku tidak tahu persis bentuk kakinya karena selalu terbalut kaos kaki untuk mengganjal gesekan dengan kaki palsunya. Seringkali dia mengeluh lecet sakit pada bagian sambungan itu. Mungkin sudah tidak pas lagi dikenakan karena kaki palsu itu sudah dipakainya sejak aku kenal dia 8 tahun silam.
Hah, dia punya pengalaman ditolak bahkan sejak masih dalam kandungan. Ibunya yang merana mencoba menggugurkan dia dengan berbagai cara. Kekuatan sel-selnya terbukti hingga dia masih hidup sampai sekarang ini.
Sangat egois mau apa, wong memang dia coba meraup kasih sebanyak-banyaknya lewat jari dan wajahnya yang bolong. Mau apa! Hanya dapat angin. Anak-anak kecil ketakutan melihatnya. Para remaja jijik melihatnya. Orang dewasa tak mau direpotkan untuk menyenyuminya. Orang tua ah sudahlah...
Sangat menjengkelkan mau apa, wong dia hanya bisa meminta kepada siapa saja. Mau apa.
Aduh, betapa jengkel misalnya banyak kerjaan di sebelah komputer, lalu dia datang menangis basah kuyup karena ditolak suster sebelah yang dimintainya beras. Lalu karena melihat wajahku yang lesu capek maka dia duduk di sebelahku sembari memijit pundak, lalu tangan lalu kaki... Astaga, Lis! Tidak lihat orang lagi bekerja? Aku tidak bisa mengetik kalau kamu mijit. Maka dia cekikikan berhasil menarik perhatianku. Melihat mukanya mau tidak mau aku tersenyum kecut, sekecut tubuhnya yang tidak mandi pagi.
Sudah makan? Mendengar pertanyaan ini Lis langsung penuh semangat. Berjingkat menarik tangan. Ayo makan. Dalam kupingku ayo bayarin makan. Maka ketika aku menurut gerak kakinya ke warung berjejer di sebelah, segala cerita mengalir bindeng sengau tidak jelas dari mulutnya. Kadang aku tidak mengerti apa bahasanya, tapi cukup mantuk-mantuk saja. Seringkali dia bercerita tentang ibunya, kakaknya (bapaknya tidak pernah diceritakan) atau simboknya. Simbok bagi dia adalah Suster Matea HK, orang yang paling disayanginya di seluruh dunia, tempat dia bergantung untuk segala hal. Baginya dia adalah anak satu-satunya simbok, maka simbok tidak boleh untuk yang lain. Maka dia sangat cemburu marah kalau simboknya berususan dengan orang lain yang pasti tidak bisa wong simboknya seorang suster.
Dia tidak bisa mengunyah sempurna. Maka makanan kesukaannya adalah bubur atau lontong yang ditelannya begitu saja. Bagian rongga mulutnya seperti rongga mulut ulat yang mencaplok begitu saja semua makanan.
Setelah kenyang dia akan ketawa-ketawa lalu pamitan dengan riang terlebih jika dapat bonus 2000 rp untuk naik angkot.
Jumat kemarin aku berdoa khusus untuknya (hampir tidak pernah aku lakukan), terlebih untuk diriku jika berhadapan dengannya. Lis sudah mengajari banyak hal dalam mengolah diri, hati, tanpa pamrih. Tanpa dia sadari hampir setiap hari.