Saturday, December 29, 2018

Aksi untuk Korban Tsunami Selat Sunda

Tsunami yang terjadi di sekitar Selat Sunda mengagetkan banyak orang, 23 Desember 2018, sekitar 21.30. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, tiba-tiba terjadi. Awalnya banyak orang menyepelekan, ternyata ratusan korban meninggal dan ribuan orang harus mengungsi.

Spontan aksi tanggap darurat dilakukan. Keuskupan Tanjungkarang melalui Caritas Tanjungkarang langsung terjun memberikan bantuan darurat dan assesment untuk mengetahui kondisi konkret, terus berjalan sampai sekarang dibantu oleh Caritas Indonesia dan seluruh umat.

Jaringan Perempuan Padmarini (JPP) mengambil porsi dalam Lampung Ikhlas bersama Walhi Lampung, YKWS dan lain-lain pun bergerak.

Kemarin, 28 Desember 2018, anak-anak muda dari dusun V Perumahan Polri Hajimena juga melakukan aksi serupa. Mereka mengumpulkan bantuan dari seluruh perumahan dan menyerahkan ke Kunjir Kalianda.

Melalui beberapa grup WA aku juga tahu banyak lembaga dan perorangan bergerak membantu korban, pengungsi dan juga yang masih berada di rumah-rumah pesisir. Pun, aku masih berseling dengan rasa kuatir karena Anak Krakatau masih terus bergolak. Kontak dengan teman-teman KSDA Lampung juga selalu mantengin info dari BMKG tidak menyurutkan rasa kuatir itu.

Lokasi yang didatangi Albert dkk.
Jika alam bergerak, manusia harus lebih rendah hati melayaninya. Semua ini adalah alat bagi Sang Pencipta untuk menunjukkan kuasa dan kasihNya.

Hal kecil seperti yang dilakukan oleh Albert dan kawan-kawannya itu pun masuk dalam apresiasi hatiku. Aku mengucapkan terimakasih padanya dan kawan-kawannya yang rela melakukan hal semacam itu, sekecil apa pun.

Mungkin nanti atau besok atau entah, juga ada lagi peristiwa tak terduga yang bisa terjadi pada siapa pun, lewat gerak alam.

Kunfaya kun.

Advent 2018 (5): Kekuatan Pikiran

Bagian kelima, atau terakhir, bisa kutulis pada masa Natal. Tepatlah ini kulakukan sebagai bagian dari pergantian tahun juga dan kukerjakan dalam masa yang sangat tenang liburan pergantian tahun di rumah.

Beberapa bacaan mempengaruhi tulisan ini seturut dengan bacaanku selama liburan. Novel Pram, cerpen-cerpen beberapa penulis, dan tulisa James Redfield. Yang terakhir ini seperti bungkus bagi semuanya yang membuatku ingat untuk menulis seperti judul di atas: Kekuatan Pikiran.

Pengalaman membuatku yakin bahwa pikiran memiliki kekuatan yang bisa mengubah segala hal. Kalau Natal dengan kelahiran bayi Yesus mengubah dunia menjadi seperti sekarang ini sekaligus dengan pro dan kontranya, pikiran dari mulai yang kecil mampu mengubah orang, peristiwa dan juga dunia. Ini seperti memulai dari batu pertama yang kemudian diperkuat dengan batu-batu selanjutnya hingga kemudian menjadi sebuah rumah. Batu pertama itu adalah pikiran pertama yang membuat rumah itu mungkin terjadi. Dalam prosesnya bisa saja ada dinamika, kadang terhenti kadang terkendala. Menumpuk batu-batu berikutnya adalah bagian dari memperkuat pikiran.

Dalam tahun ini, aku tahu ada kata yang spesial yang mesti kuingat, yaitu: Kesaksian. Sebelum libur, aku sudah menuliskan sesuatu dalam carik kertas di kantor yang berisi tentang hal itu. Sepanjang tahun ini aku telah dipersiapkan secara apapun untuk sampai pada kesaksian.

Maka kata ini juga yang akan aku gunakan sepanjang tahun 2019. Beberapa hal terbayang di depan mata dengan visi yang semakin jelas dan pikiran yang selalu terkuatkan untuk sampai ke sana, bahkan sampai detail sedetail-detailnya. Untuk itu, aku akan melewati pergantian tahun dengan gembira. Aku tahu, kata Kesaksian ini memiliki konsekwensi yang besar dengan segala resikonya. Aku bisa memperkirakan, dan aku akan melaluinya.

MELINDUNGI KRAKATAU (2)


Ini tulisan yang kedua:

KEPULAUAN KRAKATAU BELUM LAYAK MENJADI TUJUAN WISATA ALAM
Yuli Nugrahani*


Ekskursi Gunung Anak Krakatau dilakukan pada Sabtu, 25 Agustus 2018 dalam rangkaian Seminar Internasional Vulkanologi Krakatau dan Pemanfaatannya di Masa Depan, pada 24 – 25 Agustus 2018 di Randu Palace Hotel Bukit Randu Bandarlampung. Kegiatan ini melibatkan narasumber Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo, peneliti dari LIPI yang sering disebut sebagai King of Krakatoa, Ir. Igan S. Sutawidjaja, M.Sc. dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T. Institut Teknologi Bandung, dengan moderator Dr. Ir. Bambang Priadi, DEA dari Itera. Kunjungan ke Kepulauan Krakatau dimulai dari Pulau Sebesi membuat saya mengambil kesimpulan yang saya gunakan sebagai judul tulisan ini.
Kepulauan Krakatau belum (tigak) layak menjadi tujuan wisata alam atau geowisata atau apa pun dengan istilah wisata. Dari mana kesimpulan ini bisa ditarik? Saya mengacu pada apa yang saya lihat dan amati di kawasan itu saat ikut dalam ekskursi tersebut. (Perlu diketahui, perjalanan ke Krakatau itu berubah jadwalnya, yang semula direncanakan hanya memutari Gunung Anak Krakatau melakukan pengamatan dari atas kapal, ternyata memberikan kesempatan kapal untuk mendarat dan peserta bisa menginjakkan kaki di Pulau Anak Krakatau yang gunungnya sedang sangat aktif dengan erupsi terus menerus dalam beberapa bulan terakhir ini.)
Kepulauan Krakatau yang terletak di Selat Sunda sekarang ini berstatus cagar alam dan cagar alam laut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Kawasan ini berada di bawah mengelolaan BKSDA Bengkulu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage Site. Kawasan ini mempunyai luas 13.735 Ha terdiri dari Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang dan lautan yang di sekitarnya. Sebagai cagar alam, hanya kegiatan tertentu saja yang diperbolehkan yaitu: penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, penyerapan dan penyimpanan karbon dan pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya dengan menggunakan tumbuhan atau satwa liar.
Untuk masuk kawasan ini,  setiap calon pengunjung harus mendapatkan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) yang diterbitkan oleh BKSDA Bengkulu atau Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem di Jakarta. Di dalamnya termuat kewajiban pemohon dengan tandatangan di atas meterai. Dan harus diingat, seluruh kegiatan apa pun yang dilakukan oleh pemohon harus mendapatkan pendampingan dari petugas.
Dengan demikian tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kawasan, terlebih orang-orang yang tidak paham peran cagar alam atau cagar alam laut bagi dunia dan tidak mendapatkan surat ijin. Selama masih dalam status Cagar Alam, orang-orang harus taat pada standar yang diterapkan oleh lembaga terkait, tidak bisa begitu saja masuk ke dalamnya secara illegal atau sembunyi-sembunyi, yang memungkinkan cagar alam menjadi rusak dan menghilangkan beberapa fungsinya.
Trip ke Gunung Anak Krakatau yang dilakukan pada hari kedua seminar dalam rangkaian Festival Krakatau menjadi salah satu cara untuk mendapatkan dukungan terhadap Krakatau sebagai destinasi wisata. Propinsi Lampung sudah mengusulkan untuk mengubah sebagian kawasan cagar ala mini menjadi taman wisata alam sejak beberapa tahun lalu. Hadir kelompok-kelompok yang dekat dengan kepariwisataan Lampung dalam seminar ini. Sayangnya, pengantar dari petugas BKSDA di lokasi maupun materi-materi dari seminar sehari sebelumnya tidak memberi banyak arti dalam perilaku pengunjung saat ekskursi berlangsung.
Pertama, sampah plastik berceceran di sepanjang pantai. Saya tidak ikut masuk ke kawasan hutan karena saya merasa tidak ada kepentingan ke sana. Semoga plastik-plastik itu tidak terserak juga di hutan, yang menjadi sumber ilmu berbagai cabang. Tapi di pantai berpasir hitam yang indah itu, terserak plastik-plastik atau benda-benda tidak ramah alam entah baru atau lama yang jelas akan merusak keindahan dan keberlangsungan hidup Krakatau.
Kedua, tidak semua pengunjung punya tujuan yang diperbolehkan di kawasan ini. Mereka masuk bahkan tanpa tujuan, melihat-lihat, selfi, dan kemudian memamerkan di medsos tanpa keterangan yang cukup tentang keberadaan mereka di Krakatau. Tidak ada peran pendidikan atau peningkatan kesadartahuan konservasi alam yang signifikan ingin dilakukan oleh mayoritas pengunjung. Pengantar dari petugas BKSDA dan narasumber tidak memberi pengaruh yang cukup untuk sampai pada kesadaran tersebut.
Ketiga, tidak ada fasilitas pengaman yang cukup untuk melindungi keselamatan pengunjung, khususnya para peserta ekskursi yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Propinsi Lampung ini. Saya tidak yakin semua peserta punya asuransi perjalanan, tidak ada jaminan keselamatan kapal walau semua diharapkan memakai pelampung (satu kapal sempat tertinggal karena ada mesinnya mogok. Bayangkan jika kapal ini mogok saat sandar di Pulau Anak Krakatau), tidak ada perlindungan apapun yang ditawarkan saat mendarat di Pulau Anak Krakatau padahal gunung ini sedang sangat aktif. Erupsi terjadi tidak teratur dalam rentang sekian menit yang acak. Bahkan kemudian peserta diajak berjalan melintasi hutan sekitar 200 meter tanpa syarat apa pun tentang siapa yang boleh ikut atau tidak. Misalnya syarat alas kaki yang boleh digunakan, pakaian, kesehatan, ketersediaan tempat berlindung andai ada letusan besar, perubahan arah angin dan sebagainya.
Keempat, tak ada fasilitas publik yang memadai misalnya tempat membuang sampah, toilet, penyedia kebutuhan penting dan sebagainya. Pengunjung yang paham pasti sudah bisa melakukan antisipasi tindakan bijaksana, tapi tanpa syarat pengunjung, hal ini membuat resiko pengunjung bertambah.
Kawasan kepulauan Krakatau adalah tempat yang indah. Semua orang punya hak untuk menikmatinya, bukan hanya generasi sekarang ini, tapi juga generasi nanti dan dari berbagai kalangan tanpa kecuali karena inilah kekayaan alam kita. Namun, tanpa persiapan untuk tetap melindungi Krakatau maupun pengunjungnya, penerapan Krakatau sebagai tujuan wisata jelas tak bisa dilakukan. Mengubah status cagar alam sebagai cara untuk menambah jumlah pengunjung juga bukan cara yang bijak dan aman. Memperkuat dukungan terhadap kerja BKSDA adalah salah satu cara, supaya mereka bisa konsisten menerapkan standar kunjungan umum ke kawasan ini. Dengan sumber daya manusia dan uang yang minim mereka sudah berusaha menjadi pagar bagi kawasan ini. Namun patroli 24 jam pun belum bisa mereka lakukan apalagi menjaga keseluruhan asset yang ada dalam keindahan Krakatau sehingga pasti ada saja pengunjung illegal yang datang.
Dengan seluruh situasi seperti itu, masihkan akan dipaksakan perubahan beberapa daerah dalam Kawasan Krakatau sebagai taman wisata alam? Tidakkah lebih baik mempersiapkan Pulau Sebesi sebagai daerah wisata untuk menikmati Krakatau sekaligus mengembangkan masyarakat di sana? Tidakkah masih perlu kajian lebih lanjut dari seminar internasional (yang perlu dikoreksi karena seminar rupanya tidak melibatkan Negara lain untuk memenuhi syarat sebagai seminar internasional) yang sudah diadakan ini? Mestinya dibuat cara kreatif yang aman bagi kepariwisataan di Lampung ini khususnya tentang Kepulauan Krakatau sehingga sebagai kekayaan dunia Krakatau tetap terjaga, pun demikian dengan para pengunjung yang ingin menikmatinya. ****

*Yuli Nugrahani adalah cerpenis Lampung, dari Jaringan Perempuan Padmarini yang fokus pada bidang gender dan lingkungan hidup.

MELINDUNGI KRAKATAU (1)


Tulisan ini kubuat seusai ikut trip ke Krakatau bulan Agustus lalu. Karena bencana tsunami Desember ini, dua tulisan ini aku posting supaya dibaca orang lain. Silakan menggunakannya sesuai kebutuhan:

KRAKATAU, PARIWISATA ATAU CAGAR ALAM?
Yuli Nugrahani*


Trip ke Kepulauan Krakatau membawa keberuntungan bagi saya, yang sedang menyusun buku tentang Krakatau. Andai melakukan perjalanan sendiri, tentu tak cukup satu juta rupiah untuk seluruh perjalanan itu. Mengikuti ekskursi Gunung Anak Krakatau dalam rangkaian Seminar Internasional Vulkanologi Krakatau dan Pemanfaatannya di Masa Depan, saya bisa mengikuti kegiatan ini secara gratis.
Seminar internasional (tanpa Negara lain yang terlibat dalam seminar bisakah ini disebut sebagai seminar internasional?) diadakan pada 24 – 25 Agustus 2018 di Randu Palace Hotel Bukit Randu Bandarlampung dengan undangan yang ditandatangani sendiri oleh Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo, M.SI. Hari pertama diisi dengan tiga sesi oleh Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo dari LIPI, Ir. Igan S. Sutawidjaja, M.Sc. dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T. dari ITB, dengan moderator Dr. Ir. Bambang Priadi, DEA dari ITERA.
Di penghujung seminar, diumumkan bahwa trip ke Gunung Anak Krakatau akan diadakan pada hari kedua dengan tujuan Pulau Sebesi dan kemudian memutari Gunung Anak Krakatau. Tidak bisa mendarat di pulau itu karena ijin dari KSDA Lampung (BKSDA Bengkulu) tidak keluar sampai sore itu dan Gunung Anak Krakatau memang sedang dalam kondisi batuk terus terusan, aktif erupsi dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi.
Lalu mengapa keesokan harinya kami semua bisa mendarat di cagar alam Gunung Anak Krakatau, bahkan berjalan sejauh kurang lebih 200 meter melintasi hutan? Saya bilang, saya beruntung karenanya namun juga merasa sedih, kecewa dan marah.
Saya beruntung bisa mendarat di tempat itu. Bahkan ketika perahu yang kami naiki mulai mendekat ke kepulauan aktif itu, saya sudah berdebar-debar senang. Ini seperti bertemu dengan seseorang yang padanya saya sudah menambatkan cinta. Saya sedang menulis buku tentang Krakatau dan baru kali inilah saya mendapatkan kesempatan melihat secara langsung bagaimana gunung ini. Semakin mendekat, semakin saya dapat merasakan cinta itu. Gunung Anak Krakatau tampak kokoh dijaga oleh tiga pulau di sekitarnya: Sertung, Panjang dan Rakata. Tenang berdiri di tengah lautan yang kebetulan sangat teduh dan tidak tinggi ombaknya. Sesekali dalam rentang yang tak dapat diprediksi Gunung Anak Krakatau erupsi, mengeluarkan awan hitam panas yang memutih di bagian atasnya karena persentuhan dengan atmosfir yang dingin di atas. Ini adalah gunung yang sangat indah.
Saya beruntung bisa merasai pasir hitamnya yang hangat. Saya bilang: Pulau ini, gunung ini menyimpan energi yang luar biasa. Saya menjadi berkobar-kobar karenanya. Bukan hanya karena kokohnya, menjulang dan semakin tinggi, tapi ini adalah tempat yang cantik. Beberapa jenis tumbuhan, binatang terus bertumbuh menjadi ‘kalung’ di kaki dan lerengnya, menjadi penghias bagi tubuhnya yang terus berdentum, batuk.
Saya beruntung karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti ini. Bahkan tanpa rencana bisa menapaki pulau dimana terletak kekayaan alam dunia, yang pernah meletus hebat beberapa kali bertahun silam memberi dampak bagi seluruh dunia.
Rasa beruntung itu saya optimalkan dengan bertahan di sekitar pasir pantai di kaki Gunung Anak Krakatau menggunakan pancaindera. Saya awas pada bunyi dentuman yang muncul setiap beberapa menit. Saya akan segera melihat melintasi ranting-ranting tanaman dan melihat kepulan di puncak sana. Saya merasai air pantai yang beradu dengan pasir hitam yang hangat. Saya mengamati tumbuh-tumbuhan juga serangga yang ada di sekitarnya. Dan mau tak mau muncullah air mata itu ketika pengamatan seksama itu saya lakukan.
Di sepanjang pantai terserak botol plastik, sampah-sampah yang tak mungkin berasal dari dalam perut bumi. Aihdah kidah. Bagaimana mungkin cagar alam yang didatangi orang secara terbatas pun mengalami seperti itu? Saya sedih melihatnya. Prof. Tukirin, yang sejak menginjakkan kaki di pulau ini bersama kami terlihat seperti tertekan. Entahlah, mungkin itu hanya asumsi saya. Saya melihatnya memungut beberapa sampah plastik, namun seperti dilakukan tanpa fokus, juga tidak diikuti oleh seluruh peserta. Malah sebagian besar tampak tak peduli dengan hal itu. Seluruh suasana dan situasi itu membuat saya sedih.
Tentu saja saya beruntung bisa datang di tempat itu, tapi saya juga kecewa. Bahkan sampai beberapa detik sebelum kapal menambatkan jangkar, saya masih percaya bahwa rombongan yang dikoordinir oleh Dinas Pariwisata Propinsi Lampung ini hanya akan memutari Gunung Anak Krakatau dan kami akan mengamati gunung itu dari atas kapal. Sehari sebelumnya, beberapa orang yang ikut dalam rombongan mengatakan kecewa karena diumumkan bahwa BKSDA tak memberi ijin untuk masuk pulau. Saya bilang: Saya senang karena ijin tidak keluar dan setuju dengan BKSDA. Jangan sampai ijin itu keluar. Kita tak punya kepentingan apapun untuk masuk ke pulau.
Toh akhirnya peserta bisa mendarat di Pulau Anak Krakatau. Walau kemudian dibungkus dengan pengantar bahwa kunjungan ini melanjutkan study yang sudah dimulai dalam seminar sebelumnya, tak semua peserta mempunyai pemahaman atau tujuan yang sama.
Saya marah karena perkara yang serius seperti ini bisa dimainkan entah oleh apa. Sore jelas masih diumumkan dan dikatakan bahwa tak ada ijin untuk masuk kawasan. BKSDA jelas mengawal proses seminar dan perjalanan ini. Dalam seminar dikatakan bahwa tak ada ijin untuk masuk pulau, namun kemudian paginya semua orang bisa masuk tanpa kecuali, tanpa penjelasan tentang tujuan dari tiap person yang ikut, bahkan dipandu oleh para narasumber yang hmmm… dengan wajah tidak terlalu gembira (atau tertekan? Entahlah.) Tak ada syarat bagi pengunjung yang boleh masuk mengikuti para ilmuwan itu. Dan tak ada persiapan keamanan apa pun.
Seminar dan ekskursi ini belum bisa menyimpulkan bahwa taman wisata alam adalah yang terbaik bagi pemanfaatan Krakatau di masa depan. Bagi saya, pariwisata harus dikemas tanpa merugikan semua pihak, khususnya tak boleh merugikan kekayaan Lampung dan dunia seperti Krakatau. Karena banyak alasan, Krakatau itu adalah sumber ilmu biologi, geologi, fisika dan sebagainya. Karena banyak alasan, Krakatau itu memberikan resiko yang besar bagi pengunjung tanpa persiapan. Karena banyak alasan, Krakatau itu harus dilestarikan untuk tetap memberikan fungsi selama-lamanya bagi dunia.
Jika memang pariwisata Lampung harus mengetengahkan Krakatau, pemikiran serius harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek itu. Membebaskan semua orang datang ke Krakatau bukan cara yang bijaksana karena menginjak satu biji pinus pun akan berpengaruh bagi suksesi alam, apalagi dengan meninggalkan segala macam sampah di sana. Terlebih dengan resiko tinggi yang mungkin muncul karena pengunjung tak cukup paham tentang Krakatau dan karakteristiknya.***

*Yuli Nugrahani adalah cerpenis Lampung, dari Jaringan Perempuan Padmarini yang fokus pada bidang gender dan lingkungan hidup.

Friday, December 21, 2018

Advent 2018 (4): Masih tentang Pekerjaan-pekerjaan

Aku menyebut pekerjaan pertamaku adalah koordinator perburuhan di Vincentian Center Indonesia (VCI). Walau pun sebelumnya aku memberikan les tambahan untuk siswa siswi SMP, tapi lembaga yang resmi mencatatku sebagai pekerja ya di VCI ini. Ada kontrak kerja, ada gaji tetap dan ada pekerjaan rutin non rutin yang kukerjakan.

Pekerjaan ini tidak serta merta begitu saja kudapat. Ini kukira karena kedekatanku dengan para frater dan romo CM yang memang sudah terjalin sejak aku kuliah di Malang. Aku sering ikut kegiatan mereka. Pernah bersama-sama dalam jaringan Kelompok Setia Kawan (KSK). Ini kelompok dari berbagai macam ragam orang, mahasiswa, juga orang-orang yang peduli pada masyarakat miskin kota. Kegiatan utama adalah kunjungan ke komunitas pemulung, pengemis, gelandangan dan sebagainya di sekitar Kayutangan. Beberapa kali kerjasama dengan Gereja Kayutangan dengan membuat bazar murah, dengan barang-barang yang dikumpulkan dari banyak pihak yang peduli, entah bahan pangan atau pakaian. Bahkan aku pernah menjadi ketuanya.

Aku juga pernah ikut program Kalbar, yaitu sebulan di Kalimantan Barat dengan difasilitasi CM. Persiapan kurang lebih satu tahun untuk seleksi dan menyiapkan kami dengan pelatihan ansos, pendataan, live in dan sebagainya. Persiapan yang matang dan asyik, apalagi semuanya gratis. Hehehe...

Ketika aku lulus kuliah, belum wisuda, aku ditawarin masuk ke VCI untuk perburuhan. Nol pengalaman tentang buruh tapi aku mau. Dan itulah saatnya aku belajar tentang dunia buruh di sekitaran Bandulan dan Pandanlandung. Pekerjaan yang tak mudah dipahami bahkan harus kulalui dengan tinggal di kostan buruh, mencoba menjadi buruh dan sebagainya. Dari sanalah aku mendapatkan jaringan-jaringan perburuhan di Malang.

Karena aku mendapatkan tugas tambahan untuk mengelola buletin Terlibat (namanya aku yang paksain dipakai. Terlibat. Kalau mau membantu orang miskin harus terlibat, itulah semangatnya.), aku tak sengaja melihat pengumuman di Malang Post untuk ikut pelatihan jurnalistik. Pelatihan itu berbayar, tapi aku tak pernah membayar sepeser pun untuk pelatihan ini dan malah aku ditawarin untuk menjadi wartawan di Malang Post. Jadilah aku masuk ke lembaga kedua dimana aku menjadi pekerja resmi. Sampai beberapa lama aku masih merangkap dua pekerjaan di VCI dan Malang Post, hingga kemudian aku memilih: aku bekerja untuk Malang Post, sampai aku menikah dan pindah ke Lampung.

Lampung adalah tempat yang baru. Tak ada sahabat, tak ada sejarah. Beruntung pada suatu minggu usai misa aku bertemu Mgr. Henri. "Datanglah ke rumah nanti jam 7 malam," ujar Mgr. Henri setelah beberapa detik berjabat tangan. Mgr. Henri menuliskan alamat rumah dan menyodorkan padaku.

Malamnya aku diantar Mas Hen benar-benar datang. Hanya untuk bicara ngalor ngidul termasuk tentang Keuskupan Tanjungkarang. Lalu Mgr. Henri mengundangku ke kantor keuskupan hari Rabu setelah hari minggu itu. Aku menyanggupi untuk datang. Tak hanya ngobrol, aku diajak berkeliling kantor keuskupan, dikenalkan dengan beberapa orang karyawannya. Salah satunya Sr. Mathea yang pernah kukenal dalam sebuah pertemuan perburuhan.

Usai itu, Mgr. Henri menawariku,"Bekerjalah di sini. Rintis bagian justice and peace."

Tentu saja aku kaget. Aku menawar dengan dalih memikirkannya dan masih akan pergi ke Bandung dan Surabaya dalam waktu dekat. Mgr. Henri memberiku waktu dua minggu. Dan saat waktu dua minggu itu lewat, aku datang lagi ke rumah Mgr. Henri. "Saya bersedia, Mgr."

Keesokan harinya aku sudah bekerja untuk keuskupan Tanjungkarang di bagian justice and peace, mendapat satu ruang di lantai atas dan dibekali beberapa map dan buku oleh Mgr. Henri untuk merintis bagian justice and peace. Itu adalah bulan Nopember tahun 2000. Pada akhir bulan itu aku mendapatkan honor pertamaku Rp. 250 ribu. (Aku menganggapnya sebagai uang saku, tidak cukup untuk ongkos naik angkot. Aku harus naik angkot 3 kali setiap kali akan ke kantor, PP aku butuh belasan ribu sedangkan hari kerja 6 hari per minggu waktu itu. Aku bilang ke mas Hen,"Pokoke aku kudu disubsidi supaya bisa ke kantor tiap hari." Hehehe.)

Saat ini sudah 18 tahun lewat aku bekerja di kantor ini, dan menempati ruang bawah dengan nama bukan lagi bagian tapi Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau disingkat KKPPMP dengan bidang garapan gerakan aktif tanpa kekerasan, perburuhan dan anti human trafficking, ekologi, advokasi dan paralegal termasuk pendampingan para narapidana di lembaga pemasyarakatan, serta gerakan kesetaraan gender. Aku tidak bekerja sendiri di sini, tapi dibantu oleh Rm. Greg dan para relawan.

Sampai kapan aku di sini? Hehehe... aku tidak tahu. Bahkan ketika aku diminta mengerjakan Majalah Nuntius menjadi majalah bulanan dari tahun 2005 - 2014, aku pun tetap mensyaratkan kerja di bidang ini sebagai kerja utamaku.

Monday, December 10, 2018

Menjelang Hari HAM di FSTV: Meruwat HAM lewat Seni Perlawanan

Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tahun ini diperingati oleh Jaringan Perempuan Padmarini (JPP), Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ) dan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang dengan mengadakan talkshow di Fajar Surya Televisi Lampung pada Minggu, 9 Desember 2018. Kegiatan ini mengambil tema Meruwat HAM lewat Seni Perlawanan.

Hadir dalam bincang santai ini Rinda Gusvita ketua JPP, Fendi Kachonk pendiri dan pengasuh KKJ dan Yuli Nugrahani penanggungjawab KKPPMP Keuskupan Tanjungkarang. Kegiatan dipandu oleh Rismayanti Borthon, bertempat di Studio Kopi, Bandarlampung.

Bincang-bincang diawali dengan pembacaan puisi oleh Fendi Kachonk diambil dari puisinya sendiri yang ada dalam buku Titik Temu. Buku kumpulan puisi bertema HAM ini memang dijadikan pemantik diskusi sebagai salah satu bentuk mengingat HAM. Buku Titik Temu yang diterbitkan oleh KKJ pada tahun 2014 ini berisi puisi-puisi bertema HAM yang ditulis oleh 60 penyair/penulis dari berbagai kota di Indonesia maupun luar Indonesia.

Tak hanya mewujud buku, puisi-puisi bertema HAM itu juga dirayakan dan didiskusikan di berbagai komunitas di berbagai kota. Setelah lewat empat tahun, buku ini pun masih bisa digaungkan ke berbagai daerah.

"Buku ini tidak hanya tentang puisi dan buku. Tapi menjadi sarana untuk mengingat kasus-kasus HAM yang terus saja ada di Indonesia. Selain itu juga lebih dalam lagi, buku ini menjadi pengingat tentang kesadaran HAM. Inilah refleksi para penulisnya," demikian kataku tentang buku ini.

Selain Fendi, aku dan Retha mendapat kesempatan juga membaca puisi yang ada dalam buku. Tentu saja aku gembira melihat semangat ini. Apalagi mendengar apresiasi dari Rinda yang pernah menulis tentang buku ini empat tahun lalu, cuping hidungku sebagai editor buku ini jadi kembang kempis.

Seni selalu relevan digunakan dalam perjuangan HAM, dan itu terbukti dengan buku ini, diskusi tentang HAM bisa dilakukan lintas batas agama, suku, usia dan sebagainya. Bahkan ketika waktu sudah bergulir sekian tahun, puisi-puisi itu pun masih bisa dibacakan sebagai pemicu perbindangan tentang HAM.

Friday, November 30, 2018

Advent 2018 (3): Pekerjaan-Pekerjaan

Saat ini aku bekerja untuk Keuskupan Tanjungkarang sebagai penanggung jawab Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP). Aku memulainya sejak Nopember 2000. Pekerjaan yang tak sengaja kudapatkan setelah aku berkenalan dengan Mgr. Henri (am) pada suatu saat usai misa di Katedral. Beberapa hari kemudian setelah perkenalan itu aku ditawari untuk merintis bagian justice and peace yang kemudian mulai tahun 2017 menjadi KKPPMP.

Itu adalah pekerjaan rutinku, yang utama, yang memberikan aku penghasilan tambahan bagi keluarga secara rutin setiap bulan. Pada akhir tahun ini sudah 18 tahun aku menggulatinya, melalui banyak peristiwa, yang intinya adalah berkah luar biasa bagiku.

Pekerjaan aku anggap sebagai bagian penting untuk mempertanggungjawabkan 'talenta' yang sudah kumiliki. Walau bukanlah keharusan bagiku untuk mempunyai pekerjaan dengan gaji, toh aku tetep membutuhkan gaji itu untuk menopang hidupku dalam keluarga. Sekecil atau sebesar apa pun aku mensyukurinya. Seperti dulu saat aku bekerja sebagai wartawan Malang Pos atau sebagai koordinator pastoral perburuhan Vincentian Center Indonesia, pekerjaanku selalu aku syukuri.

Karena ini adalah tentang mempertanggungjawabkan talenta, aku menggunakan berbagai cara untuk mengenali talenta-talentaku. Salah satu cara yang rutin kugunakan adalah analisa SWOT pribadi. Aku melakukannya secara periodik untuk mengenali kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada dalam diriku dan di sekitar diriku. Karena itu juga saat ini aku menggunakan kekuatanku dalam bidang penulisan dengan sebaik mungkin. Jaringan dalam kepenulisan aku bangun sebanding dengan skill menulis yang terus menerus kuasah. Selain analisa SWOT aku juga menggunakan ilmu-ilmu tua yang menyangkut pengenalan diri seperti Enneagram, Shio, hari lahir (Jawa maupun China) dan sebagainya. Semuanya kugunakan secara optimal untuk mengenali diriku dan kecenderungannya.

Pekerjaan lain yang utama adalah sebagai ibu dan istri. Ini tanggungjawab besar yang kudesakkan dalam diriku sendiri untuk mengalahkan kepentingan-kepentingan lain. Sengantuk apapun, secapek apapun, pagi hari aku harus masak sarapan dan bekal. Se bad mood apa pun, kalau cowok-cowokku membutuhkan aku membagikan diri, aku akan berusaha keras di depan mereka. Ini pekerjaan yang paling menghabiskan energi sekaligus paling besar memberikan energi timbal balik. Berada di sekitar dapur, di kamar anak-anak, kamarku sendiri, atau di sekitar rumah, adalah saat yang paling baik dalam waktu-waktuku. Dibandingkan dengan hal-hal lain bahkan hal yang paling dianggap bergengsi oleh orang lain seperti bekergian ke negeri-negeri lain, kota lain atau mana pun.

Yang paling inti dari pekerjaanku, atau hal-hal yang kukerjaankan, adalah terus berjuang menikmati kehidupan sebagai manusia perempuan. Hmmm... ini kehidupan yang hebat.

Aku ingat ketika aku masih kuliah di Malang, aku sudah mencoba bekerja untuk menambah uang saku. Sangu dari ibu sejumlah 40 ribu rupiah per bulan sangat minim untuk keperluanku sehari-hari. Aku nyaris tak pernah beli buku. Semua fotokopian, sebagian ya benar-benar tak ada bahan. Makan dua kali sehari sangat mewah bagiku. Aku cukup paham tempat makan yang murah untuk irit. Maka pekerjaan aku minta ke bulik Sri, yaitu memberikan les tambahan untuk muridnya yang membutuhkan. Aku memberi les tambahan untuk matematika dan fisika untuk beberapa murid. Seringkali mereka membawakan makanan dari mamanya sehingga aku bisa berpesta saat mereka datang les.

Itulah makna pekerjaan yang berikutnya selain mengembangkan talenta. Mencukupi kebutuhan-kebutuhan.

Itu pula yang kukerjakan sampai sekarang. Mengembangkan talenta dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan. Ini dinamis banget, naik turun. Kadang berat kadang ringan. Tapi dari dulu aku belajar meyakini bahwa apa yang keluar dari hati membuat segala hal menjadi lebih mudah. Bahkan pekerjaan yang dianggap sulit bagi orang lain, aku bisa sangat menikmatinya. Karena hatiku ada di situ. Pun sebaliknya ada pekerjaan yang mudah yang aku tak mau lakukan karena hatiku tak di situ.

Nah.

Wednesday, November 28, 2018

Advent 2018 (2): Tubuh adalah Modal

Tubuh adalah bagian penting bagi manusia hidup. Sangat-sangat penting. Karena tubuhlah 'jiwa spiritual' mampu mewujud secara nyata sebagai manusia. Tubuh dibutuhkan oleh manusia selama dia hidup. Hal-hal semacam ini dulu tak kusadari, sehingga aku sering semena-mena terhadap tubuhku sendiri. Hmmm...iya sih, sekarang pun aku sering abai juga terhadap tubuhku, tapi kalau ingatan dan kesadaranku muncul, aku akan segera menarik perhatianku sepenuh-penuhnya untuk tubuh. Makanan, tidur, bergerak, bercinta, sentuhan, lotion, dan sebagainya.

Tahun ini berat badanku berkisar antara 60 - 62 kg (tinggi 160 cm, kelebihan lemak), dengan kecenderungan terus naik. Hihihi... Tekanan darah juga cenderung naik, dengan gangguan vertigo secara acak. Bagian yang terakhir ini yang paling terasa mengganggu, sehingga aku mengupayakan beberapa hal untuk menahan supaya vertigo tidak dekat-dekat pada tubuhku.

Aku harus akui kalau aku ini pemalas. Lumuh kata ortuku. Saat aku kecil aku sangat enggan untuk bergerak. Aku lebih suka tidur, berbaring, kalau toh bergerak ya hanya di sekitar rumah, di dalam rumah, tidak jauh-jauh dari rumah. Aku akan sangat payah kalau disuruh olah raga. Gerakan canggung, tidak gesit. Lari tak bisa cepat. Loncat tak bisa tinggi dan jauh. Ikut permainan juga selalu kalah. Keseimbanganku juga parah. Belajar naik sepeda butuh waktu lama baru bisa, itu pun tak ahli sampai sekarang. Menari aku suka, tapi ya untuk kunikmati sendiri. Kalau kulihat rekamannya pasti aku pun geli ngeliatnya. Kaku banget, kayak robot.

Postur tubuhku kuanggap seksi kalau aku tak melihat dalam cermin. Hihihi. Tapi kalau aku telanjang depan cermin, ya anggapan itu memudar. Dadaku nyaris rata, pinggulku kanan kiri nyaris lurus dengan pinggang. Nah kalau dari samping yang tampak: pantat gede, perut buncit, punggung bungkuk. Huhuhu. Tapi aku tetap suka bercermin. Mengamati tubuhku sendiri. Itu membantuku mengenali tubuhku sendiri, bentuknya, warnanya, dan sebagainya.

Aku suka wajahku, bukan wajah cantik tapi aku suka. Sekarang wajahku dihiasi bintik-bintik hitam, semacam tahi lalat, dan kayaknya semakin banyak. Ya, semua orang bisa melihatnya. Alis tipis, dengan mata belok. Bibirku miring, dan akan tampak bener pada beberapa ekspresi. Aku yakin gerak bibirku sangat mewarnai ekspresi wajah. Sedikit gerak aku bisa lihat kesinisan, kegembiraan, kesedihan, kemalasan dan sebagainya. Untuk waktu-waktu tertentu yang jarang, aku akan menggunakan kosmetik untuk menutup kekurangan-kekurangannya seperti warna alis yang tidak tajam, bibir yang pucat, kulit yang mengkilat dan sebagainya. Sementara ini yang tak pernah kututupi adalah uban. Separuh rambutku adalah uban. Dan bagiku, ini keren... Hehehe... Rayuan untuk menyemir rambut belum menarik hatiku, jadi biar saja. Aku penasaran seperti apa wajahku nanti kalau seluruh rambutku sudah putih.

Tubuhku sensitif pada rasa sakit. Sakit dikit saja aku sudah meneteskan air mata, tak tahan, manja... huhuhu.

Dengan tubuh yang seperti inilah aku terus berkembang sebagai manusia. Semakin lama aku semakin mengenali tubuhku, kecenderungannya, dan memunculkan beberapa kesadaran untuk merawatnya. Nah, aku ingat, harusnya aku lebih rutin olah raga. Olah raga ringan saja selama 30 menit bisa membuatku merasa bugar, juga lebih gembira. Tapi ya itu tadi, ...daku ini masih juga pemalas sampai kini.

Aku memahami tubuhku dengan cara:

1. Merasai tubuh dan alarm-alarm yang muncul. Misal kalau disentuh seseorang aku bisa sangat mual, tapi orang lain aku bisa gembira. Saat aku menarik tubuhku ke bawah, aku tak bisa menyentuh ujung jempol kaki. Kalau mulai makan tidur tidak betul, alarm kepala bagian belakang mulai teriak-teriak. Dan sebagainya.

2. Melihat dalam cermin. Seperti kukatakan di depan. Aku bisa menandai senyumku yang seperti apa yang paling tepat untuk mewakili ekspresi yang kuinginkan. Gimana menutupi bibir yang miring, punggung yang bungkuk dan sebagainya.

3. Komentar orang lain juga bisa menjadi cara untuk memahami tubuhku. Dulu ibuku sering ribut kalau aku keluar tanpa bedak karena kulitku akan mengkilap, bibir juga tampak pucat kering dan sebaganya.

4. Relasi dengan orang lain juga membantuku, termasuk yang paling intim yang bisa kulakukan, yaitu bercinta. Ini membuatku semakin mengenali tubuh dan caranya bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi.

5. Bacaan-bacaan, gambar dan video juga sangat membantuku. Ini nantinya juga terkait dengan bagaimana aku harus memperlakukan tubuhku secara tepat, sesuai dengan kebutuhanku, umurku dan sebagainya.

Beberapa hal yang aku kenali selanjutnya antara lain, tubuh ini membutuhkan energi untuk terus hidup dan berkembang. Energi yang paling awal sumbernya adalah makanan dan minuman, yang secara manual dikunyah lalu masuk dalam pencernaan. Energi lain berasal dari hasil tangkapan pancaindera. Saat melihat dan merasai pantai, aku selalu berkobar-kobar. Rasa lapar bisa tertunda beberapa jam. Juga ketika bertemu orang tertentu, aku akan merasa full energi, atau sebaliknya kehilangan energi. Semacam itulah.

Inti dari semua ini adalah tubuh itu modal utama manusia hidup. Selama masih hidup, masih memerlukan tubuh, kita harus menjaga tubuh kita, sebaik yang dibutuhkannya dan dikembangkan untuk terus maju sesuai tujuan kelahiran kita.

Negeri yang Terapung dan Negeri Para Penyair

Dua buku yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL) kuterima kemarin, 27 Nopember 2018 dari Udo Z. Karzi. Buku-buku ini memuat tulisanku, cerpen dan puisi. Berkaitan dengan buku selalu membuatku antusias dan gembira, maka menerima buku ini membuatku sangat gembira. Nanti akan kubuat catatannya untuk tiap buku, sekarang aku mulai baca saja dulu.

Hmmm... ternyata Lampung memang kaya raya soal penulis. Ada 17 cerpenis terangkul dalam Negeri yang Terapung, Antologi Cerpen Mutakhir Lampung, masing-masing menyumbangkan satu judul cerpen. Dalam kata pengantar editornya, 17 judul ini merupakan hasil kurasi dari puluhan cerpen yang dikirimkan oleh 41 penulis. Sedangkan buku Negeri Para Penyair, Antologi Puisi Mutakhir Lampung, memuat 47 penyair (hasil kurasi dari puisi-puisi yang dikirimkan oleh 71 penyair). Kalau tanpa proses kurasi, tentulah buku yang kuterima ini bisa lebih tebal 2 atau 3 kali lipat dari yang sekarang kuterima.

Tapiii... tentu ini bukan soal tebal tipisnya buku. Para kurator: Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin dan Ari Pahala Hutabarat tentu tak main-main dalam menentukan naskah yang layak maupun tidak dalam buku ini. Wong prosesnya juga laammmaaaa.... setahun lebih kukira sejak pengumuman tentang buku ini hingga buku ini kuterima. Dan tiga orang itu lhooo, kuyakin banget bukan orang-orang yang bisa disuap untuk mengatakan sebuah naskah termasuk layak atau tidak (Huh, inget naskahku yang tak seperti bertepuk sebelah tangan setelah kuserahkan pada mereka. Tak kusebutin deh detilnya. Bikin malu ati.) Btw, ....yehaaa.... terimakasih dah buat semua sehingga buku ini bisa terwujud di depan hidungku.

Agak sulit untuk tidak pamer, jadi ini salah satu puisiku dalam buku Negeri Para Penyair, halaman 147. Ada tiga puisiku dalam buku Antologi Puisi ini, tapi kupasang satu aja yach. Cekidot:

MELEKAT PADA UDARA

Kadang sehelai daun kelengkeng ikut campur urusan senja padahal dia tak tahu apa-apa.
Bahkan dengan pongah  dia bertengger di atas kepala meneriaki uban-uban supaya bergegas.
Telunjuknya menuding langit seolah sudah khatam Alkitab dan sanggup meremukkan kepala ular dengan tumitnya.

Sebelum tubuhnya memuai dan melekat pada udara, dia mengingatkan cita-cita tua:
Sampailah pada Kitab Wahyu pasal ke dua puluh dua.

Okt 2017

Hmmm, sebelum orang lain suka puisi ini, aku sudah duluan menyukainya. Hehehe.... Iyalah. Ada banyak cerita mendalam dalam puisi ini. Entar kalau ada waktu aku akan ceritakan.

Tuesday, November 27, 2018

Advent 2018 (1): Memulai Perjalanan Ke Dalam

Tahun 2018 memberiku banyak kesempatan untuk melakukan perjalanan ke berbagai kota, berjumpa dengan banyak orang yang sama atau berbeda, juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan. Dalam empat minggu ke depan ini, aku akan melakukan perjalanan tidak ke berbagai kota, walau mungkin juga secara fisik hal itu juga kulakukan. Tapi yang utama, empat minggu dalam masa advent ini aku akan mencatat perjalanan-perjalanan jiwaku, hatiku dan pikiranku. Bisa jadi yang muncul adalah kesimpulan-kesimpulan, harapan, kesedihan, penemuan-penemuan, tapi mungkin juga aku mencatat lintasan-lintasan pikiran yang sudah kumiliki dalam umur hampir 45 tahun ini. Semoga aku bisa menuliskannya secara serius sehingga bisa diikuti oleh banyak orang. Untuk semenara, aku tidak akan membatasi berapa bagian yang bisa kusodorkan, tapi inilah bagian pertama untuk advent 2018.

Awal tahun 2018 aku lalui di Jawa Timur. Libur panjang untuk Natal dan Tahun Baru sangat menguntungkan, sehingga aku sekeluarga bisa memperingati 40 hari Bapak Soeliham dalam rangkaian libur panjang itu. Perencanaan kerja kulakukan pada bulan pertama ini dengan semangat, yang telat. Harusnya kulakukan pada akhir tahun 2017 tapi mundur beberapa minggu. Aku ingat pada awal tahun ini bahwa aku memiliki beberapa intuisi yang membuatku yakin bahwa tahun 2018 adalah tahun yang hebat.

Mungkin ini berkaitan dengan kepercayaanku pada tahun Anjing tanah. Shioku akan bersinar secara misterius dalam tahun anjing, aku yakin banget karena aku dekat dengan 'anjing'. Keramahan dan kesetiaan 'anjing' padaku membuatku nyaman. Aku tahu bahwa aku akan menghadapi banyak tantangan besar di tahun ini, tapi semerta aku juga merasa nyaman, aman, tidak merasakan kekuatiran yang berlebihan. Beberapa tanda yang tak terlalu baik adalah keuangan. Soal ini tak perlulah melihat pada ramalan-ramalan, tapi aku melihat tanda-tandanya dalam diriku sendiri.

Awal baik penuh optimis seperti itulah yang menjadi modalku awal tahun 2018. Aku percaya diri, siap menghadapi segala hal tantangan maupun kegembiraan. Yang menjadi tantangan utama di awal tahun 2018 adalah kesehatan. Aku kena vertigo yang cukup awet dari akhir tahun 2017, dan baru berangsur-angsur hilang pada April 2018. Vertigo ini cukup menggangguku.

Aku adalah jiwa spiritual yang beruntung mengalami kehidupan sebagai manusia. Kalimat ini menggaung kuat dalam diriku. Aku belum mampu memahaminya sepenuh yang seharusnya, dan dalam perjalanan fisikku yang cukup dinamis di tahun 2018, satu kata berulang-ulang muncul menjadi tantangan dan kekuatan: Kesaksian. Aku mesti bersaksi tentang 'sesuatu', tapi aku tak harus merumuskan apa pun. Aku hanya harus bergerak, bekerja dan bersuara.

Dari mana jiwaku ini? Aku menggunakan istilah yang tidak biasa. 'Bapak Ibu' sumber jiwaku adalah Langit. Dia memercikkan cahaya dalam rencana yang luarbiasa sehingga jiwaku merdeka, menggunakan sebuah tubuh yang 'kami' pilih. Aku tak yakin 'kami' ini bagaimana dibahasakan. Kalau merunut sejak aku lahir sebagai manusia, aku tidak termasuk dalam 'kami'. Tapi saat aku masih dalam rencana langit, tentu saja aku termasuk dalam bagian 'kami' sehingga aku juga ikut dalam proses memilih tubuh yang tepat untuk aku gunakan. Setelah lahir, aku terlepas dari 'kami' sehingga aku hanya bisa menerima tubuh yang sudah diberikan itu secara apa adanya. Aku menjadi Yuli, dalam keluarga Samiran. Ini adalah rahmat yang kuterima sejak aku bertumbuh dalam rahim dan kemudian dilahirkan.

Menggulati tubuh ini bukan soal yang mudah. Ini akan kutulis dalam bagian kedua nanti ya.

Monday, October 29, 2018

NENG KOALA, Berjuang Menjadi Manusia



Berikut ini adalah catatan point-point yang kusampaikan dalam acara bedah buku dan diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Perempuan Padmarini (JPP), di Mister Geprek 3 (dekat Unila) Lampung, 28 Oktober 2018. Hari yang gembira karena bersamaan dengan ultah ke 3 JPP dan hari sumpah pemuda:

Ada beberapa point yang menarik dalam ulang tahun Jaringan Perempuan Padmarini (JPP) hari ini, Minggu, 28 Oktober 2018, bersamaan juga dengan Hari Sumpah Pemuda yaitu:
1.      Diskusi dan bedah buku Neng Koala ini menjadi satu rangkaian dengan tanam pohon dan potong tumpeng di Desa Talang Mulia, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran. Kepedulian terhadap lingkungan hidup terwakili oleh kegiatan selama dua hari (27-28 Oktober 2018 bersama dengan Walhi, YKWS dll), maka kegiatan ini menandai fokus lain dari JPP, yaitu tentang gender.
2.      Neng Koala menampilkan tulisan-tulisan dari pengalaman banyak perempuan yang berjuang mencapai impiannya, di tengah pandangan mainstream terhadap perempuan yang masih sering tidak adil gender. Dalam banyak kisah, mereka memaparkan pergulatan mereka supaya tetap ‘harmoni’ sebagai anak, istri, ibu, juga mahasiswi.
3.      Kekuatan mereka adalah pada ‘ngeyel’ sekaligus ‘tidak ngeyel’. Ngeyel, kokoh, yakin bahwa mereka punya modal, rahmat tak terhingga dari Sang Pencipta (tubuh, hati, akal budi) untuk mereka kembangkan dan hal itu sungguh-sungguh mereka lakukan dalam seluruh dinamika situasinya. Mereka yakin bahwa mereka akan ‘utuh’ kalau mereka teguh dalam pilihan-pilihan mereka, sehingga tidak ada penyesalan. Serta merta mereka tidak ngeyel, menuntut atau memusuhi, tapi mereka lakukan dengan kompromi bersama dengan situasi, pasangan hidup, anak dan sebagainya. Maka yang muncul adalah gambaran seorang perempuan, yang menyusui anak di pangkuannya, juga memegang buku dan laptop. Dan mereka bersama orang-orang yang di sekitarnya mengalami pembelajaran sekaligus petualangan (Butet Manurung dalam pengantar).
4.      Adalah harapan. Inilah yang menjadi penanda iman. Maka saya bisa menyebut perjuangan semacam ini, harusnya dimiliki oleh semua manusia, entah perempuan atau laki-laki. Selama tidak kehilangan harapan, maka segalanya mungkin terjadi. Saya percaya dengan kekuatan pikiran, apa yang kau pikir itulah yang terjadi. Pikiran itu menampakkan visi, penglihatan di suatu masa, semakin hari semakin diperkuat plus upaya menyiapkan syarat-syaratnya. Misal, sejak tahun 2010 sampai sekarang (8 tahun), aku sudah pergi ke 11 negara: Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, Taiwan, Srilanka, Italia, Qatar, Swiss, dan Jerman. Dengan dana yang minim. Lalu aku membayangkan akan pergi ke Malaysia dan Thailand bersama dengan suami dan anak-anak, sebagai backpacker. Setiap saat aku memikirkan itu, memikirkan syarat untuk pergi, dan memenuhinya satu per satu, maka terjadilah itu. Sederhana sekali. Tak ada yang tak mungkin. Maka setiap saat (entah peristiwa, perjumpaan, dll) menjadi kesempatan untuk mempersiapkan diri. Saat peluang itu ada, kita tidak melewatkannya dan kemudian menyesal.
5.      Keunggulan yang utama para perempuan ini adalah menuliskan pengalamannya beserta pikiran dan perasaannya. Itulah keunggulan yang dimiliki Kartini. Semua orang, semua perempuan banyak mengalami hal-hal hebat. Tapi mereka tercatat karena mereka menuliskannya. Ini menjadi catatan yang berguna tidak lagi hanya untuk dirinya sendiri tapi untuk banyak orang. Mereka dengan tulisannya ini membantu orang lain, menginspirasi orang lain dan menandai bahwa hal-hal luar biasa telah mereka lakukan.

*Yuli Nugrahani, penulis cerpen, puisi dan penggiat justice and peace di Keuskupan Tanjungkarang, juga menjadi salah satu dari Pembina Jaringan Perempuan Padmarini yang bergerak dalam bidang gender dan lingkungan hidup. Beberapa bukunya antara lain Pembatas Buku (kumpulan puisi), Daun-daun Hitam (kumpulan cerpen), Salah Satu Cabang Cemara (kumpulan cerpen) dan Sampai Aku Lupa (kumpulan puisi)

Thursday, October 25, 2018

Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI), Menuju Budaya Hidup Damai


Judul buku: Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI): Menuju Budaya Hidup Damai
Penyusun: Eka Aldilanta dkk
Tata letak dan desain sampul: R. Yohanes Hermawan
Diterbitkan untuk kalangan terbatas.


Salah satu kegembiraan yang muncul dari Pertemuan Nasional Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI) di Klender, 16 - 19 Oktober 2018 lalu adalah diluncurkannya buku GATKI: Menuju Budaya Hidup Damai. Buku yang sudah disusun mulai tahun 2016 ini akhirnya rapi tercetak berkat banyak pihak yang terlibat.

Upaya untuk merombak tanpa merusak saat menghadapi berbagai situasi kekerasan dan ketidak adilan di Indonesia, merupakan bagian dari mengapa buku ini penting diwujudkan. Ini semacam langkah kecil yang harus dilakukan diantara banyak tahun yang sudah berjalan sejak Rm. Adi Wardaya SJ mengenalkan gerakan ini pada kami. Dan langkah kecil ini harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain untuk menyatakannya di tengah dunia ini.

Ada empat bab yang ditampilkan dalam buku ini, yaitu:gambaran kekerasan di Indonesia masa kini, sejarah GATKI, filosofi dan prinsip dasar GATKI dan metode GATKI. Semua bahan ini dirangkum oleh tim perumus yang sering menyebut diri atau disebut sebagai Tim Penjaga Obor GATKI, bersumber dari banyak dokumen yang berhasil ditemukan.

Saya tidak ingin bercerita detail, tapi patutlah diketahui bahwa GATKI mempunyai visi Indonesia damai tanpa kekerasan. Visi itu ingin dituju dengan misi, pertama: mengembangkan nilai-nilai gerakan aktif tanpa kekerasan sebagai dimensi dalam hidup bermasyarakat: kedua: mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proses transformasi bangsa dengan semangat, nilai-nilai, pendekatan, strategi aktif tanpa kekerasan.

Saya yakin ini masih akan terus berjalan, walau yeachhh.... tidak mudah.

Sunday, October 14, 2018

Mengakhiri Kekerasan dengan Menggunakan Media Sosial secara Sehat

Forum Komunikasi PUSPA (Partisipasi Publik untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Provinsi Lampung, di mana aku terlibat dalam setahun ini menyelenggarakan kegiatan pertama di Kelurahan Enggal. Kegiatan ini mengundang perwakilan dari 23 RT yang ada di Kelurahan Enggal, Bandaralampung untuk belajar tentang cara menggunakan media sosial secara sehat.

Tema ini memang harus diangkat karena sekarang ini media sosial bisa menjadi sumber kekerasan, alat kekerasan dan juga menyebarkan kekerasan. Tentu saja PUSPA tetap pada relnya yaitu keterlibatan dalam 3 end: akhiri kekerasan, akhiri perdagangan manusia dan akhiri kesenjangan ekonomi (khususnya terkait perempuan dan anak).

Narasumbernya keren dunkkk, Juwendra Asdiansyah dari Duajurai, Wirdayati dari KPID Lampung, dan dibantu oleh teman-teman muda dari Komunitas Jendela dan TBM Kampung Merdeka. Aku bagian yang memfasilitasi eh yang jadi kuli eh yang ngupyek sana sinilah pokoknya sebagai wujud dari keterlibatan Jaringan Perempuan Padmarini (JPP) dalam forum di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung ini. Juga dibantu oleh Nagiyyah Syam dari Tapis Bloger Lampung. Moderator kerennya si Heni dan Rinda, dua ibu muda yang jempol.

Agak sulit menuliskan secara lengkap acara ini, tapi aku ingin mengangkat yang sudah disampaikan oleh Juwendra tentang cara mendeteksi HOAX, yaitu:

1. Lihat medianya
2. Siapa sumber berita
3. Lihat judulnya
4. Lihat tulisannya
5. Lihat logika
6. Verifikasi, cek ricek
7. Jangan terkecoh dgn kata "sebarkan"
8. Masuk surga tidak cukup hanya "mengaminkan"
Nah, tuh.

Wednesday, October 03, 2018

Yang Ini Pernak-pernik Roma, Mulai dari Pedagang Asongan, Kemacetan Dll.

Ada penjual asongan juga...

Kotor di beberapa sudut kota.

Taman dalam rumah SCJ.

Yehaaiiii...

Alat bantu terjemahan. Untung ada si alat ini.


Masih kebagian bunga-bunga seksi

Agak tak suka dengan toiletnya. Tak ada air untuk cebok.

Seabgian dari kebun sayur di Rumah SCJ yang dikelola Rm. Sugino.

Nih taksi yang mahal tuh. Huh.

Vatikan waktu malam.

Lalulintas Roma. Macet di beberapa tempat.

Italia dalam 4 Hari (7): Balik ke Indonesia Kangen Nasi Padang

Ergife Palace Hotel, Rome
Pagi-pagi tanggal 21 September 2018 jam 03.40 aku sudah bangun. Membereskan lagi dua koper yang akan kubawa (koper beranak koper. Hehehe). Mandi dengan ogah. Sebelum keluar kamar hotel sekitar pukul 04.30 aku memastikan lagi isi ransel yang akan aku tenteng: dokumen, botol minum, alat mandi, kamera, dan HP.

Di lobby hotel ada beberapa orang yang duduk. Pegawai yang seorang ganteng itu menyapaku nyaris tanpa senyum. Mungkin dia belum tidur semalaman. Dia menunjukkan ada bis ke bandara jam 5 kalau aku mau. Nah, itu yang apik. Ndak perlu naksi lagi. Hehehe... Beruntung lagi hotel menyediakan sarapan dalam kantong-kantong untuk dibawa: roti, crackers, jus jeruk, air mineral, wafer dan olesan butter plus selai. Sip.

Yang bikin senewen adalah ternyata si bis itu tak datang juga hingga pukul 05.00. Lalu tak datang juga hingga 06.00. Aku sudah sekali menanyakan itu ke staf yang capai itu dia hanya menjawab kalau dia sudah mencoba menelpon sopir bis tapi tak ada jawaban: "Silakan menunggu saja, Madam." Huhuhu... pesawatku jam 08.20, sayangkuuu.
Menu makan hotel. Tuh, bikin kangen nasi padang kan...

Penampakan pasta. Suka sih, tapi ya gitu deh...

Baru saja aku hendak mengambil keputusan untuk minta taksi pada pukul 06.05 saat bis itu datang terseok-seok masuk ke halaman hotel. Kami berebut masuk. Dan tersisa hanya beberapa kursi di bagian belakang. Rupanya bis itu masih akan menjemput orang-orang lain lagi ke hotel lain. Ya elah. Penuh sesak si bis itu ketika benar-benar melaju ke Fiumicino. Sebagian berdiri, sebagian duduk di bawah. Keluhan dari penumpang tak ada efeknya. Ya iyalah. Mau apa lagi. Bagiku juga yang penting segera sampe bandara.

Seenak-enaknya makanan di pesawat tetep saja tak enak.
Sangat mepet sampai di bandara segera cari konter Qatar. Ih, sepi rupanya. Begitu juga saat di imigrasi dan ruang tunggu. Sepi. Dan ternyata sepi juga dalam pesawat besar Boeing 777-300 itu. Aku sudah minta kursi dekat jendela dan ternyata deretanku tak ada penumpang lain. Jadi aku bisa tidur nyaman sepanjang 5 jam Roma-Doha. Tidur berbaring! Hehehe... Nikmat.

Doha - Soetta pun cukup longgar. Walau tidak bisa berbaring tapi bisa tidur pulas dan makan enak serta beberapa kali ke lavatory. Hidup yang enak itu ya itulah ukurannya: tidur, makan, tersalurkan kebutuhan biologis ke toilet. Hehehe...

Waktu yang cukup longgar di Soetta kunikmati dengan pergi ke Restoran Sate Senayan untuk seporsi sate ayam yang mahal itu dengan sepiring nasi dan segelas besar teh tawar anget. Begitu nikmat sampe ndak ngeh kalau di sampingku ada anak orang yang ngetop di tanah air. Sapa hayooo.... hehehe.... Nasi sate ayam ini perlu banget bagi perutku untuk menetralkan Italian Style selama 4 hari lalu yang penuh dengan pasta, roti, keju, dll yang... ya enak sih enak tapi tentu saja nasi lebih enak bagi perutku. Hehehe...

Masih nunggu beberapa saat sebelum Garuda membawaku kembali ke Lampung siang itu. Mas Hen sudah menanti di Bandara Raden Inten 2 siap mentraktirku nasi padang sepuasnya di Puti Minang. Kangennnnn banget sama nasi padang hoiiii....

Italia dalam 4 Hari (6): Salah satu Puncaknya adalah Bertemu Paus Fransiskus

Hari keempat di Italia, Kamis 20 September 2018, harus kucatat secara khusus. Konferensi hari ketiga kami semua peserta diundang ke Vatikan untuk audiensi dengan Paus Fransiskus. Aku selalu berdebar-debar dengan rencana audiensi, tapi aku tak seantusias tahun lalu begitu ingin menyentuh Paus Fransiskus. Sudahlah, pasrah saja. Tahun lalu pun bisa melihat dari kejauhan juga sudah menjadi berkat besar bagiku. Kali ini pun aku berjalan dengan berdebar-debar masuk Hall Sint Clement di bagian dalam tanpa harapan yang muluk. Melewati pemeriksaan pun biasa saja. Menanti dengan manis di kursi agak belakang. Orang besar ini selalu favoritku walau aku tak bisa menyentuhnya.

But, yang terjadi, Paus datang, memberikan sambutannya ke Kardinal Turkson tanpa dia baca, lalu kami maju. Satu per satu diberi kesempatan untuk salaman dengannya! Huaahhh... tiada kata yang mampu kukatakan dah. Aku menanti giliranku maju dengan tidak sabar.

Begitu di depannya, aku segera meraih tangannya yang langsung menggenggam erat. Matanya yang teduh memandangku. Hmmm... membuatku sangat malu. Dia sangat ramah mendengarku:

"Aku Yuli dari Indonesia. Kau tahu negaraku itu memiliki banyak masalah. Please, berdoalah untuk Indonesia." Dia mempererat genggamannya. Tak berkata apa-apa. Mungkin tak mendengar aku ngomong apa. Tapi aku tak peduli. Aku mengatupkan tanganku mengakhiri salaman itu dengan mengucapkan terimakasih terimakasih terimakasih banyak.

Girang banget usai salaman dengan Paus Fransiskus.
Usai itu aku menuju Kardinal Turkson untuk bilang sekali lagi terimakasih sudah memberiku kesempatan moment indah ini. Kardinal mah pengertian banget: "Sama-sama terimakasih. Terimakasih sudah datang memenuhi undangan. Foto kau bisa cetak nanti usai acara kalau mau mendapatkannya." Dia pasti lihat wajahku yang gembira banget sehingga menduga ini pasti urusannya dengan foto bersama Paus. Hehehe....

Sayang aku tak bisa mencetak foto spesial itu karena saat sore kembali ke Vatikan, studio foto sudah tutup. Petugas di sekitar situ bilang kalau sepanjang September studio foto tutup sebelum jam 16.00.

Ya, tak masalah. Suatu ketika pasti ada kesempatan untuk kembali ke Vatikan mencetak foto-foto itu.

Malam itu, begitu kembali ke hotel, lupa kalau Indonesia sudah masuk jam tengah malam atau dini hari aku menyiarkan anugerah yang kudapatkan itu pada ibu dan Mas Hendro. Mereka kok ya masih melek (atau terpaksa melek karena bunyi HP) menanggapi kabarku itu dengan riang gembira ikut antusias yang mengalir dariku.

Italia dalam 4 Hari (5): Hari Kedua Konferensi Membuat Rekomendasi


Hari ketiga di Italia atau hari kedua konferensi, selain beberapa narasumber inspiratif, peserta juga mencermati pesan hsil diskusi kelompok dan pleno yang akan menjadi rekomendasi dari kegiatan ini. Aku pasang saja lengkap ya. Ini terjemahan yang mungkin tak terlalu tepan (ihiks) tapi moga mendekati dokumen aslinya yang diedarkan dalam bahasa Inggris, Italia, Perancis dan Spanyol.



PESAN DARI KONFERENSI
“XENOPHOBIA, RASISME, DAN NASIONALME KERAKYATAN DALAM KONTEKS MIGRASI GLOBAL ”
Kerjasama Dicastery for Promoting Integral Human Development ( Vatikan)
Dengan Badan Gereja-Gereja Dunia (Jenewa)
Dalam Kolaborasi Dengan Pontifical for Promoting Christian Unity (Vatikan)
ROMA, 18 - 20 SEPTEMBER 2018

Kami mengakui iman kami kepada Tuhan Yesus Kristus, dan kami percaya bahwa kemanusiaan diciptakan dan dicintai oleh Tuhan dan bahwa manusia adalah setara dalam martabat dan berhak atas hak asasi manusia yang sama.

1. Dalam konteks global yang ditandai dengan migrasi di dalam dan di antara negara-negara, kami peserta dalam Konferensi "Xenophobia, Rasisme, dan Nasionalisme Kerakyatan dalam Konteks Migrasi Global" berkumpul di Roma dari 18-20 September 2018. Sadar akan peningkatan xenofobia dan reaksi rasis terhadap pengungsi dan migran, kami berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis, memahami, dan mengatasi pengecualian, marjinalisasi, stigmatisasi dan kriminalisasi migran dan pengungsi, dan pembenaran untuk sikap dan wacana yang sekarang ada di beberapa bagian dunia yang berbeda, bahkan di dalam gereja-gereja.

2. Sebagai orang Kristen dari denominasi dan wilayah yang berbeda - bersama dengan perwakilan antar-agama, masyarakat sipil dan mitra antar-pemerintah - dasar umum untuk refleksi kami adalah keyakinan bahwa semua manusia setara dalam martabat dan hak dan sama-sama dihormati dan dilindungi, dan sebagai konsekuensinya kita dipanggil oleh Tuhan untuk melawan kejahatan, bertindak adil, dan mengejar perdamaian untuk mengubah dunia. Sementara kita mencari dan mempromosikan dialog untuk penyelesaian perbedaan pada setiap masalah yang diangkat dalam pesan ini, keyakinan dasar ini bersifat tetap dan permanen.

3. (A) Migrasi - pergerakan orang - adalah kisah yang melekat pada kondisi manusia. Itu termasuk seluruh sejarah kemanusiaan — masa lalu, sekarang dan masa depan — dan seluruh narasi alkitabiah. Kita semua adalah migran dan pendatang, dan kita semua merupakan anggota satu keluarga manusia.
(b) Penggerak pemindahan paksa dan migrasi baru-baru ini telah memasukkan konflik brutal yang belum terselesaikan dan konsekuensi terpuruk dalam krisis ekonomi global dan kebijakan penghematan, serta akar penyebab lainnya seperti kemiskinan ekstrim, ketidakamanan pangan, kurangnya kesempatan, dan ketidakamanan. Dampak yang semakin besar dari perubahan iklim kemungkinan akan menambah signifikan penggerak perpindahan.
(c) Sementara mengakui hak pengungsi untuk kembali ke negara asalnya dan hidup di sana dengan martabat dan keamanan, kami menegaskan dan menegakkan lembaga suaka bagi mereka yang melarikan diri dari konflik bersenjata, penganiayaan atau bencana alam. Kami juga meminta penghormatan atas hak semua orang yang sedang bepergian, terlepas dari status mereka.
(d) Meskipun migrasi secara umum memberikan kontribusi positif untuk kedua negara tujuan dan negara asal, kami mengakui bahwa tantangan signifikan masih terkait dengan migrasi, terutama di bidang perlindungan hak-hak migran tidak berdokumen.

4. Menggunakan wawasan multidisiplin, pengalaman hidup, dan kesaksian dari tradisi agama yang berbeda untuk lebih memahami penyebab dan efek dari pidato kebencian terhadap migran dan pengungsi, dan ketegangan antar negara dan antara komunitas sosial, budaya, atau agama dalam konteks migrasi global, kami telah berusaha untuk memahami apa yang dipertaruhkan dalam perjumpaan dengan manusia lain yang rentan oleh pengalaman perang atau kemiskinan, dan mencari suaka, perlindungan dan martabat.

5. (a) Perjalanan seseorang menjadi rentan oleh kekerasan atau kekuatiran ekonomi adalah memang merupakan inti dari refleksi kita. Xenophobia, yang terutama berarti "takut akan orang asing," diekspresikan oleh sikap yang ekslusif dan membatasi yang lain dalam kesulitan mereka dan dengan bentuk dan struktur dari perbedaan dan penolakan, bahkan meluas ke penolakan bantuan dalam keadaan darurat dan untuk bertahan hidup. Oleh karena itu perlu mengatasi ketakutan yang lain dan untuk menantang ekslusif dan marginalisasi para migran dan pengungsi. Ketakutan ini dapat mengungkapkan hubungan pribadi atau kolektif yang kompleks dengan masa lalu, masa kini atau masa depan, dan mengekspresikan kecemasan kehilangan identitas, keamanan, harta benda, dan kekuatan seseorang dalam menghadapi tantangan kehidupan dan masa depan.
(B) Perlu juga untuk mengakui rasa takut yang dialami oleh seseorang yang terpaksa melarikan diri dari rumah dan negara mereka karena kerentanan yang disebabkan oleh konflik bersenjata, kebijakan nasional dan regional yang merusak, penganiayaan, bencana alam atau kemiskinan.

6. (A) Ras adalah konstruksi asosial dimana menjadi klaim untuk menjelaskan dan membenarkan pemisahan antara kelompok manusia dengan memajukan kriteria fisik, sosial, budaya dan agama. Rasisme adalah dampak sistemik dan sistematis dari tindakan yang dilakukan terhadap kelompok orang berdasarkan warna kulit mereka. Ini memisahkan orang dari satu sama lain atas nama gagasan yang salah tentang kemurnian dan keunggulan komunitas tertentu. Ini adalah sebuah pendirian ideologis yang diekspresikan melalui marginalisasi, diskriminasi dan pengecualian terhadap orang-orang tertentu, minoritas, kelompok etnis atau komunitas.
(b) Definisi diskriminasi rasial dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (pasal 1.1) menyoroti “perbedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal kebangsaan atau etnis yang memiliki tujuan atau efek membatalkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau latihan, pada pijakan yang setara hak asasi manusia dan kebebasan mendasar ”.
(c) Rasisme menciptakan dan memelihara kerentanan anggota-anggota kelompok tertentu, menyangkal hak-hak mereka dan keberadaan mereka, dan berusaha membenarkan penindasan mereka. Dalam pengertian ini rasisme adalah dosa, baik dalam ekspresi pribadi maupun sistemiknya, secara radikal tidak sesuai dengan iman Kristen. Ia sering hadir di negara-negara tempat para migran datang dan ke mana mereka pergi. Orang-orang beriman harus mengutuk rasisme karena menyangkal martabat manusia dan saling memiliki satu keluarga manusia, dan merusak citra Allah di setiap manusia.

7. (a) Nasionalisme kerakyatan adalah strategi politik yang berusaha mengandalkan dan mempromosikan ketakutan individu dan kelompok untuk menegaskan perlunya kekuatan politik otoriter untuk melindungi kepentingan kelompok sosial atau etnis dominan yang didirikan di wilayah tertentu. Atas nama "perlindungan" inilah para pemimpin populis membenarkan penolakan untuk memberikan perlindungan, untuk menerima dan mengintegrasikan individu atau kelompok dari negara lain atau konteks budaya atau agama yang berbeda.
(B) Namun, menolak untuk menerima dan membantu mereka yang membutuhkan bertentangan dengan teladan dan panggilan Yesus Kristus. Mengklaim untuk melindungi nilai-nilai atau komunitas Kristen dengan menutup mereka yang mencari perlindungan yang aman dari kekerasan dan penderitaan tidak dapat diterima, merusak kesaksian Kristen di dunia, dan memunculkan batas-batas nasional sebagai berhala.
(C) Kami menyerukan kepada semua orang Kristen dan semua orang yang mendukung hak asasi manusia yang fundamental untuk menolak prakarsa populis seperti itu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Injil. Hal ini harus menjadi pertimbangan kehidupan politik dan wacana publik, dan menginformasikan pilihan mendasar terutama pada saat pemilihan.
(D) Kami juga menyerukan semua platform media untuk menahan diri dari penyebaran ide dan inisiatif yang memecah belah dan tidak manusiawi, dan berkomitmen untuk melibatkan media untuk promosi positif messages.

8. (a) Dalam refleksi dan dialog ini, kami mengamati pentingnya narasi dan ingatan, pada tingkat pribadi, komunitas dan institusional. Falsafah tulisan suci yang menyatukan kita dalam konferensi ini memberi tahu kita bahwa pengalaman migrasi adalah tema konstan dalam tradisi Abraham. Narasi alkitabiah adalah salah satu orang yang sedang bergerak. Dan mereka menemukan, dalam perjalanan mereka, bahwa Allah menemani mereka. Tugas keramah-tamahan, umum bagi semua putra dan putri Abraham, timbul dalam penerimaan "orang asing" oleh Sarah dan Abraham (Kejadian 18, 1 - 16), dalam pengajaran para nabi, dan oleh Yesus sendiri yang mengidentifikasi dengan orang asing (Matius 25: 35-40) dan memanggil semua orang percaya untuk menyambut orang asing itu sebagai tindakan cinta yang diilhami oleh iman.
(b) Kami mengakui bahwa kekhawatiran banyak individu dan komunitas yang merasa terancam oleh para migran - baik untuk keamanan, alasan identitas ekonomi atau budaya - harus diakui dan diperiksa. Kami berharap dalam dialog yang tulus dengan semua orang yang memiliki kekhawatiran seperti itu. Tetapi berdasarkan prinsip-prinsip iman Kristen kita dan teladan Yesus Kristus, kita berusaha untuk mengangkat narasi cinta dan harapan, melawan narasi populis kebencian dan ketakutan.

9. Gereja-gereja dan semua orang Kristen memiliki misi untuk menyatakan bahwa setiap manusia layak dihormati dan dilindungi. Gereja-gereja juga disebut tolive, setiap hari, menyambut orang asing tetapi juga perlindungan dan dorongan bersama untuk semua - masing-masing dalam keragaman asal-usul dan sejarah mereka - untuk berpartisipasi sesuai dengan bakat mereka sendiri dalam pembangunan sebuah masyarakat yang mencari kesejahteraan damai dalam kesetaraan dan menolak semua diskriminasi. Gereja-gereja secara konstan dipanggil untuk menjadi tempat di mana kita mengalami dan belajar menghargai keberagaman dan di mana kita bersukacita dalam perjumpaan dan pengayaan timbal balik. Ini khususnya penting dalam konteks asuhan pastoral, pemberitaan dan inisiatif solidaritas, di dalam gereja-gereja, dan dengan perhatian khusus terhadap inisiatif untuk dan dengan anak muda.

10. Kami dipanggil untuk menemani dan memegang akuntabilitas yang memiliki kekuatan dan berpartisipasi langsung dalam keputusan yang mempengaruhi masa depan komunitas manusia, di tingkat nasional dan internasional. Nasihat yang dapat diberikan semua orang percaya dapat diilhami oleh "aturan emas", yang umum bagi berbagai tradisi, yang menurutnya harus "dilakukan kepada orang lain apa yang Anda ingin mereka lakukan kepada Anda" (Matius 7:12). "Peraturan emas" ini tercermin dalam hak asasi manusia yang fundamental, yang merupakan kondisi yang harus dicapai bagi orang lain sama baiknya Seperti untuk diri kita sendiri, dan menyerukan konstruksi kohesi sosial. Hanya pendekatan inklusif yang mempertimbangkan semua dimensi manusia dan panggilan untuk partisipasi masing-masing dan setiap orang dalam masyarakat dapat secara efektif memerangi diskriminasi dan pengecualian.

11. Kami mendorong upaya lebih lanjut oleh PBB dan negara-negara anggotanya untuk “menghapus semua bentuk diskriminasi, mengutuk dan melawan ekspresi, tindakan dan manifestasi rasisme, diskriminasi rasial, kekerasan, xenofobia dan intoleransi terkait terhadap semua migran” dalam konteks Global Ringkas untuk Migrasi yang Aman, Teratur dan Reguler (Tujuan 17), dan untuk “memerangi semua bentuk diskriminasi dan mempromosikan koeksistensi damai antara pengungsi dan masyarakat tuan rumah” dalam konteks Global Compact on Refugees (para 84), yang secara eksplisit mengakui “ kekuatan dan dampak positif dari masyarakat sipil, organisasi berbasis agama, dan media ”(ibid) - keduanya akan diadopsi secara resmi pada akhir tahun. Kedua Global Compact ini, yang telah disusun dengan partisipasi aktif gereja, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan pemerintah, menyediakan kerangka kerja kebijakan global berbasis HAM yang berguna, yang harus digunakan oleh semua pemangku kepentingan dalam memerangi xenophobia dan rasisme terhadap migran dan pengungsi.

12. Gereja adalah aktor penting dalam masyarakat sipil dan kehidupan politik, dan kami mendesak mereka untuk berpartisipasi, bekerja sama dengan mitra antar agama dan mitra lainnya, dalam urusan politik, ekonomi dan sosial, dalam merawat planet "rumah kita bersama", dan dalam merawat mereka yang menderita, dengan membangun jaringan perlindungan sosial, melalui advokasi dan dengan mengajukan prinsip-prinsip hukum dan etika (seperti 20 poin tindakan Takhta Suci untuk Global Compact). Kerja sama yang baik antara komunitas agama, aktor masyarakat sipil, akademisi, aktor ekonomi dan politik sangat penting dalam perjuangan melawan xenophobia dan rasisme.

13. (a) Kami peserta dalam Konferensi "Xenophobia, Rasisme, dan Nasionalisme Populisme dalam Konteks Migrasi Global" menarik bagi semua orang percaya yang menegaskan, dalam tradisi mereka sendiri, martabat pribadi manusia dan solidaritas di antara orang-orang, sehingga semua contoh pelanggaran hak asasi manusia, xenofobia dan rasisme, ditentang dengan keras oleh pendidikan (termasuk pendidikan hak asasi manusia), proses demokrasi, dialog antar agama, hukum dan cinta.
(b) Kami berkomitmen untuk bekerja bersama untuk transformasi struktur dan sistem yang tidak adil yang melanggengkan dirinya di atas dasar stabilitas dan keamanan, dan yang menciptakan budaya dan kondisi yang mendiskriminasikan orang lain dan menolak martabat yang sama dan hak semua orang.
(c) Kami mengajak gereja-gereja untuk melatih kepemimpinan dalam meningkatkan kesadaran kritis di antara orang-orang Kristen tentang keterlibatan beberapa teologi dalam xenophobia dan rasisme, untuk pelepasan radikal dari teologi-teologi semacam itu, dan bagi gereja untuk sepenuhnya menganggap perannya sebagai penjaga hati dalam konteks ini.
(d) Kami menyatakan solidaritas kami pada gereja-gereja yang menderita di bawah penganiayaan atau pendudukan.
(e) Gereja-gereja menjadi tempat kenangan, harapan, dan cinta. Dalam nama Yesus, yang membagikan pengalaman migran dan pengungsi dan menawarkan Firman pengharapan bagi yang dikecualikan dan penderitaan, kami bahkan berkomitmen lebih kuat untuk mempromosikan budaya perjumpaan dan dialog, mengenali Tuhan di wajah para migran. Karena yang lebih kuat dari jalan kematian adalah jalan hidup dan cinta.

Roma, 19 September 2018