Saturday, December 29, 2018

MELINDUNGI KRAKATAU (1)


Tulisan ini kubuat seusai ikut trip ke Krakatau bulan Agustus lalu. Karena bencana tsunami Desember ini, dua tulisan ini aku posting supaya dibaca orang lain. Silakan menggunakannya sesuai kebutuhan:

KRAKATAU, PARIWISATA ATAU CAGAR ALAM?
Yuli Nugrahani*


Trip ke Kepulauan Krakatau membawa keberuntungan bagi saya, yang sedang menyusun buku tentang Krakatau. Andai melakukan perjalanan sendiri, tentu tak cukup satu juta rupiah untuk seluruh perjalanan itu. Mengikuti ekskursi Gunung Anak Krakatau dalam rangkaian Seminar Internasional Vulkanologi Krakatau dan Pemanfaatannya di Masa Depan, saya bisa mengikuti kegiatan ini secara gratis.
Seminar internasional (tanpa Negara lain yang terlibat dalam seminar bisakah ini disebut sebagai seminar internasional?) diadakan pada 24 – 25 Agustus 2018 di Randu Palace Hotel Bukit Randu Bandarlampung dengan undangan yang ditandatangani sendiri oleh Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo, M.SI. Hari pertama diisi dengan tiga sesi oleh Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo dari LIPI, Ir. Igan S. Sutawidjaja, M.Sc. dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T. dari ITB, dengan moderator Dr. Ir. Bambang Priadi, DEA dari ITERA.
Di penghujung seminar, diumumkan bahwa trip ke Gunung Anak Krakatau akan diadakan pada hari kedua dengan tujuan Pulau Sebesi dan kemudian memutari Gunung Anak Krakatau. Tidak bisa mendarat di pulau itu karena ijin dari KSDA Lampung (BKSDA Bengkulu) tidak keluar sampai sore itu dan Gunung Anak Krakatau memang sedang dalam kondisi batuk terus terusan, aktif erupsi dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi.
Lalu mengapa keesokan harinya kami semua bisa mendarat di cagar alam Gunung Anak Krakatau, bahkan berjalan sejauh kurang lebih 200 meter melintasi hutan? Saya bilang, saya beruntung karenanya namun juga merasa sedih, kecewa dan marah.
Saya beruntung bisa mendarat di tempat itu. Bahkan ketika perahu yang kami naiki mulai mendekat ke kepulauan aktif itu, saya sudah berdebar-debar senang. Ini seperti bertemu dengan seseorang yang padanya saya sudah menambatkan cinta. Saya sedang menulis buku tentang Krakatau dan baru kali inilah saya mendapatkan kesempatan melihat secara langsung bagaimana gunung ini. Semakin mendekat, semakin saya dapat merasakan cinta itu. Gunung Anak Krakatau tampak kokoh dijaga oleh tiga pulau di sekitarnya: Sertung, Panjang dan Rakata. Tenang berdiri di tengah lautan yang kebetulan sangat teduh dan tidak tinggi ombaknya. Sesekali dalam rentang yang tak dapat diprediksi Gunung Anak Krakatau erupsi, mengeluarkan awan hitam panas yang memutih di bagian atasnya karena persentuhan dengan atmosfir yang dingin di atas. Ini adalah gunung yang sangat indah.
Saya beruntung bisa merasai pasir hitamnya yang hangat. Saya bilang: Pulau ini, gunung ini menyimpan energi yang luar biasa. Saya menjadi berkobar-kobar karenanya. Bukan hanya karena kokohnya, menjulang dan semakin tinggi, tapi ini adalah tempat yang cantik. Beberapa jenis tumbuhan, binatang terus bertumbuh menjadi ‘kalung’ di kaki dan lerengnya, menjadi penghias bagi tubuhnya yang terus berdentum, batuk.
Saya beruntung karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti ini. Bahkan tanpa rencana bisa menapaki pulau dimana terletak kekayaan alam dunia, yang pernah meletus hebat beberapa kali bertahun silam memberi dampak bagi seluruh dunia.
Rasa beruntung itu saya optimalkan dengan bertahan di sekitar pasir pantai di kaki Gunung Anak Krakatau menggunakan pancaindera. Saya awas pada bunyi dentuman yang muncul setiap beberapa menit. Saya akan segera melihat melintasi ranting-ranting tanaman dan melihat kepulan di puncak sana. Saya merasai air pantai yang beradu dengan pasir hitam yang hangat. Saya mengamati tumbuh-tumbuhan juga serangga yang ada di sekitarnya. Dan mau tak mau muncullah air mata itu ketika pengamatan seksama itu saya lakukan.
Di sepanjang pantai terserak botol plastik, sampah-sampah yang tak mungkin berasal dari dalam perut bumi. Aihdah kidah. Bagaimana mungkin cagar alam yang didatangi orang secara terbatas pun mengalami seperti itu? Saya sedih melihatnya. Prof. Tukirin, yang sejak menginjakkan kaki di pulau ini bersama kami terlihat seperti tertekan. Entahlah, mungkin itu hanya asumsi saya. Saya melihatnya memungut beberapa sampah plastik, namun seperti dilakukan tanpa fokus, juga tidak diikuti oleh seluruh peserta. Malah sebagian besar tampak tak peduli dengan hal itu. Seluruh suasana dan situasi itu membuat saya sedih.
Tentu saja saya beruntung bisa datang di tempat itu, tapi saya juga kecewa. Bahkan sampai beberapa detik sebelum kapal menambatkan jangkar, saya masih percaya bahwa rombongan yang dikoordinir oleh Dinas Pariwisata Propinsi Lampung ini hanya akan memutari Gunung Anak Krakatau dan kami akan mengamati gunung itu dari atas kapal. Sehari sebelumnya, beberapa orang yang ikut dalam rombongan mengatakan kecewa karena diumumkan bahwa BKSDA tak memberi ijin untuk masuk pulau. Saya bilang: Saya senang karena ijin tidak keluar dan setuju dengan BKSDA. Jangan sampai ijin itu keluar. Kita tak punya kepentingan apapun untuk masuk ke pulau.
Toh akhirnya peserta bisa mendarat di Pulau Anak Krakatau. Walau kemudian dibungkus dengan pengantar bahwa kunjungan ini melanjutkan study yang sudah dimulai dalam seminar sebelumnya, tak semua peserta mempunyai pemahaman atau tujuan yang sama.
Saya marah karena perkara yang serius seperti ini bisa dimainkan entah oleh apa. Sore jelas masih diumumkan dan dikatakan bahwa tak ada ijin untuk masuk kawasan. BKSDA jelas mengawal proses seminar dan perjalanan ini. Dalam seminar dikatakan bahwa tak ada ijin untuk masuk pulau, namun kemudian paginya semua orang bisa masuk tanpa kecuali, tanpa penjelasan tentang tujuan dari tiap person yang ikut, bahkan dipandu oleh para narasumber yang hmmm… dengan wajah tidak terlalu gembira (atau tertekan? Entahlah.) Tak ada syarat bagi pengunjung yang boleh masuk mengikuti para ilmuwan itu. Dan tak ada persiapan keamanan apa pun.
Seminar dan ekskursi ini belum bisa menyimpulkan bahwa taman wisata alam adalah yang terbaik bagi pemanfaatan Krakatau di masa depan. Bagi saya, pariwisata harus dikemas tanpa merugikan semua pihak, khususnya tak boleh merugikan kekayaan Lampung dan dunia seperti Krakatau. Karena banyak alasan, Krakatau itu adalah sumber ilmu biologi, geologi, fisika dan sebagainya. Karena banyak alasan, Krakatau itu memberikan resiko yang besar bagi pengunjung tanpa persiapan. Karena banyak alasan, Krakatau itu harus dilestarikan untuk tetap memberikan fungsi selama-lamanya bagi dunia.
Jika memang pariwisata Lampung harus mengetengahkan Krakatau, pemikiran serius harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek itu. Membebaskan semua orang datang ke Krakatau bukan cara yang bijaksana karena menginjak satu biji pinus pun akan berpengaruh bagi suksesi alam, apalagi dengan meninggalkan segala macam sampah di sana. Terlebih dengan resiko tinggi yang mungkin muncul karena pengunjung tak cukup paham tentang Krakatau dan karakteristiknya.***

*Yuli Nugrahani adalah cerpenis Lampung, dari Jaringan Perempuan Padmarini yang fokus pada bidang gender dan lingkungan hidup.

No comments:

Post a Comment