Ini tulisan yang kedua:
KEPULAUAN
KRAKATAU BELUM LAYAK MENJADI TUJUAN WISATA ALAM
Yuli
Nugrahani*
Ekskursi Gunung Anak Krakatau dilakukan
pada Sabtu, 25 Agustus 2018 dalam rangkaian Seminar Internasional Vulkanologi
Krakatau dan Pemanfaatannya di Masa Depan, pada 24 – 25 Agustus 2018 di Randu
Palace Hotel Bukit Randu Bandarlampung. Kegiatan ini melibatkan narasumber
Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo, peneliti dari LIPI yang sering disebut sebagai
King of Krakatoa, Ir. Igan S. Sutawidjaja, M.Sc. dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, dan Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T. Institut
Teknologi Bandung, dengan moderator Dr. Ir. Bambang Priadi, DEA dari Itera.
Kunjungan ke Kepulauan Krakatau dimulai dari Pulau Sebesi membuat saya
mengambil kesimpulan yang saya gunakan sebagai judul tulisan ini.
Kepulauan Krakatau belum (tigak) layak
menjadi tujuan wisata alam atau geowisata atau apa pun dengan istilah wisata.
Dari mana kesimpulan ini bisa ditarik? Saya mengacu pada apa yang saya lihat
dan amati di kawasan itu saat ikut dalam ekskursi tersebut. (Perlu diketahui,
perjalanan ke Krakatau itu berubah jadwalnya, yang semula direncanakan hanya
memutari Gunung Anak Krakatau melakukan pengamatan dari atas kapal, ternyata
memberikan kesempatan kapal untuk mendarat dan peserta bisa menginjakkan kaki
di Pulau Anak Krakatau yang gunungnya sedang sangat aktif dengan erupsi terus
menerus dalam beberapa bulan terakhir ini.)
Kepulauan Krakatau yang terletak di
Selat Sunda sekarang ini berstatus cagar alam dan cagar alam laut masuk dalam
wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Kawasan ini
berada di bawah mengelolaan BKSDA Bengkulu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage Site. Kawasan ini mempunyai
luas 13.735 Ha terdiri dari Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang dan
lautan yang di sekitarnya. Sebagai cagar alam, hanya kegiatan tertentu saja
yang diperbolehkan yaitu: penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, penyerapan dan
penyimpanan karbon dan pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang
budidaya dengan menggunakan tumbuhan atau satwa liar.
Untuk masuk kawasan ini, setiap calon pengunjung harus mendapatkan Surat
Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) yang diterbitkan oleh BKSDA Bengkulu
atau Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem di Jakarta.
Di dalamnya termuat kewajiban pemohon dengan tandatangan di atas meterai. Dan
harus diingat, seluruh kegiatan apa pun yang dilakukan oleh pemohon harus
mendapatkan pendampingan dari petugas.
Dengan demikian tidak sembarang orang
bisa masuk ke dalam kawasan, terlebih orang-orang yang tidak paham peran cagar
alam atau cagar alam laut bagi dunia dan tidak mendapatkan surat ijin. Selama
masih dalam status Cagar Alam, orang-orang harus taat pada standar yang
diterapkan oleh lembaga terkait, tidak bisa begitu saja masuk ke dalamnya
secara illegal atau sembunyi-sembunyi, yang memungkinkan cagar alam menjadi
rusak dan menghilangkan beberapa fungsinya.
Trip ke Gunung Anak Krakatau yang
dilakukan pada hari kedua seminar dalam rangkaian Festival Krakatau menjadi
salah satu cara untuk mendapatkan dukungan terhadap Krakatau sebagai destinasi
wisata. Propinsi Lampung sudah mengusulkan untuk mengubah sebagian kawasan
cagar ala mini menjadi taman wisata alam sejak beberapa tahun lalu. Hadir
kelompok-kelompok yang dekat dengan kepariwisataan Lampung dalam seminar ini.
Sayangnya, pengantar dari petugas BKSDA di lokasi maupun materi-materi dari
seminar sehari sebelumnya tidak memberi banyak arti dalam perilaku pengunjung
saat ekskursi berlangsung.
Pertama, sampah plastik berceceran di
sepanjang pantai. Saya tidak ikut masuk ke kawasan hutan karena saya merasa
tidak ada kepentingan ke sana. Semoga plastik-plastik itu tidak terserak juga di
hutan, yang menjadi sumber ilmu berbagai cabang. Tapi di pantai berpasir hitam
yang indah itu, terserak plastik-plastik atau benda-benda tidak ramah alam
entah baru atau lama yang jelas akan merusak keindahan dan keberlangsungan
hidup Krakatau.
Kedua, tidak semua pengunjung punya
tujuan yang diperbolehkan di kawasan ini. Mereka masuk bahkan tanpa tujuan,
melihat-lihat, selfi, dan kemudian
memamerkan di medsos tanpa keterangan yang cukup tentang keberadaan mereka di
Krakatau. Tidak ada peran pendidikan atau peningkatan kesadartahuan konservasi
alam yang signifikan ingin dilakukan oleh mayoritas pengunjung. Pengantar dari
petugas BKSDA dan narasumber tidak memberi pengaruh yang cukup untuk sampai
pada kesadaran tersebut.
Ketiga, tidak ada fasilitas pengaman yang
cukup untuk melindungi keselamatan pengunjung, khususnya para peserta ekskursi
yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Propinsi Lampung ini. Saya tidak yakin
semua peserta punya asuransi perjalanan, tidak ada jaminan keselamatan kapal
walau semua diharapkan memakai pelampung (satu kapal sempat tertinggal karena
ada mesinnya mogok. Bayangkan jika kapal ini mogok saat sandar di Pulau Anak
Krakatau), tidak ada perlindungan apapun yang ditawarkan saat mendarat di Pulau
Anak Krakatau padahal gunung ini sedang sangat aktif. Erupsi terjadi tidak
teratur dalam rentang sekian menit yang acak. Bahkan kemudian peserta diajak
berjalan melintasi hutan sekitar 200 meter tanpa syarat apa pun tentang siapa
yang boleh ikut atau tidak. Misalnya syarat alas kaki yang boleh digunakan,
pakaian, kesehatan, ketersediaan tempat berlindung andai ada letusan besar,
perubahan arah angin dan sebagainya.
Keempat, tak ada fasilitas publik yang
memadai misalnya tempat membuang sampah, toilet, penyedia kebutuhan penting dan
sebagainya. Pengunjung yang paham pasti sudah bisa melakukan antisipasi
tindakan bijaksana, tapi tanpa syarat pengunjung, hal ini membuat resiko
pengunjung bertambah.
Kawasan kepulauan Krakatau adalah tempat
yang indah. Semua orang punya hak untuk menikmatinya, bukan hanya generasi
sekarang ini, tapi juga generasi nanti dan dari berbagai kalangan tanpa kecuali
karena inilah kekayaan alam kita. Namun, tanpa persiapan untuk tetap melindungi
Krakatau maupun pengunjungnya, penerapan Krakatau sebagai tujuan wisata jelas
tak bisa dilakukan. Mengubah status cagar alam sebagai cara untuk menambah
jumlah pengunjung juga bukan cara yang bijak dan aman. Memperkuat dukungan
terhadap kerja BKSDA adalah salah satu cara, supaya mereka bisa konsisten
menerapkan standar kunjungan umum ke kawasan ini. Dengan sumber daya manusia
dan uang yang minim mereka sudah berusaha menjadi pagar bagi kawasan ini. Namun
patroli 24 jam pun belum bisa mereka lakukan apalagi menjaga keseluruhan asset
yang ada dalam keindahan Krakatau sehingga pasti ada saja pengunjung illegal
yang datang.
Dengan seluruh situasi seperti itu,
masihkan akan dipaksakan perubahan beberapa daerah dalam Kawasan Krakatau
sebagai taman wisata alam? Tidakkah lebih baik mempersiapkan Pulau Sebesi
sebagai daerah wisata untuk menikmati Krakatau sekaligus mengembangkan
masyarakat di sana? Tidakkah masih perlu kajian lebih lanjut dari seminar
internasional (yang perlu dikoreksi karena seminar rupanya tidak melibatkan
Negara lain untuk memenuhi syarat sebagai seminar internasional) yang sudah
diadakan ini? Mestinya dibuat cara kreatif yang aman bagi kepariwisataan di
Lampung ini khususnya tentang Kepulauan Krakatau sehingga sebagai kekayaan
dunia Krakatau tetap terjaga, pun demikian dengan para pengunjung yang ingin
menikmatinya. ****
*Yuli Nugrahani adalah
cerpenis Lampung, dari Jaringan Perempuan Padmarini yang fokus pada bidang
gender dan lingkungan hidup.
No comments:
Post a Comment