Monday, March 12, 2018

Devin Nodestyo dengan JOHN THE BANDIT-nya

Judul buku: John the Bandit
Penulis: Devin Nodestyo
Desain cover dan tata letak: Devin Nodestyo
Penerbit: Lampung Literature
Cetakan pertama: Januari 2018
ISBN: 9786021419151

Ini buku kedua dalam tumpukan buku karya penggiat Kober. Buku yang ditulis oleh Devin, berjudul John the Bandit. Devin membuat desain sendiri untuk sampulnya. Pastilah dia sudah mempertimbangkan dengan matang desain yang dipilihnya ini. Judulnya serem: JOHN THE BANDIT. Ini mengingatkanku pada buku komik yang dulu pernah kubaca seperti Lucky Luke. Dan lihatlah, Devin memilih warna dasar pink! Weih. Ini Devin banget deh. Pink yang digoresnya dengan hitam dan coklat tua untuk huruf pada tulisan judulnya.

Warna pink buram untuk buku tentang bandit? Huhuhu... cocok. Apalagi ketika aku sampai pada halaman terakhir novel, halaman 143:

"Kau mau ke mana?" tanya Jean sambil menoleh ke arah John.
"Entahlah. Mungkin akan memulai kehidupan yang baru," jawab John setelah menaiki punggung Donkey.
"Di mana?"
"Di tempat yang paling aman."
Mereka telah di atas kuda.
"Jean, kau belum menjawab pertanyaanku tadi," kata John di atas kuda.
"Pertanyaan yang mana?"
"Apa isi doamu tadi? Kau menyinggungku dalam doamu?"
Jean diam sesaat. "Kejar aku, nanti akan kuberi tahu." katanya kemudian dia menepuk pinggul kudanya. Segera kudanya melaju kencang mendahului kuda John. Mereka saling berkejaran, berlari ke arah matahari jingga. ***

Nah, cocok kan? So sweet banget bagian akhir ini. Dan inilah bagian yang paling kusuka saat membaca novel Devin ini. Iyalah, secara aku ini kan cerpenis romantis, suka sekali membaca yang romantis. Kalau disodori kisah 'seram' petualangan bandit yang dar der dor, dipenuhi luka dan mayat, rasane yo piye gitu. Hehehe...

Tapi Devin berhasil mengulik rasa penasaranku saat memulai membaca novel ini. Selain pink buram dan hitam di sampul, dia meramu kisahnya dengan apik, dari satu langkah ke langkah berikutnya. Kadang mencekam, kadang membuat riang. Kukira Devin memang sudah lulus dari kelas menulis prosa yang digelutinya bertahun-tahun silam. Dan, ingat, Devin ini pelukis. Dia memindahkan kanvasnya pada lembaran-lembaran kertas novel ini. Dengan warna-warni kalimat 'lukisan' yang sah, indah.

Lihat saja paragraf awal novel ini:

Lelaki berkuda itu berhenti di depan gerbang kota Fort Worth. Ia bukan penduduk setempat, melainkan datang dari Arizona. Dari arah yang berlawanan, angin berhembus kencang menggandeng sekawanan awan hitam. Debu-debu berputar di udara lalu lenyap. Sesaat kemudian bulir-bulir hujan mulai turun. Sekumpulan semak belukar bergoyang menyambut kedatangan awan.

Devin melukis dalam novel ini hingga menjadi 'komik' berupa kalimat-kalimat yang mengalir, membentuk alur cerita. Aku berharap dia membuat seri kedua dari John the Bandit ini, dengan kisah yang lain. Dan karena harapan itu, aku jadi menemukan seharusnya Devin membuat judul tertentu di yang menyertai John the Bandit-nya ini.

Memang sih, di bagian akhir seperti yang kutuliskan tadi seolah-olah John sudah bertobat, tidak lagi menjadi bandit. Tapi, memangnya bandit itu benar-benar bisa dimatikan dalam John hanya karena doa nenek penjual bunga,"Semoga kalian diliputi oleh cinta kasihNya."

Aku mengenal banyak bandit, mereka bisa hidup dalam pertobatan sekaligus melipat gandakan jiwa banditnya. Huhuhu... Vin. Yuk ah, buat seri kedua dari si John.

Saturday, March 10, 2018

Puisi Sabtu 18: SANAT IKAN-IKAN karya Hasmidi


SANAT IKAN-IKAN


Suatu sore aku melihatmu sedang memeluk
Sampan pulang
Memanggul tawa anak-anak ikan
Serta memulangkan luka ke tempat senja

Kau juga memungut teduh meski terjaga sebelum subuh
Sebelum ikan pulang ke kampung-kampung
Tubuhmu yang laut itu tak pernah berpesan

Tentang pelancong yang meletakkan kelapa udang
Membuatkan parit besar di samping jalan
Menyusupkan sepasang mata
Tak menyentuh batu-karang

Suatu sore aku juga melihat ikan terpejam
Sehabis mandi air pandan
Lalu dikipasnya bara dan duka terdiam
Di sana mengalahkan angin

Sumenep, 2/3/2018 

---------------


Hasmidi, Alumni PP. Al- Ishlah dan STKIP PGRI Sumenep. Aktif di LKSB Pangestoh Net_Think Community Sumenep, Komunitas Kampoeng Jerami dan Komunitas Seni Nusantara. Bekerja di SMAN 1 BLUTO dan SDK Sang Timur.

Friday, March 09, 2018

Membaca PAYUNG DARA karya Yulizar Fadli Lubay


Judul buku    : Payung Dara
Penulis          : Yulizar Fadli Lubay
Desain cover : Rudiansyah Putra
Tata letak       : Devin Nodestyo
Isi                  : 120 halaman
Ukuran          : 14 X 20 cm
Penerbit         : Lampung Literature
Cetakan I       : Januari 2018
ISBN             : 9786021419168

Sekitar sebulan lalu, tiga buku dari tiga sekawan Kober sampai ke rumahku. Bertumpuk: Kampung Tomo dari Alexander GB, John the Bandit dari Devin Nodestyo dan Payung Dara dari Yulizar Fadli. Hmmm... hmmm... hmmm.... Aku membalik-balik ketiga buku itu. Gembira dan syukur mendominasi perasaanku. Aku lupa apakah aku sudah mengucapkan terimakasih pada mereka atau belum, tapi kemudian buku itu kusurukkan ke dalam ranselku, ketiga-tiganya dan mengikutiku ke mana aku pergi.

Payahnya, waktu membacaku sangat terbatas. Kesempatan membaca baru kuperoleh saat aku nginep beberapa hari di Kemiri, Jakarta beberapa saat yang lalu. Yang terjepit jemariku saat kukeluarkan dari ransel adalah novel dari Yulizar, Payung Dara. Aku tak menyangka butuh waktu yang sangat laammmaaaa untuk menyelesaikan buku ini. Sampai lusuh sampulnya baru bisa kuselesaikan tadi pagi.

Nah, apa yang disajikan oleh novel 120 halaman ini? Iswadi dan Inggit sudah memberikan pujian di bagian depan buku. "Memberi kita sebuah akhir yang tak terduga, yang terasa musykil;"Seekor kucing hitam berjalan lambat.". Sebuah akhir yang memaksa kita memutar ulang seluruh puzzle peristiwa." Demikian dikatakan Iswadi. Di bawahnya ada komentar Inggit,"Bagi yang ingin mengelak dari segala jenis kemonotonan, baik hidup yang monoton maupun kisah-kisah monoton yang dijejalkan televisi setiap harinya, buku ini perlu dibaca."

Aku ingin memberikan pujian juga, tapi tunggu dulu. Novel ini tak boleh dilewatkan hanya dengan pujian. Yulizar harus menerima juga 'kenyataan' yang dialami oleh pembacanya saat menikmati novel ini. Dan, Yulizar sangat tidak beruntung karena aku menerima novel ini di saat sedang mengalami vertigo akut, deadline beberapa kerjaan yang setengah mawut dan kondisi keuangan yang nyaris membuatku kalut. Nah, komentar apa coba yang bisa diharapkan dari pembaca yang seperti itu. Hehehe...

Pertama, memegang novel ini aku kembali ke cara bacaku di sekitar 30-an tahun lalu. Saat aku masih SD tapi curi-curi kesempatan membaca koleksi ibu mulai dari Freddy, Narrow, Christy, Sidney dan lain-lain. Cara bacaku saat itu mirip seperti memindai, membaca cepat tiap halaman, sekilas-sekilas, nah ketika terasa gelenyar muncul dalam satu kalimat, aku akan membaca deretan kalimat sebelum dan sesudahnya dengan lebih cermat, hingga sampai di halaman di mana gelenyar itu hilang lagi. Begitu seterusnya. Bagian mana yang memunculkan gelenyar? Yang secara manusiasi memang membuat gelenyar, seperti dalam novel Yulizar yang ini pada bagian Patria dengan dirinya-sendiri, atau saat Patria berduaan dengan Willy atau Maruli dengan menyebut bagian-bagian tubuh tertentu, atau saat dituliskan tentang jawaban-jawaban atas penasaranku dan sebagainya. Macam tuh.

Kedua, novel ini bisa dikatakan ringkas, menceritakan peristiwa yang terjadi hanya dalam waktu yang pendek. Namun Payung Dara mencakup kisah yang panjang dan bahkan belum selesai. Pembukaannya, sebuah cerita tentang rusa dengan tanduknya. Setahuku, rusa betina tidak bertanduk, tapi Yulizar mengisahkan rusa betina yang bertanduk, tanduk emas hadiah dari rusa jantan. Huhuhu... si jantan yang berkelimpahan tanduk menghadiahkan tanduknya pada betina supaya betina semakin cantik. Huhuhu... (memangnya si betina begitu butuhnya untuk cantik? ih.) Itu menjadi pengantar sebelum Payung Dara masuk ke bab 1 dimana sudah mulai dikenalkan ada dirinya-sendiri yang bisa keluar dan kembali masuk ke tubuh Patria. Pada bagian akhir novel, kisah ini kembali muncul dan membuat diriku-sendiri -nya Patria muncul sebagai musuh. "Menggigit telinga kiriku dan mencekik leherku hingga aku nyaris pingsan." Antara awal dan akhir itu, Payung Dara menyajikan kisah-kisah kecil, sehari-hari, yang biasa dialami oleh seorang Patria dan juga tokoh-tokoh yang lain.

Ketiga, Yulizar membuat deskripsi-deskripsi pada banyak detail dalam novel ini. Sebagian di antaranya terasa absurd. "Aku menunduk memandangi tulisan yang huruf-hurufnya mulai membelah diri." Bacalah sendiri, kalian akan banyak menemukan hal-hal yang absurd dalam novel ini. Hmmm... Kalau sedang kena vertigo, hal-hal yang absurd itu seperti berlipat ganda efeknya. Membuat kepala seperti diputar lalu dijatuhkan untuk kemudian dipungut lagi dengan jari-jari kaki.

Keempat, novel ini sepertinya digunakan oleh Yulizar untuk menuangkan segala hal tentang 'kesukaan-kesukaannya', hmmm mungkin juga kecenderungan-kecenderungannya, wawasan-wawasannya dan sebagainya. Hehehe... maka nama-nama bermunculan, imajinasi-imajinasi, buku-buku, perjalanan dan sebagainya. Jadi, walau novel ini ringkas namun juga penuh berjejalan dengan segala hal seperti itu.

Kelima, maafkanlah kalau aku memakai cara baca seperti yang sudah kukatakan pada poin pertama tadi. Sehingga aku yang sedang vertigo akut, kerjaan mawut dan keuangan yang bikin kalut, tidak bisa menuliskan lagi alur cerita novel ini. Kalian harus baca sendiri supaya tahu alurnya. Ndak usah tanya ke aku. Hehehe...

Nah, bagian terakhir aku mesti katakan untuk Yulizar entah dia baca atau ndak,"Proficiat." Novel pertama ini akan abadi karena sudah dicetak dan tersebar ke tangan-tangan pembaca. Aku menunggu novel berikutnya, dan ingin gembira lagi karenanya. Untuk siapa pun yang lain, aku setuju yang dikatakan Inggit,"Buku ini perlu dibaca." Tak peduli vertigomu sembuh atau kambuh, pekerjaanmu selesai atau bikin lunglai, dan keuanganmu kosong atau plong, bacalah buku ini. Nikmatilah.

Wednesday, March 07, 2018

Leluasa Melewati JENDELA TANPA KACA milik Meisya Zahida


Saya tidak mengenal perempuan penulis puisi-puisi dalam buku ini. Mungkin namanya pernah kulihat selintasan di Facebook atau dalam beberapa antologi puisi bersama. Jadi ketika Fendi Kachonk, seorang penyair dari Sumenep, menghubungi untuk melihat kemungkinan saya menulis sesuatu untuk buku ini, saya bilang : “Saya akan membaca dulu tulisan-tulisannya. Kirimkanlah naskahnya. Jika saya tertarik, saya akan menulis sesuatu.”

Fendi tidak berlama-lama mengirimkan naskah itu tapi saya baru bisa membaca keesokan harinya. Seperti kebiasaan saya membaca puisi, saya akan membaca cepat seluruh naskah. Ini semacam memindai dengan mata dan hati. Yang menjadi ukuran adalah getaran yang muncul atau sandungan yang hadir pada kata, frase atau kalimat. Bukan sebagai sebuah puisi yang utuh atau sebuah buku puisi yang seluruh.
Sandungan yang pertama muncul ada pada puisi pertama berjudul Usai. Puisi ini menjatuhkan saya pada bait yang terakhir pada anak kalimat :
“Sebab jendela sudah tak berkaca.”
Lalu saya menemukan kata jendela di beberapa puisinya. Tidak hanya satu atau dua, tapi lebih. Jendela adalah bagian detail yang kecil pada sebuah ruang, atau rumah atau gedung. Sesuatu yang sangat domestik, dekat, internal, namun penting. Bayangkan kalau sebuah ruang tidak berjendela, pasti akan pengap dan gelap.
Saya tidak biasa membuat kesimpulan-kesimpulan dari puisi atau buku puisi, maka saya akan membebaskan diri mengatakan bahwa Meisya telah menulis apa yang dekat dengan dirinya. Apa yang ada dalam ruang lingkup hidupnya. Siapa pun melakukan hal ini saat menuliskan puisi. Bahkan ketika Meisya memakai kata-kata yang luas seperti lautan lepas atau sejenis itu, sama dengan siapa pun, kata itu menunjukkan dirinya, bagian dari kekayaan dirinya.
Saya membatasi diri untuk tidak mengambil puisi yang lain. Jadi marilah mencermati puisi di mana saya mendapatkan sandungan pertama saat membaca buku ini. Lengkapnya seperti ini :

USAI

Bunga-bunga gugur dari kelopaknya
Saat senja menutup cahaya
Ia redam ribuan aroma
Pada retak tanah dan udara
Gelap mengekalkan pekat
Tabir-tabir tak tersingkap
Seperti bibirmu mengatup rapat
,
Kau garisi senyap dengan tanda tak bertempat
Aku kehilangan warna
Memipih hikayat dengan sumbu yang mulai tersumbat
Kunang-kunang memburu waktu
Wajah kita beku
,
Hingga akhir memutus takdir
Untuk ada tak lagi mungkin
Biarkan kita mengucap dusta
Sebab jendela sudah tak berkaca
Kita, hanya lubang kecil
Belajar sembunyi dari yang ganjil

Catatan, 19 Feb '16

         Saya akan membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang bebas lepas dari kalimat yang menjadi sandungan bagi saya itu.

Biarkan kita mengucap dusta
Sebab jendela sudah tak berkaca

        Kalimat ini memberikan jawaban atas pertanyaan : Mengapa kita mengucap dusta? Jendela-jendela sudah tak berkaca. Kita bayangkan kalau jendela tanpa kaca. Ambang jendela akan terbuka lebar saat daun-daun jendela dibuka. Angin akan keluar masuk dengan leluasa. Bukan hanya angin, bahkan daun-daun atau kelopak bunga akan terbawa masuk ke dalam kamar atau ruang. Bahkan burung atau kucing bisa leluasa menyusup ke dalam rumah karena tidak ada kaca. Demikian pula benda-benda dari dalam rumah bisa terlempar keluar tanpa merasakan benturan tanpa mendapatkan halangan.
        Lalu bagaimana jika jendela memiliki kaca? Jendela itu bisa tetap terang benderang andai kaca yang digunakan kaca bening tanpa film. Kaca menjadi penghalang bagi angin dan juga benda-benda untuk melewati jendela, tapi kita masih bisa menangkap cahaya dari luar atau dari dalam ruangan. Kaca menjadi filter, penyaring, yang terpasang pada jendela sehingga ada ‘yang tersaring untuk masuk atau keluar’.
     Jadi kenapa harus berdusta sebab jendela yang ada tanpa kaca? Karena tanpa filter/penyaring? Kenapa dusta bisa menjadi salah satu yang disarankan saat tak ada saringan bagi lajunya angin?
       Ini yang ditunjukkan oleh Meisya, juga dia tulis sebagai penutup puisi di awal buku ini :

Kita, hanya lubang kecil
                Belajar sembunyi dari yang ganjil
               
      Ini adalah pengakuan pada keterbatasan ‘kita’, keterbatasan manusia. Sangat beruntung jika jendela kita memiliki kaca sehingga kita dilindungi dari angin dari badai dari hujan. Tapi kadang kita tak beruntung memiliki ‘pelindung’ semacam itu. Maka kita harus melindungi diri. Maka kalau melihat kalimat terakhir ini, yang dimaksud Meisya sebagai mengucap dusta, itu bukan persis bermaksud seperti ‘berdusta’ atau ‘berbohong’.
          Saya menangkap hal itu seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang lain dengan ‘memakai topeng’. Saat ada malapetaka, senyum yang terpasang di bibir. “Orang lain tak perlu melihat apa masalahku. Kalian cukup melihat senyumku.” Semacam ini. Mengucap dusta itu sama dengan memasang pertahanan diri, membuat diri sadar hanya sebagai lubang kecil, yang selalu belajar dari pengalaman-pengalaman pahit atau manis, termasuk belajar sembunyi dari peristiwa-peristiwa ganjil yang tidak dipahami. Toh tidak harus semua orang tahu yang sedang kita alami kan?
        Saya masih membebaskan diri untuk mengungkap pertanyaan-pertanyaan. Peristiwa ganjil macam apa yang sudah dialami oleh Meisya sehingga dia menulis puisi ini? Malapetaka apa yang digulati oleh hatinya sehingga dia menemukan diri pada titik pembelajaran yang berharga ini? Saya hanya ingin meminta pembaca melihat bait pertama dan kedua dari puisi ini. Mungkin kita bisa mengembangkan ide-ide dari pilihan kalimat Meisya ini.
        Saya ingin kembali pada judul puisi ini. USAI. Tapi mengapa puisi USAI malah diletakkan pada bagian awal dari kumpulan puisi ini? Saya akan memberikan dugaan yang paling sederhana yang bisa saya tangkap. Karena USAI yang ingin dikatakan oleh Meisya bukan ‘usai’ yang berarti titik akhir. Usai yang ingin disampaikan dalam Jendela Tanpa Kaca ini adalah bagian dari satu tahapan yang sudah dilalui, yang sudah memberikan banyak pembelajaran pengalaman.
        Saya yakin, kalau Meisya menambah waktu untuk menekuni puisi-puisi selanjutnya setelah puisi-puisi dalam buku ini, dia akan mendapatkan harta karun dari kedalaman hatinya. Dari lingkungan domestiknya. Dia tak perlu mencari-cari di luar sana, karena laut pun bisa muncul di dalam hatinya.
         Lalu bagaimana mencari alternatif lain saat musim tak tertahan karena ekstrim terlalu dingin dan kuat anginnya sedangkan Jendela Tanpa Kaca membebaskan lubang jendela tetap terbuka? Meisya telah menemukan banyak cara seperti tertuang dalam puisi-puisinya dalam buku ini, seperti seruannya pada Tuhan, Cinta, Pesan Ibu, dan sebagainya.
         Beruntungnya Meisya, saya sedang tidak ingin cerewet untuk mengomentari tulisan-tulisannya, tata bahasa atau ejaannya. Biarlah kedalaman yang dimiliki oleh Meisya pun bebas keluar masuk melalui Jendela Tanpa Kaca, buku pertamanya ini. Dia sudah ‘mengucapkan kata dusta’, sebagai benteng bagi kesadarannya. Sebab untuk fase ini, dia sudah mengetahui yang dimilikinya, yaitu ‘jendela yang sudah tak berkaca’, Jendela Tanpa Kaca. Inilah modal berharga untuk meraup kekayaan semesta tanpa batas, tanpa penyaring.
          Meisya, selamat. Salam dari pulau di seberang sini. Saya senang bisa terlibat dalam bukumu ini. Sekali lagi: Selamat.

Yang Menarik dari Film BLACK PANTHER

Judul: BLACK PANTHER
Tanggal Rilis: 14 Februari 2018 (Indonesia)
Genre: Superhero, Action
Durasi: 134 menit
Rating Usia: 17 tahun ke atas
Sutradara: Ryan Coogler
Pemain: Chadwick Boseman, Michael B. Jordan, Lupita Nyong’o, Danai Gurira, Martin Freeman, Daniel Kaluuya, Letitia Wright, Winston Duke, Angela Bassett, Forest Whitaker, Andy Serkis
Studio: Marvel Studios


Sebenarnya dari beberapa saat lalu pengin nonton Benyamin Biang Kerok, tapi tak ada seorang dewasa pun di rumah yang berminat. "Ibu mau nonton apanya di situ? Males amat." Kata Albert. Bernard yang rela hati mau nemani terpaksa kutolak,"Bernard ndak boleh nonton Benyamin karena itu film dengan tanga D. Kalau sama Bernard harus cari yang tandanya R. Dan lagi, Bernard masih ulangan mid."

Kemarin pas dijemput Albert dari kantor, kubilang,"Nonton yuk Bert. Black Panther deh." Albert langsung okey. Dia mah cemburu aja kalau ibunya nonton Reza Rahardian. Huhuhu... Jadilah kami ngebut ke MBK supaya terkejar jadwal yang tercepat, 15.55. Karena ndak sempat makan sebelumnya, aku ngacir ke restorasi bioskop, milih sesuatu yang bisa kutelan. Albert cemberut saja lihat yang kupesan. "Halah, bu. Milih makanan kayak gitu, mahal pula." Hihihi... no koment dah. Kutahu nanti dia juga yang bakal ngabisin tuh menu.

Nah, film ini keluaran Marvel. Selera Albert banget dah. Tapi toh beberapa kali obrolan kami berdua muncul saat ada hal-hal yang menarik dari film:

1. Black Panther menunjukkan satu tempat tersembunyi di dataran Afrika, sangat primitif karena masih memegang tradisi-tradisi dari suku-suku, namun juga sangat modern karena kota mereka dibangun dengan canggih. Nama kerajaan yang menyatukan suku-suku itu bernama Wakanda dengan penghuni orang-orang Afrika kulit hitam.

2. Black Panther menampilkan pemain mayoritas orang kulit hitam. Ini membuat film Black Panther menjadi luar biasa. Kulit putih ada dua tokoh saja atau hanya figuran saja yang muncul dari film ini.

3. Black Panther mencuatkan keunggulan-keunggulan dari sebuah kerajaan di Afrika lewat tokoh-tokoh perempuan. Jenderal mereka adalah Okoye, seorang perempuan yang kuat. Ada mata-mata bernama Nakia, seorang perempuan yang cantik dan pandai. Adik Raja T'Challa adalah Shuri, seorang perempuan yang genius yang mewujudkan teknologi tinggi di Wakanda dalam hal transportasi, pengobatan, perang dan sebagainya.

4. Black Panther menyajikan idealisme sportif dan fair lewat pertarungan satu lawan satu dalam penentuan raja. Semua orang tunduk pada sportifitas ini dan menghormatinya sebagai tradisi yang luhur manusia. 

5. Black Panther menunjukkan relasi-relasi manusia dalam kelompok kecil, keluarga, komunitas, sebuah kerajaan dan akhirnya juga secara universal dalam hubungan antar negara. Semuanya terkait satu sama lain dalam kepedulian dan solidaritas kemanusiaan. 

Nah, bagian akhirnya cukup keren walau imajinatif banget. Raja Wakanda mengajak adiknya yang genius itu untuk melihat peluang kerjasama antar negara lewat kepentingan sosial dan teknologi. Dan pada adegan-adegan terakhir itu, anak-anak atau orang muda menjadi pintu masuk yang menarik bagi perubahan-perubahan, juga untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan.

Aku dan Albert menikmati film ini. Ndak nonton Reza juga tak apalah. Hehehe... Pas ketemu Ridho (ih, ngapain dia nongkrong di mall sore-sore gitu ya? Entar kukepoin ah. Sama cowok pula. Hayooo...), dia pasti menangkap antusias dari kami berdua. Memang sih akhirnya kami terjebak hujan dengan tangan memegang piring nasi goreng dan mi goreng di teras seberang Umitra, tapi toh tetep asyik juga ya, Bert. Hehehe...  

Saturday, March 03, 2018

Puisi Sabtu 17: AKU INGIN MENULIS karya Suwandi El Musa


AKU INGIN MENULIS


Aku ingin menulis, puisi
Kata-kata tak puitis lagi

Aku ingin menulis, sajak
Imajinasi tak kunjung beranjak

Aku ingin menulis, syair
Naluri kian memdekap nyinyir

Aku ingin menulis, pantun
Batin kerap kali tertegun

Aku ingin menulis, cerita
Lidah tak pernah berhenti berdusta

Aku ingin menulis, prosa
Perasaan semakin hilang rasa

Aku ingin menulis, fiksi
Cinta hanya seutas benci

Aku ingin menulis, sepi
Kau pulang hanya untuk pergi

Aku ingin menulis, februari
Kenangan dalam diam kau nikahi

2018

-------------

SUWANDI EL MUSA, kelahiran Desa Palongan, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep Madura. Aktif mengikuti kegiatan belajar di Komunitas Sanggar Permata, Komunitas Kampoeng Jerami, Forum Belajar Sastra, Taneyan Kesenian Bluto, Kelas Musik dan Rumah Proses. Beberapa puisinya pernah diikutkan dalam beberapa antologi puisi.