Wednesday, March 07, 2018

Leluasa Melewati JENDELA TANPA KACA milik Meisya Zahida


Saya tidak mengenal perempuan penulis puisi-puisi dalam buku ini. Mungkin namanya pernah kulihat selintasan di Facebook atau dalam beberapa antologi puisi bersama. Jadi ketika Fendi Kachonk, seorang penyair dari Sumenep, menghubungi untuk melihat kemungkinan saya menulis sesuatu untuk buku ini, saya bilang : “Saya akan membaca dulu tulisan-tulisannya. Kirimkanlah naskahnya. Jika saya tertarik, saya akan menulis sesuatu.”

Fendi tidak berlama-lama mengirimkan naskah itu tapi saya baru bisa membaca keesokan harinya. Seperti kebiasaan saya membaca puisi, saya akan membaca cepat seluruh naskah. Ini semacam memindai dengan mata dan hati. Yang menjadi ukuran adalah getaran yang muncul atau sandungan yang hadir pada kata, frase atau kalimat. Bukan sebagai sebuah puisi yang utuh atau sebuah buku puisi yang seluruh.
Sandungan yang pertama muncul ada pada puisi pertama berjudul Usai. Puisi ini menjatuhkan saya pada bait yang terakhir pada anak kalimat :
“Sebab jendela sudah tak berkaca.”
Lalu saya menemukan kata jendela di beberapa puisinya. Tidak hanya satu atau dua, tapi lebih. Jendela adalah bagian detail yang kecil pada sebuah ruang, atau rumah atau gedung. Sesuatu yang sangat domestik, dekat, internal, namun penting. Bayangkan kalau sebuah ruang tidak berjendela, pasti akan pengap dan gelap.
Saya tidak biasa membuat kesimpulan-kesimpulan dari puisi atau buku puisi, maka saya akan membebaskan diri mengatakan bahwa Meisya telah menulis apa yang dekat dengan dirinya. Apa yang ada dalam ruang lingkup hidupnya. Siapa pun melakukan hal ini saat menuliskan puisi. Bahkan ketika Meisya memakai kata-kata yang luas seperti lautan lepas atau sejenis itu, sama dengan siapa pun, kata itu menunjukkan dirinya, bagian dari kekayaan dirinya.
Saya membatasi diri untuk tidak mengambil puisi yang lain. Jadi marilah mencermati puisi di mana saya mendapatkan sandungan pertama saat membaca buku ini. Lengkapnya seperti ini :

USAI

Bunga-bunga gugur dari kelopaknya
Saat senja menutup cahaya
Ia redam ribuan aroma
Pada retak tanah dan udara
Gelap mengekalkan pekat
Tabir-tabir tak tersingkap
Seperti bibirmu mengatup rapat
,
Kau garisi senyap dengan tanda tak bertempat
Aku kehilangan warna
Memipih hikayat dengan sumbu yang mulai tersumbat
Kunang-kunang memburu waktu
Wajah kita beku
,
Hingga akhir memutus takdir
Untuk ada tak lagi mungkin
Biarkan kita mengucap dusta
Sebab jendela sudah tak berkaca
Kita, hanya lubang kecil
Belajar sembunyi dari yang ganjil

Catatan, 19 Feb '16

         Saya akan membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang bebas lepas dari kalimat yang menjadi sandungan bagi saya itu.

Biarkan kita mengucap dusta
Sebab jendela sudah tak berkaca

        Kalimat ini memberikan jawaban atas pertanyaan : Mengapa kita mengucap dusta? Jendela-jendela sudah tak berkaca. Kita bayangkan kalau jendela tanpa kaca. Ambang jendela akan terbuka lebar saat daun-daun jendela dibuka. Angin akan keluar masuk dengan leluasa. Bukan hanya angin, bahkan daun-daun atau kelopak bunga akan terbawa masuk ke dalam kamar atau ruang. Bahkan burung atau kucing bisa leluasa menyusup ke dalam rumah karena tidak ada kaca. Demikian pula benda-benda dari dalam rumah bisa terlempar keluar tanpa merasakan benturan tanpa mendapatkan halangan.
        Lalu bagaimana jika jendela memiliki kaca? Jendela itu bisa tetap terang benderang andai kaca yang digunakan kaca bening tanpa film. Kaca menjadi penghalang bagi angin dan juga benda-benda untuk melewati jendela, tapi kita masih bisa menangkap cahaya dari luar atau dari dalam ruangan. Kaca menjadi filter, penyaring, yang terpasang pada jendela sehingga ada ‘yang tersaring untuk masuk atau keluar’.
     Jadi kenapa harus berdusta sebab jendela yang ada tanpa kaca? Karena tanpa filter/penyaring? Kenapa dusta bisa menjadi salah satu yang disarankan saat tak ada saringan bagi lajunya angin?
       Ini yang ditunjukkan oleh Meisya, juga dia tulis sebagai penutup puisi di awal buku ini :

Kita, hanya lubang kecil
                Belajar sembunyi dari yang ganjil
               
      Ini adalah pengakuan pada keterbatasan ‘kita’, keterbatasan manusia. Sangat beruntung jika jendela kita memiliki kaca sehingga kita dilindungi dari angin dari badai dari hujan. Tapi kadang kita tak beruntung memiliki ‘pelindung’ semacam itu. Maka kita harus melindungi diri. Maka kalau melihat kalimat terakhir ini, yang dimaksud Meisya sebagai mengucap dusta, itu bukan persis bermaksud seperti ‘berdusta’ atau ‘berbohong’.
          Saya menangkap hal itu seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang lain dengan ‘memakai topeng’. Saat ada malapetaka, senyum yang terpasang di bibir. “Orang lain tak perlu melihat apa masalahku. Kalian cukup melihat senyumku.” Semacam ini. Mengucap dusta itu sama dengan memasang pertahanan diri, membuat diri sadar hanya sebagai lubang kecil, yang selalu belajar dari pengalaman-pengalaman pahit atau manis, termasuk belajar sembunyi dari peristiwa-peristiwa ganjil yang tidak dipahami. Toh tidak harus semua orang tahu yang sedang kita alami kan?
        Saya masih membebaskan diri untuk mengungkap pertanyaan-pertanyaan. Peristiwa ganjil macam apa yang sudah dialami oleh Meisya sehingga dia menulis puisi ini? Malapetaka apa yang digulati oleh hatinya sehingga dia menemukan diri pada titik pembelajaran yang berharga ini? Saya hanya ingin meminta pembaca melihat bait pertama dan kedua dari puisi ini. Mungkin kita bisa mengembangkan ide-ide dari pilihan kalimat Meisya ini.
        Saya ingin kembali pada judul puisi ini. USAI. Tapi mengapa puisi USAI malah diletakkan pada bagian awal dari kumpulan puisi ini? Saya akan memberikan dugaan yang paling sederhana yang bisa saya tangkap. Karena USAI yang ingin dikatakan oleh Meisya bukan ‘usai’ yang berarti titik akhir. Usai yang ingin disampaikan dalam Jendela Tanpa Kaca ini adalah bagian dari satu tahapan yang sudah dilalui, yang sudah memberikan banyak pembelajaran pengalaman.
        Saya yakin, kalau Meisya menambah waktu untuk menekuni puisi-puisi selanjutnya setelah puisi-puisi dalam buku ini, dia akan mendapatkan harta karun dari kedalaman hatinya. Dari lingkungan domestiknya. Dia tak perlu mencari-cari di luar sana, karena laut pun bisa muncul di dalam hatinya.
         Lalu bagaimana mencari alternatif lain saat musim tak tertahan karena ekstrim terlalu dingin dan kuat anginnya sedangkan Jendela Tanpa Kaca membebaskan lubang jendela tetap terbuka? Meisya telah menemukan banyak cara seperti tertuang dalam puisi-puisinya dalam buku ini, seperti seruannya pada Tuhan, Cinta, Pesan Ibu, dan sebagainya.
         Beruntungnya Meisya, saya sedang tidak ingin cerewet untuk mengomentari tulisan-tulisannya, tata bahasa atau ejaannya. Biarlah kedalaman yang dimiliki oleh Meisya pun bebas keluar masuk melalui Jendela Tanpa Kaca, buku pertamanya ini. Dia sudah ‘mengucapkan kata dusta’, sebagai benteng bagi kesadarannya. Sebab untuk fase ini, dia sudah mengetahui yang dimilikinya, yaitu ‘jendela yang sudah tak berkaca’, Jendela Tanpa Kaca. Inilah modal berharga untuk meraup kekayaan semesta tanpa batas, tanpa penyaring.
          Meisya, selamat. Salam dari pulau di seberang sini. Saya senang bisa terlibat dalam bukumu ini. Sekali lagi: Selamat.

No comments:

Post a Comment