Saya
tidak mengenal perempuan penulis puisi-puisi dalam buku ini. Mungkin namanya
pernah kulihat selintasan di Facebook atau dalam beberapa antologi puisi
bersama. Jadi ketika Fendi Kachonk, seorang penyair dari Sumenep, menghubungi
untuk melihat kemungkinan saya menulis sesuatu untuk buku ini, saya bilang :
“Saya akan membaca dulu tulisan-tulisannya. Kirimkanlah naskahnya. Jika saya
tertarik, saya akan menulis sesuatu.”
Fendi
tidak berlama-lama mengirimkan naskah itu tapi saya baru bisa membaca keesokan
harinya. Seperti kebiasaan saya membaca puisi, saya akan membaca cepat seluruh
naskah. Ini semacam memindai dengan mata dan hati. Yang menjadi ukuran adalah
getaran yang muncul atau sandungan yang hadir pada kata, frase atau kalimat.
Bukan sebagai sebuah puisi yang utuh atau sebuah buku puisi yang seluruh.
Sandungan
yang pertama muncul ada pada puisi pertama berjudul Usai. Puisi ini menjatuhkan
saya pada bait yang terakhir pada anak kalimat :
“Sebab
jendela sudah tak berkaca.”
Lalu
saya menemukan kata jendela di beberapa puisinya. Tidak hanya satu atau dua,
tapi lebih. Jendela adalah bagian detail yang kecil pada sebuah ruang, atau
rumah atau gedung. Sesuatu yang sangat domestik, dekat, internal, namun
penting. Bayangkan kalau sebuah ruang tidak berjendela, pasti akan pengap dan
gelap.
Saya
tidak biasa membuat kesimpulan-kesimpulan dari puisi atau buku puisi, maka saya
akan membebaskan diri mengatakan bahwa Meisya telah menulis apa yang dekat
dengan dirinya. Apa yang ada dalam ruang lingkup hidupnya. Siapa pun melakukan
hal ini saat menuliskan puisi. Bahkan ketika Meisya memakai kata-kata yang luas
seperti lautan lepas atau sejenis itu, sama dengan siapa pun, kata itu
menunjukkan dirinya, bagian dari kekayaan dirinya.
Saya
membatasi diri untuk tidak mengambil puisi yang lain. Jadi marilah mencermati
puisi di mana saya mendapatkan sandungan pertama saat membaca buku ini.
Lengkapnya seperti ini :
USAI
Bunga-bunga gugur dari
kelopaknya
Saat senja menutup
cahaya
Ia redam ribuan aroma
Pada retak tanah dan
udara
Gelap mengekalkan pekat
Tabir-tabir tak
tersingkap
Seperti bibirmu
mengatup rapat
,
Kau garisi senyap
dengan tanda tak bertempat
Aku kehilangan warna
Memipih hikayat dengan
sumbu yang mulai tersumbat
Kunang-kunang memburu
waktu
Wajah kita beku
,
Hingga akhir memutus
takdir
Untuk ada tak lagi
mungkin
Biarkan kita mengucap
dusta
Sebab jendela sudah tak
berkaca
Kita, hanya lubang
kecil
Belajar sembunyi dari
yang ganjil
Catatan, 19 Feb '16
Saya akan membiarkan
pertanyaan-pertanyaan yang bebas lepas dari kalimat yang menjadi sandungan bagi
saya itu.
Biarkan kita mengucap
dusta
Sebab jendela sudah tak
berkaca
Kalimat ini memberikan jawaban
atas pertanyaan : Mengapa kita mengucap dusta? Jendela-jendela sudah tak
berkaca. Kita bayangkan kalau jendela tanpa kaca. Ambang jendela akan terbuka
lebar saat daun-daun jendela dibuka. Angin akan keluar masuk dengan leluasa.
Bukan hanya angin, bahkan daun-daun atau kelopak bunga akan terbawa masuk ke
dalam kamar atau ruang. Bahkan burung atau kucing bisa leluasa menyusup ke
dalam rumah karena tidak ada kaca. Demikian pula benda-benda dari dalam rumah
bisa terlempar keluar tanpa merasakan benturan tanpa mendapatkan halangan.
Lalu bagaimana jika jendela
memiliki kaca? Jendela itu bisa tetap terang benderang andai kaca yang
digunakan kaca bening tanpa film. Kaca menjadi penghalang bagi angin dan juga
benda-benda untuk melewati jendela, tapi kita masih bisa menangkap cahaya dari luar
atau dari dalam ruangan. Kaca menjadi filter, penyaring, yang terpasang pada
jendela sehingga ada ‘yang tersaring untuk masuk atau keluar’.
Jadi kenapa harus berdusta sebab
jendela yang ada tanpa kaca? Karena tanpa filter/penyaring? Kenapa dusta bisa
menjadi salah satu yang disarankan saat tak ada saringan bagi lajunya angin?
Ini yang ditunjukkan oleh
Meisya, juga dia tulis sebagai penutup puisi di awal buku ini :
Kita, hanya lubang
kecil
Belajar sembunyi
dari yang ganjil
Ini adalah pengakuan pada
keterbatasan ‘kita’, keterbatasan manusia. Sangat beruntung jika jendela kita
memiliki kaca sehingga kita dilindungi dari angin dari badai dari hujan. Tapi
kadang kita tak beruntung memiliki ‘pelindung’ semacam itu. Maka kita harus
melindungi diri. Maka kalau melihat kalimat terakhir ini, yang dimaksud Meisya
sebagai mengucap dusta, itu bukan persis bermaksud seperti ‘berdusta’ atau
‘berbohong’.
Saya menangkap hal itu seperti
yang banyak dilakukan oleh orang-orang lain dengan ‘memakai topeng’. Saat ada
malapetaka, senyum yang terpasang di bibir. “Orang lain tak perlu melihat apa
masalahku. Kalian cukup melihat senyumku.” Semacam ini. Mengucap dusta itu sama
dengan memasang pertahanan diri, membuat diri sadar hanya sebagai lubang kecil,
yang selalu belajar dari pengalaman-pengalaman pahit atau manis, termasuk
belajar sembunyi dari peristiwa-peristiwa ganjil yang tidak dipahami. Toh tidak
harus semua orang tahu yang sedang kita alami kan?
Saya masih membebaskan diri
untuk mengungkap pertanyaan-pertanyaan. Peristiwa ganjil macam apa yang sudah
dialami oleh Meisya sehingga dia menulis puisi ini? Malapetaka apa yang digulati
oleh hatinya sehingga dia menemukan diri pada titik pembelajaran yang berharga
ini? Saya hanya ingin meminta pembaca melihat bait pertama dan kedua dari puisi
ini. Mungkin kita bisa mengembangkan ide-ide dari pilihan kalimat Meisya ini.
Saya ingin kembali pada judul
puisi ini. USAI. Tapi mengapa puisi USAI malah diletakkan pada bagian awal dari
kumpulan puisi ini? Saya akan memberikan dugaan yang paling sederhana yang bisa
saya tangkap. Karena USAI yang ingin dikatakan oleh Meisya bukan ‘usai’ yang
berarti titik akhir. Usai yang ingin disampaikan dalam Jendela Tanpa Kaca ini
adalah bagian dari satu tahapan yang sudah dilalui, yang sudah memberikan
banyak pembelajaran pengalaman.
Saya yakin, kalau Meisya
menambah waktu untuk menekuni puisi-puisi selanjutnya setelah puisi-puisi dalam
buku ini, dia akan mendapatkan harta karun dari kedalaman hatinya. Dari
lingkungan domestiknya. Dia tak perlu mencari-cari di luar sana, karena laut
pun bisa muncul di dalam hatinya.
Lalu bagaimana mencari
alternatif lain saat musim tak tertahan karena ekstrim terlalu dingin dan kuat
anginnya sedangkan Jendela Tanpa Kaca membebaskan lubang jendela tetap terbuka?
Meisya telah menemukan banyak cara seperti tertuang dalam puisi-puisinya dalam
buku ini, seperti seruannya pada Tuhan, Cinta, Pesan Ibu, dan sebagainya.
Beruntungnya Meisya, saya sedang
tidak ingin cerewet untuk mengomentari tulisan-tulisannya, tata bahasa atau
ejaannya. Biarlah kedalaman yang dimiliki oleh Meisya pun bebas keluar masuk
melalui Jendela Tanpa Kaca, buku pertamanya ini. Dia sudah ‘mengucapkan kata
dusta’, sebagai benteng bagi kesadarannya. Sebab untuk fase ini, dia sudah
mengetahui yang dimilikinya, yaitu ‘jendela yang sudah tak berkaca’, Jendela
Tanpa Kaca. Inilah modal berharga untuk meraup kekayaan semesta tanpa batas,
tanpa penyaring.
Meisya, selamat. Salam dari
pulau di seberang sini. Saya senang bisa terlibat dalam bukumu ini. Sekali lagi: Selamat.
No comments:
Post a Comment