Friday, March 09, 2018

Membaca PAYUNG DARA karya Yulizar Fadli Lubay


Judul buku    : Payung Dara
Penulis          : Yulizar Fadli Lubay
Desain cover : Rudiansyah Putra
Tata letak       : Devin Nodestyo
Isi                  : 120 halaman
Ukuran          : 14 X 20 cm
Penerbit         : Lampung Literature
Cetakan I       : Januari 2018
ISBN             : 9786021419168

Sekitar sebulan lalu, tiga buku dari tiga sekawan Kober sampai ke rumahku. Bertumpuk: Kampung Tomo dari Alexander GB, John the Bandit dari Devin Nodestyo dan Payung Dara dari Yulizar Fadli. Hmmm... hmmm... hmmm.... Aku membalik-balik ketiga buku itu. Gembira dan syukur mendominasi perasaanku. Aku lupa apakah aku sudah mengucapkan terimakasih pada mereka atau belum, tapi kemudian buku itu kusurukkan ke dalam ranselku, ketiga-tiganya dan mengikutiku ke mana aku pergi.

Payahnya, waktu membacaku sangat terbatas. Kesempatan membaca baru kuperoleh saat aku nginep beberapa hari di Kemiri, Jakarta beberapa saat yang lalu. Yang terjepit jemariku saat kukeluarkan dari ransel adalah novel dari Yulizar, Payung Dara. Aku tak menyangka butuh waktu yang sangat laammmaaaa untuk menyelesaikan buku ini. Sampai lusuh sampulnya baru bisa kuselesaikan tadi pagi.

Nah, apa yang disajikan oleh novel 120 halaman ini? Iswadi dan Inggit sudah memberikan pujian di bagian depan buku. "Memberi kita sebuah akhir yang tak terduga, yang terasa musykil;"Seekor kucing hitam berjalan lambat.". Sebuah akhir yang memaksa kita memutar ulang seluruh puzzle peristiwa." Demikian dikatakan Iswadi. Di bawahnya ada komentar Inggit,"Bagi yang ingin mengelak dari segala jenis kemonotonan, baik hidup yang monoton maupun kisah-kisah monoton yang dijejalkan televisi setiap harinya, buku ini perlu dibaca."

Aku ingin memberikan pujian juga, tapi tunggu dulu. Novel ini tak boleh dilewatkan hanya dengan pujian. Yulizar harus menerima juga 'kenyataan' yang dialami oleh pembacanya saat menikmati novel ini. Dan, Yulizar sangat tidak beruntung karena aku menerima novel ini di saat sedang mengalami vertigo akut, deadline beberapa kerjaan yang setengah mawut dan kondisi keuangan yang nyaris membuatku kalut. Nah, komentar apa coba yang bisa diharapkan dari pembaca yang seperti itu. Hehehe...

Pertama, memegang novel ini aku kembali ke cara bacaku di sekitar 30-an tahun lalu. Saat aku masih SD tapi curi-curi kesempatan membaca koleksi ibu mulai dari Freddy, Narrow, Christy, Sidney dan lain-lain. Cara bacaku saat itu mirip seperti memindai, membaca cepat tiap halaman, sekilas-sekilas, nah ketika terasa gelenyar muncul dalam satu kalimat, aku akan membaca deretan kalimat sebelum dan sesudahnya dengan lebih cermat, hingga sampai di halaman di mana gelenyar itu hilang lagi. Begitu seterusnya. Bagian mana yang memunculkan gelenyar? Yang secara manusiasi memang membuat gelenyar, seperti dalam novel Yulizar yang ini pada bagian Patria dengan dirinya-sendiri, atau saat Patria berduaan dengan Willy atau Maruli dengan menyebut bagian-bagian tubuh tertentu, atau saat dituliskan tentang jawaban-jawaban atas penasaranku dan sebagainya. Macam tuh.

Kedua, novel ini bisa dikatakan ringkas, menceritakan peristiwa yang terjadi hanya dalam waktu yang pendek. Namun Payung Dara mencakup kisah yang panjang dan bahkan belum selesai. Pembukaannya, sebuah cerita tentang rusa dengan tanduknya. Setahuku, rusa betina tidak bertanduk, tapi Yulizar mengisahkan rusa betina yang bertanduk, tanduk emas hadiah dari rusa jantan. Huhuhu... si jantan yang berkelimpahan tanduk menghadiahkan tanduknya pada betina supaya betina semakin cantik. Huhuhu... (memangnya si betina begitu butuhnya untuk cantik? ih.) Itu menjadi pengantar sebelum Payung Dara masuk ke bab 1 dimana sudah mulai dikenalkan ada dirinya-sendiri yang bisa keluar dan kembali masuk ke tubuh Patria. Pada bagian akhir novel, kisah ini kembali muncul dan membuat diriku-sendiri -nya Patria muncul sebagai musuh. "Menggigit telinga kiriku dan mencekik leherku hingga aku nyaris pingsan." Antara awal dan akhir itu, Payung Dara menyajikan kisah-kisah kecil, sehari-hari, yang biasa dialami oleh seorang Patria dan juga tokoh-tokoh yang lain.

Ketiga, Yulizar membuat deskripsi-deskripsi pada banyak detail dalam novel ini. Sebagian di antaranya terasa absurd. "Aku menunduk memandangi tulisan yang huruf-hurufnya mulai membelah diri." Bacalah sendiri, kalian akan banyak menemukan hal-hal yang absurd dalam novel ini. Hmmm... Kalau sedang kena vertigo, hal-hal yang absurd itu seperti berlipat ganda efeknya. Membuat kepala seperti diputar lalu dijatuhkan untuk kemudian dipungut lagi dengan jari-jari kaki.

Keempat, novel ini sepertinya digunakan oleh Yulizar untuk menuangkan segala hal tentang 'kesukaan-kesukaannya', hmmm mungkin juga kecenderungan-kecenderungannya, wawasan-wawasannya dan sebagainya. Hehehe... maka nama-nama bermunculan, imajinasi-imajinasi, buku-buku, perjalanan dan sebagainya. Jadi, walau novel ini ringkas namun juga penuh berjejalan dengan segala hal seperti itu.

Kelima, maafkanlah kalau aku memakai cara baca seperti yang sudah kukatakan pada poin pertama tadi. Sehingga aku yang sedang vertigo akut, kerjaan mawut dan keuangan yang bikin kalut, tidak bisa menuliskan lagi alur cerita novel ini. Kalian harus baca sendiri supaya tahu alurnya. Ndak usah tanya ke aku. Hehehe...

Nah, bagian terakhir aku mesti katakan untuk Yulizar entah dia baca atau ndak,"Proficiat." Novel pertama ini akan abadi karena sudah dicetak dan tersebar ke tangan-tangan pembaca. Aku menunggu novel berikutnya, dan ingin gembira lagi karenanya. Untuk siapa pun yang lain, aku setuju yang dikatakan Inggit,"Buku ini perlu dibaca." Tak peduli vertigomu sembuh atau kambuh, pekerjaanmu selesai atau bikin lunglai, dan keuanganmu kosong atau plong, bacalah buku ini. Nikmatilah.

No comments:

Post a Comment