Thursday, October 30, 2014

CERPEN YULI NUGRAHANI

Oleh Adek Alwi

TEKNOLOGI informasi makin canggih dan orang kini dapat mengakses peristiwa apa pun dari manapun, yang tak jarang aneh-aneh, ganjil-ganjil, mendului imajinasi. Hal itu berdampak ke sastra, ke cerpen. Peran bentuk pada cerpen semakin penting, dan pengarang pun ditantang menemukan cara atau seni bercerita yang lebih agar cerpen tetap memikat-menarik dibaca.

Dengan demikian, tetap dapat diterima atau tetap bisa menarik cerpen yang berangkat dari realitas atau dari konflik sosial, atau peristiwa politik yang kita lihat/hadapi sehari-hari, asal cerpen itu tak hadir biasa saja atau sebutlah macam potret. Tapi melalui cara bercerita yang “lebih” itu, yang membuat kita/pembaca tak terpaku hanya ke yang tersurat. Dengan begitu pula, kita/pembaca dihargai; yang lahir-berkembang di pikiran kita bebas memaknai. Nah, di titik ini cerpen itu pun berjaya memenuhi sifat karya sastra yaitu ambiguitas.

Saya menangkap ke arah itu Yuli Nugrahani melangkah dengan “Daun-daun Hitam” (Indepth Publishing, Agustus 2014); Kumpulan Cerpen Yuli Nugrahani dan Sketsa Dana E Rachmat. 12 cerpen Yuli di kumpulan ini umumnya berangkat dari peristiwa sosial, politik, yang biasa kita dengar/jumpai di negeri ini. Tapi cerpen-cerpen itu tak dihadirkan macam potret. Pengarang terkesan menumpukan pergulatan kreatif ke cara atau pada seni bercerita. Dengan lain kata bukan “apa” (isi)-nya yang ditonjol/dikedepankan tapi “bagaimana”-nya (menyampaikan isi) itu.

Dan hal senada juga mengemuka pada sketsa-sketsa Dana E Rachmat, yang mendampingi cerpen-cerpen Yuli. Sketsa Dana tidak hadir sekadar penghias atau sebutlah serupa ilustrasi-ilustrasi yang menyertai cerpen-cerpen di majalah terutama di masa lalu, tapi bisa kita sikapi selaku karya mandiri –meski tentu pula dapat membawa imajinasi kita mengaitkan dengan cerpen Yuli yang menyertai/disertainya.
***

MENUMPUKAN pergulatan kreatif ke cara atau seni bercerita, bak mengetuk berbagai pintu. Bagi Yuli Nugrahani di antologi “Daun-daun Hitam” ini, terbuka pintu yang memungkinkan ia mengeksplorasi unsur-unsur yang ada pada cerpen: setting, tokoh, alur, dll. Maka dialog dan setting pun dia jalin begitu rupa, selang-seling ataupun berpadu, saling topang menguatkan. Pun dengan deskripsi suasana; baik suasana di luar diri, juga suasana dalam diri tokoh utama cerita.

Hal demikian misalnya mengemuka di cerpen “Pasien” –juga cerpen satu-satunya yang saya urai pada kesempatan ini terkait cara/seni bercerita; atau sebutlah “Pasien” wakil 11 cerpen Yuli lainnya meskipun masing-masing jelas memiliki perbedaan. “Pasien” dibuka Yuli dengan deskripsi setting (dan dari deskripsi ini hadir suasana), yang ia jalin berselang-seling ataupun berpatu dengan gambaran suasana dalam diri tokoh utama cerita. Seperti ini:

Tak ada ruang resepsionis, juga tak ada seseorang sebagai penerima tamu, sekretaris, atau sejenisnya. Lebih bagus lagi tempat ini terlihat seperti rumah biasa, tanpa plang nama di halaman, tanpa tanda-tanda rumah yang biasa dikunjungi oleh tamu. Aku sedikit lega karena dengan demikian aku tak harus berjumpa orang-orang yang kukenal maupun mengenalku.

Saat menekan bel, jam di tanganku menunjukkan bahwa aku sudah terlambat 15 menit dari waktu yang dijadwalkan. Aku sengaja melambatkan langkah setelah memarkir mobil sekitar dua blok dari rumah ini karena rasa gamang yang menyergap. Keyakinan yang aku pupuk beberapa hari lalu lenyap dalam gelenyar kegelisahan dan kepanikan.

Tapi aku sudah di depan pintu yang terbuka. Senyumnya mengembang, mempersilakan aku masuk....

Dengan cara/seni bercerita seperti itu setidaknya dua hal mengemuka. Satu, perlahan tetapi pasti kita/pembaca dibawa masuk ke suasana; kedua, dari situ mulai muncul pertanyaan. Ya, siapa “aku”? Siapa pula pembuka pintu? Mengapa “aku” mendatangi tempat yang “terlihat seperti rumah biasa” itu? Tapi kita lanjut saja dulu.

Seusai buka pintu, senyum, dan pembuka pintu itu mengajak “aku” ke ruang tengah sambil menawari “teh”, atau “kopi,  atawa “minuman dingin” seraya menyebut nama “aku” (yaitu Adel), cerita pun dilanjutkan Yuli Nugrahani. Dan, lagi-lagi dengan lukisan suasana dalam diri tokoh (reaksi atas sambutan si pembuka pintu), gambaran setting di luar dirinya serta dialog (jawaban atas pertanyaan pembuka pintu itu). Begini:

Aku suka dengan caranya memanggil namaku. Lama sekali orang tidak lagi menyapa namaku begitu saja, tanpa sebutan ibu, madam, atau nyonya di awal nama. Aku diam beberapa saat membiarkan udara tanpa getaran, menyempatkan melihat ruang depan sembari kami lewati pelahan. Ruang tamu sederhana dengan seperangkat kursi rotan, lukisan abstrak bergaya Gogh di sisi utara dan sebuah guci Cina warna biru kobalt dengan beberapa payung di dalamnya. Cahaya redup dari jendela dan ventilasi membuat ruangan itu terlihat sejuk.

Tapi ruang tengah yang dia maksud membuat aku merasa jauh lebih nyaman.

“Teh tawar saja jika tak merepotkan. Terimakasih,” kataku ketika melihat dia tak mengatakan apapun yang lain, langsung menuju meja kecil di sudut ruang....

Nah, kian terdorong kita, pembaca, untuk mengetahui siapa “aku” ini, serta apa urusannya mendatangi tempat yang “terlihat seperti rumah biasa”, beruang tamu “sederhana dengan seperangkat kursi rotan, lukisan abstrak bergaya Gogh” dan lain sebagainya itu –dengan informasi yang bagai sengaja disampaikan selintas-lintas serta dijalin dengan lukisan setting yang menghadirkan suasana tertentu itu.

Dan, memang terus begitu, hingga cerita berakhir. Unsur-unsur cerpen itu dieksplorasi Yuli, ia jalin berselang-seling, atau ia padu, saling topang menguatkan. Tidak terkecuali informasi mengenai kedua tokoh cerita, suasana batin si tokoh utama, tak dijejalkan –tapi ditampilkan bak selintas-lintas bersamaan dengan unsur-unsur lain yang digarap dengan baik. Seperti ini, misalnya:

“Kenapa Adel ingin bertemu denganku?”

Nada suaranya lebih mirip seorang kenalan yang sudah lama tidak jumpa daripada seorang psikiater, atau seperti kata temanku, seorang terapis. Tapi pertanyaan itu tetap saja membuat sepasang ketiakku menjadi panas, gerah basah, juga bagian belakang kepala dan punggungku. Kontras dengan lenganku yang merasa menggigil kedinginan. Aku lihat bulu-bulu tanganku merinding mengikuti perasaan itu.

“Hmmm....”

Aku memutar-mutar pegangan cangkir hingga ada derit antara cangkir dan cawannya. Untuk menghilangkan bunyi itu, yang rasanya memang tidak nyaman, aku mengangkat cangkir dan mendekatkan ke bibir walau aku tidak benar-benar menyeruputnya. Aku mengingat quick-count, kotak-kotak suara, hingar-bingar kampanye, uang-uang, artis-artis.... Kepalaku berdenyut.

“Itu teh dari Kertowono, konon kualitas yang terbaik. Beberapa orang memujinya saat aku kirimi teh itu. Cobalah.”

Aku mencicipi beberapa tetes. Melihat ampas teh mengendap....

Begitulah, maka tatkala cerpen “Pasien” itu berakhir, kita/pembaca, yang asyik oleh pesona suasana dan rasa ingin tahu mengenai tokoh cerita akan mendapat kesimpulan sendiri, alias tak didiktekan pengarang. Dan bagi saya kesimpulan itu kira-kira seperti ini: Hm, perempuan bernama Adel itu adalah politisi yang gagal, yang mengalami stres (tak cuma uang terbuang, hubungannya pun memburuk dengan pasangan), lalu mendatangi psikiater/terapis yaitu Sid. Itu akibat tuntutan sekaligus sistem politik yang tak beres di negeri ini, lebih mengutamakan materi/hura-hura daripada kualitas manusia.
***

KEMBALI ke awal, kalau saja Yuli Nugrahani tak berorientasi pada bentuk penyampaian atau ke cara/seni bercerita bagai saya urai di atas, maka cerpen “Pasien” dan cerpen-cerpen Yuli lainnya dalam kumpulan “Daun-daun Hitam” ini hemat saya akan kehilangan daya tarik atau daya pikatnya. Sebab melalui teknologi informasi canggih sekarang ini kita dapat mengakses berbagai-bagai peristiwa seperti dialami tokoh Adel itu –malah lebih tragis dari itu pun ada, juga yang lebih aneh-aneh plus lucu.

Maka hal itu bagi saya mengisyaratkan, bahwa peran bentuk dalam cerpen kini menjadi kian penting. Pengarang dituntut untuk menemukan cara atau seni bercerita yang lebih, supaya cerpen tetap menarik/memikat dibaca. Dan Yuli Nugrahani telah melangkah ke sana dengan kumpulan cerpennya, “Daun-Daun Hitam”.

Jakarta, Minggu 7.9.2014

Wednesday, October 15, 2014

SETUJU

Lewat satu hentakan lesu
aku lepaskan aliran sungai dari mata
membiarkan kaki-kakinya menyapu
seluruh kisah seluruh warna.

"Pakailah kerudungmu
rambutmu aman dari musuh mengintai
dan ujungnya teman bagi gerakmu."

Aku menyetujui usulnya
melilitkan kerudung pada wajah
menyeka mata dengan ujungnya
dan merenda gerak mengabaikan gerah.

"Bawa lenteramu
jalanmu aman dari sesat
dan lintah pergi dari kakimu."

Aku menyetujui usulnya
dan melangkah
pergi.

Tuesday, October 07, 2014

Sekar Alit, Melantunkan Macapat dalam Bahasa Indonesia

Judul buku : Sekar Alit, Kumpulan Syair Mocopat
Penulis : Abah Yoyok
Cetakan I : Mei 2014
Penerbit : Q Publisher, Depok
ISBN : 978-602-1177-02-0

Buku ini kudapatkan dalam sebuah kesempatan langka, 24 Agustus 2014, usai cara halal bihalal yang diadakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Tangerang Selatan. Datang di acara ini saja sudah membuatku bergembira apalagi mendapatkan bonus buku, Sekar Alit, langsung dari penulisnya, Abah Yoyok.

Buku ini masih tersuruk dalam tas hingga kemudian aku menemukannya saat membongkar tas beberapa waktu yang lalu. Mulai membacanya seperti diingatkan kembali pada kenangan masa kecil, saat hari Kamis atau Jumat ada bundel majalah Panyebar Semangat dan Joyoboyo dilemparkan oleh pak pos ke rumah eyang kungku. Ya, pak Sodi Kartodiwiryo, eyang kakungku, adalah agen untuk dua majalah berbahasa Jawa ini. Karenanya aku beruntung mendapatkan bacaan rutin sejak aku mulai bisa membaca.

Nah, itu yang kurasakan saat aku mulai membaca Sekar Alit. Ah, tidak, aku tak mau membicarakan seluruh halaman buku ini. Aku ingin masuk pada satu bagian Sekar Pocung (hal. 47) berjudul Sedulur Halus. Dalam ingatanku tembang pocung (atau pucung) selalu menggugah senyum karena tema humor atau tebak-tebakan yang ditampilkan. Misal salah satu tembang yang dulu suka kunyanyikan :
                Bapak pucung, dudu watu dudu gunung. 
                Sabamu ing sendhang, 
                péncokanmu lambung kéring. 
                Praptèng wisma, si pucung muntah kuwaya. 

Sedangkan pucungnya Abah Yoyok, aduh serius dan dalam banget. Sedulur Halus mengajak pembaca untuk merenung tentang kelahiran setiap diri, setiap manusia, setiap aku, yang lahir dengan 'saudara-saudara' yang menyertai.

              tiap orang pasti punya dulur halus
             dalam wujud sinar
             dia itu si pendamping
             diam-diam suka bantu diri kita

Ini bait pertamanya. Menjadi penghantar sebelum mengenalkan masing-masing sedulur halus yang dipunyai. Diungkap satu persatu dalam bait-bait berikutnya. Sampai 10 bait. Bait yang terakhir bicara tentang dulur Puser.

               di Utara, si Puser yang hitam itu
               tidak pernah lengah
               akan terus mengawasi
               hasrat serta hajat hidup di dunia.

Ada senyum tersimpul saat membacanya, tapi itu tidak seperti Bapak Pucung yang kulagukan saat masih kelas  SD yang bisa kuteriakkan sambil terbahak berloncatan ke sana kemari. Ini adalah senyum yang hening, yang tenang, yang membuat hati berefleksi. Begitu juga pada Sekar Pocung yang berikutnya Makluk Halus, Abah Yoyok membawa pembaca pada suasana mistis, misteri tanpa melepaskan senyum.

Sekar-sekar yang lain, pun begitu manis, mengalir, mengayun dan mengalun, seperti sejatinya kidung. Aku tak tahu bagaimana seandainya sekar-sekar ini dilagukan dalam ketukan aslinya. Pasti sedikit beda karena Macapat-nya Abah Yoyok ini menggunakan bahasa Indonesia. Nah, mungkin kalau aku ketemu penulisnya, aku akan menuntutnya untuk rengeng-rengeng tembang-tembang ini. Mulai dari Asmaradana, ya Abah Yoyok. Kidung Cinta Kasih itu membuatku 'mumbul' pada ruang semesta. Wah.

Monday, October 06, 2014

Hal Kecil, Penting, Tapi Bukan yang Terakhir

Daun-daun Hitam, sebagai kumpulan cerpen Yuli Nugrahani dan sketsa Dana E. Rahmat, sudah dimulai dari Lampung. Caritas Tanjungkarang menjadi salah satu lembaga penting yang membuat mimpi terlaksana dan mewujudkan penerbitannya bersama Indepth Publishing. Karena penerbitan itu, Daun-daun Hitam menjangkau banyak kota di Jawa (cek http://yulinugrahani.blogspot.com/2014/09/melayang-di-atas-daun-daun-hitam.html) juga di Medan. (Buku ini sudah menjadi diskusi dan hasil diskusi dirangkum dalam resensi buku Analisadaily, Medan. http://analisadaily.com/news/read/daun-daun-hitam-yang-bercerita-tentang-kehidupan/63807/2014/09/14#) Pembaca bisa melihat link lain di blog ini untuk melihat bagaimana Daun-daun Hitam berjalan.

Di satu etape yang kecil, namun tak bisa diremehkan, adalah kembalinya Daun-daun Hitam di Lampung. Kesempatan pertama adalah dalam panggung Sekala Selampung, sebuah tausiyah kebhinekaan yang digawangi oleh Emha Ainun Najib, atau Cak Nun. Di sela aktifitas pelatihan GATK, aku melarikan diri untuk membaca Menuntut Bukti, salah satu cerpen dalam buku Daun-daun Hitam. Sabtu, 20 September 2014, di Lapangan Korpri Lampung, aku bukanlah seorang cerpenis yang baik yang mencoba bersatu dengan Cak Nun, namun aku memakai kesempatan itu sebaik-baiknya untuk mengenalkan Daun-daun Hitam. Ini agak susah dipahami oleh banyak orang, tapi aku sudah melakukannya dengan memasukkan sebagai bagian dari penghayaan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan, yang kebetulan sedang kubuat pelatihannya pada tanggal itu.

Yang berikutnya adalah bedah buku di Asilo Hermelink pada 1 Oktober yang diadakan oleh para mahasiswa dalam KMKL. Bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila itulah aku dan Dana E. Rachmat untuk pertama kali bisa bersanding berbincang tentang Daun-daun Hitam. Ini peristiwa yang menarik karena memang buku ini bukan hanya kumpulan cerpen tapi ini juga buku kumpulan sketsa. Apakah setelah ini Daun-daun Hitam masih akan melanjutkan perjalanannya. Tentu saja. Dan aku akan menumpang di atasnya.



Friday, October 03, 2014

Kandung Makna dari Tempias Hujan Kampoeng Jerami

Judul buku : Antologi Puisi 'Hujan Kampoeng Jerami'
Penulis       : Agus Hariyanto Rasjid, dkk.
Penerbit     : Komunitas Kampoeng Jerami, Sumenep
Terbitan pertama : Juli 2014
ISBN         : 978-602-70227-3-7

Apa yang menarik dari sebuah buku antologi puisi dibandingkan dengan banyak buku antologi puisi yang di Indonesia diterbitkan ratusan buku (atau malah ribuan) dalam satu tahun? Pertama-tama, karena dalam buku itu ada nama Yuli Nugrahani, namaku. Hahaha... jiah. Ya, terus terang aku tak terlalu suka membaca puisi. Aku lebih suka menuliskannya. Dan kalau aku merasakannya demikian, bisa jadi sebagian penyair lain juga merasakan hal serupa. Menulis saja, dan seringkali tidak membacanya lagi apalagi membaca puisi orang lain. Hehehe...

Jadi ada dua puisiku masuk dalam buku Antologi Puisi Hujan Kampoeng Jerami ini. Berjudul : Lengang dan Selang. Dua puisi ini bersanding dengan puluhan puisi-puisi lain dari 30 penyair dari berbagai kalangan di Indonesia maupun luar Indonesia. Ini bagian menarik yang kedua dari buku ini. Para penulisnya terkumpul dari banyak kota di Indonesia maupun luar Indonesia. Yang dari Indonesia pun terbentang dari banyak pulau mulai dari Sumatera hingga Sulawesi. Sedang beberapa penyair lain datang dari Malaysia dan Taiwan. Sebagian merupakan anak negeri ini juga, walau ada beberapa yang penyair negeri Jiran seperti Sazalee Sulaiman dan Ezah Nor.

Yang ketiga, buku ini menarik karena prosesnya diikat oleh kepercayaan yang sangat maya, dari dunia maya, facebook. Naskah dikumpulkan lewat FB, pengeditan dilakukan di sana, diskusi lewat situ juga, bahkan para relawan penggarapnya pun tidak satu kalipun bertatap muka dalam proses pengerjaannya. Hingga buku ini tersebar ke para pembaca, FB pun yang berperan.

Keempat, buku ini menampilkan tema paling sederhana yang setiap waktu menjadi inspirasi puitik siapapun yang sedang menulis puisi, entah dia itu penyair legendaris ataupun pemula, yaitu tentang hujan. Lewat buku ini hujan menjelma menjadi puluhan puisi beragam tema dan warna.  "Untuk menulis hal-hal kecil dan penuh warna dari sekian banyak perbedaan di antara kami semua," Itu dikatakan Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami dalam kata pengantar buku ini. Dan setelah buku ini sampai pada pembaca, mau tak mau, tempiasnya yang sejuk dan basah akan menular para para pembacanya.

Karena aku terlibat di dalamnya, aku paham bagaimana buku ini melalui perjalanan penuh dinamika. Namun karena itu juga aku bisa mencatat di bagian kelima mengapa buku ini menarik. Buku ini diluncurkan dalam sebuah acara yang sederhana di Sumenep dalam perbincangan sastra yang digelar oleh Laksamuda, segerombolan muda penuh semangat dengan mengundang komunitas-komunitas muda. Peluncuran dilakukan bersamaan dengan diskusi buku Daun-daun Hitam pada Jumat, 5 September 2014. Dari maya menjadi nyata. Seperti itulah aku memaknai acara itu. Aku beruntung karena akupun terlibat dalam kegiatan ini sehingga aku bisa merasakan buku ini tidak sekadar buku, tapi Hujan Kampoeng Jerami adalah perjalanan. Perjalanan kepercayaan yang dimulai dari dunia maya namun bisa menyata. Perjalanan ide yang terus mengalir bahkan memercikkan tempiasnya ke segala penjuru. Perjalanan manusia yang coba mendobrak kekuatan dan kemapanan kubu-kubu tokoh sastra, secara sederhana.

Ya, itulah bagian menarik keenam dari antologi puisi ini. Dia akan terus hidup dalam perjalanan mematrikan fungsi dirinya sebagai pintu bagi manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Buku ini sudah terbit, dan akan terbit yang berikutnya dari manusia-manusia pecinta kata dalam Komunitas Kampoeng Jerami. Akan ada dinamika, angin gelombang, tapi tenang saja, senantiasa ada bunga-bunga mekar wangi bahkan berteriak dari perdu atau ilalang. Let see.