Judul buku : Sekar Alit, Kumpulan Syair Mocopat
Penulis : Abah Yoyok
Cetakan I : Mei 2014
Penerbit : Q Publisher, Depok
ISBN : 978-602-1177-02-0
Buku ini kudapatkan dalam sebuah kesempatan langka, 24 Agustus 2014, usai cara halal bihalal yang diadakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Tangerang Selatan. Datang di acara ini saja sudah membuatku bergembira apalagi mendapatkan bonus buku, Sekar Alit, langsung dari penulisnya, Abah Yoyok.
Buku ini masih tersuruk dalam tas hingga kemudian aku menemukannya saat membongkar tas beberapa waktu yang lalu. Mulai membacanya seperti diingatkan kembali pada kenangan masa kecil, saat hari Kamis atau Jumat ada bundel majalah Panyebar Semangat dan Joyoboyo dilemparkan oleh pak pos ke rumah eyang kungku. Ya, pak Sodi Kartodiwiryo, eyang kakungku, adalah agen untuk dua majalah berbahasa Jawa ini. Karenanya aku beruntung mendapatkan bacaan rutin sejak aku mulai bisa membaca.
Nah, itu yang kurasakan saat aku mulai membaca Sekar Alit. Ah, tidak, aku tak mau membicarakan seluruh halaman buku ini. Aku ingin masuk pada satu bagian Sekar Pocung (hal. 47) berjudul Sedulur Halus. Dalam ingatanku tembang pocung (atau pucung) selalu menggugah senyum karena tema humor atau tebak-tebakan yang ditampilkan. Misal salah satu tembang yang dulu suka kunyanyikan :
Bapak pucung, dudu watu dudu gunung.
Sabamu ing sendhang,
péncokanmu
lambung kéring.
Praptèng wisma, si pucung muntah kuwaya.
Sedangkan pucungnya Abah Yoyok, aduh serius dan dalam banget. Sedulur Halus mengajak pembaca untuk merenung tentang kelahiran setiap diri, setiap manusia, setiap aku, yang lahir dengan 'saudara-saudara' yang menyertai.
tiap orang pasti punya dulur halus
dalam wujud sinar
dia itu si pendamping
diam-diam suka bantu diri kita
Ini bait pertamanya. Menjadi penghantar sebelum mengenalkan masing-masing sedulur halus yang dipunyai. Diungkap satu persatu dalam bait-bait berikutnya. Sampai 10 bait. Bait yang terakhir bicara tentang dulur Puser.
di Utara, si Puser yang hitam itu
tidak pernah lengah
akan terus mengawasi
hasrat serta hajat hidup di dunia.
Ada senyum tersimpul saat membacanya, tapi itu tidak seperti Bapak Pucung yang kulagukan saat masih kelas SD yang bisa kuteriakkan sambil terbahak berloncatan ke sana kemari. Ini adalah senyum yang hening, yang tenang, yang membuat hati berefleksi. Begitu juga pada Sekar Pocung yang berikutnya Makluk Halus, Abah Yoyok membawa pembaca pada suasana mistis, misteri tanpa melepaskan senyum.
Sekar-sekar yang lain, pun begitu manis, mengalir, mengayun dan mengalun, seperti sejatinya kidung. Aku tak tahu bagaimana seandainya sekar-sekar ini dilagukan dalam ketukan aslinya. Pasti sedikit beda karena Macapat-nya Abah Yoyok ini menggunakan bahasa Indonesia. Nah, mungkin kalau aku ketemu penulisnya, aku akan menuntutnya untuk rengeng-rengeng tembang-tembang ini. Mulai dari Asmaradana, ya Abah Yoyok. Kidung Cinta Kasih itu membuatku 'mumbul' pada ruang semesta. Wah.
No comments:
Post a Comment