Friday, October 03, 2014

Kandung Makna dari Tempias Hujan Kampoeng Jerami

Judul buku : Antologi Puisi 'Hujan Kampoeng Jerami'
Penulis       : Agus Hariyanto Rasjid, dkk.
Penerbit     : Komunitas Kampoeng Jerami, Sumenep
Terbitan pertama : Juli 2014
ISBN         : 978-602-70227-3-7

Apa yang menarik dari sebuah buku antologi puisi dibandingkan dengan banyak buku antologi puisi yang di Indonesia diterbitkan ratusan buku (atau malah ribuan) dalam satu tahun? Pertama-tama, karena dalam buku itu ada nama Yuli Nugrahani, namaku. Hahaha... jiah. Ya, terus terang aku tak terlalu suka membaca puisi. Aku lebih suka menuliskannya. Dan kalau aku merasakannya demikian, bisa jadi sebagian penyair lain juga merasakan hal serupa. Menulis saja, dan seringkali tidak membacanya lagi apalagi membaca puisi orang lain. Hehehe...

Jadi ada dua puisiku masuk dalam buku Antologi Puisi Hujan Kampoeng Jerami ini. Berjudul : Lengang dan Selang. Dua puisi ini bersanding dengan puluhan puisi-puisi lain dari 30 penyair dari berbagai kalangan di Indonesia maupun luar Indonesia. Ini bagian menarik yang kedua dari buku ini. Para penulisnya terkumpul dari banyak kota di Indonesia maupun luar Indonesia. Yang dari Indonesia pun terbentang dari banyak pulau mulai dari Sumatera hingga Sulawesi. Sedang beberapa penyair lain datang dari Malaysia dan Taiwan. Sebagian merupakan anak negeri ini juga, walau ada beberapa yang penyair negeri Jiran seperti Sazalee Sulaiman dan Ezah Nor.

Yang ketiga, buku ini menarik karena prosesnya diikat oleh kepercayaan yang sangat maya, dari dunia maya, facebook. Naskah dikumpulkan lewat FB, pengeditan dilakukan di sana, diskusi lewat situ juga, bahkan para relawan penggarapnya pun tidak satu kalipun bertatap muka dalam proses pengerjaannya. Hingga buku ini tersebar ke para pembaca, FB pun yang berperan.

Keempat, buku ini menampilkan tema paling sederhana yang setiap waktu menjadi inspirasi puitik siapapun yang sedang menulis puisi, entah dia itu penyair legendaris ataupun pemula, yaitu tentang hujan. Lewat buku ini hujan menjelma menjadi puluhan puisi beragam tema dan warna.  "Untuk menulis hal-hal kecil dan penuh warna dari sekian banyak perbedaan di antara kami semua," Itu dikatakan Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami dalam kata pengantar buku ini. Dan setelah buku ini sampai pada pembaca, mau tak mau, tempiasnya yang sejuk dan basah akan menular para para pembacanya.

Karena aku terlibat di dalamnya, aku paham bagaimana buku ini melalui perjalanan penuh dinamika. Namun karena itu juga aku bisa mencatat di bagian kelima mengapa buku ini menarik. Buku ini diluncurkan dalam sebuah acara yang sederhana di Sumenep dalam perbincangan sastra yang digelar oleh Laksamuda, segerombolan muda penuh semangat dengan mengundang komunitas-komunitas muda. Peluncuran dilakukan bersamaan dengan diskusi buku Daun-daun Hitam pada Jumat, 5 September 2014. Dari maya menjadi nyata. Seperti itulah aku memaknai acara itu. Aku beruntung karena akupun terlibat dalam kegiatan ini sehingga aku bisa merasakan buku ini tidak sekadar buku, tapi Hujan Kampoeng Jerami adalah perjalanan. Perjalanan kepercayaan yang dimulai dari dunia maya namun bisa menyata. Perjalanan ide yang terus mengalir bahkan memercikkan tempiasnya ke segala penjuru. Perjalanan manusia yang coba mendobrak kekuatan dan kemapanan kubu-kubu tokoh sastra, secara sederhana.

Ya, itulah bagian menarik keenam dari antologi puisi ini. Dia akan terus hidup dalam perjalanan mematrikan fungsi dirinya sebagai pintu bagi manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Buku ini sudah terbit, dan akan terbit yang berikutnya dari manusia-manusia pecinta kata dalam Komunitas Kampoeng Jerami. Akan ada dinamika, angin gelombang, tapi tenang saja, senantiasa ada bunga-bunga mekar wangi bahkan berteriak dari perdu atau ilalang. Let see.



No comments:

Post a Comment