Monday, September 15, 2014

DI BALIK HUJAN KAMPOENG JERAMI ADA DAUN-DAUN HITAM YANG BASAH



“Sebuah catatan proses agenda”
Peluncuran Antologi Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun Hitam
Oleh: Fendi Kachonk

“Semalam ada berapa hal yang tak aku nikmati, sembari ingin memejamkan mata, ingin terlena dibuai mimpi. Tapi, tak bisa aku kalahkan berapa pikiranku. Agenda yang aku susun hari ini, dan berapa halnya lagi aku tak mengerti datang, timbul lalu tenggelam."
“Hey, Fen!” sapa encing, seorang yang aku tak paham dari mana awalnya mengenali dan dekat sekali. Bekerja di Pos Lenteng, tempat aku ngutang duit, bahkan kadang kantor pos aku jadikan tempat aku singgah, istrihat, makan dan minum serta pernah aku jadikan kantor Pos Lenteng sebagai tempat pertemuan kecil dengan kawan-kawan kala tak menemukan tempat yang gratis saat ada acara ngumpul bareng semacam diskusi.
Jam, 6.23 WIB, aku sudah rapi, dengan berbagai daftar kegiatan hari ini. Tiba-tiba aku merasakan ada sedikit keharuan. Melihat tumpukan buku “ANTOLOGI HUJAN KAMPOENG JERAMI” lalu terbayang semua kejadian, seminggu yang lalu kami mengadakan tiga acara peluncuran buku,”Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-Daun Hitam” kumpulan cerpen seorang kawan dari Lampung.
Perempuan itu kadang aku panggil Yuli Nugrahani, Kadang juga aku panggil Kakak, tapi tak pernah aku panggil dia dengan sebutan mba’ karena aku selalu menganggap kakak, dan kurindukan kakak laki-laki dalam kehidupanku. Maklum kakak dan adikku perempuan. Oleh berapa ingatanku, aku sempat tertegun. Wajah Umirah Ramata, adikku yang ada di Taiwan, Lia Amalia Sulaksmi, Teteh, begitu biasa aku sebut dia. Tangan-tangan mereka yang mampu dan sabar selama ini berproses dengan kami, membangun Kampoeng Jerami dengan semangat, naik turun emosi dan semua luapan kejadian yang sama pernah kami alami.
Lebih kurang dari setengah bulan, aku, Yuli, Lia, dan Umirah memutar dengan cepat proses Buku “ Hujan Kampoeng Jerami” itu proses yang sebelumnya berapa bulan sempat terkendala. Tetapi, semangat yang luar biasa dari mereka membuat buku ini siap. Kemarin tepatnya seminggu yang lalu, aku mengulang kenangan, pada hari : Jum’at, 5 September 2014 kami meluncurkan bukan Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun Hitam. Di tiga tempat itu ada pos kerja yang sangat aku banggakan dengan kegigihan anak muda yang luar biasa semangatnya, aku biasa memanggilnya dengan sebutan “alek” dalam bahasa madura yang bisa diartikan ke Indonesia dengan “adik”. Ferli seorang adik yang mengawal pertemuan pembuka dan sangat takjub, agenda yang akan aku pikir akan sangat kecil tingkat kehadiran peserta malah sampai full dan tak kurang dari 50 orang jadi peserta. Tak kalah membanggakan fasilatator yang menyempatkan diri di mana kesibukannya sangat padat. K. Muhammad Muzammiel El-Muttaqien berkenan hadir dan membuat situasi hangat serta menyehatakan.
Oh, waktu begitu cepat, seminggu yang lalu itu telah berlalu, tinggal kenangan dan kumpulan semangat untuk merenda hari dengan berproses dan belajar terus masih kental di dalam ingatan. ingatan aku juga berputar pada suatu siang, setelah acara di laksamuda Sumenep kami evaluasi dengan sederhana bersama kawan-kawan, “Sukses acaramu, Fen”. Ujar kawan-kawan kepadaku. Dan pada saat itu, setelah berapa saat mengajak Yuli berputar di seputaran kota. Melihat keraton lebih dekat, dan lalu aku harus fokus pada waktu pertemuan kedua di Pondok Pesantren Putri “ Tarbiyatul Banat.” Di hape sudah ada berapa kali miskol, tepatnya telpon yang terangkat oleh K. Ali Faruq. Sesampai di rumah, aku masih mencuri pandang pada wajah Yuli yang masih kerap tersenyum dan siratan letih mulai ada. Tapi, aku memang sangat kejam ketika sudah fokus. “Yuk, Yul. Kamu boleh mandi atau cuci muka sebentar lagi kita berangkat.” Kataku pada Yuli dan Yuli tak ada komentar hanya menuruti. Ih. Maaf ya, Yul. Bisikku dalam hati.
Lalu teringat pada kawanku yang sangat luar biasa dalam membantu aku selama ini. “Sigit, kamu di mana?” Bathinku. Aku SMS Moh Ghufron Cholid. Lalu mereka berdua segera sampai di rumah, Sigit selama ini begitu sangat peka mengambil peran-peran penting yang tak bisa aku lakukan sendiri. Karena memang ketika dalam ruangan, aku tak bisa ada di dua keadaan, moderator dan mengambil dokumentasi. Maka Sigit sangat sigap mengambil peran itu dan memainkannya dengan mulus. Temanku yang satu ini memang luar biasa, dia bisa memahami gerak dan kebutuhanku tanpa aku harus ngomong. Jiwa senimannya yang seorang pelukis, pemusik dan penulis mengasah kepekaannya selama ini. Terima kasih banyak cuy.
Siang itu, dengan rasa yang mulai letih, oleh sebab sebelum masuk pada kegiatan di Sumenep, kami berlima, aku, Yuli, Gufron, Jailani, dan Ferli adikku ini masih juga berdiskusi di Asta Tinggi, membaca puisi dan cerpen dilanjutkan ke Taman Bunga Sumenep dan tentu kami ngopi bareng demi merayakan satu keindahan dengan cara sederhana, lesehan di Taman Bunga.
“ K. Faizi apa bisa rawuh, Fen?” Tanya K. Ali Faruq. Dan, aku mulai kebingungan ada yang lepas dari ingatan untuk mengkomfirmasi ulang ke K. Faizi. Beliau aku sms, aku telpon dan belum ada jawaban. Tapi, selang berapa menit kemudian. “saya sudah siap-siap mau berangkat.” Sms di hape jadul saya memberiku telaga yang bening oleh konfirmasi K. Faizi tersebut.
Aku berjudi dengan waktu, sesegera mungkin acara segera kami mulai, Nyai Ulfah sebagai MC mulai mengatur acara dan memperkenalkan Yuli Nugrahani, Ufron dan Sigit telah bertindak sebagai penyokong keberhasilan acara di sana. Sampai pada sesi acara diskusi dan bedah buku, “Antologi Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun hitam.” Aku memandu. Sambil menunggu kedatangan K. Faizi, aku dan Yuli memberi semangat kepada santri perempuan untuk menulis, menulis apapun, mulai dari sekarang dan jangan ditunda, itu inti dari yang kami sampaikan berdua.
Wow, mataku dan Yuli tak berkedip melihat K. Ali Faruq membacakan puisinya dan sangat luar biasa, aliran energi di ruangan itu jadi hangat sekali. Aku merasakan ada di tempat yang membakar seluruh badanku. Yah, oleh semangat yang buncah. Sekitar 15-20 menit K. Faizi sudah bergabung bersama kami. Beliau dengan lembut, serta humor yang manis memberikan suasana yang luar biasa jadi gurih dan renyah. Waktu terus berlalu. Tak terasa sudah mau magrib. Akhirnya usai sudah agenda. Kami akhirnya berpamitan, terlebih dahulu aku berterima kasih kepada K. Faizi dan akhirnya beliau pamit undur diri lebih awal karena persoalan pesantren yang sudah menunggu beliau. Di Tarbiyatul Banat inilah, dulu aku mengenal K. Faizi,  sewaktu beliau jadi Juri baca Puisi Tingkat Madura dan kebetulan saya jadi di antara pemenangnya. Pada waktu itu, K. Mursyid begitu aktif dan hatiku kembali berbisik. Mari kita gairahkan kembali K. Mursyid. Serupa doa aku lepas dengan memandang langit.
Moncek sudah diselimuti malam, sampai juga di rumahku, Taman Baca Arena Pon Nyonar, taman baca sekaligus tempat aku menulis dan membaca. Yuli sudah aku lihat kuyu, hanya binar matanya masih berbicara, tepatnya, sok kuat dan masih bergairah. Sedang geraknya mulai lamban. Aku meminta Sigit menemaninya. Sedang aku pura-pura menemani Surga hanya untuk sebentar memberi lelap pada mataku. Ah, akhirnya kami dapat telpon dari adikku. Hasmidi Ustad ketua Sanggar Rakyat Merdeka dulu kami berproses bersama di sana. “Kak, Kawan-kawan KKN INSTIKA putri sudah ngumpul. Mariklah mohon dicepatkan rodanya.” Aku tersenyum dengan bujukan manis adikku yang kemari jadi lulusan terbaik di sebuah perguruan tinggi di kotaku ini. Dan, mereka paham, dalam keletihan mereka tak akan mendesakku, kecuali membujukku denganku lembut. Aih. Ah. Lebay kau, Ffen. Biarin. Hehe.
Bukan karena ada Yuli di motorku. Tapi, memang dalam setiap segala suasana, aku biasa menyanyi waktu naik motor, waktu apapun, apalagi saat letih dan capek. Aku biasa menghibur diriku. Inilah cara paling hemat untuk kembali melonggarkan syaraf-syaraf otakku. Dan memang luar biasa, berasa semangat, berasa muda dan lagi, dan yang paling hebat jarak tempuh tak terasakan sama sekali. Sedang yang aku bonceng mungkin telah hidup dengan dunianya. Melamun dan bisa jadi sedang bilang, “Neh, anak kok gila ya?.” Maka, sampai pada tempat itu, tepatnya acara ketiga kami sangat menarik dan sangat tak kalah unik dan menggemaskannya sama dengan dua acara sebelumnya. Yuli jadi magnit, dan pembicaraan mulai soal tulis menulis sama seperti jarum jam yang terus berputar. Bergantian. Hasmidi, Ufron dan Mahasiswi membacakan Kumpulan Puisi Hujan Kampoeng Jerami dan Yuli Membacakan satu cerpennya dari kumpulan cerpen Daun-daun Hitam. Sampai akhirnya Yuli menutupnya dengan pantun yang tak kalah legitnya.
Kami pulang, Jailani, Ufron, Sigit, aku dan Yuli sampai juga di rumahku. Yuli bertanya, “Fen, kita berangkat jam berapa ke Surabya? Yang pasti saya harus sampai di Kediri sekitar jam 8 atau paling telat jam 9 karena aku harus meminta sarapan kesukaanku pada ibu. “Jam 11.30 “. Jawabku. “Oke” kata yuli. “Kalau begitu aku aktifin alarmku ya?”. Tapi, setelah jam 11 malam ke setengah jam selanjutnya tak ada tanda Yuli bangun, dan aku paham pasti dia capek kataku.
Sampai jam 12 malam aku gugah. “Kak, Kak. Jadi pulang malam ini” suaranya parau. “Iya,” katanya. Dia pun keluar dari kamar dengan masih melipat wajah dengan bentuk persegi empat. Aku tersenyum. Di hatiku membantin, kau tak sempat makan nasi jagung, sate madura, dan legen. Tapi, aku juga merasakan keletihan, bagiku. Dan Yuli, mengingat masa muda jadi waktu masih disebut aktifis jalanan, kami akhirnya bergerak ke Prenduan. Yuli dan aku. Sigit dan Ufron melaju dan menerebas dingin desa-desa kami.
“Uiy, Fen!” encing mengagetkan aku. “Melamun saja dari tadi” lanjutnya dan ternyata aku melamun di kantor Pos Lenteng. "Eh, Cing, duitku tak cukup neh, aku hanya ada 150 ribu. Ngutang dulu boleh gak?” kataku pada encing si pegawai Pos itu.
“Boleh, apa yang tidak untukmu, Fen.” Aku tersenyum dan semua mengalir bersama dengan waktu, proses kami baru mulai dari buku Hujan Kampoeng Jerami membuat kami sadar. Bahwa hidup akan selalu terus berlalu, dan aku bagian orang yang tak mau diam tanpa melakukan sesuatu. Aku tak mau menunggu, bergerak dan belajar bersama, tersenyum dan bergembira. Inilah aku. Inilah kami yang sangat bahagia dengan proses sederhana kami. Mari terus menulis. Mari saling mendukung. Tak semudah membalikkan telapak tangan, semuanya butuh proses. Dan kuatlah wahai seluruh teman-temanku.
Demikian, terima kasih untuk semua orang yang telah mendukung Kampoeng Jerami.

No comments:

Post a Comment