Thursday, February 28, 2008

Beri Hormat

Siang ini aku berdiri tegak hormat pada seorang bapak yang datang mengunjungi di kantor. Bapak yang lahir tahun 36 di Yogyakarta. Pak Yitno, dari tahun 74 tinggal di Lampung sebagai transmigran. Janji-janji pemerintah adalah air di dalam tubuhnya yang masih segar walau sudah usur.
"Aku diblenjani. Lihat ini bukti-bukti tanah yang katanya waktu itu diberikan kepada kami." katanya, mewakili belasan orang di daerah Padangcermin, Lampung Tengah. Dia tunjukkan copyan surat dan denah tanah. Tapi kemudian tanah itu rupanya dihaki, dianggap hak dari orang-orang lain suku setempat.
"Aku akan mengusahakan keadilan ini. Tidak, aku tetap memakai cara positif. Aku tidak mau bentrok dengan mereka. Kami ini sama-sama korban pemerintah. Pemerintah yang harus selesaikan demi keadilan kami."
Maka pak Yitno tidak hentinya mendatangi orang-orang pemerintahan. Surat kepada presiden, kepada gubernur, kepada bupati, kepada camat. Dia tunjukkan surat-surat yang menyatakan kehadirannya ditemui oleh wakil pemerintah itu. Dia selalu minta tandatangan di bawah pernyataan singkat setiap ia datang ke sebuah instransi. Walaupun pernyataan dari wakil-wakil pemerintah itu hanya "Sudah datang pada hari ini, pak Suyitno bla bla bla..." Ditutup dengan permintaan,"mohon sabar sedang kami urus". Bertahun-tahun!
"Saya tidak akan ajak teman-teman demo. Tapi saya tidak akan berhenti, Jeng Yuli."
Percakapan tentang tanah 60-an hektar yang sedang diperjuangkannya itu hanyalah salah satu tema.
Sebelumnya bapak ini panjang lebar dengan simpati memuji Nuntius dan melihat manfaatnya bagi pembaca termasuk dia. Disodorkan dua tulisan yang berisikan tanggapan-tanggapannya terhadap beberapa tulisan di Nuntius. Aku berkaca-kaca mendengarnya.
Lalu disodorkan setumpuk lagu-lagu karangannya sendiri yang ditulisnya dalam berbagai musim. Aku membacanya dengan terpana. Lagu-lagu yang dibuat sendiri dengan nuansa Pancasila dan Ketuhanan yang kental. Dia rengeng-rengeng melagukan satu tembang itu, disertai not-not yang dia buat. Astaga!
"Hehehe...lagu-lagu ini sudah diakui pak Camat. Lihat, ini ada tanda tangan persetujuan pak Camat. Aku tidak mau Pancasila hilang dari Indonesia."
Aku pun berdiri tegak di hadapannya. Posisi siap dan menggerakkan tanganku di atas kepala, beri hormat. Untuk Pak Suyitno, pria yang sudah 72 tahun dengan jiwa hidup di dalam raganya.

Cimit

Anak-anak yang bermain petak umpet tiba-tiba diiterupsi seorang anak. "Cimit, cimit! Dia curang. Tidak boleh itu!" Permainan pun terhenti beberapa saat. Perbincangan yang gaduh membahas seberapa besar kecurangan itu terjadi dan seberapa pantas dimaafkan. Setelah itu mereka kembali melanjutkan permainan dengan lebih enak karena masing-masing tahu aturan main yang harus dijalankan.
Cimit atau dulu jaman kecilku istilah yang dipakai jim, adalah break sebentar di tengah permainan. Boleh diminta oleh peserta permainan itu. Biasanya karena alasan mau interupsi seperti anak di atas tadi, atau ada yang karena pengin pipis, dipanggil tiba-tiba oleh orang tuanya, atau alasan yang nakal, ingin curang. Tapi permainan belum berhenti karena jim atau cimit.
Sekarang setelah dewasa, mungkin gak aku cimit ketika melihat kecurangan? Aku juga seorang pemain di kehidupan ini kan? Cimit yang diakui dan kemudian semua bisa menjadi lebih enak karena tidak dirugikan atau merugikan orang lain.
Atau boleh tidak aku cimit karena kakiku berdarah terlalu banyak lari di atas kerikil? Bukan mau berhenti dari permainan tapi hanya ingin istirahat sebentar di tengah permainan untuk melanjutkannya lagi nanti.
Kalau aku ingin cimit entah dari permainan apapun, apakah ada yang bisa memahaminya?

Tuesday, February 26, 2008

Panitia

Menjadi penyelenggara sebuah acara atau membantu penyelenggaraan acara sudah sering aku kerjakan. Tapi menjadi ketua panitia OC untuk raker tahunan FPBN (Forum Pendamping Buruh Nasional) 11-14 Pebruari 2008 di Wisma Albertus Bandarlampung menjadi pengalaman tersendiri. Pasalnya, aku menemukan orang yang tepat pada posisi yang tepat. Hanya tim kecil untuk menggarap ini. Empat orang dengan aku.
Yang aku lalui :
- Membuat jobdesk berdasarkan permintaan dari Tim SC. Jobdesk yang detail per seksi. Ketua OC, Kesekretariatan, Perlengkapan dan Transportasi.
- Menghubungi orang-orang yang aku anggap bisa mengerjakannya. Alhasil ada Caecilia, Bejo, dan Median.
- Mengundang mereka untuk rapat koordinasi. Memberi tawaran-tawaran, menjelaskan detail-detail tugas, dan menegaskan bahwa ketika tim sudah jalan semua harus kerjasama.
Hanya itu. Lalu saat raker berlangsung muncul keributan kecil, ketegangan kecil, kepanikan kecil, mendadak, tiba-tiba dan sebagainya yang tak terduga.
Tapi ini tim yang hebat. Terungkap banyak hal saat evaluasi beberapa hari setelah acara. Mereka mendapatkan banyak hal dari kerjasama tim ini. Energi yang terbangun sungguh positif dan siap dikembangkan.
Iya, jangan hanya berhenti untuk urusan teknis macam begini. Masih banyak urusan lain yang harus dikerjakan. Masih banyak hal yang semrawut kok. Jadi jangan bubar!

Pengalaman Kedua

Pengalaman kedua menjadi salah satu tutor dalam Kuperper di Tanjungkarang hadir pada bulan Pebruari ini, tanggal 16 yang lalu. Masih bidang yang sama seperti tahun lalu, tentang komunikasi pasutri. Aku kira para panitia itu memilih kami, aku dan mas Hendro lebih karena mereka melihat aku sebagai redaktur Nuntius. Orang yang bergelut di bidang media, yang dianggap ahli dalam komunikasi. Mereka tentu saja tidak mengenal detail bagaimana bentuk relasi kami sebagai suami istri. Sesekali mereka melihat bahwa kami sering berdua dalam beberapa acara, berempat dalam beberapa acara atau sendiri-sendiri dalam beberapa acara.
Aku pikir sesuatu yang sangat positif. Hasil dari menjadi tutor pada tahun lalu, relasiku dengan mas Hendro terevaluasi dengan sendirinya. Proses menyiapkan makalah, merancang alur perbincangan dan pembagian tugas penyampaian menjadi proses yang menyenangkan bagi kami berdua. Jadi pengalaman itu bisa diulang.
Soal apa yang kami omongin ke para calon suami istri itu masih standar saja. Ambil dari beberapa buku. Tentang pentingnya komunikasi, bahasa komunikasi, mengelola konflik, dan menyadarinya bersama sebagai bentuk komitmen perkawinan. Dibumbui beberapa sharing pengalaman dan tanya jawab.
Yang mengasyikkan adalah kami berdua jadi lebih relaks. Berbicara dengan mereka membuat kami bisa mengoreksi banyak hal. Dan hehehe...betapa kami mendapatkan lebih banyak dari semua para peserta kuperper itu.

Lingkaran Mimpi

lingkaran mimpi merangkum seperti renda di sekitarku
warnanya cemerlang perak berkilauan
detilnya adalah berlian mayapada bertotol-totol
mengikuti galur batik halimun yang sudah sudah tercetak
tersemat beberapa bunga mawar harum aneka rupa
tersemprot wewangian aroma bidadari

beberapa diantara ribuan sayap mimpi bergetar tiap hari
membuat tubuhku lebih ringan beberapa puluh kilo
sesekali kakiku bisa melesat sekian centi di atas tanah
mengawang ringan tanpa beban gravitasi

kepiluan petang ini membuat aku rindu pantai
membuatku muak kenyang dengan santapan dewi
ingin memuntahkan semua dan kembali lapar

aku ingin makan pasir yang dibawa laut dalam ombaknya
aku ingin minum tinta gurita yang pekat dalam perutnya
aku ingin menapak di jeram perbukitan

aku rindu pada luka-luka perih di tungkaiku
aku ingin kembali terluka supaya aku tahu darahku masih ada

kaki membawaku lari menerobos semak belukar
matanya tajam tahu bahwa disana ada banyak duri
yang akan membuatku menjerit bangun
lepas dari lingkaran mimpi

sesekali

Monday, February 25, 2008

Tersesat

aku tersesat di belantara yang sengaja aku datangi
kegelapan mencekam tanpa matahari
terlihat bayang-bayang daun, batang, bunga di sekitarku
terhirup wanginya, terbayang gerakannya
aku tahu ini indah
tak ku lihat warnanya! astaga!

aku berjalan di belantara ini
berpindah dari satu tempat ke tempat lain
meraba-raba dengan seluruh pancaindera

atau
jangan-jangan ini bukan kegelapan?
jangan-jangan aku yang buta?
astaga!

Tuesday, February 12, 2008

Satu Bolu Kukus

Malam pukul 22.00, perjalanan pulang setelah pembukaan Raker FPBN X, dimana aku jadi ketua panitia OC.
Seorang anak kecil, lebih kecil dari anak bungsuku. Berarti belum lagi empat tahun. Kurus tanpa baju bermain di taman pembatas jalan dekat lampu merah Bunderan Gajah, Bandarlampung. Ketika melihat aku empat beranak berhenti karena lampu merah, dia mendekat. Tangannya mengatung menunjuk-nunjuk Bernard, anak bungsuku yang duduk di tengah. "Aku mau itu!" katanya lirih setengah merengek. Aku lihat tangan Bernard menggenggam bolu kukus coklat yang sedang dimakannya pelan-pelan. Ouh!
Kami berempat terbengong, sedetik, dan detik berikutnya Mas Hendro merogoh-rogoh kantong bajunya mencari bolu-bolu kukus yang tadi diambilnya saat makan malam di susteran.
Ketemu satu, diberikan padanya. Detik berikutnya lampu hijau, dan kami harus melaju.
Dua anakku masih terbengong. Aku menangis. Mas Hendro marah.
Dua anakku heran ada anak-anak yang boleh sendirian di pinggir jalan malam-malam seperti itu. (Mereka tidak boleh keluar malam bahkan hanya di depan rumah apalagi sendirian)
Aku sedih ingat di tasku sebenarnya ada jeruk, permen dan kue, tidak kepikiran untuk memberikannya.
Mas Hendro marah pada polisi di seberang jalan. "Matane picek! Ra ngerti nek ono menungso soro neng tengah ndalan! Ra mikir mbantu apa piye! Coba mikir anake."

Wednesday, February 06, 2008

Rabu Abu

Seperti abu tertabur
begitu tidak berharga

aku hanya bersimpuh
dalam mati raga

dengan setitik asa
semua ada gunanya

Tuesday, February 05, 2008

Laron

Semalam aku berdiri di ambang pintu. Hujan baru reda menyisakan rinai dingin. Tiba-tiba ada kerjap kecil dari ujung jalan.

Seperti bunga terbang dengan getaran ringkih melayang. Tepat di ujung fokus mataku, di tepi binar lampu. Kecil, seperti menjalani upacara tertentu mengitari lampu beberapa kali.
Lalu mukjijat terjadi. Laron kedua, keempat, kedelapan, keenambelas, ketigapuluh dua, keenampuluhempat, keseratusduapuluhdelapan, terus berlipat-lipat seperti dilemparkan dari tanah. Membentuk barisan tak teratur dalam ruang pandangan cahaya. Berkelip, berputar. Sebuah irama berbunyi tanpa genderang. Lembut menggesek udara. Penuh tarian melayang. Ahai......
Tari serimpi secepatnya berubah menjadi tari poco-poco dan bergerak menjadi tari runi yang sebentar kemudian jadi breakdance acak. Beberapa sudah saling tabrak. Lalu secara rutin tabrakan menjadi ritme keindahan. Tabrakan yang ngilu karena meruntuhkan satu atau dua sayap, dan puluhan laron terjun anggun, seperti taburan bunga di makam.
Puluhan bertambah, lebih dari puluhan tertabur. Di tanah menjadi ritual lain. Tubuh telanjang tanpa sayap, kehilangan rupa, berendeng solidaritas. Saling mencari dan kemudian bersama melanjutkan perjalanan ngeri. Sebagian besar mati.
Hanya satu dua hidup berdikari, mendirikan istana baru. Bukan lagi sebagai laron. Tapi menjadi ratu penerus generasi.
Hidup hanya beberapa detik, beberapa menit.

Selebihnya aku tutup pintu, meringkuk di bawah sarung, dan tidur.

Monday, February 04, 2008

Persimpangan

Ada sebuah persimpangan yang selalu aku datangi
menjadi ritual pada malam yang terpejam matanya
biasanya aku berangkat dari rumah dengan rambut basah
bunga tujuh rupa dalam pincuk daun pisang
dupa tujuh wangi yang sudah dibakar
kaki tak berkasut dan berkain parang barong

Aku akan berdiri di tengah persimpangan
hangat oleh pusaran alur berbagai cabang
angin menjadi asmaradana masuk ke cerung telinga
harum bunga dan dupa akan memutar aku menjadi gasing
hingga terangkat dari tanah penuh gairah

Seketika itu tangan-tangan jalan menarikku
ke lorongnya masing-masing berbeda rupa
memberikan tawaran madu dan cerutu
memeluk merayu memaksa memerkosa
membetot seluruh urat otot nadiku

Kekuatan adalah saat aku menyodorkan nampan
menampung semua
dan ketika malam membuka mata
matahari akan menjerang
jadi kristal-kristal bening kering berserat

(Suatu ketika,
saat dingin mengejan dan malam tak juga hendak tidur
aku dapat merebus air dengan beberapa butir kristal
meminumnya, untuk obat sakit
bagi perut yang biasanya mulas
jika rindu dendam
pada persimpangan)