Tuesday, February 12, 2008

Satu Bolu Kukus

Malam pukul 22.00, perjalanan pulang setelah pembukaan Raker FPBN X, dimana aku jadi ketua panitia OC.
Seorang anak kecil, lebih kecil dari anak bungsuku. Berarti belum lagi empat tahun. Kurus tanpa baju bermain di taman pembatas jalan dekat lampu merah Bunderan Gajah, Bandarlampung. Ketika melihat aku empat beranak berhenti karena lampu merah, dia mendekat. Tangannya mengatung menunjuk-nunjuk Bernard, anak bungsuku yang duduk di tengah. "Aku mau itu!" katanya lirih setengah merengek. Aku lihat tangan Bernard menggenggam bolu kukus coklat yang sedang dimakannya pelan-pelan. Ouh!
Kami berempat terbengong, sedetik, dan detik berikutnya Mas Hendro merogoh-rogoh kantong bajunya mencari bolu-bolu kukus yang tadi diambilnya saat makan malam di susteran.
Ketemu satu, diberikan padanya. Detik berikutnya lampu hijau, dan kami harus melaju.
Dua anakku masih terbengong. Aku menangis. Mas Hendro marah.
Dua anakku heran ada anak-anak yang boleh sendirian di pinggir jalan malam-malam seperti itu. (Mereka tidak boleh keluar malam bahkan hanya di depan rumah apalagi sendirian)
Aku sedih ingat di tasku sebenarnya ada jeruk, permen dan kue, tidak kepikiran untuk memberikannya.
Mas Hendro marah pada polisi di seberang jalan. "Matane picek! Ra ngerti nek ono menungso soro neng tengah ndalan! Ra mikir mbantu apa piye! Coba mikir anake."

No comments:

Post a Comment