Siang ini aku berdiri tegak hormat pada seorang bapak yang datang mengunjungi di kantor. Bapak yang lahir tahun 36 di Yogyakarta. Pak Yitno, dari tahun 74 tinggal di Lampung sebagai transmigran. Janji-janji pemerintah adalah air di dalam tubuhnya yang masih segar walau sudah usur.
"Aku diblenjani. Lihat ini bukti-bukti tanah yang katanya waktu itu diberikan kepada kami." katanya, mewakili belasan orang di daerah Padangcermin, Lampung Tengah. Dia tunjukkan copyan surat dan denah tanah. Tapi kemudian tanah itu rupanya dihaki, dianggap hak dari orang-orang lain suku setempat.
"Aku akan mengusahakan keadilan ini. Tidak, aku tetap memakai cara positif. Aku tidak mau bentrok dengan mereka. Kami ini sama-sama korban pemerintah. Pemerintah yang harus selesaikan demi keadilan kami."
Maka pak Yitno tidak hentinya mendatangi orang-orang pemerintahan. Surat kepada presiden, kepada gubernur, kepada bupati, kepada camat. Dia tunjukkan surat-surat yang menyatakan kehadirannya ditemui oleh wakil pemerintah itu. Dia selalu minta tandatangan di bawah pernyataan singkat setiap ia datang ke sebuah instransi. Walaupun pernyataan dari wakil-wakil pemerintah itu hanya "Sudah datang pada hari ini, pak Suyitno bla bla bla..." Ditutup dengan permintaan,"mohon sabar sedang kami urus". Bertahun-tahun!
"Saya tidak akan ajak teman-teman demo. Tapi saya tidak akan berhenti, Jeng Yuli."
Percakapan tentang tanah 60-an hektar yang sedang diperjuangkannya itu hanyalah salah satu tema.
Sebelumnya bapak ini panjang lebar dengan simpati memuji Nuntius dan melihat manfaatnya bagi pembaca termasuk dia. Disodorkan dua tulisan yang berisikan tanggapan-tanggapannya terhadap beberapa tulisan di Nuntius. Aku berkaca-kaca mendengarnya.
Lalu disodorkan setumpuk lagu-lagu karangannya sendiri yang ditulisnya dalam berbagai musim. Aku membacanya dengan terpana. Lagu-lagu yang dibuat sendiri dengan nuansa Pancasila dan Ketuhanan yang kental. Dia rengeng-rengeng melagukan satu tembang itu, disertai not-not yang dia buat. Astaga!
"Hehehe...lagu-lagu ini sudah diakui pak Camat. Lihat, ini ada tanda tangan persetujuan pak Camat. Aku tidak mau Pancasila hilang dari Indonesia."
Aku pun berdiri tegak di hadapannya. Posisi siap dan menggerakkan tanganku di atas kepala, beri hormat. Untuk Pak Suyitno, pria yang sudah 72 tahun dengan jiwa hidup di dalam raganya.
No comments:
Post a Comment