Monday, April 11, 2022

LHHH: Hash di Bebukitan Sekitar Citra Land Sukadanaham Bandarlampung




 Selain ndak rajin ngehash karena beralasan ini itu, aku juga ndak rajin menuliskan yang sudah terjadi. Baiklah, ndak usah janji-janji saja tapi mulai dari yang memang harus dilakukan. Lampung Hash House Harriers (LHHH) Minggu 10 April 2022, mengambil rute di daerah Sukadanaham Bandarlampung dengan meet point di halaman depan kantor pemasaran Citra Land.

Baru datang saja para member tak kuasa menahan hasrat berfoto-foto. Bagian depan perumahan ini memang oke banget untuk dijadiin spot foto entah sendiri atau bersama. Apalagi saat semburat matahari begitu cerah dengan langit warna biru seperti pada Minggu ini.

Disebut sebagai Ramadhan Run, hanya jalur pendek saja yang digunakan oleh tim Hare. Aku ikuti dengan strava sekitar 6 km saja, dengan tanjakan dan turunan yang lumayan mengundang tingginya adrenalin. Ini rute yang sudah biasa digunakan, biasanya mulai dari hutan pinus, naik turun sungai dulu baru masuk ke rute ini. Jadi walau tanjakan bikin ngap dan turunannya bikin terpeleset-peleset, masih lumayanlahhh, karena tidak naik turun sungai. Kadang risih banget harus jalan dengan sepatu dan celana basah kalau di bagian awal rute sudah turun sungai.

Nah, bagusnya, cuaca memang cerah sepanjang perjalanan. Langit biru terang, angin semilir dan melewati jalan-jalan yang cukup rindang. Di beberapa tempat selalu tergoda untuk mejeng dulu, foto dulu, salah satunya sebagai alasan untuk ambil nafas. Pokoknya asyikkk ajaaa.... On on.

Saturday, April 09, 2022

Puisi Sabtu (26): MAKNA LUKA Karya Bartolomeus Budiman

 MAKNA  LUKA


Dulu pikirku....
Luka itu aib juga bencana
Mutlak dihindari pun dijauhi
Tanpa luka hidup ‘kan bahagia sempurna  

Seiring laju waktu merangkai usia terkuak fakta
Kian kuat menghindar, luka makin mendera
Kian jauh kulari melesat darinya
Kian dekat ia menghampiri tiada terkira

Kini terkuak labirin menjelma realita
Tiap luka menyirat sarat makna
Satu demi satu butuh sapa raba bahkan dekap erat
Kurangkul ‘tuk lengkapi nuansa cakrawala  jiwa

Luka ukir warna karakterku
Tiap guratnya pancarkan bias cahaya
Terangi fakta mulia paripurna
Tak satu jua sosok pemenang nirluka jiwa

 

 


Bartolomeus Budiman, salah satu penulis Antologi 'Meaningful Life'; 'Tanah Air Beta'; "Seribu Bait Cinta Sang Guru'; 'Ingin Terus Berjuang'. Tinggal di Bandar Lampung.

Friday, April 08, 2022

Cerita Anak Yuli Nugrahani: STOPI DAN DARA

Ilustrasi diambil dari Google

(Selain buku dongeng tentang Sultan Domas, ini satu-tunya cerita anak yang pernah kutulis. Aku tak ingat pernah mengirimkannya ke media mana karena saat kubaca di bagian bawah tulisan ada penanda nama penulis, no kontak, alamat dan no rekening, seperti kebiasaanku kalau mengirimkan tulisan ke media.)

 Stopi, si lampu perempatan hari ini terlihat sangat sedih. Sahabatnya, si burung dara kelabu bernama Dara,  menggosok-gosokkan paruhnya ke wajah Stopi. Dara bingung mengapa paras lampu merah, kuning, hijau ini tidak cerah seperti biasanya.

“Stopi, ada apa? Wajahmu suram sekali?” Dara bertengger di atas Stopi. Ini kebiasaan yang paling disukai Dara jika sedang tidak mencari makan. Dari atas Stopi, Dara bisa melihat seluruh kesibukan lalulintas perempatan itu.

“Iya, Dara. Aku sedih sekali.” Jawab Stopi dengan lesu.

“Mengapa?”

“Aku tidak lagi dilihat dan diperhatikan oleh orang-orang yang lewat di jalan ini. Lihat. Ketika aku menyala kuning, mereka malah ngebut. Padahal warna kuning sebenarnya tanda persiapan sebelum berhenti. Harusnya mereka berhati-hati dan mulai mengerem kendaraannya. Bahkan ketika aku menyala merah, mereka juga tidak mau berhenti. Sudah beberapa kali ada kecelakaan di sini karena mereka tidak mengindahkan aku. Andai mereka memperhatikan aku, tentu mereka tidak akan celaka. Aku berdiri di sini kan demi kepentingan mereka. Selain itu aku juga tidak pernah dirawat oleh mereka. Lihat, aku penuh debu seperti ini.”

Dara mengangguk-angguk setuju. Stopi kemudian bercerita bagaimana dia dulu mulai berdiri di situ.

“Dulu jalanan ini sepi. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. Sepeda, sepeda motor, mobil atau gerobak. Mereka bisa belok ke kanan atau ke kiri tanpa kuatir,” kisah Stopi mengawali cerita.

“Tapi kemudian jalanan semakin bertambah ramai. Apalagi jika saat pagi saat orang-orang berangkat kerja, anak-anak berangkat ke sekolah, perempatan ini kacau. Semua kendaraan ingin saling mendahului akibatnya malah macet. Kemudian aku pun berdiri di sini. Aku membantu mereka sehingga setiap kendaraan dari semua arah mendapatkan giliran untuk berjalan. Jalan menjadi tertib. Tapi kemudian, saat aku sudah lama di sini, mereka tidak lagi ingat padaku. Jalanan kacau kembali. Lihatlah sendiri, Dara.” lanjutnya.

Kembali Dara mengangguk.

“Kalau begitu, kita harus beri pelajaran kepada mereka, Stopi. Jangan sampai mereka mencelakakan diri mereka sendiri. Kamu berdiri di sini kan demi kepentingan mereka.”

“Bagaimana caranya? Aku sudah berteriak-teriak sepanjang hari tapi mereka tidak mau mendengarkan aku.”

“Aku punya cara.” Dara kemudian berbisik kepada Stopi mengungkapkan idenya. Sebuah rencana untuk memberi pelajaran pada para pengguna jalan.

“Aku setuju.” Kata Stopi sambil tersenyum. Wajahnya menjadi cerah.

Apa yang direncanakan oleh Dara dan Stopi? Rupanya mereka berdua merencanakan untuk memutuskan aliran listrik ke lampu-lampu Stopi saat pagi hari dimana jalan sedang ramai. Dara akan membantu Stopi memutuskan salah satu kabel menjelang pagi tiba besok.

...

Rencana itu pun benar-benar dijalankan oleh Dara dan Stopi. Pagi itu perempatan mulai ramai dengan anak sekolah dan orang berangkat kerja ketika lampu merah, kuning dan hijau tidak berfungsi. Kemacetan luar biasa terjadi dari segala arah. Mereka yang sedang buru-buru masuk sekolah dan bekerja tidak bisa datang tepat waktunya. Kemudian salah seorang dari pengguna jalan itu kemudian menelepon polisi untuk membantu mereka lepas dari kemacetan.

Pak Polisi datang dan sepanjang hari itu membantu mengatur jalan di perempatan itu sehingga dapat berjalan lancar. Tapi hal ini tidak bisa diteruskan karena Pak Polisi juga punya tugas untuk mengatur jalan-jalan lain yang tidak memiliki lampu perempatan. Tidak mungkin Pak Polisi berdiri di situ dari pagi hingga malam.

Maka para pengemudi kendaraan beramai-ramai melihat apa yang salah pada lampu itu. Sebagian dari mereka membersihkan sekitar tiang lampu sehingga tidak ada lagi rumput-rumput. Ada yang memotong dahan pohon di dekatnya yang mengganggu pandangan pada lampu itu. Ada pula yang mengelap lampu-lampu itu sehingga kembali cemerlang.

Salah seorang dari orang-orang itu mengecek lampu-lampu dan kabelnya. Terlihat kabel yang putus itu. Maka kabel yang terputus kembali disambungkan dan lampu itu kembali menyala lebih cerah dan gemerlap karena bersih dari kotoran.

Dari pengalaman itu mereka kembali sadar bahwa lampu perempatan sangat penting bagi mereka. Mereka kembali tertib jika melewati jalan itu dan tidak ada lagi kecelakaan yang terjadi di sana.

Stopi dan Dara sangat senang.

“Sekarang aku bisa menjalankan tugasku dengan nyaman. Dan mereka sekarang menghargai aku. Terimakasih, Dara.” Kata Stopi dengan riang.

“Terimakasih juga. Sekarang aku bisa kembali melihat pemandangan yang indah dari sini.” Kata Dara sambil bertengger santai di atas lampu Stopi. Mereka berdua gembira melihat perempatan jalan yang sekarang rapi dan tertib kembali. *** (2010an)

Thursday, April 07, 2022

Jika ada Kekerasan, Apa yang Harus Dilakukan?

 Saat aku sedang asyik masyuk di depan laptop, aku mesti menghentikan aktifitas itu karena beberapa telpon dari Dinas PPPA Provinsi membutuhkan kontak person di beberapa daerah. Ya, maklum saja, kadang memang aku berperan sebagai call center, asyik-asyik saja itu mah.

Nah, di sela beberapa urusan itu, tiba-tiba sebuah pesan WA masuk. 

"Ibu, bisakah saya telpon? Ada yang ingin saya tanyakan."

Aku menangkap nada darurat dalam pesan ini, jadi aku mengabaikan urusan-urusan lain dan menelpon ibu yang mengirimkan pesan tersebut. Singkat kata, ibu ini bercerita bahwa dia menemui seorang remaja yang menjadi sasaran kekerasan kakaknya. Gadis remaja ini masih sekolah SMA, orang tuanya bercerai, dan dia menjadi pelampiasan emosi kakaknya setiap kali kakaknya itu marah oleh hal apa pun.

"Kasihan, ibu. Beberapa kali dia mengalaminya. Bibir dan wajahnya bengkak. Apa yang harus saya lakukan?"

Beberapa saat otakku selalu beku kalau menerima kisah yang senada. Hal-hal yang harus aku terima dengan lapang dada karena aku memang harus menerimanya. Biasanya aku akan menggali beberapa hal terkait peristiwanya, latar belakang orang-orang yang ada dalam peristiwa itu, pokoknya bertanya terus bertanya sehingga aku mendapatkan gambaran kasar/umum kejadian itu dan orang-orang yagn terlibat di dalamnya.

Tidak selalu tepat, tapi aku memberikan beberapa catatan:

1. Sarankan gadis itu untuk menceritakan pada keluarganya. Jika orang tuanya tidak mungkin menjadi tempat cerita (dalam hal ini bapak tempat dia tinggal sedang sakit parah, dan ibunya sudah menikah lagi dan digambarkan ringan tangan juga), maka dia mesti bercerita pada salah satu keluarga besar yang dia percaya, dia dekat, sehingga dia bisa mendapatkan perlindungan.

2. Untuk sementara waktu karena dia tak bisa membela diri saat kekerasan terjadi, dia harus mendapat perlindungan dari salah satu wali atau keluarga besarnya. Mungkin pindah tinggal sementara. Keluarga ini mesti menjadi pelindung utama, bukan teman atau orang asing. Keluarga harus didorong menjalankan perannya untuk kasus-kasus ini karena di situlah tempat yang paling dekat dan paling bertanggungjawab.

3. Jika memang tak ada keluarga inti atau besar yang bisa membantu, baru kita sarankan dia datang ke lembaga masyarakat atau pemerintah, tentu dengan dampingan kita, orang yang sudah peduli. Mungkin ke UPTD PPA yang paling dekat, atau ke RT/RW yang bisa dipercaya. Masyarakat semestinya punya sistem untuk menghadapi pengaduan-pengaduan seperti ini apalagi jika sampai mengancam nyawa.

4. Hal apa pun yang dipilih untuk dilakukan, selalu dibutuhkan orang yang peduli. Ini yang terus menerus harus dikembangkan ditularkan. Tidak boleh cuek saja ketika mendengar jerit sakit dari rumah tetangga, atau suara-suara tidak biasa. Jika dikerjakan bersama-sama, kasus kekerasan akan bisa diatasi dikurangi, dihilangkan.

Stop kekerasan. 

Wednesday, April 06, 2022

Puisi Yuli Nugrahani: PEREMPUAN TUA DALAM KUBANGAN

 PEREMPUAN TUA DALAM KUBANGAN

Tiba-tiba aku berada pada perjalanan malam
lampu-lampu bergerak melintasi jendela
berseling dengan pucuk kelapa dan atap rumah.
Pikiran menjadi danau penuh keriap waktu
peristiwa demi peristiwa diulang bergantian.
Apakah kau pernah merindukanku seperti ini?
Seolah seluruh semesta menyekat ruang
seakan segala jaman menghentikan kesempatan
hingga tak ada alasan untuk sekilas perjumpaan
atau sekadar bertukar kata sapaan.
Sepasang burung gereja mengejek dari pucuk kemboja
mengolok nasib perempuan tua yang tak punya daya.
Roda terus melaju pada satu arah
cahaya-cahaya berganti gundukan gundul
dan kenangan berpindah ke sekitar kaki kursi
membuatku gelisah oleh pertanyaan tiada guna:
Apakah kau pernah merindukanku seperti ini?
Kepalaku terantuk kaca jendela
jalan penuh guncangan dan kubangan
arah yang semakin mendekati pesisir
ditandai amis laut juga garam juga wajahmu.
Hujan yang gagal dikandung langit
dan debu yang kaya oleh kotoran ternak.
Aku tersadar di atas ranjang berseprei aroma kamper.
Seorang dokter berkata tanpa kudengar menunjuk
kursi roda di sudut kamar.
Mungkin, besok aku bisa pulang.
Maret 2022

Kunjungan Liwa: Pembekalan dan Pembentukan Forkom PUSPA Kabupaten Lampung Barat Bonus Lain-lain

 

Perjalanan ke Liwa selalu menarik untuk dilakukan. Ketika bu Gusti dari dinas yang ngurusin pemberdayaan perempuan dan anak, Kabupaten Lampung Barat kontak untuk minta mengisi acara di sana, aku langsung setuju. Rencana difinalkan dengan kepastian tanggal dan surat-surat sehingga disepakati kegiatan itu akan dilaksanakan pada 30 Maret 2022 dengan isi pembekalan calon pengurus Forum Partisipasi Masyarakat untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PUSPA) Lampung Barat dan dilanjutkan fasilitasi pembentukan PUSPA saat itu juga.

Aku hadir bersama dengan bu Yanti, kabid data dan gender Dinas PPPA Provinsi Lampung, berangkat sengaja agak pagi pada Selasa 29 Maret 2022 dengan harapan kedatangan kami tidak lebih dari jam kerja teman-teman Lampung Barat. Hanya mampir sebentar di Kotabumi kami sampai di Liwa pada pukul 16.00an, masih terang benderang dan menikmati udara sedikit sejuk.

Kami bermalam di Hotel Ono atau tertulis Rose Losmen Ono, Liwa. Makan malam bersama teman2 Lambar tinggal nyebrang jalan saja. Ada warung lesehan yang nikmat dengan menu utama ikan mujaer.

Kegiatan utama tentu saja seperti yang sudah dirancang, bertempat di ruang rapat Bappeda Lampung Barat yang terletak di kompleks Pemda Lampung Barat. Diikuti oleh 30 an peserta dari berbagai organisasi yang peduli dengan isu dan masalah perempuan dan anak. Pemaparan yang kuberikan seperti biasa panel dengan bu Yanti, disertai dengan dialog dan diskusi dengan peserta. Penghujung acara menargetkan minimal ada formatur pengurus Puspa yang nantinya akan ditindaklanjuti hingga SK Bupati setempat.

Beberapa PR yang aku catat untuk Lampung Barat diperkuat oleh teman-teman wartawan yang wawancara usai kegiatan. Mereka mengangkat kasus ASN yang melakukan KDRT terhadap istrinya.

1. Perkuat sinergi antar lembaga untuk memberikan perhatian pada kasus dan korban kekerasan, human trafficking dan kesenjangan ekonomi.

2. Stop kekerasan sekarang juga, tak ada pemakluman terhadap pelaku apalagi mereka yang harusnya menjadi pengayom masyarakat.

3. Non diskrimnasi, semua manusia dipandang sama derajatnya, berhak untuk mendapatkan akses yang sama terhadap pemenuhan hak asasinya.

Nah, kayak gitu. Selain acara inti itu, Liwa tak mungkin dilewatkan begitu saja. Banyak spot foto asyik, nah sempat kunikmati kali ini adalah Kebun Raya Liwa dan kompleks Pemda Lampung Barat yang hijau. Lalu untuk oleh-oleh yang wajib adalah kopi Liwa ditambah gula arennya, sayuran apapun yang segar yang dapat ditemui di pinggir jalan, dan satu lagi, buwak tat, kue khas Lampung yang special.


Di kompleks Pemda Lampung Barat bersama Keloq.

Di Kebun Raya Liwa tapi hanya dari atas saja, tidak masuk ke lokasi.

Buwak tat, kue semacam bolu yang renyah gurih manis dengan isi selai nanas khas Liwa.


Monday, April 04, 2022

Cerpen Yuli Nugrahani: DI PEMAKAMAN SETELAH TUJUH HARI MENINGGALNYA

 Dulu aku pernah membanggakan gigi-gigiku. Warna putih mengkilap, menjadi lebih mengkilap setelah aku berkumur dengan obat kumur merk apa pun yang kubeli secara rutin. Orang lain mengatakan kalau itu hanya perasaanku saja, tapi aku yakin memang gigiku sangat indah. Tidak seperti gigi orang lain yang memiliki ukuran berbeda antara gigi depan, gigi taring dan lainnya, gigiku memiliki ukuran yang seragam.

Aku merawat gigiku dengan teliti. Ketika semua gigi susuku sudah hilang, gigi dewasaku menjadi prioritas utama sebagai pertimbangan aku makan atau tidak makan suatu makanan yang ditawarkan kepadaku.

Kelebihan ini kusadari benar saat aku punya kebiasaan bercermin dengan cermat seusai mandi. Senyumku terasa berbeda bukan karena bibirku yang tebal dengan warna coklat, tapi karena gigiku terlihat sangat cantik saat tersenyum. Aku yakin aku cantik karena gigiku yang indah itu.

Keyakinanku itu bertambah besar saat bertemu Lee. Laki-laki kelahiran Palembang, dari orang tua Tionghoa, bermata sipit dan berkulit kapas, menyatakan jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Aku selalu meyakini bahwa cintanya itu karena gigiku. Semata gigi yang kutunjukkan kapanpun aku tersenyum padanya.

Tapi memang dia selalu menyatakan cinta walau aku tak selalu menjawab seperti yang diinginkannya. Pada kali ke sekian perjumpaannya denganku, seperti biasa, kata-kata cinta berhambur lewat caranya.

"I love you." Haaa, dia agak cedal. Lucu. Saat itu aku sangat ingin memeluknya, tapi tentu saja aku tidak bisa. Selain karena kami dipisahkan oleh meja besar di  rumah makan lalapan Lamongan, tentu saja aku tidak bisa sembarangan memeluk orang yang sudah menyatakan cinta padaku dengan bahasa Inggris seperti itu di depan umum atau di ruang privat.

Aku memandangnya. Dia mengucapkan lagi,"I love you." Namun tanpa suara, hanya gerak bibir yang nyata sekali mengatakannya. Aku tersenyum. Lee mengulang kalimat itu beberapa kali sambil mamandangku.

Pelayan warung yang mengantar pesanan kami sedikit mengusik arah pandangan matanya. Tapi sesaat kemudian dia kembali memandangku. Bibirnya tak memunculkan gerakan apa pun. Aku merapikan posisi piring dan makanan yang ada di depan kami.

"Mari kita makan. Sepertinya aku sangat lapar."

"Kau memang lapar. Mari." 

Kami makan dalam diam. Sesekali dia akan menyempatkan memandangku.

"Nanti aku fotokopikan buku Octavio Paz. Kau bisa mempelajarinya sembari mengikuti kelas penulisan. Beberapa contoh puisi dari Octavio bisa kau pelajari. Teknik yang kemarin aku ajarkan ke dirimu tentang 'cuplik dan lanjutkan' bisa kau terapkan dari puisi-puisi dalam buku itu. Yang harus kau lihat lagi adalah terus tambah kosa kata bahasa Indonesiamu. Kamus daring toh bisa kau akses kapanpun."

Aku mengangguk-angguk. Beberapa suap sudah masuk dalam mulutku sambil mendengarkan suaranya. Kalimatnya itu seperti alasan saja supaya ada suara yang muncul di antara kami. Dia memang selalu menyelipkan ajaran-ajaran tentang puisi di sela kata-kata cintanya yang itu-itu saja.

"Aku harus segera pulang setelah selesai makan. Apakah kau masih akan ke acara lain atau mau langsung pulang?" Dia berkata lagi setelah jeda diam yang cukup lama.

"Aku akan langsung pulang. Besok aku akan berangkat ke Bandung pagi, menggunakan penerbangan ke Jakarta dulu."

"Kok kau ndak bilang akan pergi ke Bandung?"

"Barusan aku mengatakannya. Aku akan menghubungimu sesekali saat di sana." Tanggapanku meloncat spontan.

"Andai kau katakan dari kemarin aku bisa ikut dirimu."

Aku tersenyum.

"Tidak mungkin. Aku sudah beli tiket pergi sejak dua minggu lalu. Ini sudah terjadwal lama." Dalam hati aku mengatakan bahwa tak ada kesempatan semacam itu yang bisa aku atau dia miliki. 

"Baiklah."

Dia menampakkan raut wajah kecewa samar. Tak bisa dibohongi, ekspresi sekecil apa yang muncul dari hatinya, sangat mudah terbaca di raut wajahnya. Dia tak bisa memendam sedikit saja apapun emosi yang muncul dari hatinya. 

"Sepulang dari Bandung, kerjakan PRmu mengedit tiga puisi yang kau buat kemarin. Jangan sampai kau melewatkan kelasmu hanya karena perjalanan seperti itu. Nanti aku buatkan catatan atas puisimu itu seperti yang sudah kusampaikan kemarin di kelas. Hubungi aku sesering yang kau bisa ya."

Dia terdiam sebentar. Mengangkat gelas tehnya tapi tidak jadi minum. Dia memandangku tajam dari balik kaca mata tebalnya. Tatapan yang membuatku yakin, bahwa dia memang ingin memiliki, entar seberapa besar kadar cinta yang dia miliki untukku.

Apakah aku mencintainya? Tentu saja. Jika aku menyebut para kekasih yang kupunya, tentu saja namanya akan ada di deretan-deretan pertama yang kusebut. Hanya saja, aku tidak bisa membandingkan jenis cinta yang kumiliki padanya itu sama dengan cinta yang kuberikan pada suamiku, atau pada anak-anakku, atau bahkan pada Kas atau Run yang sudah melekat pada hati dan tubuhku.

Ukuran-ukuran kebahagiaanku saat bersama Lee bisa dikatakan seperti ini:

Pertama, aku selalu berbunga-bunga jika dia mengatakan cinta. Pada titik ini aku selalu mengira dia pasti akan menjadi orang gila kalau saja aku tidak menjawab telepon atau tidak membalas pesan-pesan yang diakirimkan atau menolak ajakan-ajakan makan siang yang dia sering tawarkan.

Kedua, aku selalu merasa aman saat dia menyebut namaku di depan orang lain atau di forum manapun yang aku hadiri atau tidak aku hadiri.

Ketiga, aku sangat senang kalau dia memuji wajahku dengan senyum yang indah dan gigi yang sempurna, entah dia katakan langsung padaku atau pada teman-temannya.

Keempat, aku tak pernah peduli seberapa banyak makian atau kata keras yang dia katakan atas kelambatan pikirku, ketidaktahuanku atau apa pun yang tidak dia sukai dariku.

Sudah, itu saja. Aku tidak mudah mengatakan kebaikan yang dia miliki, atau ketampanan apa yang dia punya. 

Lee tidak pernah menutupi perasaannya bahkan apa yang ingin dia katakan atau dia lakukan. Bisa saja saat lama sekali tidak berjumpa denganku, lalu bertemu tanpa janjian di sebuah pertemuan biasa dengan orang-orang yang saling kenal, dia akan merangkul pundakku, menekan sedikit bagian lenganku, dan memprotes dengan suara keras mengapa aku tidak mengunjunginya sekian lama.

Lalu saat dia mulai sakit-sakitan, oleh penyakit yang memang wajar mampir ke tubuhnya yang tambun, Lee menggunakan kesempatan kapanpun aku berkunjung padanya dengan ungkapan-ungkapan sedih yang ditaburi permintaan maaf tanpa menyebut kesalahan apa yang pernah dia perbuat padaku. Istrinya memintaku sering datang karena Lee sering meracau menyebut nama siapa pun secara asal, termasuk namaku.

"Aku minta maaf."

"Tidak ada salahmu padaku."

"Aku minta maaf." Dia mengungkapkan dengan nada mengiba, menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu-dulu. Pasti dia akan mengulang lagi perkataan itu sampai aku mengatakan bahwa aku sudah memaafkannya tanpa tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Aku menampilkan senyum lebar apa adanya, menunjukkan padanya gigi-gigi cantik yang masih kumiliki. 

....

Lalu, sekarang dia sudah ada di bawah nisan, tempatku berteduh siang ini di bawah kemboja. Sudah tujuh hari sejak dia dimakamkan aku baru bisa duduk di sini, di atas tanah, sedang dia di sini juga di bawah tanah. Aku salah telah mengira dia akan gila andai aku menolaknya atau pernah kutulis secara ekstrim bahwa dia benar-benar gila saat aku meninggal sedang dia diliputi cinta penuh kerinduan luar biasa padaku. Aku salah mengira bahwa aku akan mati duluan. Mungkin, aku telah salah mengira bahwa dia mencintai gigi-gigi yang kubanggakan. Mungkin, aku salah mengira bahwa dia mencintaiku seperti itu.

Setetes air mata mengalir ke sisi hidung kiriku. Dadaku perih oleh keinginan bertemu dengannya. Aku merasakan kehilangan yang luar biasa yang nyaris tak tertahan. "Lee, apakah kau pernah begitu rindu seperti ini?" Bisikku dijawab oleh burung pleci yang sedang melintas. Lee sudah mati.

*** (Maret 2022)