Wednesday, November 22, 2006

Ada seorang pengemis yang aku temui saat aku beli nasi pecel di pasar Pasir Gintung hari ini. Tidak kulihat sama sekali wajahnya. Hanya telapak tangannya yang mengatung di depan badanku entah diangsurkan untuk siapa karena banyak orang di sekitarku. Aku tidak berniat memberi bahkan berniat mengusirnya. Tapi tidak ada kata-kata dari mulutku. Aku hanya melihat telapak tangan yang sudah keriput menghitam. Tidak ada suara juga darinya. Tapi dia pasti sudah usur dan lama menyusuri jalan-jalan di belahan dunia ini. Aku membeli nasi pecel 7000 rupiah dan sisa kembalian 13 ribu langsung masuk ke kantong jaketku. Aku tidak ingin memberinya.
Aku lalu buru-buru mengambil Mio-ku yang aku parkir di sekolah Albert. Pergi dengan cepat hanya sempat senyum dengan bapak-bapak teman Albert yang nongkrong di parkiran. Mampir ke Indri karena dia ada cabe dan rampai banyak. Separo diberikan untukku.
Ketika lewat jalan dekat kantorku, seorang pengemis tua (apakah sama dengan yang di pasar? Tidak mungkin!)sedang duduk di pinggir jalan. Tangannya menopang punggungnya yang renta sehingga dia bisa menyender di pagar orang. Aku hanya berpikir, aku akan tunggu kesempatan ketiga! Coba bebalnya hatiku! Padahal di seluruh tubuhku semua hasil pemberian orang, dan aku tidak mau memberi orang lain.
Dan kini sambil duduk depan komputer aku ngetik dengan kekenyangan karena sebungkus nasi pecel nikmat seharga 3000 rupiah dengan pikiran tak mau berhenti dari pengemis tua renta yang mungkin belum makan sejak kemarin!

Monday, November 13, 2006

pagi setiap saat

pagi setiap saat adalah matahari yang tajam bersinar
tanpa peduli hanya atap payung dan daun yang dihujani
bias saja tidak apa menerpa hati
cukup itu membuka kornea
hingga gembira
pagi setiap saat

Monday, October 30, 2006

Kembali pada rutinitas keseharian setelah satu minggu hidup dalam suasana yang 'tintrim' berkat hari fitri.

Thursday, September 14, 2006

Semalem aku nonton konser Radja di Stadion Pahoman. Konser pertama kalinya sejak tinggal di Lampung. Asyik juga. Sayang dapat tempatnya di VIP (gratisan karena suamiku jadi pelanggan Indosat untuk pabriknya. nah Indosat itu yang punya gawe), sehingga tidak bisa jejingkrakan. Padahal lagu-lagu Radja kan mestinya cocok untuk loncat-loncat. Yang lembut.....
...angin...bawalah....jiwaku melayang...
...angin...

Asyik juga. Mau kapan-kapan lagi.

Monday, September 11, 2006

ada sebuah smp terbuka

Ini SMP yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat petani di daerah Register 45 Tulangbawang, Lampung. Didirikan atas dasar kebutuhan para keluarga petani yang susah menjangkau SMP Negeri. Terlalu jauh. Maka setelah lebih dulu membuat SD terbuka, tahun ini dibuka SMPnya. Ada 13 siswa yang sudah mau belajar bersama, didampingi oleh AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria). Mereka butuh orang tua asuh. 50 ribu rupiah tiap bulan yang dibutuhkan per anak untuk kebutuhan seragam, buku, dan makan para guru relawannya. Kurikulum ngikut SMPN, tapi juga diajarkan ketrampilan dasar sebagai anak-anak petani. Ya, mereka harus bisa menanam juga dong. Hidup mereka dari situ. Oki yang menceritakannya untukku. Aku ingin sesekali main kesana. Aku lihat di foto-foto Oki, mereka terlihat penuh semangat. Padahal sekolahnya pindah-pindah lo. Bahkan bisa belajar di sawah, kebun, atau kandang. Dan para relawannya, salut deh...

Thursday, September 07, 2006

sebuah surat menghantamku

sebuah surat dari bapak
bahwa tidak ada yang mesti diteruskan
hingga tahun berlalu
bahwa tidak ada rumah yang dibuka
hingga ada satu rencana baru
bahwa tidak ada orang yang bisa datang
hingga ada sepaham satu

sebuah surat dari bapak
yang tiba-tiba kelihatan renta
menahan sabar
melihat anak-anaknya
yang tak kunjung dewasa

sebuah surat menghantamku
hingga aku terduduk di tangga klender
mengibaskan rasa
Ada beberapa hal yang menjadi sumber keprihatinanku akhir-akhir ini. Salah satunya, betapa tololnya orang-orang Indonesia (sebagian darinya!!!) yang sok hebat sok pintar. Saling soknya, alam pun hendak diplintir di manipulasi layaknya yang biasa terjadi di birokrasi Indonesia. Alhasil, tidak ada kendali yang masih bisa dipegang. Itu yang terjadi di Porong Sidoarjo hingga berpuluh hektar tanah terendam lumpur dan masih terus berlangsung. Lalu yang dilakukan seperti biasa. Mengusung ribuan tentara untuk mengatasinya. Tentara bisa apa untuk ngatasi luapan lumpur yang beribu kubik setiap hari? Yang bisa dilakukan adalah membungkam protes rakyat yang tidak lagi bisa hidup dari tanahnya. Yang tidak bisa lagi di dalam rumahnya. Yang tidak lagi bisa makan, bekerja, bercengkerama dan hidup normal. Yang tidak ada harapan seluruh hidupnya kembali seperti semula.

Wednesday, August 02, 2006

Beberapa hari mesti terlewatkan tanpa komputer. Komputer tua yang ada di kantorku ini mendapatkan 'nafas buatan' dari Egi dengan ditambah ram dan diganti menjadi Xp. Hari ini tiba kembali di meja kerjaku, jadi aku kotak-katik dulu. Kerjaan lain aku tinggal, biarin aja majalah-majalah itu aku bungkus nanti kalau ini sudah kelar. Targetku paling tidak sore nanti seluruh majalah sudah di kantor pos, jadi pasti terkejar asal aku ngebut 2 jam untuk packing.
Nah, aku sebal sekali melihat foto-foto Mas Budi di milis Impala dari kegiatan Krakatau-Sebesi. Sebel berat!!!! Itu bagus sekali, dan aku saat itu tidak bisa membayangkan untuk mengikuti. Hanya untuk membayangkan saja aku tidak bisa. Asem! Tapi aku akan mengagendakan nanti secara privat, aku pasti akan jalan ke sana.
Hari yang bersamaan dengan kegiatan fun bersepeda itu, aku berjalan-jalan juga ke Sidomulyo, mengambil beberapa foto untuk majalahku tercinta ini. Perjalanan yang asyik juga (walau tidak bisa disebandingkan dengan Krakatau Sebesi). Aku cerita besok saja....

Thursday, July 27, 2006

Lampung masih sering gempa. Tapi dasar aku orang gak peka, jarang sekali terasa gempa-gempa seperti itu. Anakku yang kecil yang paling sensitif. Dalam tidur pun ketika ada gempa dia pasti loncat memeluk aku. Saat aku bangun udah lewat gempanya, tertinggal suara gesekan kaca atau genting beradu. Suaranya saja yang terdengar. Tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
Hari ini nganter anakku yang besar ke sekolah. Sesudahnya aku ke kantor menerobos pasar Pasir Gintung yang super semrawut. Nemu ada yang jualan nasi pecel khas Kediri or Malang or Jawa Timur. Nasi dengan 'kulupan', diberi sambel pecel, lauk peyek dan ditambah kering tempe. Mbayangin nikmat bener. Tiba di kantor langsung disantap. Ahhh...tidak seenak di kampung halamanku itu. Bumbunya amburadul gak ngalor gak ngidul. Menjengkelkan.

Monday, July 24, 2006

Hari ini permulaan Albert masuk sekolah setelah libur panjang. Sebenarnya aku ingin nungguin di hari pertama, tapi aku kadung janji dengan mas Budi untuk ngurus ijin ke BKSDA. Jika aku tidak kesana hari ini alamat pekerjaanku yang lain akan tertunda. Jadi si Albert biar sama bapaknya saja.

BKSDA pukul 09.30 masih sepi. Yang mestinya ngurus surat ijin itu pun belum datang. Jadi ngobrol beberapa jenak dengan Pak Zainul, polhut situ. Tidak berbelit. Proses perijinan itu sudah prosedural mudah diikuti apalagi dengan Bu Darti yang manis. Penuh cerita tentang Krakatau dan sekitarnya. Katanya dua minggu terakhir ini ada 'pesta' tidak kelihatan di Anak Krakatau. Orang-orang yang shift patroli di sana setiap hari mendengar gending-gending mengalun seperti orang sedang ada gawe. Padahal tidak kelihatan ada keramaian semacam itu. Toh tempat itu jauh di tengah laut, tidak kelihatan mana-mana. Ini dikaitkan oleh orang-orang dengan terjadinya bencana alam di sekitaran Lampung. Isu dan kejadian bencana alam di Indonesia sekarang ini membuat penafsiran beragam tentang fenomena aneh ini. Jangan-jangan akan ada apa gitu di Lampung, khususnya Kalianda. Moga sih tidak terjadi apa-apa.
Tidak perlu ditakuti, tapi toh gejala-gejala alam yang sekarang ini terjadi di Lampung seperti gempa tiap hari di Bandarlampung dan sekitarnya perlu dicermati dan diwaspadai.

Nah ijin keluar jam 11 aku langsung ke kantor SW. Melihat beberapa surat yang datang lalu mem fax ijin itu ke mas Budi. Sayang aku gak bisa menghubunginya lewat telpon. Mau laporan keuangan ke Pater Zwaard, beliau sudah pulang. Jadi aku di depan komputer saja.

Aku ingat kemarin pertemuan FKSPL untuk melihat agenda pelatihan jurnalistik bagi para buruh Agustus mendatang, selain sharing kegiatan masing-masing serikat. Pertemuan agak 'kering' tapi untung ada beberapa teman FMN yang hadir memberikan warna lain ke FKSPL. Kami berharap pelatihan jurnalistik itu akan menjadi awal yang baik untuk komunikasi FKSPL.

Thursday, July 20, 2006

Hari ini aku coba untuk membuat blog ini. Tergagap-gagap. Bener kata si Indro bahwa aku 'wong ndeso', sing gaptek. Tapi tidak apa-apa aku akan coba membuatnya sedikit demi sedikit.

Nah, hari ini Lampung terasa tenang. Setelah kepanikan akibat gempa yang berpotensi menjadi Tsunami kemarin sore. Aku bisa merasakan orang-orang disekitarku selalu merasa takut dan cemas. Gempa terjadi tiap hari tiap saat. Bagi warga Kemiling dan sekitarnya ini sungguhan menakutkan apalagi rumah bisa retak-retak begitu. Kemarin aku pulang dari Klender ketika gempa 6,2 ricther itu terjadi. Mbak Lis yang pertama nelpon,"Kamu sudah sampai mana?" Lalu pesan dengan sangat,"Hati-hati." Lalu orang-orang lain kerabatku juga nelpon, khususnya suami tercinta. Nada suara mereka sama, sangat cemas. Aku yo gak tahu! Mana terasa ada gempa jika aku sedang ada di atas kapal ferry. Apalagi ombak sangat tenang. Agak mencekam ketika ternyata kapal yang aku tumpangi itu sangat sepi. Di dek 3 bagian kelas 1 hanya ada tiga orang termasuk aku. Lalu dua orang itu, sepasang 'backpacker' aku kira, cowok-cewek masih muda dengan ransel berat, pindah kelas karena tidak mau membayar 6 ribu yang ditarik petugas untuk masuk ruang kelas 1 itu. Alhasil aku sendiri. Lebih seram lalu si Rena sms ada gempa baru saja terjadi di selat Sunda. Na, aku kan ada di sana? Baru ngeh rupanya itu yang menyebabkan orang-orang terkasih pada kuatir. Tapi tidak ada apa-apa dalam perjalanan itu selain .... sepi.....
Tiba di Bakauheni aku naik travel Purnagama. 40 ribu sampai rumah. Aku tidak minat untuk menawar harga itu (standar 30 ribu). Aku tahu rumahku di ujung jauh sana, dan itu sudah malam (jam 10 malam). Lebih baik manut saja dan aku akur.
Perjalanan ke rumah diwarnai hujan lebat. Setelah mengantar semua penumpang, aku jadi yang terakhir. setengah satu dini hari mencapai pintu rumahku dengan sambutan suami yang 'syukur bojoku slamet' dalam wajahnya yang mengantuk.
Tidur hingga setengah 8 lalu sarapan nasi goreng dengan dua buntutku, albert dan bernard. Berangkat ke kantor untuk ngurus percetakan Nuntius.

Yuli Nugrahani
Hidup Bersama untuk Adil dan Damai