(Diambil dariKompasiana)
Ditulis oleh Alexander Aur Apelaby
“Aku rindu suara beruk dan burung rangkong di Gunung Betung. Aku benar-benar ingin pulang sekarang.” – Cerpen “Daun-daun Hitam”.
“Sikin
telah memilih tanah-tanahnya sebagai simbol atas hak hidup. Kini simbol
itu direnggut begitu saja oleh papan putih sepele yang menandai area
itu sebagai milik negara. Dia tidak diakui sebagai pemilik padahal dia
lahir dan besar dari tanah itu, dan mendapatkan harga diri dari tanah
itu. Padahal, dari kecil dia biasa membaui tanah itu sebagai bagian
hidupnya, sebagai haknya.” – Cerpen “Belum Kalah”.
Bila
dibanding dengan bentuk-bentuk karya manusia yang lain, kesenian
merupakan bentuk karya yang lebih memadai untuk mengungkapkan
problem-problem yang berkaitan dengan kedirian manusia. Kesenian – yang
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah cerpen dan sketsa – merupakan jalan
yang lentur yang ditempuh baik oleh pengarang maupun penikmat sastra
untuk menelusuri lorong dan labirin diri manusia. Sudah barang tentu,
bentuk, isi, dan bahasa dari kesenian dalam konteks menelusuri kedirian
manusia ini, tetap menjadi hal-hal yang penting dalam karya sebuah
sastra. Hal-hal itu tetap penting untuk diperhatikan baik oleh
pengarang, perupa, pelukis dan penikmat kesenian karena kedirian yang
terwahyukan sebuah karya seni dapat terwujud apabila terjadi kombinasi
elegan antara bentuk, isi, dan bahasa. Boleh dikatakan bahwa ketiganya
merupakan “trisula kesenian” yang mampu menyingkapkan atau mewahyukan
problem-problem kedirian manusia.
Kiranya tidak berlebihan, apabila “trisula kesenian” itu mewujud dalam antologi cerpen dan sketsa Daun-daun Hitam
karya Yuli Nugrahani dan Dana E. Rachmat, yang diterbitkan Idepth
Publishing bekerja sama dengan Caritas Tanjung Karang tahun 2014. Dua
pegiat kesenian (seni sastra dan seni rupa) ini mampu mewahyukan
kedirian manusia melalui karya-karya mereka dalam antologi ini. Dalam
testimoni tertulis ini, saya tidak akan mengupas mengenai “trisula
kesenian”. Tulisan ini lebih berfokus pada “dua wajah manusia” yang
terwahyukan dalam antologi ini.
Kupasan
yang bersifat testimonik terhadap antologi ini menggunakan pisau kupas
fenomenologi manusia. Tanpa mengabaikan pisau kupas-pisau kupas yang
lain, pisau kupas fenomenologi merpakan salah satu pisau kupas yang
mampu menjembatani jarak tegas antara pengupas dan apa yang dikupas.
Kupasan ini bisa dilakukan oleh pengupas sejauh karya (yang dikupas)
memberi kemungkinan untuk dikupas. Artinya, dalam proses pengupasan,
terjadi “fusi horizon” antara horizon pengupas dan horizon dalam karya
yang tersingkapkan oleh karya itu sendiri. Tentu, kupasan ini terbuka
bagi kritik, baik dari kedua pegiat seni yang karyanya dikupas di sini,
dan dari penikmat atau kritikus seni lainnya. Kritik merupakan bentuk
dari apresiasi dan perluasan-penambahan wawasan dalam bidang kesenian.
Kritik yang demikian bertumpu pada argumentasi-argumentasi rasional yang
terbangun dalam kritik yang tersampaikan.
Wajah Eksistensial Manusia
Antologi cerpen dan sketsa Daun-daun Hitam
dibuka dengan sketsa “Pak Lik Wagimin, Puncak Betung, 21 April 2007”
dan cerpen “Daun-daun Hitam.” Pada sketsa, tampak sosok laki-laki
mengenakan ikat kepala, berbaju lengan panjang, selembar kain terlilit
di pinggangnya, bercelana panjang gombrong, bersepatu boot, kedua
tangaanya bertumpu pada sebilah tongkat yang tertancap ke tanah. Kaki
kiri sosok ini agak maju, layaknya orang yang sedang berdiri santai.
Matanya menatap ke depan. Di bagian depan di dekat kaki, seonggok
benda-benda berupa bilah-bilah papan dan kayu yang terbakar. Sketsa ini
menyingkapkan kepada publik (penikmat atau kritikus) sosok orang desa
(kampung) yang menjalani hidup sebagai petani. Sosok ini dikuatkan
dengan keterangan yang menjadi judul sketsa. Sekurang-kurangnya dua ikon
yang menandakan sosok orang desa yang bekerja sebagai petani, yakni
“Pak Lik” dan “Puncak Betung.” Kata “Pak Lik” meskipun digunakan juga
untuk orang-orang kota untuk memanggil seseorang yang menjadi kerabat
(adik bapak), tetapi kata ini lebih sering digunakan dalam komunitas
masyarakat pedesaan. Panggilan “Pak Lik” memancarkan rasa dekat dan rasa
hormat. Rasa dekat dan rasa hormat ini dalam arti emosional dan bukan
dalam arti jarak spasial dan karena jabatan.
Dari
perspektif sosiologis, rasa dekat dan rasa hormat yang demikian memang
menjadi ciri masyarakat pedesaan. Rasa dekat dan rasa hormat ini menjadi
ciri dari keguyuban masyarakat desa. Api yang membakar bilah-bilah kayu
dan papan juga merupakan ciri dari kehidupan masyarakat desa. Membakar
kayu atau daun-daun adalah aktivitas rutin yang dilakukan petani-petani
di desa. Kedesaan tersingkapkah melalui penggunaan kata yang menunjukkan
tempat, yakni “Puncak Betung.” Sangat jarang kita mendapat “kekotaan”
di daerah puncak gunung. Bahkan kedesaan yang terpancar melalui sketsa
itu dari sosok laki-laki dalam sketsa. Di sini kita mendapatkan sebuah
kepastian tentang apa yang pernah dikatakan oleh Romo V. Kirjito bahwa,
“desa adalah ibu dari kota.” Kedesaan ibu yang melahirkan kekotaan.
Kedesaan dari sebuah desa mengandung dua hal mendasar, yakni ruang
geografis dan momen untuk kembali akar (kembali ke asal-usul).
Ruang
geografis dan momen kembali ke akar ini termaktub pula dalam cerpen
berjudul “Daun-daun Hitam.” Cerpen ini dibuka kalimat “Aku rindu suara
beruk dan burung rangkok di Gunung Betung.” Kalimat ini diulangi lagi
oleh narator setelah dialog antara suami dan istri (dua tokoh dalam
cerpen ini). Pengulangan kalimat tersebut ditempatkan oleh narator
sebagai sebuah interupsi sang istri terhadap suami. Kalimat itu sangat
signifikan baik bagi narator dan suami, sehingga dalam teks kalimat itu
dicetak miring.
Hal
signifikan yang tersingkapkan dari kalimat itu adalah bahwa Gunung
Betung adalah ruang geografis dan momen kembali ke akar. Signifiksi itu
secara metaforis digambarkan oleh narator sebagai “daun-daun hitam.”
Metafora ini merupakan ungkapan eksistensialistik tentang ruang
geografis dan momen kembali ke akar. Kita bisa melihat hal ini dalam
kalimat dialog para tokoh cerita dan narasi narator di bawah ini:
“Yang ini ringan.” Kataku tentang kotak keempat.
“Daun!” Istriku terpekik pelan begitu kotak besar itu terbuka. “Bapak masih menyimpannya.”
Segala jenis daun kering ada di situ. Sebagian telah membusuk berjamur karena kota itu bukan kotak penyimpanan yang aman.
“Aku
bakar saja. Ini pasti sisa eksperimen bapak. Waktu ke Gunung Betung
terakhir kali, bapak membawa daun-daun kakao sangat banyak. Di sini
rupanya.”
Istriku
menyeret kotak itu menjauh ke halaman samping rumah. Membolak-balik
daun-daun itu dengan tangannya, dilakukan berulang kali, tak lagi
memperhatikan aku membuka kotak-kotak berikutnya.
“Mas,
apakah kita bisa pulang dalam waktu dekat?” Di tangannya ada selembar
daun coklat berwarna kehitaman, berjamur. Wajahnya tidak berpindah dari
tumpukan daun-daun itu.
“Kita lihat saja nanti. Semoga.”
“Aku
berharap mendengar lagi bunyi beruk, burung-burung atau apa sajalah di
sana. Semoga Gunung Betung masih dirawat oleh penduduk sekitar dan para
pendaki. Tidak apa-apa jika ada banyak pacet, bahkan menempel di kakiku,
tapi kita harus kembali ke sana lagi suatu ketika, secepatnya.”
Ruang
geografis dan momen kembali ke akar merupakan dua hal yang signifikan
bagi manusia. Dalam kedua hal itu, terletak gairah eksistensial manusia.
Dalam dua hal itu, gairah eksistensial bisa merupakan sesuatu yang
menggembirakan, bisa juga merupakan sesuatu yang mencemaskan.
Kegembiraan dan kecemasan kental
dalam dialog di atas. Kecemasan tersingkapkan melalui metafor daun-daun
hitam yang terbakar. Kegembiraan tersingkapkan melalui harapan untuk
mendengar lagi bunyi beruk dan burung rangkok atau burung-burung
lainnya.
Orang
sudah lama meninggalkan tanah asal-usulnya dan bermukim di tempat lain
mengalami pengalaman “tercabut” dari akarnya. Ketercabutan itu mengental
dalam diri manakala ia rindu kembali ke sana. Ketercabutan merupakan
gerak menjauh dari tanah. Ada jarak tegas yang bersifat spasial-temporal
dan emosional antara tanah asal dan
tanah dan tanah perantauan. Kerinduan untuk kembali merupakan gerak
mendekat ke tanah asal. Ketercabutan dari akar dan kerinduan kembali ke
akar adalah wajah eksistensial manusia perantau. Manusia perantau adalah
manusia melakukan gerak menjauh dan gerak mendekat. Inilah wajah
eksistensial manusia perantau.
Dari
perspektif fenomenologis, relasi gerak menjauh dan gerak mendekat
bersifat korelatif. Keduanya merupakan hal-hal mendasar diri manusia.
Sama seperti pergi dan pulang, demikian pula menjauh dan mendekat
merupakan fenomen khas manusia. Ini yang dilakukan oleh manusia dalam
hidupnya. Dalam perspektif religius, keberadaan kita di dunia adalah
sebuah modus merantau dari tanah Tuhan dan akan kembali lagi ke tanah
Tuhan. Dalam momen itulah kegembiraan dan kecemasan selalu menjadi hal
eksistensial dan fundamental diri manusia.
Wajah
eksistensial manusia seperti yang diuraikan di atas, tampak dalam
sketsa-sketsa dan cerpen-cerpen lain dalam antologi ini. Kita bisa
menangkap wajah eksistensial manusia itu, misalnya dalam sketsa-sketsa
yang berjudul: “Secuil Asa di Malam Haji, 3 Maret 2009”, “Makam Ayah, 12
September 2007”, “Kasih Ayah, Selat Sunda, 29 Juli 2007”, “Pohon Mati
yang Berkaki, 19 Agustus 2007”, dan “Terpetik di Tengah Arus Jaman, 17
Oktober 2006.” Wajah eksistensial juga terwahyukan dalam cerpen-cepen
lain: “Pasien”, “Adenita”, “Pada Hari Pemakaman”, Sekandhi Gabah,
Sebungkus Gula Kopi, Sekilo Telur”, dan “Hanya Penari.”
Wajah Politis Manusia
Beberapa
cerpen yang ditulis Yuli Nugrahani dan sketsa-sketsa yang digurat Dana
E. Rachmat menampilkan pula manusia sebagai makhluk politis. Wajah
politis manusia termaktub dalam cerpen-cerpen Yuli, antara lain
“Pasien”, “Penghakiman”, “Menuntut Bukti” “Belum Kalah”, “Mak Unti” dan
“Namanya di Dunia Maya.” Sedangkan sketsa-sketsa wajah politis manusia
tampak dalam judul-judul: “Senyum si Mbok Penjual Kain, Kintamani, 11
Juli 2007”, “Menunggu Kereta di Stasiun Turi, 28 Juli 2008”, dan “Tatap
Pedagang Asongan di Pagar Bromo, 27 Juli 2008”.
Dalam
cerpen “Pasien” wajah politis manusia hadir melalui simptom-simptom
yang dialami oleh tokoh Adel. Kepergian Dandri melahirkan dalam diri
Adel keinginan yang begitu kuat untuk bunuh diri. Perpisahan antara Adel
dan Dandri adalah kesepakatan mereka berdua. Pemicu perpisahan – lebih
tepat kepergian Dandri – itu diawali dari kesibukan Adel di dunia
politik. Partai, pemilu, tim sukses, dan kampanye telah menyita banyak
waktu Adel sehingga ia tak mempunyai waktu untuk memperhatikan atau
melakukan hal-hal remeh yang menautkan dirinya dan Dandri. Kenyataan
yang dihadapi Adel sekarang adalah Dandri sudah pergi dari dirinya.
Kepergian
Dandri dan perpisahannya dengan Dandri lahirkan mimpi-mimpi buruk dalam
tidur Adel. Mimpi-mimpi buruk Adel dalam “Pasien” mengingatkan kita
pada apa yang disebut Freud sebagai konflik antara berbagai daya psikhis
dalam diri manusia, yakni id, ego, dan superego. Id merupakan lapisan psikhis manusia yang paling dasariah. Dalam lapisan ini, eros (naluri kehidupan) dan thanatos (naluri kematian) bekerja. Ego merupakan hasil dari kontak antara id dan dunia luar. Ego adalah diri yang sadar. Ego terwujud melalui berbagai persepsi dan proses intelektual. Sedangkan superego
merupakan hasil internalisasi atas berbagai nilai yang diterima
seseorang dari lingkungan budaya tempat ia hidup dan berkembang.
Eros Adel tampil melalui aktivitas ego Adel dalam ranah politik. Partai dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengannya yang dilakukan Adel adalah representasi dari eros. Eroslah dasar dari kebudayaan yang selanjutnya dikonstruksikan secara rasional oleh ego.
Politik dan aktivitas politik yang dilakukan Adel dan orang-orang lain
merupakan suatu bentuk kebudayaan dan pembudayaan. Politik dan aktivitas
politik adalah wujud konkrit dari ego dan eros.
Seluruh praktik kebudayaan dan proses pembudayaan di ranah politik
melibatkan pula superego, yakni nilai-nilai etis yang sering diudarkan
oleh lingkungan masyarakat sebagai pedoman.
Tetapi rupanya Adel juga dibayang-bayangi oleh thanatos (naluri kematian) melalui dorongan untuk bunuh diri. Dalam diri Adel, thanatos berjibaku dengan eros, ego, dan superego.
Jibaku itu tampak dalam wujud fisik yang diamali Adel ketika mengalami
mimpi-mimpi buruk: Mimpi menempuh jalan tol buntu, jalan setapak, jalan
berlumpur, naik turun sehingga saat ia bangun dari tidurnya, Adel
mendapati badannya basah kurup oleh keringat; Mimpi berada dalam gua dan
supaya bisa keluar dari gua itu dengan selamat ia harus membuat api
ungguh dari uang tumbuh di dinding gua. Hal itu membuat Adel terbangun
dengan napas tersengal-sengal; Mimpi menangis bersama dua anak
laki-lakinya di hadapan sesosok mayat, padahal Adel tidak mempunyai
anak. Adel sungguh-sungguh menangis dalam tidurnya sehingga basah ujung
bantalnya.
Dalam
“Pasien” wajah politik manusia bersifat psikologistik. Wajah politis
manusia terepresentasi melalui tokoh Adel yang mengalami komplikasi
psikologis. Kepergian Dandri dan perpisahannya dengan Dandri merupakan
triger (pemicu) yang mampu mengangkat ke permukaan patologi-patologi
psiko-politik yang tidak pernah disadari oleh Adel. Bahkan, tak jarang
dalam hidup konkrit sehari-hari, khusus dalam ranah politik riil,
praktik-praktik politik yang dijalankan oleh para politisi merupakan
perwujudan dari patologi psiko-politik yang mereka alami.
Cerpen
“Belum Kalah” menyodorkan kepada pembaca dua jenis antropologi, yakni
antropologi politik dan antropologi budaya. Kedua jenis antropologi ini
berciri politis. Kedua jenis antropologi itu bertemu dalam satu medan
yang sama yakni: tanah. Atas nama mengembalikan tanah negara dan
berdasarkan hukum yang berlaku, Kades yang masih muda belia memaksa
lelaki tua yang bernama Sikin dan warga desa lainnya untuk mengembalikan
tanah yang sudah puluhan tahun menjadi “rumah” mereka. Wujud konkrit
pengembalian itu adalah pemerintah melalui Kades, memberikan uang lima
juta kepada setiap warga. Uang itu juga sebagai bentuk kepedulian
pemerintah kepada warga. Tokoh Sikin menolak patologi psiko-politik yang
diidap Kades muda. Penolakan didasarkan pada keyainan bahwa tanah
simbol atas hak hidup. Ia dan warga desa lain lahir dan besar di tanah
itu, mendapat harga diri dari tanah itu. Bahkan semasa kecil, Sikin
biasa membaui tanah itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai haknya.
Cerpen
“Belum Kalah” mengangkat persoalan manusia dan tanah sebagai masalah
politik. Dalam konfigurasi politik pembangunan, negara selalu
menempatkan rencana dan proses pembangunan dalam tajuk “demi kepentingan
umum.” Atas dasar tajuk itu, tanah-tanah yang sebelumnya menjadi bagian
dari diri rakyat, sering kali diambil secara paksa “demi kepentingan
umum.” Tanah yang semula adalah rumah kehidupan mereka, sering kali
dikuasai secara paksa oleh negara.
Pertanyaan
lanjutan yang muncul kemudian adalah apakah rakyat lebih dulu ada atau
negara lebih dulu ada? Kades dan Sikin adalah dua tokoh yang saling
mempertaruhkan jawaban melalui sikap yang mereka tunjukkan. Argumen
Kades adalah bahwa tanah-tanah yang dipakai oleh Sikin dan orang-orang
sekampungnya merupakan tanah yang dipinjamkan negara kepada mereka.
Sudah saatnya negara mengambil kembali tanah itu. Sebagai bentuk
perhatian negara terhadap warganya, maka Sikin dan orang-orang
sekampungnya diberi uang. Argumen Kades menunjukkan bahwa Sikin dan
orang-orang sekampungnya adalah warga negara. Oleh karenanya harus
tunduk terhadap negara. “Warga negara” adalah sebuah konsep antropologi
politik yang lahir bersamaan dengan adanya negara. Secara fenomenologis,
hubungan antara negara dan warga negara adalah korelatif. Antropologi
politik seperti ini terkandung dalam argumen Kades. Eksistensi warga
negara (citizen) dan negara hadir bersamaan.
Sikin
mempunyai pendirian yang berbeda dengan Kades. Bagi Sikin, tanah yang
mereka tempati selama ini, merupakan bagian dari diri mereka, menjadi
rumah mereka. Oleh karena itu, hubungan mereka dengan tanah adalah
hubungan kebudayaan. Di atas tanah itu mereka mengembangkan diri mereka
sebagai makhluk berbudaya. Oleh karena itu, mereka menolak bila tanah
itu dikuasai oleh negara. Argumen Sikin menunjukkan sebuah antropologi
budaya. Dalam kerangka antropologi yang demikian, eksistensi Sikin dan
orang-orang sekampung adalah rakyat dan bukan warga negara. Eksistensi
rakyat (populi/people) hadir lebih dulu.
Cerpen
“Belum Kalah” mengeksplisitkan dua jenis antropologi, yakni antropologi
politik dan antropologi budaya. Antropologi politik terepresentasi
dalam tokoh Kades. Antropologi budaya terepresentasi dalam tokoh Sikin.
Dalam konstelasi politik modern, dua jenis antropologi ini silih
berganti bertarung dalam arena politik riil.
Antropologi
politik dan antropologi budaya juga tampak dalam sketsa “Tatap Pedagang
Asongan di Pagar Bromo.” Bromo adalah wilayah pariwisata yang
ditetapkan melalui keputusan-keputusan politik. Yang dimaksudkan dengan
keputusan politik di sini adalah keputusan pemerintah yang bertajuk
“demi kepentingan umum.” Pedagang asongan adalah representasi manusia
ekonomi. Praktik ekonomi pedagang asongan tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, melainkan juga sebagai strategi budaya.
Tindakan ekonomi sebagai modus operandi keberbudayaan manusia.
Membaca cerpen-cerpen dan mencerna sketsa-sketsa dalam Daun-daun Hitam, pembaca akan menemukan sekurang-kuranganya dua wajah manusia, yakni wajah eksistensial dan wajah politis. Inilah kekuatan antologi ini.
No comments:
Post a Comment