Monday, December 10, 2018

Menjelang Hari HAM di FSTV: Meruwat HAM lewat Seni Perlawanan

Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tahun ini diperingati oleh Jaringan Perempuan Padmarini (JPP), Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ) dan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang dengan mengadakan talkshow di Fajar Surya Televisi Lampung pada Minggu, 9 Desember 2018. Kegiatan ini mengambil tema Meruwat HAM lewat Seni Perlawanan.

Hadir dalam bincang santai ini Rinda Gusvita ketua JPP, Fendi Kachonk pendiri dan pengasuh KKJ dan Yuli Nugrahani penanggungjawab KKPPMP Keuskupan Tanjungkarang. Kegiatan dipandu oleh Rismayanti Borthon, bertempat di Studio Kopi, Bandarlampung.

Bincang-bincang diawali dengan pembacaan puisi oleh Fendi Kachonk diambil dari puisinya sendiri yang ada dalam buku Titik Temu. Buku kumpulan puisi bertema HAM ini memang dijadikan pemantik diskusi sebagai salah satu bentuk mengingat HAM. Buku Titik Temu yang diterbitkan oleh KKJ pada tahun 2014 ini berisi puisi-puisi bertema HAM yang ditulis oleh 60 penyair/penulis dari berbagai kota di Indonesia maupun luar Indonesia.

Tak hanya mewujud buku, puisi-puisi bertema HAM itu juga dirayakan dan didiskusikan di berbagai komunitas di berbagai kota. Setelah lewat empat tahun, buku ini pun masih bisa digaungkan ke berbagai daerah.

"Buku ini tidak hanya tentang puisi dan buku. Tapi menjadi sarana untuk mengingat kasus-kasus HAM yang terus saja ada di Indonesia. Selain itu juga lebih dalam lagi, buku ini menjadi pengingat tentang kesadaran HAM. Inilah refleksi para penulisnya," demikian kataku tentang buku ini.

Selain Fendi, aku dan Retha mendapat kesempatan juga membaca puisi yang ada dalam buku. Tentu saja aku gembira melihat semangat ini. Apalagi mendengar apresiasi dari Rinda yang pernah menulis tentang buku ini empat tahun lalu, cuping hidungku sebagai editor buku ini jadi kembang kempis.

Seni selalu relevan digunakan dalam perjuangan HAM, dan itu terbukti dengan buku ini, diskusi tentang HAM bisa dilakukan lintas batas agama, suku, usia dan sebagainya. Bahkan ketika waktu sudah bergulir sekian tahun, puisi-puisi itu pun masih bisa dibacakan sebagai pemicu perbindangan tentang HAM.

No comments:

Post a Comment