Wednesday, November 28, 2018

Negeri yang Terapung dan Negeri Para Penyair

Dua buku yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL) kuterima kemarin, 27 Nopember 2018 dari Udo Z. Karzi. Buku-buku ini memuat tulisanku, cerpen dan puisi. Berkaitan dengan buku selalu membuatku antusias dan gembira, maka menerima buku ini membuatku sangat gembira. Nanti akan kubuat catatannya untuk tiap buku, sekarang aku mulai baca saja dulu.

Hmmm... ternyata Lampung memang kaya raya soal penulis. Ada 17 cerpenis terangkul dalam Negeri yang Terapung, Antologi Cerpen Mutakhir Lampung, masing-masing menyumbangkan satu judul cerpen. Dalam kata pengantar editornya, 17 judul ini merupakan hasil kurasi dari puluhan cerpen yang dikirimkan oleh 41 penulis. Sedangkan buku Negeri Para Penyair, Antologi Puisi Mutakhir Lampung, memuat 47 penyair (hasil kurasi dari puisi-puisi yang dikirimkan oleh 71 penyair). Kalau tanpa proses kurasi, tentulah buku yang kuterima ini bisa lebih tebal 2 atau 3 kali lipat dari yang sekarang kuterima.

Tapiii... tentu ini bukan soal tebal tipisnya buku. Para kurator: Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin dan Ari Pahala Hutabarat tentu tak main-main dalam menentukan naskah yang layak maupun tidak dalam buku ini. Wong prosesnya juga laammmaaaa.... setahun lebih kukira sejak pengumuman tentang buku ini hingga buku ini kuterima. Dan tiga orang itu lhooo, kuyakin banget bukan orang-orang yang bisa disuap untuk mengatakan sebuah naskah termasuk layak atau tidak (Huh, inget naskahku yang tak seperti bertepuk sebelah tangan setelah kuserahkan pada mereka. Tak kusebutin deh detilnya. Bikin malu ati.) Btw, ....yehaaa.... terimakasih dah buat semua sehingga buku ini bisa terwujud di depan hidungku.

Agak sulit untuk tidak pamer, jadi ini salah satu puisiku dalam buku Negeri Para Penyair, halaman 147. Ada tiga puisiku dalam buku Antologi Puisi ini, tapi kupasang satu aja yach. Cekidot:

MELEKAT PADA UDARA

Kadang sehelai daun kelengkeng ikut campur urusan senja padahal dia tak tahu apa-apa.
Bahkan dengan pongah  dia bertengger di atas kepala meneriaki uban-uban supaya bergegas.
Telunjuknya menuding langit seolah sudah khatam Alkitab dan sanggup meremukkan kepala ular dengan tumitnya.

Sebelum tubuhnya memuai dan melekat pada udara, dia mengingatkan cita-cita tua:
Sampailah pada Kitab Wahyu pasal ke dua puluh dua.

Okt 2017

Hmmm, sebelum orang lain suka puisi ini, aku sudah duluan menyukainya. Hehehe.... Iyalah. Ada banyak cerita mendalam dalam puisi ini. Entar kalau ada waktu aku akan ceritakan.

No comments:

Post a Comment